Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Catatan Bagian I
Sebuah karya besar bangsa Indonesia di bidang
hukum ketika bangsa Indonesia berhasil membuat sebuah Undang-Undang yang cukup
menarik perhatian masyarakat. Penerbitan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi tonggak kebangkitan
hukum pidana nasional.
Sebuah Undang-Undang yang cukup fenomenal
dikarenakan Rancangan Undang-Undang tersebut sudah digagas sejak tahun 1970an
dalam berbagai seminar, dsikusi dan berbagai macam kegiatan lainnya. Bahkan sempat
muncul beberapa naskah akademik yang diharapkan bisa menjadi dasar dari pembentukan
KUH Pidana baru. Namun semuanya gagal menjadi sebuah Undang-Undang, hal ini
tidak terlepas dari adanya berbagai kepentingan yang melatarbelakangi
pembentukan KUH Pidana baru.
Berbagai pertanyaan tentu akan timbul dengan
adanya KUH Pidana baru tersebut. Hal ini tentu wajar mengingat KUH Pidana baru
tersebut baru akan diberlakukan pada tahun 2015, berbeda dengan peraturan
perundang-undangan lainnya yang terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa
Undang-Undang tersebut berlaku sejak diundangkan. Mengapa berbeda? Hal ini
dikarenakan KUH Pidana baru membutuhkan sosialisasi yang tidak singkat,
mengingat dengan adanya KUH Pidana baru ini akan menghapuskan beberapa
ketentuan perundang-undangan yang sudah ada, atau setidaknya mengurangi
keberlakuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Ada beberapa hal yang menjadi sesuatu yang
baru di dalam hukum pidana Indonesia yang bisa menjadi catatan kita bersama. Beberapa
hal tersebut antara lain adalah :
1)
Diakuinya hukum adat atau hukum yang berlaku
di dalam masyarakat, hal ini diatur di dalam Pasal 2 KUH Pidana baru. Pada
kenyataannya, tidak semua daerah memiliki hukum adat dan hukum adat yang
berlaku di satu daerah belum tentu dapat diterapkan di daerah lain, hal ini
bisa menimbulkan ketidak pastian hukum dan ketidakadilan;
2)
Adanya kerancuan pemidanaan apabila seseorang
melakukan tindak pidana (misalkan dilakukan pada tahun 2025) kemudian baru
tertangkap pada tahun 2027 dan sebelum pelaku tertangkap ada perubahan
perundang-undangan yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku
tersebut bukan merupakan tindak pidana, apakah pelaku tindak pidana tersebut
otomatis akan dibebaskan atau setidaknya tidak dilakukan proses hukum terhadap
yang bersangkutan? (lihat Pasal 3 KUH Pidana baru);
3)
Hal yang sama adalah apabila seorang
Terpidana yang sedang menjalani pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang lama kemudian ada perubahan peraturan perundang-undangan yang baru yang
menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Terpidana tersebut bukan merupakan
tindak pidana, apakah otomatis Terpidana harus dibebaskan? (lihat Pasal 3 KUH
Pidana baru);
4)
Tentang pengulangan tindak pidana (residive),
dalam KUH Pidana yang baru sesuatu pengulangan tindak pidana hanya dapat
diberlakukan terhadap tindak pidana yang mempunyai ancaman pidana minimum
khusus, pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, atau pidana denda paling
sedikit kategori III, bagaimana dengan tindak pidana yang ancaman pidananya
kurang dari 4 (empat) tahun? (lihat ketentuan Pasal 23 ayat (2) KUH Pidana
baru);
5)
KUH Pidana baru ini hanya mengenal alasan
PEMBENAR sebagai pengecualian tindak pidana namun tidak mengatur mengenai
alasan PEMAAF, padahal kedua alasan tersebut mempunyai hakekat pengertian yang
berbeda. (lihat Pasal 12 ayat (3) dan ketentuan Pasal 31 s/d Pasal 35 KUH
Pidana baru). BERSAMBUNG.
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/234935/uu-no-1-tahun-2023