PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA[1]
OLEH : SANTHOS WACHJOE P, SH[2]
I. Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, kehidupan seseorang tidak akan
terlepas dari kehidupan orang lain. Ketika seseorang telah dewasa, seseorang
tentu akan menikah untuk membina kehidupan berumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warrohmah, sebagiamana tuntunan agama.
Bahwa, dalam kehidupan berumah tangga tentunya akan
menimbulkan adanya kewajiban dan hak dari suami maupun istri, dan seringkali
dalam pemenuhan kewajiban dan hak dari masing-masing pihak ini akan menimbulkan
friksi atau pertentangan dari masing-masing pihak yang merasa tidak dipenuhinya
hak-haknya dan selalu merasa telah melakukan/memenuhi segala kewajibannya.
Pertentangan-pertentangan tersebut kadang kala menimbulkan hal-hal yang
akhirnya bisa berujung pada kekerasan dari salah satu pihak kepada pihak lain
sehingga diperlukan adanya pengaturan oleh Negara terhadap kehidupan
berumahtangga menuju kepada kehidupan rumah tangga yang bermartabat.
II. Sumber Hukum Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Negara telah mengatur ketentuan Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga di dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 yang
diundangkan pada tanggal 22 September 2004 .
III. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman
dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Segala bentuk
kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak azasi
manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi
yang harus dihapus. Negara berkewajiban untuk menjamin perlindungan terhadap
warga Negara untuk tidak mendapatkan perlakuan kekerasan terutama kekerasan
dalam rumah tangga.
Bahwa dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI Nomor 23
Tahun 2004, disebutkan bahwa “Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
adalah jaminan yang diberikan oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga.
IV. Ancaman Pidana
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur mengenai beberapa macam pidana
terhadap pelanggaran terhadap Undang-Undang ini. Hal tersebut antara lain
ancaman pidana dan denda, tetapi yang lebih penting adalah perlindungan
terhadap korban, yang biasanya adalah dari pihak perempuan.
V. Tata Cara Beracara di Pengadilan
Bagaimana
cara beracara di pengadilan ? Apabila seseorang merasa dirugikan atau sebagai
korban kekerasan dalam rumah tangga :
·
Korban
dapat melaporkan ke pihak kepolisian dan pihak kepolisian wajib memberikan
perlindungan dengan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja social,
relawan pendamping dan/ atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban (Pasal
17 UU No.23 Tahun 2004). Pihak Kepolisian juga wajib memberikan
keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan
pendampingan (Pasal 18) dan wajib segera melakukan penyelidikan setelah
mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga ;
·
Hasil penyelidikan dan penyidikan Kepolisian
kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan dengan dilampirkan hasil Visum et Repertum
dari Rumah Sakit / Puskesmas, sebagai dasar telah terjadi tindak kekerasan
dalam rumah tangga ;
·
Proses persidangan dilakukan dalam sidang yang
tertutup untuk umum, kecuali pada saat pembacaan putusan, dengan mendengarkan
dakwaan Jaksa Penuntut Umum, mendengarkan keterangan saksi-saksi, memperhatikan
bukti2 surat di
persidangan dan keterangan Terdakwa, serta Tuntutan Penuntut Umum ;
·
Putusan Pengadilan pada dasarnya melindungi
kepentingan korban dan juga mempertimbangkan aspek keadilan bagi Terdakwa ;
VI. Kesimpulan
Meskipun telah ada mekanisme beracara di Pengadilan bagi
korban kekerasan dalam rumah tangga, tetapi yang terpenting adalah perlindungan
bagi korban yang biasanya adalah dari pihak perempuan, karena secara kejiwaan,
korban kekerasan dalam rumah tangga lebih rentan dibandingkan korban tindak
pidana lainnya. Oleh karenanya, perlu peran serta dari masyarakat / keluarga /
tetangga korban untuk ikut melindungi korban dan bukan justru menghakimi korban
dengan menjauhi maupun mencelanya.
VII.
Penutup
Demikian sedikit pemaparan mengenai penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga. Terima kasih atas perhatiannya dan lebih
kurangnya mohon maaf yang sebesar-besarnya serta apabila masih ada yang belum
jelas dapat menghubungi Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tegal.