Selasa, 07 April 2015

FILOSOFI SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Renungan Awal Pekan (07042015)

MAKALAH HUKUM
“FILOSOFI SISTEM HUKUM DI INDONESIA”
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH


BAB I PENDAHULUAN
    Perkembangan dinamika kehidupan masyarakat menuntut pula perkembangan Hukum yang dinamis, baik itu dari segi system Hukum, aparat Hukum nya maupun peraturan perundang-undangannya. Hukum yang dinamis akan mampu “mengobati” apabila terjadi pergesekan-pergesekan diantara warga masyarakat. Semakin dinamis Hukum yang ada dalam masyarakat, maka Hukum akan semakin dipercaya sebagai “obat” untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam hidup bermasyarakat.
    Prof.DR.H.M. Ali Mansyur, SH.SpN.M.Hum, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum ), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum , supremasi HUKUM  seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum  dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”
    Bahwa selama ini masyarakat hanya melihat Hukum  hanya dari peraturan-peraturan yang tertulis saja, semisal Undang-Undang dan sejenisnya, akan tetapi masyarakat sering lupa bahwa tatanan kehidupan manusia diatur dan dibatasi oleh norma-norma, yaitu norma sosial, norma Hukum , norma kesusialaan, norma agama, sehingga Hukum  hanyalah menjadi salah satu bagian dari norma-norma tersebut.
    Norma, sebagaimana ARIEF SIDARTA, SH, dalam bukunya HUKUM DAN LOGIKA , menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. ARIEF SIDARTA, SH, selanjutnya mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma mempunyai sifat umum, jika  apa yang dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.
    Secara sepintas, dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan dapat mengetahui bahwa dirinya memiliki persamaan-persamaan dengan orang lain tetapi disisi lain juga memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh bagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh kaarena merupakan pegaangaan baaginya.
    Dari rangkaian Norma-norma yang hidup dalam masyarakat tersebut, akan menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak bagi warga masyarakat yang bukan tidak mungkin akan menimbulkan pertentangan-pertentangan bagi tiap-tiap warga masyarakat yang apabila tidak bisa menimbulkan bentrokan yang bisa mengakibatkan kerugian bagi warga masyarakat itu sendiri. Sehingga dengan demikian, menjadi tugas dari HUKUM untuk menyelesaikan konflik dan memberikan keadilan bagi warga masyarakat.
    Sebagai Negara Hukum, masih banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Harus disadari bahwa tidaklah mudah untuk membentuk peraturan-peraturan perundang-undangan sendiri, karena disadari atau tidak, di setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, selalu akan melibatkan kepentingan-kepentingan politik, yang tidak lain adalah kepentingan dari partai politik yang ada di dalam Lembaga Legislatif.
    Seringkali terasa sulit untuk menjadikan suatu Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Selain karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) di lingkungan Legislatif, juga dikarenakan adanya benturan antara berbagai kepentingan di dalam pembentukan Undang-Undnag. Sementara itu, para Legislator juga sering melupakan Filosofi dari Sistem Hukum di Indonesia. Banyak yang tidak mengetahui mengapa Sistem Hukum di Indonesia masih berkiblat pada Sistem Hukum Eropa Kontinental, namun produk perundang-undangan yang dihasilkan lebih banyak berkiblat pada Sistem Hukum Anglo Saxon. Untuk itu, kita perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai Filosofi dari Sistem Hukum di Indonesia.

BAB II RUMUSAN MASALAH
    Dari latar belakang masalah tersebut, maka timbul suatu permasalahan yaitu “Apakah yang menjadi Filosofi dari Sistem Hukum di Indonesia ?”

BAB III PEMBAHASAN
    Sebelum membahas lebih lanjut mengenai Hukum dan Keadilam, maka haruslah kita mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud dengan HUKUM, SISTEM HUKUM, FILSAFAT HUKUM dan apa yang dimaksud dengan FILOSOFI SISTEM HUKUM DI INDONESIA
A.    HUKUM
Banyak doktrin yang membahas mengenai Apa itu HUKUM, apa manfaat atau tujuan dari adanya HUKUM dan lain sebagainya. Secara garis besar, HUKUM dapat diartikan dari 2 (dua) sisi yang berbeda, yaitu :
1.    Hukum  sebagai kumpulan kaidah (das Sollen);
2.    Hukum  sebagai gejala masyarakat (das Sein) ;
Kedua sisi dari HUKUM tersebut dikarenakan tiada HUKUM tanpa masyarakat dan tiada masyarakat tanpa HUKUM.  Sebagaimana dikemukakan oleh ARISTOTELES, bahwa “Manusia adalah zoon politicon”, maka dengan adanya pergaulan dalam masyarakat tersebut yang akhirnya menimbulkan adanya HUKUM .
Sangat tidak mudah untuk mengartikan HUKUM, karena banyak aspek, ragam, jenis maupun jumlahnya. Kata HUKUM yang berasal dari istilah asing yaitu RECHT (Inggris), recht (Belanda), Recht (Jerman), Diritto (Italia) maupun Droit (Perancis), yang masing-masing memiliki arti dan pengertian tersendiri, tergantung pada masing-masing masyarakatnya. Dan hal yang penting ialah bahwa SUBYEK dari HUKUM adalah manusia, anggota dari suatu masyarakat.
Prof. Sudikno Mertokusumo mengatakan, “Hukum meliputi seluruh kehidupan manusia dan adanya Hukum untuk menata masyarakat.  Sedangkan IImmanuel Kisch menyebutkaan bahwa, “Hukum tidak bisa ditangkap oleh Panca Indera sehingga tidak akan ada definisi yang memuaskan tentang Hukum.”  John Austin menyatakan bahwa, “Hukum adalah perintah dari Kekuasaan Politik yang berdaulat dalam suatu Negara’”
Dari berbagai pengertian mengenai HUKUM tersebut akhirnya menimbulkan berbagai Sistem Hukum, yaitu “Suatu susunan atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.” 
B. SISTEM HUKUM
Ada beberapa SISTEM HUKUM yang telah kita kenal selama ini, yaitu :
1.    Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) :
Pada awalnya system ini berasal dari kodifikasi Hukum  yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa Kekaisaran Justianus (Abad VI SM), dimana peraturan-peraturan Hukum nya kumpulan dari kaidah Hukum  yang ada sebelum masa Justianus (“Corpus juris civilis”).
Sistem Hukum ini mempunyai prinsip utama yaitu “Hukum memperoleh kekuatan Hukum mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan yang berbentuk Undang-Undang dan tersusun secara sistematis di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu.” Sistem ini membagi HUKUM menjadi 2 (dua) yaitu Hukum Publik dan Hukum  Privat.
2.    Sitem Hukum  Anglo Saxon (Anglo Amerika) :
Sistem ini sering pula disebut sebagai Sistem Common Law dan Sistem Unwritten Law. Sumber Hukum  pada Sistem Hukum  Anglo Saxon ini adakah putusan-putusan Hakim atau Pengadilan (Yudicial Decision), melalui putusan Hakim yang diwujudkan kepastian Hukum , maka prinsip dan kaidah Hukum  dibentuk dan menjadi kaaidah yang mengikat.
Dalam system ini, Hakim memiliki peranan yang luas, tidak hanya berfungsi untuk menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan Hukum saja tetaapi mereka juga berwenang untuk menciptakan prinsip-prinsip Hukum  baru.
3.    Sistem Hukum  Adat :
Merupakan system Hukum yang berkembang di wilayah Asia termasuk Indonesia, berasal dari istilah ADATRECHT, yang diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje. Sistem ini berkembang dari Hukum  Adat yang hidup di tengah masyarakat dimana Hukum  tersebut sebagian besar berbentuk tidak tertulis. Pada umumnya Hukum adapt antara satu daerah berbeda dengan Hukum  adapt di daerah lain. Menurut Mr. C. Van Vollenhoven, di Indonesia terdapat 19 (sembilaan) belas lingkungan Hukum adat.
4.    Sistem Hukum  Islam :
Sistem Hukum  ini awalnya berkembang di Negara-Negara Arab, kemudian berkembang ke Negara-negara lain seperti Asia, Afrika, Amerika dan Eropa secara individual dan kelompok. Sistem Hukum ini bersumber pada :
a.    Al-Qur’an, yaitu Kitab suci dari kaum muslimin yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasulnya dengan perantaraan Malaikat Jibril.
b.    Hadist/Sunnah Nabi, yaitu cara hidup dari Nabi Muhammad atau hadist mengenai Nabi Muhammad.
c.    Ijma, yaitu kesepakatan dari para ulama besar mengenai sesuatu hal.
Hal tersebut sesuai dengan Wasiat Rasulullah yang artinya adalah, “Aku telah meninggalkan pada kalian 2 (dau) perkara. Kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
Pelanggaran terhadap kaedah atau norma keagamaan ini akan mendapatkan sanksi dari Tuhan Yang Maha Esa yang berupa siksaan di Neraka. Contoh kaidah kepercayaan atau agama, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an pada Surah An-Nisa ayat 29 dan 30 yaitu :
……Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (29). Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka….(30).
5.    Sistem Hukum  Asia Timur :
Yaitu Sistem Hukum yang berkembang di daratan Asia Timur seperti Jepang, Cina dan Korea. Sistem Hukum ini bersumberkan pada Hukum Adat yang dipadukan dengan Hukum Modern.
6.    Sistem Hukum  Afrika :
Yaitu Sistem Hukum yang berkembang di Negara-Negara Afrika yang bersumberkan pada Hukum Adat dan Hukum Islam.
Bahwa dari Teori-teori tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa para ahli Hukum memandang terdapat 2 (dua) sumber Hukum  yaitu :
1)    Sumber Hukum  Formal, yaitu Sumber Hukum  yang dirumuskan dalam suatu bentuk sehingga menyebabkan Hukum  itu berlaku umum, mengikat dan ditaati ;
2)    Sumber Hukum  Materiil, yaitu Sumber Hukum  yang menentukan isi Hukum  itu ;
C.S.T.Kansil meninjau Sumber Hukum dari Segi Materiil dan dari Segi Formal, yaitu :
1.    Sumber Hukum  Materiil : dapat ditinjau lagi dari pelbagai sudut, misalnya dari sudut sejarah, ekonomi, sosiologi dan filsafaat
2.    Sumber Hukum  Formal antara lain :
a.    Undang-Undang (Statute), yaitu suatu keputusan negara yang tertulis dibuat oleh alat perlengkapan Negara yang berwenang (bersama-sama oleh DPR dan Presiden) dan mengikat masyarakat, dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
1)    Undang-Undang dalam arti materiil (luas), yaitu yaitu semua peraturan atau keputusan tertulis yang menurut isinya mengikat setiap orang secara umum dan dibuat oleh penguasa (pusat ataupun daerah) yang sah, yang dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu :
a)    Peraturan Pusat (Algemene Verordening), yakni peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berlaku di seluruh atau sebagian wilaah Negara ;
b)    Peraturan Setempat (Locale Verordening), yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa setempat dan hanya berlaku di tempat atau daerah itu saja ;
2)    Undang-Undang dalam arti formal (sempit), yaitu peraturan tertulis yang dibentuk oleh alat perlengkapan Negara yang berwenang (bersama-sama oleh DPR dan Presiden)
b.    Kebiasaan (Custom), yaitu perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama yang merupakan suatu bukti bahwa banyak orang menyukai perbuatan tersebut ;
c.    Yurisprudensi, yaitu Keputusan Hakim yang terdahulu yang diikuti dan dijadikan dasar keputusan Hakim kemudian mengenai masalah yang sama ;
d.    Traktat (Perjanjian Antar Negara), yaitu Persetujuan (perjanjian) yang dilakukan oleh 2 (dua) Negara atau lebih. Prof. Muchtar Kusumaatmaja mengatakan “Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat Hukum  tertentu” ;
e.    Doktrin (Pendapat Sarjana Hukum ), yaitu ajaran dari seorang ahli Hukum  ;
Dari berbagai Sistem Hukum sebagaimana dijelaskan di atas tersebut, sesungguhnya adalah penjabaran untuk mecapai apa yang menjadi tujuan dari adanya HUKUM itu sendiri. Badan-badan penegak Hukum sebagai pemegang wewenang Hukum harus memahami Hukum yang diterapkannya.  Oleh sebab itu, maka beberapa Sarjana memberikan penafsiran mengenai Apa yang menjadi tujuan dari adanya Hukum, sehingga muncul berbagai TEORI mengenai Tujuan Hukum .
Selanjutnya, perlu dibahas pula berbagai TEORI mengenai Tujuan Hukum , yaitu :
I.    TEORI ETIS (ETISCHE THEORIE) :
Teori ini pada intinya menyatakan bahwa Tujuan Hukum semata-mata diletakkan pada perwujudan KEADILAN yang semaksimal mungkin/sebanyak-banyaknya di dalam tertib masyarakat. Dalam Teroi ini yang diutamakan dari Tujuan HUKUM adalah KEADILAN berdasarkan keseimbangan atau kesebandingan.
Akan tetapi dalam perkembangannya, Teori ini mengalami kesulitan dalam hal mengukur KEADILAN, karena KEADILAN dalam Teori ini bukanlah keadilan yang mutlak/absolute yang berdasarkan kesamarataan.
Pengikut dari Teori Etis ini diantaranya adalah Aristoteles dan Genly.
II.    TEORI UTILITIS (UTILITIES THEORIE) :
Dalam Teori ini, mengajarkan bahwa Tujuan HUKUM adalah KEMANFAATAN atau KEBAHAGIAAN bagi manusia atau orang sebanyak-banyaknya (The greatest happiness for the greatest number).
Dalam perkembangannya, Teori Utilitis inipun mengalami kesulitan dalam hal mengartikan siapa orang yang sebanyak-banyaknya tersebut serta apa ukuran kemanfaatan dan kebahagiaan tersebut.
Pengikut dari Teori Utilitis ini diantaranya adalah Jeremy Bentham, John Austin dan J.S. Mill.
III.    TEORI CAMPURAN (GEMENDE THEORIE) :
Ketika Teori Etis dan Teori Utilitis mengalami kesulitan dalam perkembangannya, maka muncul Teori Campuran (Gemende Theorie) yang mengajarkan Tujuan HUKUM bukan hanya mencapai keadilan tetapi juga kemanfataan (justice et utulitas). Intinya, Teori ini mengajarkan bahwa untuk menuju ketertiban masyarakat yang damai melalui keadilan dan kemanfaatan Hukum, misalnya, adanya fakta pengemis dan gelandangan, maka solusi apa yang tepat digunakan?
Para penganut Teori Campuran ini diantaranya adalah J. Schrasset dan Bellefroid.
Pada perkembangannya, Teori Campuran ini berkaitan dengan hubungan antara HUKUM  dengan Perkembangan Sosial, sebagaimana diuraikan oleh DR. Satjipto Rahadjo, SH, dalam bukunya Hukum  dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis serta pengalaman-pengalaman di Indonesia, yang mengatakan “Pengkajian mengenai hubungan antara HUKUM dan Perubahan Sosial menyebabkan perlunya dibicarakan pula tempat HUKUM  dalam masyrakat atau hubungan HUKUM dengan tertib sosial  yang lebih luas.  Selanjutnya Prof. DR. Satjipto Rahardjo,SH, mengatakan bahwa, “Perubahan sosial tidak timbul dengan serta merta begitu saja melainkan proses kejadiannya sudah bisa diikuti sejak lama sebelumnya.  Akan tetapi, kemudian akan timbul pertanyaan, Apakah HUKUM mampu untuk mengikuti perubahan sosial dalam rangka Tujuan Hukum untuk mencapai keadilan dan kemanfaatan?
Friedman dan Ladinsky pernah melakukan penyelidikan pertumbuhan dari The Worksmen’s Compensation Act di Amerika Serikat, yang menyimpulkan bahwa dibutuhkan waktu 50 (lima puluh) tahun (1850 – 1909) bagi HUKUM  untuk mengejar ketertinggalan perubahan sosial  di Amerika.  Pembangunan Hukum merupakan suatu usaha yang tidak berdiri sendiri malainkan yang perlu dilihat kehadirannya dalam suatu konteks tertentu yaitu perubahan sosial dan modernisasi.
C. FILSAFAT HUKUM
Dalam Ilmu Hukum dikenal bebragai macam teori mengenai Hukum, yaitu Mahzab Historis, Mahzab Positivis, Mahzab Hukum Murni, Mahzab Dialektis dan Mahzab Realis.
I.    Mahzab Historis
Friedrich Carl von Savigny mengatakan bahwa, “Hukum tidaklah berada demi dirinya sendiri, tetapi terjadi dan berada karena dikehendaki dan Hakikat Hukum lahir karena manusia yang membutuhkan hukum dalam hidupnya (yang seharusnya lebih banyak dikendalikan oleh akalnya dan sedikit sekali oleh nalurinya.”  Pendapat dari Von Savigny inilah yang menjadi tonggak kehadiran Mahzab Historis.
Pendapat dari Von Savigny ini dikembangkan oleh Georg Friedrich Puchta yang meletakkan dasar bagi ajaran Begriffsjurisprudenz, yang pada pokoknya meneranngkan bahwa “Kaidah-kaidah hukum ditarik secara deduktif dari pengertian-pengertian dasar.”
Meski demikian, Mahzab Historis ini mengandung kelemahan, yaitu meskipun Mahzab ini berpandangan bahwa “Vox populi vox Dei (pendapat rakyat adalah pendapat Tuhan)” tetapi dalam prakteknya, semakin banyak pendapat rakyat yang jauh dari kaidah-kaidah keagamaan (pendapat Tuhan).
II.    Mahzab Positivis
Mahzab ini mula-mula diperkenalkan oleh Saint Simon dan dikembangkan lagi oleh Auguste Comte. Mahzab ini adalah aliran pemikiran yang bekerja berdasarkan empirisme dalam upaya untuk merespon keterbatasan yang diperlihatkan oleh filsafat spekulatif yang menonjol lewat aliran Idealisme Jerman.
Auguste Cmte menjelaskan bahwa “Kemajuan masyarakat manusia berlangsung menurut Hukum Tiga Stadium, yaitu dalam STADIUM TEOLOGIS, alam semesta diterangkan secara supra natural, dalam STADIUM FILSAFAT, semua hal ada diterangkan dengan kekuatan akal dan gagasan, sedangkan dalam STADIUM POSITIF, pemaduan aneka gejala itu dimungkinkan dalam bentuk hukum.”
III.    Mahzab Hukum Murni
Mahzab ini dipelopori oleh Rudolf Stamler, Gustav Radburch dan Hans Kelsen, yang kembali mempermasalahkan pemisahan antara das Sollen (yang harus) dengan das Sein (yang ada).
Hans Kelsen berusaha untuk mengembalikan seluruh kompleks hukum kepada suatu kaidah dasar yang disebut GRUNDNORM dan di atas GRUNDNORM itu dibangunnya STUFENBAU, yaitu Struktur Hukum dan peraturan-peraturan untuk melaksanakan gagasan keadilan yang dikandung oleh Grundnorm.
IV.    Mahzab Dialektis
Mahzab ini berkembang sebagai reaksi terhadap Marxisme Dogmatik yang dipelopori oleh V.I. LENIN, J.V.D. STALIN, MAO ZEDONG dan ERNS BLOCH.
Mahzab ini mengatakan bahwa “hukum tidak dimengerti sebagai tata norma yang abstrak, melainkan sebagai kaitan yang dialektis antara norma dan perwujudannya.” Lebih lanjut, Mahzab ini memandang situasi di Amerika Serikat dan eropa Barat yang didominasi oleh sistem kapitalis liberal sebagai sesuatu yang tidak dapat dipertahankan karena dampaknya yang tidak adil, sekalipun liberalisme itu adalah bagian dari hak asasi manusia.
V.    Mahzab Realis
Pendukung Mahzab ini disebut juga sebagai kaum NEOPOSITIVIS, antara lain JULIUS STONE, H.L.A HART, ROSCOE POUND dan JOHN RAWLS, yang berorientasi kepada sang tokoh empirisme Inggris DAVID HUME. Mahzab ini memandang bahwa “Hukum merupakan refleksi dari kebudayaan sebagai kompleks dari perilaku manusia dan Hukum karena itu sebenarnya merupakan rumusan dari kepentingan hidup manusia.
Mahzab ini dapat dibagi menjadi 3 (tiga aliran), yaitu :
a.    Aliran Teori Analistis, yang dirintis oleh John Austin, yang memandang bahwa Hukum harus ditemukan dalam Undang-Undang yang ditetapkan oleh penguasa yang berdaulat ;
b.    Aliran Neokantian, yang diwakili oleh Hans Kelsen, yang mengatakan Hukum sebagai tatanan Normatif yang memaksa perilaku manusia ;
c.    Aliran Teori Empiris, yang dipelopori oleh J. Raz, yang mendekati hukum secara empiris semata dan menolak dialekta.

D. FILOSOFI SISTEM HUKUM INDONESIA
Dari berbagai Teori tersebut, Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah
1.    Norma fundamental negara
2.    Aturan dasar negara
3.    Undang-undang formal. dan
4.    Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.
    Hans Kelsen pernah menjelaskan dalam teorinya menyebutkan sebagai berikut :
Dasar berlakunya dan legalitas suatu kaedah terletak pada kaedah yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa yang menjadi dasar berlakunya suatu ketetapan adalah peraturan, dasar berlakunya suatu peraturan adalah Undang-Undang, dasar berlakunya Undang-Undang adalah Undang-Undang Dasar dan akhirnya dasar berlakunya Undang-Undang Dasar adalah kaedah dasar (grund norm).
Secara sederhana, Stufenubau theorie Hans Kelsen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, kita dapat memban¬dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1)  Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)  Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)  Formell gesetz: Undang-Undang.
4)  Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota.
Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari Norma Dasar yang berada di puncak piramid kemudian semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma Dasar teratas adalah abstrak dan makin ke bawah semakin konkret.
Sehingga dengan demikian, maka Pancasila seharusnya merupakan Filosofi dari Sistem Hukum Indoensia. Hal ini dikarenakan nilai-nilai dalam Pancasila, menjiwai dari peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Akan tetapi, dalam kenyataan, banyak sekali peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang meskipun di dalamnya mencantun=mkan Pancasila sebagai dasar dari pembentukan Undang-Undang tersebut, akan tetapi di dalam penjabaran pasal-pasalnya banyak yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan lebih mengedepankan nilai-nilai Kapitalis, sehingga Undang-Undang tersebut menjadi tidak bisa diterapkan di dalam kehidupan masyarakat. Dan apabila suatu Undang-Undang tidak dapat diterapkan di dalam kehidupan masyarakat, maka Undang-Undang tersebut tidak memberikan kemaanfaatan dan rasa keadilan bagi masyarakat, sehingga akan menjadi mubazir segala daya upaya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sejatinya, dari uraian-uraian tersebut di atas, yang pokok adalah, keadilan macam apakah yang hendak dicapai dengan HUKUM dan kemanfaatan bagi siapa HUKUM  tersebut.
Plato menerangkan bahwa “Timbulnya keadilan bila tiap-tiap kelompok atau golongan (filsafat, tentara, pekerja) berbuat apa yang sesuai dengan tempat dan tugasnya” ;

BAB IV KESIMPULAN
Bahwa dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa seharusnya dalam proses pembentukan suatu Undang-Undang sebagai pengejawantahan dari Sistem Hukum yang ada di Indonesia, para pembentuk Undang-Undang tetap harus menadasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, sebagai Norma Dasar (GRUNDNORM) bagi bangsa Indonesia, sehingga demikian maka akan terjadi keadasaran hukum dari warga masnyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, “Kesadaran hukum yang tinggi mengakibatkan warga masyarakat mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Sebaliknya apabila kesadaran hukum sangat rendah, maka derajat kepatuhan terhadap hukum juga tidak tinggi”.

DAFTAR PUSTAKA



I. Daftar Buku Bacaan

1.    H.M. Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang. 
2.    ARIEF SIDARTA, HUKUM DAN LOGIKA, 1992, Penerbit ALUMNI – BANDUNG.
3.    Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers – Jakarta.
4.    Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2012, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu.
5.    Indrati Rini, Pengantar Ilmu Hukum  – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM  Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
6.    Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum , 2007. Penerbit SInar Grafika – Jakarta.
7.    Indrati Rini, Teori Hukum   – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM  Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
8.    Wahyono, Pengantar Hukum  Indonesia –  Matrikulasi Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM  Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
9.    Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, 2011, Penerbit Ghalia, Bogor.
10.    Curzon L.B, Jurisprudence, M & E Handbook.
11.    H.Abdul Latif dan H.hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
12.    Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 2009, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

II. Daftar Link Internet
1.    http://tugasdanmakalah.blogspot.com/2010/02/bab-i-pendahuluan-1.html
2.    http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2011/06/memahami-ilmu-hukum-dari-perspektif.html
3.    http://francmartinno.blog.friendster.com/2009/01/penerapan-nilai-nilai-pancasila/
4.    http://suhendarabas.blogspot.com/2011/05/stufenbau-teori-hans-kelsen-dan.html
5.    http://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hans-kalsenhans-nawiaski-di.html
6.    http://mengenalhukumindonesia.blogspot.com/2012/01/makalah-piramida-hukum-nasional.html
7.    http://news.okezone.com/read/2013/10/03/339/875682/redirect, 11 Nopember 2013.
8.    http://m.poskotanews.com/2013/10/10/pakar-penangkapan-ketua-kpk-korupsi-yang-sempurna/,11  Nopember 2013
9.    http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/04/penangkapan-ketua-mk-diharapkan-berikan-efek-jera, 11 Nopember 2013
10.    http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/04/penangkapan-ketua-mk-diharapkan-berikan-efek-jera, 11 Nopember 2013
11.    http://m.poskotanews.com/2013/10/10/pakar-penangkapan-ketua-kpk-korupsi-yang-sempurna/,11  Nopember 2013
12.    http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/11/06/mvu1kr-istana-semoga-ketua-mk-baru-bisa-tuntaskan-harapan-masyarakat, 11 Nopember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...