Selasa, 19 November 2019

E-Court dan E-Litigation

Dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2018, Mahkamah Agung bermaksud untuk mempermudah para pencari keadilan untuk beracara secara keperdataan di persidangan di pengadilan. 
Selama ini proses persidangan perkara perdata di pengadilan benar-benar membuat frustasi para pencari keadilan, Sidang yang berlarut-larut, calo perkara yang berkeliaran bebas, ruang sidang yang sempit dan berbagai masalah akan ditemukan dalam persidangan dipengadilan di masa lampau.
Saat ini Mahkamah Agung berusaha untu memudahkan para pencari keadilan, salah satu caranya adalah bersidang secara daring (online), pertanyaannya mungkinkah itu? Secara teori hukum, memang belum ada yang bisa menjawabnya, khusus untuk hukum Indonesia. Secara teori, persidangan harus dilakukan di ruang sidang di gedung Pengadilan, khusus untuk perkara Perdata, dimulai sejak dibacakannya surat gugatan/permohonan sampai dengan dijatuhkannya putusan.
Hal inilah yang dicoba untuk diputus rantai prosedurnya, setidaknya tidak semua proses persidangan dilakukan di ruang sidang. Dengan E-Court, para pencari keadilan dapat mendafarkan surat gugatan/permohonannya melalui sistem daring (online), tentu dengan syarat bahwa para pencari keadilan tersebut atau kuasanya memiliki email yang khusus digunakan untuk berperkara di pengadilan. Kemudian pada tahap sidang pertama, Majelis Hakim akan menawarkan kepada pihak Tergugat untuk berpekara melalui E-Court, yaitu proses jawab jinawab dilakukan melalui email (hal ini hanya berlaku sampai dengan akhir tahun 2019), apabila pihak Tergugat tidak setuju maka sidang dilanjutkan secara manual yaitu dilakukan di ruang sidang, namun apabila Tergugat setuju, maka proses jawab jinawab dilakukan melalui email (sejak awal tahun 2020, semua persidangan perdata dilakukan secara daring/online). Hal ini yang disebut sebagai E-Litigation atau persidangan secara daring/online, bahkan sampai tahap penjatuhan putusan.
Diharapkan dengan E-Court dan E-Litigation, akan memotong proses birokrasi persidangan dan juga memotong biaya perkara, khususnya yang sering dikeluhkan oleh para pencari keadilan, bahwa persidangan sering berlarut-larut, sehingga para pihak harus membayar biaya perjalanan dari tempat tinggalnya ke kantor pengadilan dengan biaya yang cukup besar. Disamping itu, juga untuk menghilangkan kebiasaan berperkara melalui calo-calo perkara yang seringkali tidak bertanggung jawab dan justru merugikan para pencari keadilan itu sendiri.
Berhasil tidaknya E-Court maupun E-Litigation sangat bergantung pada aparat pengadilan itu sendiri disamping dukungan masyarakat yang optimal, sehingga ke depannya bisa diharapkan adanya lembaga peradilan yang benar-benar bersih dari praktek-praktek menyimpang yang merugikan para pencari keadilan. SEMOGA.

Senin, 11 November 2019

Waspada Lingkungan Saat Musim Hujan

Musim hujan mulai mendatangi kita di beberapa wilayah Indonesia. Meskipun masih ada wilayah yang mengalami bencana kekeringan, namun, sudah banyak wilayah yang sudah dibasahi oleh air hujan.
Menjadi kewaspadaan kita semua, bahwa seringkali kita abai terhadap kebersihan lingkungan di sekitar kita. Adakah diantara kita yang sudah membersihkan selokan atau saluran air di sekitar rumah kita? Atau adakah diantara kita yang sudah ikut serta dalam upaya penanaman pohon di lingkungan kita? Atau adakah diantara kita yang sudah turut menjaga lingkungan dengan tidak menebang pohon? Atau tidak membakar lahan? Di saat musim kemarau keabaian kita mungkin tidak akan menjadi seseuatu bencana, khusus terhadap pembakaran hutan dan lahan, bisa menyebabkan bencana asap, namun apabila hal-hal yang sudah disebutkan di atas tidak kita lakukan di saat musim hujan beum datang, maka niscaya akan menjadi bencana di musim hujan.
Sudah tidak terhitung lagi nilai kerugian yang diderita warga masyarakat akibat bencana banjir. Namun kiranya hal tersebut belum bisa menyadarkan kita bahwa kita ikut bertanggungjawab atas terhindarnya bencana banjir di saat musim hujan.
Menjadi tugas kita bersama untuk saling mengingatkan bahwa ada bahaya besar mengancam ketika musim hujan sudah datang dan kerugian yang diderita tidak hanya kerugian yang bersifat materiil namun juga bisa mengakibatkan korban jiwa, Meskipun tanggung jawab untuk menyiapkan sarana dan prasarana menghadapi musim hujan ada di tangan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, namun tetap menjadi tugas kita bersama untuk tetap mengingatkan kesiapan Pemda supaya bisa terhindar dari bahaya banjir dan efek sampingan lainnya,
Bencana adalah menjadi tanggung jawab kita bersama.

HOMO HOMINI LUPUS

Homo Homini Lupus
Secara harfiah dapat diartikan sebagai "Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain." Benarkah demikian? Mari kita ulas secara singkat. Istilah ini diperkenalkan oleh filusuf Yunani yang bernama PLAUTUS pada tahun 195 SM (Sebelum Masehi), kemudian dipopulerkan oleh THOMAS HOBBES, untuk menggambarkan betapa sebenarnya sangat sengit persaingan diantara manusia yang satu dengan yang lain.
Mau contoh yang ada di sekitar kita? Gampang, sebentar lagi akan dibuka pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk berbagai instansi Pemerintah. Dari pendaftaran tersebut akan terlihat bagaimana jumlah yang akan diterima sangat berbanding terbalik dengan jumlah yang mendaftar. Itu baru contoh yang sangat mudah terlihat, bagaimana manusia yang satu akan bersaing (secara sehat) dengan manusia yang lain untuk mendapatkan pekerjaan yang diidamkan.
Bagaimana dengan contoh yang lain? Dalam dunia klenik terkenal istilah "Cinta ditolak dukun bertindak." Sebuah ungkapan bahwa segala daya upaya akan diupayakan oleh manusia untuk mendapatkan cinta yang diharapkan.
Masih banyak lagi bentuk persaingan antar manusia yang satu dengan manusia yang lain. Bahkan seringkali benar-benar seperti serigala yang tidak segan untuk saling bunuh demi tercapainya keinginan yang diharapkan.
Banyak contoh perkara pembunuhan disebabkan karena persaingan usaha dagang, persaingan mendapatkan pasangan hidup dan sebab-sebab lainnya. Hal ini membuktikan bahwa istilah tersebut ada di tahun 195 SM namun masih relevan hingga saat ini dan mungkin akan tetap relevan hingga dunia ini berakhir riwayatnya. Lalu apa yang harus kita lakukan supaya tidak terjebak dalam tindakan yang termasuk sebagai istilah ini? Tentunya kita harus bisa mawas diri selain kita harus tetap meningkatkan kualitas pengetahuan kita. Selain itu kita juga harus bisa membaur dengan masyarakat di sekitar kita. Nenek moyang kita selalu mengatakan "Kita junjung langit dimanapun kita tinggal." Istilah ini mempunyai arti yang sangat mendalam, yaitu kita harus bisa menerima dan menghormati budaya, tata cara hidup dan kebiasaan (positif) yang hidup dalam lingkungan masyarakat di sekitar kita. Apabila hal ini dilakukan, maka kita akan menjadi manusia yang penuh toleransi dalam menghadapi setiap perbedaan di sekitar kita. Dengan tingginya toleransi tentu setidaknya bisa menurunkan "tensi" sifat keserigalaan kita terhadap orang lain. Sekalipun harus bersaing maka kita bersaing secara sehat berdasarkan keilmuan yang kita miliki dan kita siap menerima apabila kita "kalah."
Harus dipahami bahwa tantangan bagi bangsa Indonesia sangatlah besar di masa yang akan datang. Pasar bebas ASEAN akan mulai berlaku tahun 2020 belum lagi pasar bebas ASIA maupun Dunia. SIapkah sumber daya manusia kita? Persaingan akan semakin ketat dan kita harus menyiapkan segalanya dari saat ini, meskipun terlambat akan tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali mempersiapkan kekuatan kita dalam menghadapi pasar bebas tersebut. Namun setidaknya kita harus mempunyai keyakinan bahwa kita mempunyai kemampuan dalam menghadapi pasar bebas. Kalaupun kita harus menjadi serigala, kita harus menjadi serigala yang lebih kuat dari serigala yang datang dari luar negara kita.
Demikian uraian singkat tentang istilah HOMO HOMINI LUPUS, sebagai tambahan pengetahuan bagi kita bersama. SEMOGA.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...