Sebuah
prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai
informasi saja, saya sudah berantau dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2023
dikarenakan tugas saya sebagai abdi negara dan sebelumya dari tahun 1991 sampai
dengan tahun 1998 hidup jauh dari orangtua karena kuliah. Bagi yang pernah
merantau, tentau pernah merasakan bagaimana sulitnya kita beradaptasi dengan
masyarakat setempat, termasuk juga segala sesuatu yang berkaitan dengan
makanan. Apalagi saat kita dibatasi tidak boleh mengkonsumsi berbagai macam
makanan dikarenakan beberapa sebab, antara lain karena faktor kesehatan, atau
sebab yang lainnya. Akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi kita untuk
beradaptasi dengan daerah tempat tinggal kita.
1. Anak Rantau Adalah Pejuang Sejati
Setiap orang pasti
setuju jika dikatakan anak rantau adalah pejuang sejati, sebab bagi orang yang
merantau, pasti akan menemukan hal-hal yang baru yang tidak ditemukan di tempat
asalnya. Hal-hal baru bisa berupa budaya dari masyarakat di tempat kita tinggal
atau keadaan geografis tempat baru kita atau yang paling gampang ditemui yaitu perbedaan
makanan dan selera makan dari tempat baru. Banyak perantau yang sering kesuitan
beradaptasi perihal makanan, dikarenakan beberapa hal, seperti makanan di
tempat baru rasanya lebih manis dibandingkan makanan di tempat asalnya atau
makanan di tempat baru berasa lebih pedas dan lain sebagainya.
Tetapi itulah
hebatnya anak rantau, selalu bisa menemukan beradaptasi dengan daerah barunya. Keterbatasan
yang dialaminya tidak membuatnya menyerah tetapi justru menjadi tantangan bagi
anak rantau, apalagi ketika merantau harus membawa keluarga yaitu istri/suami
dan anak-anaknya. Anak rantau selalu mempunyai car beradaptasi dengan daerah
barunya dan hal ini menyebabkan anak rantau adalah seorang merupakan pejuang
sejati, dimanapun mereka merantau, bukan menjadi masalah besar, karena mereka
pasti bisa menemukan cara beradaptasi dengan hal-hal baru di tempatnya
merantau.
2. Kemampuan Bertahan Bagi Anak Rantau
Jangan tanyakan
kemampuan bertahan hidup bagi anak rantau. Bagi yang pernah merantau dari saat
sekolah/kuliah, tentu banyak hal yang bisa dilakukan sebagai cara bertahan
hidup, ditengah kiriman uang dari orangtuanya yang pas-pasan, yang hanya cukup
untuk kebutuhan hidup sehari-hari tanpa pernah diperhitungkan kebutuhan untuk
sekolah atau kuliahnya.
Secara pribadi, saat
saya kuliah saya sering memulung koran atau karton bekas untuk dijual kiloan
atau sesekali saya ikut acara doa di tempat perabuan orang China, kok bisa? Gak
lain gak bukan karena bila ikut acara doa disana, apalagi ditambah dengan kita
ikut nangis, tidak jarang kita dapat amplopan, yang isinya lumayan untuk ukuran
anak kuliah. Belum lagi, saya sering ikut membantu kawan-kawan yang akan
menerjemahkan buku kuliahnya yang berbahasa Inggris, lumayan honornya, bisa
buat nutup kebutuhan kuliah. Dan yang paling ektrem, saya mengantarkan
permohonan lelang proyek pembangunan di salah satu kota di selatan Pulau Jawa
yang jaraknya sekitar 60 km dari kota tempat saya tinggal. Lumayan, selain
dapat uang transport dari pemohon lelang, juga sering dapat tambahan uang
transport dari perusahaan yang melakukan lelang proyek, untuk informasi, di
tahun 1990an, lelang masih dilakukan secara manual, alias, permohonan lelang
masih berbentuk kertas dan harus diantar ke penerima lelang proyek dan belum
berdasarkan lelang digital seperti sekarang.
Bagi anak rantau
lain, pasti banyak cerita mengenai cara bertahan di tanah rantau demi
keberhasilan masa depannya. Dan hal tersebut yang menjadikan anak rantau
menjadi pribadi yang kuat, kreatif, bertanggung jawab dan pintar
bersosialisasi.
3. Dimana Tanah Dipijak
Jujur, saya belum
pernah merantau ke luar negeri, hanya sebatas keliling Indonesia saja. Dan karena
hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai makanan pokok nasi, maka saya
berprinsip dimana tanah dipijak, disanalah nasi dimakan. Prinsip ini berarti
bahwa saya harus menerima kenyataan bahwa di daerah rantau saya mempunyai
makanan dan selera makan yang berbeda dari daerah asal saya. Oleh karena itu
saya sadar bahwa saya harus bisa menyesuaikan diri dengan daerah rantau saya
tersebut, terlebih saat saya merantau ketika saya bertugas sebagai abdi negara,
saya turut membawa serta istri dan anak-anak saya. Oleh karena itu, saya harus
memberikan contoh bagaimana cara bertahan di tanah rantau, termasuk ke
anak-anak saya, khususnya dalam hal makanan dan selera makan di daerah rantau. Dan
alhamdulillah, saat ini kedua anak saya
juga merantau, anak pertama saya merantau ke pulau Kalimantan karena bekerja di
sana, sedangkan anak kedua merantau ke Turkiye karena kuliah di sana.
Anak rantau pasti
paham bagaimana sulitnya beradaptasi di daerah rantau tetapi bukan menjadi
penghalang untuk tetap bertahan di daerah rantau. Sebab di setiap masalah pasti
ada solusinya dan kita sebagai manusia dianugerahi akal budi yang harus
digunakan salah satunya adalah untuk memikirkan bagaimana kita bisa bertahan di
tanah rantau.
Sekali lagi, di mana
tanah dipijak, disanalah nasi dimakan, sebab jika kita sehat maka kita akan
menjadi insan yang produktif dan bisa menghasilkan karya demi negeri kita
tercinta Indonesia. Hidup anak rantau dan salam untuk anak rantau dimanapun
berada.