Selasa, 29 Maret 2016

Rabu, 23 Maret 2016

HUKUM

HUKUM harus dapat bersifat aspiratif yaitu menerima perkembangan dalam masyarakat terutama perkembangan tekhnologi, khususnya teknologi informasi, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya chaos dalam masyarakat.

Selasa, 15 Maret 2016

PRA PERADILAN


SEPINTAS MENGENAI PRA PERADILAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.  PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari warga negara yang sadar dan taat kepada hukum, tentunya akan membuat setiap individu di dalam masyarakat akan mengedepankan penyelesaian setiap sengketa atau perkara dengan cara yang damai dengan selalu mengutamakan asas musyawarah untuk mufakat. Meski demikian, akan selalu terdapat suatu perkara atau sengketa yang tidak bisa diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat, sehingga harus diselesaikan di muka persidangan.
Penyelesaian suatu perkara melalui persidangan tentunya membutuhkan teknik pembuktian yang jitu sehingga apa yang diinginkan dapat dikabulkan oleh Pengadilan. Bagi para pencari keadilan, segala macam cara pembuktian tentu akan dilakukan, dengan tujuan apa yang didalilkan menjadi terbukti dan bisa mendapatkan apa yang diminta atau dituntutnya. Oleh karenanya, kecermatan di dalam pembuktian dalil dalam suatu perkara, mutlak diperlukan, sehingga tidak membuang waktu dan tenaga dengan sia-sia.
Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.
Pengaturan mengeni tata cara proses penegakan hukum pidana sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun  1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang telah mengatur secara terperinci tugas masing-masing dari Aparat Penegak Hukum, dimulai sejak adanya laporan kepolisian maupun adanya aduan atas tindak pidana aduan sampai dengan proses eksekusi atas putusan Hakim oleh pihak Kejaksaan sebagai eksekutor putusan Hakim dan pelaksanaan pemidanaan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah dijabarkan secara terperinci mengenai tugas-tugas dari masing-masing Aparat Penegak Hukum dan juga dijelaskan mengenai hak-hak maupun kewajiban dari tersangka / terdakwa ataupun hak-hak dan kewajiban dari saksi / korban. Hal ini bertujuan untuk memperlancar proses penegakan hukum  (pro justisia) yang dimulai dari penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan Hakim.
Salah satu proses penegakan hukum yang saat ini menjadi perhatian masyarakat, yaitu mengenai pra peradilan. Keberadaan pra peradilan ini sebenarnya berguna sebagai alat introspeksi dari aparat penegak hukum, khususnya pihak Kepolisian dan Kejaksaan di dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan suatu tindak pidana.
Pengertian Praperadilan menurut Hartono adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja. Adapun yang dimaksud dengan materi pokoknya adalah materi perkara tersebut, misalnya perkara korupsi, maka materi pokoknya adalah perkara korupsi.[2]
Praperadilan, jika diartikan secara terminologi atau dipisah anatara kata pra dan peradilan. Pra beratti sebelum, sedangkan peradilan adalah proses penegakan hukum dalam mencari keadilan dalam sebuah institusi yang disebut pengadilan (adjudikasi). Kalau demikian, praperdilan lebih diartikan sebagai istilah yang sama dengan prajudikasi. Padahal prajudikasi lebih pada tingkat penyidikan, penyelidikan, dan setelah itu berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dalam bentuk requisitor yang masuk di area pengadilan. Proses pemerikasaan di pengadilan di sebut sebagai adjudikasi. Pra-adjudikasi yang disandingkan dengan praperadilan tidak tepat. Pasal 1 butir 10 memberikan arti yang berbeda. Praperadilan tidak diartikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan semata, melainkan adanya bantahan oleh tersangka, kuasa hukumnya, ahli waris, terhadap tidak sahnya tindakan penyidik dalam upaya paksa oleh penyidik terhadap penangkapan (arrest), penahanan (detention), penggelerdahan (searching) dan penyitaan (seizure) dan bantahan itu dapat diajukan kepengadilan negeri untuk dinilai oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat, yang diputuskan dalam waktu tujuh hari oleh pengadilan negeri.[3]

B.  PRA PERADILAN SEBAGAI ALAT INTROSPEKSI
Secara umum pra peradilan diatur di dalam pasal 77 – 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan. Pasal 77 menyebutkan, “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :
a.      Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;
b.      Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Penjelasan pasal 77 KUHAP ini hanya menyebutkan mengenai penghentian penuntutan, dengan menyatakan, “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.” Penjelasan ini tentunya dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, sehingga seharusnya terdapat penjelasan bahwa mengenai istilah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti rugi atau rehabilitasi menunjuk pada KETENTUAN UMUM sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 KUHAP.
Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya, bahkan hukum praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana. Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana.[4]
Di negara-negara yang memganut sistemn hukum Anglo Saxon, dikenal dengan adanya istilah Hakim Investigasi (Investigating Judge) yang merupakan salah satu aktor yang menjadi tunpuan harapan, agar terjamin tidak ada pelanggaran hak tersangka dan korban dalam tahap pra persidangan (pre trial justice.[5] Sedangkan dalam sistem hukum di Indonesia yang mengadopsi sistem hukum Continental Law, belum ada pengaturan mengenai Hakim Investigasi atau yang di dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara yang baru disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan, salah satunya sebagaimana diatur dalam pasal 58 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana.[6]
Praperadilan merupakan salah satu kewenangan pengadilan dan juga penerapan upaya paksa oleh Polisi dan Jaksa meliputi :[7]
·           Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80 KUHAP);
·            Ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan ditingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP);
·           Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82 ayat (1) b dan ayat 3 KUHAP);
·           Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat (2) KUHAP);
·           Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 97 ayat (3) KUHAP).
Apabila kita melihat pada pengaturan mengenai pelaksanaan pra persidangan, maka, secara singkat bahwa pihak penyidik, baik dari Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki pembatasan-pembatasan yang dipatuhi di dalam pelaksanaan tugas-tugasnya dalam melakukan penyidikan maupun penuntutan.
Terhadap ketentuan pasal 77 huruf a KUHAP, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 21/PUU-XII/2014, telah menjatuhkan putusan yang menegaskan ketentuan praperadilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.[8] Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memasukkan mengenai pemaknaan “minimal dua alat bukti” dinilai Mahkamah merupakan perwujudan asas due process of law untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia, masih terdapat beberapa frasa dalam KUHAP yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik.[9]
Dari putusan Mahkamah Konstusi tersebut kiranya tepat dikatakan bahwa dalam praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan Undang - Undang tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata - nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara.[10]
Dari yang semula hanya memeriksa sesuai ketentuan Pasal 77 KUHAP secara kaku, kemudian mulai “malu-malu” menerabas Pasal 77 KUHAP, hingga akhirnya penerabasan itu dikukuhkan dengan adanya putusan MK yang memperluas objek praperadilan. Berikut perubahan “wajah” praperadilan yang dirangkum oleh hukumonline :[11]
1)   Penetapan tersangka tidak sah
Putusan Sarpin mungkin menjadi putusan praperadilan yang paling fenomenal di tahun 2015. Putusan Sarpin terlihat mencolok, mengingat subjek pemohon praperadilan adalah seorang calon Kapolri. Selain itu, putusan Sarpin memicu gelombang praperadilan, khususnya praperadilan yang diajukan tersangka kasus korupsi di KPK. Putusan Sarpin diikuti pula oleh Haswandi dan Upiek. Namun, sebenarnya, sebelum putusan Sarpin, telah ada putusan serupa pada November 2012. Hakim tunggal Suko Harsono menyatakan tindakan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan tersangka kasus korupsi bioremediasi Chevron, Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka tidak sah. Terhadap putusan praperadilan ini, Kejagung sempat berupaya mengajukan kasasi. Pengajuan kasasi Kejagung ditolak di PN Jakarta Selatan, sehingga Kejagung mencoba meminta pembatalan dari Mahkamah Agung (MA) dan melaporkan Suko ke Badan Pengawasan MA. Akhirnya, putusan praperadilan tersebut dibatalkan dan Suko dikenakan sanksi.
2)   Penyitaan, penggeledahan, dan pemasangan police line tidak sah
Koordinator LSM MAKI, Boyamin Saiman yang juga pemilik “Boyamin Saiman Law Firm” pernah mempraperadilankan Polri karena pemasangan garis polisi (police line) di Fasilitas Penunjang Satuan Rumah Susun (Fasum) Apartemen Slipi. Pengurus dan penghuni memberikan kuasa kepada kantor hukum Boyamin untuk memperaperadilankan Polri. Pasalnya, kegiatan penggeledahan dan penyitaan yang dilanjutkan dengan pemasangan police line tersebut dilakukan aparat Kepolisian tanpa memberikan lampiran atau salinan apapun kepada pemohon. Alhasil, hakim tunggal Belman Tambunan mengabulkan praperadilan para pemohon yang diajukan ke PN Jakarta Barat pada Juli 2013. Belman menyatakan tindakan penyitaan yang dilakukan Polres Jakarta Barat terhadap Fasum Apartemen Slipi tidak sah. Ia juga memerintahkan Polres Jakarta Barat melepaskan penyegelan ruang-ruang Fasum dan pintu masuk, serta mencabut garis polisi di ruang serbaguna, sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Senada, pada 2008, PN Jakarta Selatan juga mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Direktur Utama PT IIS Semion Tarigan. Berdasarkan putusan praperadilan No. 10/Pld.Prap/2008/PN.Jkt.Sel tanggal 1 Juli 2008, penyitaan yang dilakukan Dirjen Pajak terhadap ratusan dus dokumen perpajakan 15 anak usaha Asian Agri dianggap tidak sah.
3)   Memerintahkan melanjutkan penanganan perkara yang berlarut-larut
Pada November 2010, Muspani yang ketika itu menjabat sebagai anggota DPD Bengkulu mempraperadilankan berlarut-larutnya pelimpahan perkara Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin ke PN Jakarta Pusat. Muspani menduga Kejagung telah menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara Agusrin di secara diam-diam. Akan tetapi, dalam persidangan, Kejagung membantah telah menghentikan perkara Agusrin. Oleh karena itu, hakim tunggal Supraja memerintahkan Kejagung untuk segera melimpahkan perkara Agusrin ke pengadilan. Dengan demikian, Supraja mengakui penanganan “perkara yang berlarut-larut tidak dilimpahkan ke pengadilan” sebagai objek praperadilan.
4)   Menyatakan penyidik Polri tidak berwenang
Putusan praperadilan petinggi PT Newmont Minahasa Raya (NMR) pada 2005 juga menjadi salah satu putusan praperadilan yang mencolok kala itu. Pasalnya, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Johanes E Binti menyatakan status tahanan kota dan wajib lapor enam orang petinggi NMR tidak sah menurut hukum. Dalam pertimbangannya, Johanes berpendapat, penyidik Polri dinilai tidak berwenang melakukan penyidikan, melainkan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Ia menganggap penyidikan yang dilakukan penyidik Polri tidak sah melanggar ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama Penegakan Hukum Lingkungan Satu Atap (SKB). Sama halnya dengan putusan praperadilan tersangka kasus gula impor ilegal, Abdul Waris Halid. Pada Juli 2004, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Effendi mengabulkan permohonan praperadilan Abdul. Effendi memerintahkan Mabes Polri membebaskan Abdul karena tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan Mabes Polri tidak sah. Effendi menyatakan penyidik Polri tidak berwenang menangani kasus gula impor ilegal. Penyidik yang berwenang menangani kasus Abdul adalah PPNS Bea dan Cukai. Kewenangan penyidikan oleh PPNS Bea dan Cukai itu sesuai dengan ketentuan Pasal 112 UU No.10 Tahun 1995 jo Pasal 6 UU No.8 tahun 1981 jo PP No.55 tahun 1996.
5)   Mengakui legal standing LSM
LSM MAKI tercatat beberapa kali mengajukan upaya praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Salah satunya, upaya MAKI mempraperadilankan berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi Sisminbakum atas nama tersangka Yusril Ihza Mahendra di Kejagung. Namun, permohonan MAKI ditolak hakim tunggal Ari Jiwantara.
Apanila kita memperhatikan, subyek hukum yang dapat mengajukan permohonan pra peradilan, maka yang dapat mengajukan Pra peradilan adalah :[12]
a.    Tersangka, yaitu apakah tindakan penahanan terhadap dirinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, ataukah penahanan yang dikenakan sudah melawati batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP ;
b.    Penyidik untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penuntutan ;
c.    Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan misalnya saksi korban.
 Dikabulkannya praperadilan juga harus ditinjau lagi secara adil apakah karena suatu sebab yang disengaja atau suatu sebab yang berasal dari luar proses penyidikan sehingga adanya pra peradilan adalah untuk menjaga agar penyidik tidak sewenang-wenang serta untuk mengawal agar proses penyidikan dan atau penuntutan berjalan dengan mekanisme yang diatur di dalam KUHAP.[13]
Oleh karena itu, meskipun masing-masing Aparat Penegak Hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mempunyai PROTAP (Prosedur Tetap) dan SOP (Standard Operating Procedure), akan tetapi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksaanan tugas-tugas dari Aparat Penegak Hukum tersebut. Sebuah Undang-Undang bukanlah benda mati dan sakral yang tidak bisa diubah dengan dalil apapun, bahkan sebaliknya suatu Undang-Undang haruslah mengadopsi dan juga merupakan suatu manifestasi dari teta keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketika masyarakat menyatakan bahwa suatu Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang ada, maka sudah saatnya pula bahwa Undang-Undang tersebut harus diperbaharui.
Meski demikian, sebelum adanya perubahan atas suatu Undang-Undang, terutama yang mengatur mengenai Hukum Acara, dalam hal ini adalah Hukum Acara Pidana, maka Pengadilan Negeri atau Hakim-Hakim yang menyidangkan perkara pra peradilan tetap berpegang pada ketentuan Hukum Acara yang ada, meskipun sebagai Hakim tetap memiliki kebebasan dalam menjatuhkan putusan. Hal ini disebabkan tidak digunakannya peraturan perundangan yang ada membuat putusan yang dihasilkan :
1.    Tidak dapat dieksekusi (unexcecutable) ;
2.    Menimbulkan disparitas antara putusan yang satu dengan putusan yang lain ;
3.    Menimbulkan ketidakpastian hukum ;
4.    Menimbulkan kebingungan dalam masyarakat ;
5.    Keadilan yang dihasilkan hanya bersifat semu dan dapat diperdebatkan (debatable) ;
Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi bidang Yudikatif sudah saat mengenluarkan aturan mengenai pelaksanaan persidangan pra peradilan, baik dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), khusus dalam kalangan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, yaitu Pengadilan Negeri, maupun dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dalam hal mengatur titik singgung pelaksanaan persidangan pra peradilan antara Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Mahkamah Agung RI.
C.  KESIMPULAN
1)        Di dalam praktek persidangan pra peradilan, telah terjadi perubaha paradigma pemikiran oleh Hakim-Hakim yang menyidangkannya ;
2)        Pra peradilan tidak hanya didasarkan pada ketentuan dalam pasal 77 – 83 KUHAP akan tetapi juga menganai penetapan seseorang sebagai tersangka atau terdakwa dan juga mengenai pengertian 2 (dua) alat bukti ;
3)        Adanya putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya ditindaklanjuti dengan dilakukannya perubahan terhadap ketentuan pra peradilan dalam Hukum Acara di Indonesia baik yang dilakukan dengan melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau merubah secara parsial, pasal per pasal khusus pasal yang mengatur tentang Pra Peradilan ;
4)        Mahkamah Agung harus mengeluarkan aturan mengenai pra peradilan baik dalam bentuk SEMA maupun PERMA.

5)        PENUTUP
Tulisan singkat ini sebenarnya sangat tidak mencukupi untuk menjelaskan tentang pra peradilan, akan tetapi setidaknya dapat sedikit memberikan gambaran kepada kita semua bahwa telah terjadi perubahan paradigma pemikiran tentang pra peradilan, dari yang awalnya hanya berpegang pada ketentuan pasal 77 – 83 KUHAP, akan tetapi saat ini pra peradilan telah meluas  diluar ketentuan dalam KUHAP tersebut.

6)        DAFTAR BACAAN
Andi Hamzah – RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015
https://slissety.wordpress.com/ruu-kuhap-2015/, diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;

http://pantaukuhap.id/?p=1294, diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;




[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[5] Andi Hamzah – RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h.viii ;
[6] https://slissety.wordpress.com/ruu-kuhap-2015/, diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;

[11] http://pantaukuhap.id/?p=1294, diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;

Kamis, 10 Maret 2016

PENYULUHAN HUKUM


Renungan Akhir Pekan (10032016) ;
ANAK DAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
I. PENDAHULUAN
Anak sebagai anugerah dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada tara bagi setiap orang tua, oleh karenanya menjadi tanggung jawab bagi setiap orang tua untuk memberikan perlindungan dan pendidikan yang terbaik bagi setiap putera/puterinya dengan tujuan anak-anak menjadi generasi penerus yang berkualitas bagi masa depan Bangsa dan Negara. Selain itu, juga merupakan tugas bagi Negara untuk memberikan fasilitas pendidikan yang berkualitas dan perlindungan yang maksimal bagi proses tumbuh kembang setiap anak di Negeri ini.
Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 2014, kita perlu membangkitkan kembali kesadaran bahwa Negara selain memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan setiap warga negaranya, tetapi juga memiliki kewajiban untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga negaranya, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang belum dewasa.
Yusuf Qardhawi dalam salah satu bukunya pernah mengatakan bahwa, “Anak adalah penyejuk hati orang tua di kala hidup dan perpanjangan wujudnya setelah mati.” Oleh karena itu peranan anak di dalam perkembangan anak sangat berpengaruh terhadap masa depan anak tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya : “Cukuplah berdosa jika seseorang menelantarkan mereka yang menjadi tanggungan dalam nafkahnya.”
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa karena pengaruh lingkungan maupun pengaruh dari orang tua yang mengharuskan seorang anak ikut mencari nafkah di dalam kehidupannya sehari-hari, maka seorang anak, baik karena perbuatannya maupun karena perbuatan orang lain yang notabene adalah orang dewasa, dapat berhadapan dengan hukum, terutama hukum pidana.
II. PENGERTIAN ANAK
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli hukum sebagaimana tercantum dalam berbagai produk perundang-undangan di Indonesia mengenai pengertian Anak. Adanya berbagai pengertian mengenai Anak ini dilandasi dari berbagai kepentingan yang melatarbelakangi pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua, sedangkan dalam konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Pengertian anak dalam konteks manusia dapat disamakan dengan keturunan manusia. Jika dalam konteks yang lebih luas, anak adalah mahluk hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia melalui hasil pernikahan guna meneruskan kehidupan selanjutnya.
Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, di mana kata "anak" merujuk pada lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Menurut psikologi, anak adalah periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah dasar. Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah "anak".
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa, “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) dan belum pernah kawin.”
Pendapat lain mengatakan sebagai berikut, dalam pengertian psikologi anak, Augustinus mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa. Dari pendapat tersebut pada pokoknya adalah bahwa Anak merupakan mahkluk sosial, yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak). Perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi fase selanjutnya.
Negara sebagai penjamin perlindungan dan kesejahteraan anak, sudah seharusnya memperhatikan secara terperinci terhadap kebutuhan setiap anak di Negeri ini. Bukan hanya kebutuhan secara materi yang harus terpenuhi dan tercukupi, akan tetapi juga kebutuhan non jasmani juga harus diperhatikan dan dipenuhi oleh Negara.
III. FENOMENA ANAK SEBAGAI KORBAN MAUPUN PELAKU TINDAK PIDANA
Kebutuhan akan rasa aman dari lingkungan sekitar seorang anak tersebut bertempat tinggal dan bersekolah, juga harus mendapat perhatian yang serius, tidak hanya dari Negara tetapi yang tepenting adalah dari setiap orang tua dan warga masyarakat sekitar.
Berbagai pemberitaan baik di media cetak, media sosial, media internet maupun media informasi lainnya, telah banyak memuat fakta bahwa telah terjadi tindakan yang justru tidak mencerminkan perlindungan terhadap kehidupan anak. Aksi kekerasan fisik, kekerasan seksual, eksploitasi anak sebagai pekerja yang menghasilkan uang, merupakan bentuk-bentuk tindakan yang melenceng dari apa yang seharusnya diberikan kepada anak. Namun sangat disayangkan bahwa masayarakat maupun Negara seakan menutup mata dan telinga terhadap kejadian-kejadian tersebut.
Di tahun 1990an, Indonesia dikejutkan dengan perilaku seks menyimpang dari seorang laki-laki dewasa yang mengaku bernama ROBOT GEDEG, yang selama persidangan mengaku jumlah korban yang telah disodomi lalu dibunuh mencapai delapan anak jalanan yang berusia antara 11-15 tahun dan dilakukannya selama dua tahun di Jakarta dan dua lagi di Jawa Tengah (Kroya dan Pekalongan). Kasus Robot Gedek tersebut seakan menyentak kesadaran kita, bahwa ancaman kejahatan terhadap anak-anak kita berada sangat dekat dengan keberadaan kita sendiri.
Belum lama berselang, terungkap lagi kasus pedofilia (kekerasan seksual pada anak-anak) yang terjadi di Jakarta International School (JIS) Jakarta Selatan. Bahkan kasus ini melibatkan lebih dari 1 (satu) orang pelaku, baik sebagai pelaku utama maupun pelaku yang membantu melakukan (pelaku turut serta) dan terdapaat lebih dari 1 (satu) korban, yaitu anak-anak yang masih berusia antara 5 (lima) sampai dengan 7 (tujuh) tahun. Sebagaimana dilansir dari berita online yang mengatakan Polisi telah menetapkan tiga petugas kebersihan sekolah menjadi tersangka kasus pelecehan seksual siswa TK Jakarta International School (JIS). Dua tersangka yakni Agung dan Frizkiawan dan seorang wanita Afriska. Belum lagi kasus Renggo yang tewas setelah dianiaya oleh kakak kelasnya, yang ironisnya, kejadian tersebut dilakukan di dalam ruang kelas.Renggo yang bertubuh tambun tidak sengaja menyenggol SY yang merupakan murid kelas IV. Akibat senggolan tersebut, makanan yang dibawa SY terjatuh dan diduga SY tidak terima akibat makanannya jatuh oleh korban. Setelah itu terjadilah pemukulan yang berakibat Renggo sakit dan meninggal dunia.
Bahkan, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan dan Pemerintah DKI Jakarta meluncurkan laman pengaduan kekerasan seksual terhadap perempuan. Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, laman itu untuk memudahkan korban kekerasan seksual melapor. Menurutnya, Jakarta merupakan salah satu tempat yang paling rawan kekerasan seksual. Pendapat tersebut menjadikan kita berpikir ulang terhadap pola pendidikan dan pengajaran terhadap karakter anak, sehingga bisa menjadi pribadi yang berperikelakuan yang baik dalam masyarakat.
Meski demikian institusi sekolah yang selama ini dianggap sebagai tempat teraman kedua setelah rumah, bagi proses tumbuh kembang sorang anak, ternyata menjadi tempat yang harus mendapat perhatian dari orang tua maupun masyarakat di lingkungan sekolah tersebut, sehingga peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan. Sesungguhnya, semua kejadian kekerasan baik fisik maupun seksual terhadap seorang anak, yang terjadi selama ini, hanyalah merupakan puncak gunung es, yang sangat sulit memperkirakan jumlah sesungguhnya dari kasus kekerasan terhadap anak. Pendidikan anak, haruslah memposisikan anak sebagai SUBYEK dan bukan sebagai OBYEK dari proses pendidikan itu sendiri. Pemahaman yang keliru dari para orang tua maupun pendidik (guru) menyebabkan tumbuh berkembang seorang anak menjadi terganggu, dan akan sulit untuk membentuk seorang anak yang memiliki karakter kepribadian yang baik.
Perintah kepada seorang anak yang dilakukan dengan cara yang kasar, cenderung akan menjadikan anak tersebut akan menjadi anak yang berkepribadian kasar, demikian pula bentuk penghukuman yang bersifat menyakiti badan jasmani anak, cenderung akan menjadi anak yang lebih suka memberontak, dibandingkan menjadi anak yang patuh.
Pertanyaannya adalah, bagaimana peranan Negara di dalam mengatur kepentingan anak terutama dalam menjaga proses tumbuh kembangnya ? Negara menjadi lembaga tertinggi yang seharusnya dapat memberikan jaminan keamanan, keselamatan dan kesejahteraan anak, karena anak adalah cerminan dari masa depan suatu Negara.
IV. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG ANAK
Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai Negara yang berdasarkan Hukum, sebenarnya telah memiliki beberapa ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai keberadaan seorang anak. Namun yang harus diperhatikan adalah mengenai pelaksanaan dari berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
A. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan perundangan ini telah ada sejak Indonesia masih berada dalam masa penjajahan Belanda dan merupakan produk perundang-undangan Pemerintah Kolonial Belanda berupa BURGERLIJK WETBOEK, yang kemudian diambil alih oleh Pemerintah Indonesia sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini, uumnya mengatur mengenai hubungan keperdataan orang per orang di dalam wilayah hukum Indonesia tetapi juga terdapat beberapa ketentuan yang mengatur mengenai anak. Dalam pasal 2 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini menyebutkan, Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.
Berkaitan dengan kedewasaan, maka telah pula disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu dalam pasal 330 ayat (1) yang menyebutkan, Belum dewasa adalah mereka yang belum genap daupuluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Kemudian, mengani kewajiban orang tua bagi anak-anaknya adalah sebagaimana diatur dalam pasal 298 ayat (2) KUH Perdata juga menyebutkan, Si bapak dan si ibu, keduanya wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Ketentuan pasal 298 ayat (2) KUH Perdata ini juga diperkuat dengan ketentuan pasal 299 yang menyebutkan, Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa tetap berada di dawah kekuasaan mereka, sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu.
B. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang ini terbentuk sebagai jawaban atas keprihatinan masyarakat atas kurang diperhatikannya penyelenggaraan kesejahteraan anak oleh Negara. Selama ini Negara dianggap lalai atas semakin menjamurnya anak terlantar, baik ditelantarkan oleh orang tuanya maupun karena keadaan yang memaksa anak tersebut menjadi terlantar.
Di dalam perihal Menimbang di dalam Undang-Undang ini pada huruf c, disebutkan, Bahwa di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi, sehingga dengan demikian, Pemerintah, pada waktu penyusunan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, menyadari bahwa masih terdapat anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan sosial, oleh karenanya Pemerintah berinisiatif untuk membentuk suatu Undang-Undang yang menjamin kesejahteraan anak-anak.
Pasal 1 angka 1 a dalam Undang-Undang ini menyebutkan, Kesejahteraan Anak adalah suatu kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial, dan pasal 1 angka 1 b menyebutkan, Usaha Kesejahteraan Anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.
Mengenai hak anak, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, menyebutkan antara lain :
(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluargaanya maupun di dalam asuhan khusus, untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar ;
(2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan Negara yang baik dan berguna ;
(3) Anak berhak atas pemerliharaan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun seusai dilahirkan ;
(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar ;
Dari pemaparan pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tersebut, terlihat bahwa Pemerintah telah menyadari tentang keberadaan dan hak dari seorang anak serta berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.
C. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Tidak dipungkiri bahwa terdapat anak yang berhadapan dengan hukum dan akhirnya menjadi Terdakwa di persidangan dan setelah mendapatkan putusan Pengadilan Negeri menjadi Terpidana Anak.Dengan menjadi Terpidana, maka terhadap anak tersebut perlu mendapatkan perlakuan secara khusus, sehingga dibutuhkan payung hukum untuk memberikan pelayanan bagi anak yang menjadi terpidana.
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang di dalamnya juga mengakomodir segala pemenuhan kebutuhan bagi anak yaang menjadi Terpidana.
Dalam pasal 1 huruf g menyebutkan, Anak Didik Pemasyarakatan adalah :
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama samapi berumur 18 (delapan belas) tahun ;
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama 18 (delapan belas) tahun ;
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
D. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, telah disediakan payung hukum di dalam pelaksanaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Dalam perihal Menimbang huruf b, disebutkan, Bahwa untuk melaksanaakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak yang dilakukan secara khusus.
Di dalam proses penegakan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, lebih ditekankan kepada kesejahteraan dan keamanan anak tersebut. Hal tersebut diantaranya :
• Pasal 6 : Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasihat Hukum serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas ;
• Pasal 8 ayat (1) : Hakim memeriksa perkara pidana dalam sidang tertutup ;
• Pasal 8 ayat (3) : Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan, beserta orang tua, wali atau orang tua asuh, Penasihat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan.
E. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Bentuk-Bentuk / Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
Tidak hanya Pemerintah kita yang memperhatikan mengenai kesejahteraan anak, tetapi kesejahteraan anak ini juga menjadi perhatiaan ILO (International Labour Organization / Organisasi Perburuhan Internasional), yang juga merupakan salah satu Badan Internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini terlihat dari dengan dikeluarkannya Konvensi ILO Nomor 182.
Apabila diperhatikan, maka Konvensi ILO Nomor 182 tersebut bertujuan untuk mencegah terjadi perbudakan pada anak, sebagaimana diatur dalam Pokok-Pokok Konvensi pada angka 3 yang menyebutkan, Penegertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah :
(a) Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bandage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata ;
(b) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran untuk pelacuran, untuk produk pronografi atau produksi pronografi aatau untuk pertunjukan-pertunjukan porno ;
(c) Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan ;
(d) Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak ;
F. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Di dalam perihal Menimbang hhuruf c, disebutkan, Bahwa anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuanagan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Hal tersebut dipertegas di dalam perihal Menimbang pada huruf e, yang menyebutkan, Bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Dari hal-hal sebagaimana tersebut di atas, maka telah nyata bahwa Pemerintah kita sangat memperhatikan tentang terjaminnya kesejahteraan anak dalam setiap tingkat kehidupannya. Keberadaan anak dengan segala hak-haknya telah diakui sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 huruf L yang menyebutkan, Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.
Mengenai hak setiap anak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu dari pasal 4 sampai dengan pasal 18, meski demikian, harus pula diingat bahwa setiap anak juga memiliki kewajiban sebagaimana tercantum dalam pasal 19, yang menyebutkan, Setiap anak berkeajiban untuk :
Menghormati orang tua, wali dan guru ;
Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman ;
Mencintai tanah air, bangsa dan negara ;
Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya dan ;
Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Lebih tegas lagi terhadap tugas dan kewajiban Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua adalah sebagaimana disebutkan dalam pasal 20 yang menyatakan, Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Penegasan yang lebih khusus adalah kepada orang tua yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 26, yaitu :
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak ;
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan ;
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak ;
(2) Dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut, Undang-Undang ini juga mengatur mengenai anak yang berhadapan dengan hukum yaitu di dalam pasal 64 yang menyatakan :
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat ;
(2) Perlindungan khusus baagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak ;
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini ;
c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus ;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik untuk anak ;
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum ;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga da ;
g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari laabelisasi ‘
(3) Perlindungan khusus baagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga ;
b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi ;
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental maupun sosial dan ;
d. Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenaai perkembangan perkara.
Berkaitan dengan sanksi pidana, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 juga telah diatur mengenai setiap orang maupun badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang ini. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 81 sampai dengan pasal 90.
Yang terpenting dalam Undang-Undang ini adalah bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, maka secara resmi telah terbentuk pula Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam pasal 92 yang menyebutkan, Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lama 1 ((satu) tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah terbentuk.
G. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Untuk memperbaharui Undang-Undang yang mengatur tentang Peradilan Anak, kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan mulai diberlakukan pada bulan Agustus 2014.
Undang-Undang ini mengatur secara lebih lengkap dan mendalam terhadap perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum maupun anak yang menjadi korban tindak pidana. Meski demikian, olehh karena Undang-Undang ini baru diberlakukan pada bulan Agustus 2014, maka sampai saat ini Undang-Undang ini belum diberlakukan kepada setiap anak yang berhadapan dengan hukum maupun anak yang menjadi korban tindak pidana.
V. KESIMPULAN
Dengan banyak dan beragamnya peraturan perundang-undangan yang ada yang mengatur mengenai perlindungan dan pemberian jaminan pemberian kesejahteraan kepada anak, membuktikan bahwa tanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak tidak hanya menjadi tanggung jawab Negera dan Pemerintah saja, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab orang tua, keluarga dan masyarakat di sekitar lingkungan anak tersebut berada.
VI. PENUTUP
Demikian, uraian singkat mengenai Anak dan Perlindungan Anak, dam apabila terdapat hal-hal yang belum jelas, dapat ditanyakan kepada Pengadilan Negeri Tegal.
Tegal, 20 Mei 2014

H. SANTHOS WACHJOE P, SH. MH

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...