Dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2018, Mahkamah Agung bermaksud untuk mempermudah para pencari keadilan untuk beracara secara keperdataan di persidangan di pengadilan.
Selama ini proses persidangan perkara perdata di pengadilan benar-benar membuat frustasi para pencari keadilan, Sidang yang berlarut-larut, calo perkara yang berkeliaran bebas, ruang sidang yang sempit dan berbagai masalah akan ditemukan dalam persidangan dipengadilan di masa lampau.
Saat ini Mahkamah Agung berusaha untu memudahkan para pencari keadilan, salah satu caranya adalah bersidang secara daring (online), pertanyaannya mungkinkah itu? Secara teori hukum, memang belum ada yang bisa menjawabnya, khusus untuk hukum Indonesia. Secara teori, persidangan harus dilakukan di ruang sidang di gedung Pengadilan, khusus untuk perkara Perdata, dimulai sejak dibacakannya surat gugatan/permohonan sampai dengan dijatuhkannya putusan.
Hal inilah yang dicoba untuk diputus rantai prosedurnya, setidaknya tidak semua proses persidangan dilakukan di ruang sidang. Dengan E-Court, para pencari keadilan dapat mendafarkan surat gugatan/permohonannya melalui sistem daring (online), tentu dengan syarat bahwa para pencari keadilan tersebut atau kuasanya memiliki email yang khusus digunakan untuk berperkara di pengadilan. Kemudian pada tahap sidang pertama, Majelis Hakim akan menawarkan kepada pihak Tergugat untuk berpekara melalui E-Court, yaitu proses jawab jinawab dilakukan melalui email (hal ini hanya berlaku sampai dengan akhir tahun 2019), apabila pihak Tergugat tidak setuju maka sidang dilanjutkan secara manual yaitu dilakukan di ruang sidang, namun apabila Tergugat setuju, maka proses jawab jinawab dilakukan melalui email (sejak awal tahun 2020, semua persidangan perdata dilakukan secara daring/online). Hal ini yang disebut sebagai E-Litigation atau persidangan secara daring/online, bahkan sampai tahap penjatuhan putusan.
Diharapkan dengan E-Court dan E-Litigation, akan memotong proses birokrasi persidangan dan juga memotong biaya perkara, khususnya yang sering dikeluhkan oleh para pencari keadilan, bahwa persidangan sering berlarut-larut, sehingga para pihak harus membayar biaya perjalanan dari tempat tinggalnya ke kantor pengadilan dengan biaya yang cukup besar. Disamping itu, juga untuk menghilangkan kebiasaan berperkara melalui calo-calo perkara yang seringkali tidak bertanggung jawab dan justru merugikan para pencari keadilan itu sendiri.
Berhasil tidaknya E-Court maupun E-Litigation sangat bergantung pada aparat pengadilan itu sendiri disamping dukungan masyarakat yang optimal, sehingga ke depannya bisa diharapkan adanya lembaga peradilan yang benar-benar bersih dari praktek-praktek menyimpang yang merugikan para pencari keadilan. SEMOGA.
Selama ini proses persidangan perkara perdata di pengadilan benar-benar membuat frustasi para pencari keadilan, Sidang yang berlarut-larut, calo perkara yang berkeliaran bebas, ruang sidang yang sempit dan berbagai masalah akan ditemukan dalam persidangan dipengadilan di masa lampau.
Saat ini Mahkamah Agung berusaha untu memudahkan para pencari keadilan, salah satu caranya adalah bersidang secara daring (online), pertanyaannya mungkinkah itu? Secara teori hukum, memang belum ada yang bisa menjawabnya, khusus untuk hukum Indonesia. Secara teori, persidangan harus dilakukan di ruang sidang di gedung Pengadilan, khusus untuk perkara Perdata, dimulai sejak dibacakannya surat gugatan/permohonan sampai dengan dijatuhkannya putusan.
Hal inilah yang dicoba untuk diputus rantai prosedurnya, setidaknya tidak semua proses persidangan dilakukan di ruang sidang. Dengan E-Court, para pencari keadilan dapat mendafarkan surat gugatan/permohonannya melalui sistem daring (online), tentu dengan syarat bahwa para pencari keadilan tersebut atau kuasanya memiliki email yang khusus digunakan untuk berperkara di pengadilan. Kemudian pada tahap sidang pertama, Majelis Hakim akan menawarkan kepada pihak Tergugat untuk berpekara melalui E-Court, yaitu proses jawab jinawab dilakukan melalui email (hal ini hanya berlaku sampai dengan akhir tahun 2019), apabila pihak Tergugat tidak setuju maka sidang dilanjutkan secara manual yaitu dilakukan di ruang sidang, namun apabila Tergugat setuju, maka proses jawab jinawab dilakukan melalui email (sejak awal tahun 2020, semua persidangan perdata dilakukan secara daring/online). Hal ini yang disebut sebagai E-Litigation atau persidangan secara daring/online, bahkan sampai tahap penjatuhan putusan.
Diharapkan dengan E-Court dan E-Litigation, akan memotong proses birokrasi persidangan dan juga memotong biaya perkara, khususnya yang sering dikeluhkan oleh para pencari keadilan, bahwa persidangan sering berlarut-larut, sehingga para pihak harus membayar biaya perjalanan dari tempat tinggalnya ke kantor pengadilan dengan biaya yang cukup besar. Disamping itu, juga untuk menghilangkan kebiasaan berperkara melalui calo-calo perkara yang seringkali tidak bertanggung jawab dan justru merugikan para pencari keadilan itu sendiri.
Berhasil tidaknya E-Court maupun E-Litigation sangat bergantung pada aparat pengadilan itu sendiri disamping dukungan masyarakat yang optimal, sehingga ke depannya bisa diharapkan adanya lembaga peradilan yang benar-benar bersih dari praktek-praktek menyimpang yang merugikan para pencari keadilan. SEMOGA.