SEPINTAS MENGENAI PRA
PERADILAN
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A. PENDAHULUAN
Sebagai
bagian dari warga negara yang sadar dan taat kepada hukum, tentunya akan
membuat setiap individu di dalam masyarakat akan mengedepankan penyelesaian
setiap sengketa atau perkara dengan cara yang damai dengan selalu mengutamakan
asas musyawarah untuk mufakat. Meski demikian, akan selalu terdapat suatu
perkara atau sengketa yang tidak bisa diselesaikan dengan cara musyawarah untuk
mufakat, sehingga harus diselesaikan di muka persidangan.
Penyelesaian
suatu perkara melalui persidangan tentunya membutuhkan teknik pembuktian yang
jitu sehingga apa yang diinginkan dapat dikabulkan oleh Pengadilan. Bagi para
pencari keadilan, segala macam cara pembuktian tentu akan dilakukan, dengan
tujuan apa yang didalilkan menjadi terbukti dan bisa mendapatkan apa yang
diminta atau dituntutnya. Oleh karenanya, kecermatan di dalam pembuktian dalil
dalam suatu perkara, mutlak diperlukan, sehingga tidak membuang waktu dan
tenaga dengan sia-sia.
Proses hukum secara garis besar dapat
dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan
hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang
adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat
dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan
kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.
Pengaturan mengeni tata cara proses penegakan
hukum pidana sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), yang telah mengatur secara terperinci tugas masing-masing dari
Aparat Penegak Hukum, dimulai sejak adanya laporan kepolisian maupun adanya
aduan atas tindak pidana aduan sampai dengan proses eksekusi atas putusan Hakim
oleh pihak Kejaksaan sebagai eksekutor putusan Hakim dan pelaksanaan pemidanaan
oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) telah dijabarkan secara terperinci mengenai tugas-tugas
dari masing-masing Aparat Penegak Hukum dan juga dijelaskan mengenai hak-hak
maupun kewajiban dari tersangka / terdakwa ataupun hak-hak dan kewajiban dari
saksi / korban. Hal ini bertujuan untuk memperlancar proses penegakan hukum (pro justisia) yang dimulai dari penyelidikan
sampai dengan pelaksanaan putusan Hakim.
Salah satu proses penegakan hukum yang saat
ini menjadi perhatian masyarakat, yaitu mengenai pra peradilan. Keberadaan pra
peradilan ini sebenarnya berguna sebagai alat introspeksi dari aparat penegak
hukum, khususnya pihak Kepolisian dan Kejaksaan di dalam menjalankan tugas
pokok dan fungsinya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan
penyidikan dan penuntutan suatu tindak pidana.
Pengertian Praperadilan menurut Hartono adalah proses persidangan sebelum sidang masalah
pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya,
sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara
penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja. Adapun yang dimaksud
dengan materi pokoknya adalah materi perkara tersebut, misalnya perkara
korupsi, maka materi pokoknya adalah perkara korupsi.[2]
Praperadilan,
jika diartikan secara terminologi atau dipisah anatara kata pra dan peradilan.
Pra beratti sebelum, sedangkan peradilan adalah proses penegakan hukum dalam
mencari keadilan dalam sebuah institusi yang disebut pengadilan (adjudikasi).
Kalau demikian, praperdilan lebih diartikan sebagai istilah yang sama dengan
prajudikasi. Padahal prajudikasi lebih pada tingkat penyidikan, penyelidikan,
dan setelah itu berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum
dalam bentuk requisitor yang masuk di area pengadilan. Proses pemerikasaan di
pengadilan di sebut sebagai adjudikasi. Pra-adjudikasi yang disandingkan dengan
praperadilan tidak tepat. Pasal 1 butir 10 memberikan arti yang berbeda.
Praperadilan tidak diartikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan semata, melainkan
adanya bantahan oleh tersangka, kuasa hukumnya, ahli waris, terhadap tidak
sahnya tindakan penyidik dalam upaya paksa oleh penyidik terhadap penangkapan
(arrest), penahanan (detention), penggelerdahan (searching) dan penyitaan
(seizure) dan bantahan itu dapat diajukan kepengadilan negeri untuk dinilai
oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat, yang diputuskan dalam waktu
tujuh hari oleh pengadilan negeri.[3]
B. PRA
PERADILAN SEBAGAI ALAT INTROSPEKSI
Secara umum pra peradilan diatur di dalam
pasal 77 – 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan. Pasal
77 menyebutkan, “Pengadilan Negeri
berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini tentang :
a.
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;
b.
Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang
yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Penjelasan pasal 77 KUHAP ini hanya
menyebutkan mengenai penghentian penuntutan, dengan menyatakan, “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan
tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi
wewenang Jaksa Agung.” Penjelasan ini tentunya dapat menimbulkan penafsiran
yang berbeda-beda, sehingga seharusnya terdapat penjelasan bahwa mengenai
istilah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan serta ganti rugi atau rehabilitasi menunjuk pada KETENTUAN UMUM
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 KUHAP.
Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam
sistem hukum yang dianut di Amerika Serikat atau negara penganut sistem common
law lainnya, bahkan hukum praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem
hukum di sana. Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana
kolonial ke sistem hukum acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan
pandangan terhadap status seseorang yang terlibat ke dalam sistem peradilan
pidana.[4]
Di negara-negara yang memganut sistemn
hukum Anglo Saxon, dikenal dengan adanya istilah Hakim Investigasi
(Investigating Judge) yang merupakan salah satu aktor yang menjadi tunpuan
harapan, agar terjamin tidak ada pelanggaran hak tersangka dan korban dalam tahap
pra persidangan (pre trial justice.[5] Sedangkan dalam sistem hukum di
Indonesia yang mengadopsi sistem hukum Continental Law, belum ada pengaturan
mengenai Hakim Investigasi atau yang di dalam Rancangan Undang-Undang Hukum
Acara yang baru disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan, salah satunya sebagaimana
diatur dalam pasal 58 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana.[6]
Praperadilan
merupakan salah satu kewenangan pengadilan dan juga penerapan upaya paksa oleh
Polisi dan Jaksa meliputi :[7]
·
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan yang dapat diajukan oleh penyidik atau
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80 KUHAP);
·
Ganti kerugian
dan/ atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan
ditingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP);
·
Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat
pembuktian (Pasal 82 ayat (1) b dan ayat 3 KUHAP);
·
Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli
warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau badan
hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri
(Pasal 95 ayat (2) KUHAP);
·
Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas
penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang perkaranya
tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 97 ayat (3) KUHAP).
Apabila kita
melihat pada pengaturan mengenai pelaksanaan pra persidangan, maka, secara
singkat bahwa pihak penyidik, baik dari Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki pembatasan-pembatasan yang dipatuhi di
dalam pelaksanaan tugas-tugasnya dalam melakukan penyidikan maupun penuntutan.
Terhadap
ketentuan pasal 77 huruf a KUHAP, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor
21/PUU-XII/2014, telah menjatuhkan putusan yang menegaskan ketentuan
praperadilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan
Konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan.[8]
Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memasukkan mengenai pemaknaan “minimal dua
alat bukti” dinilai Mahkamah merupakan perwujudan asas due process of
law untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan
pidana. Sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia, masih
terdapat beberapa frasa dalam KUHAP yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi
asas lex certa serta asas lex stricta agar
melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik.[9]
Dari putusan Mahkamah Konstusi tersebut
kiranya tepat dikatakan bahwa dalam
praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan Undang - Undang tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak
hukum yang nyata - nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang sehingga
yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara.[10]
Dari yang
semula hanya memeriksa sesuai ketentuan Pasal 77 KUHAP secara kaku, kemudian
mulai “malu-malu” menerabas Pasal 77 KUHAP, hingga akhirnya penerabasan itu
dikukuhkan dengan adanya putusan MK yang memperluas objek praperadilan. Berikut
perubahan “wajah” praperadilan yang dirangkum oleh hukumonline :[11]
1)
Penetapan tersangka tidak sah
Putusan Sarpin mungkin menjadi
putusan praperadilan yang paling fenomenal di tahun 2015. Putusan Sarpin
terlihat mencolok, mengingat subjek pemohon praperadilan adalah seorang calon
Kapolri. Selain itu, putusan Sarpin memicu gelombang praperadilan, khususnya
praperadilan yang diajukan tersangka kasus korupsi di KPK. Putusan Sarpin
diikuti pula oleh Haswandi dan Upiek. Namun, sebenarnya, sebelum putusan
Sarpin, telah ada putusan serupa pada November 2012. Hakim tunggal Suko Harsono
menyatakan tindakan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan
tersangka kasus korupsi bioremediasi Chevron, Bachtiar Abdul Fatah sebagai
tersangka tidak sah. Terhadap putusan praperadilan ini, Kejagung sempat
berupaya mengajukan kasasi. Pengajuan kasasi Kejagung ditolak di PN Jakarta
Selatan, sehingga Kejagung mencoba meminta pembatalan dari Mahkamah Agung (MA)
dan melaporkan Suko ke Badan Pengawasan MA. Akhirnya, putusan praperadilan
tersebut dibatalkan dan Suko dikenakan sanksi.
2)
Penyitaan, penggeledahan, dan pemasangan police line
tidak sah
Koordinator LSM MAKI, Boyamin Saiman
yang juga pemilik “Boyamin Saiman Law Firm” pernah mempraperadilankan Polri
karena pemasangan garis polisi (police line) di Fasilitas Penunjang Satuan
Rumah Susun (Fasum) Apartemen Slipi. Pengurus dan penghuni memberikan kuasa
kepada kantor hukum Boyamin untuk memperaperadilankan Polri. Pasalnya, kegiatan
penggeledahan dan penyitaan yang dilanjutkan dengan pemasangan police line
tersebut dilakukan aparat Kepolisian tanpa memberikan lampiran atau salinan
apapun kepada pemohon. Alhasil, hakim tunggal Belman Tambunan mengabulkan
praperadilan para pemohon yang diajukan ke PN Jakarta Barat pada Juli 2013. Belman
menyatakan tindakan penyitaan yang dilakukan Polres Jakarta Barat terhadap
Fasum Apartemen Slipi tidak sah. Ia juga memerintahkan Polres Jakarta Barat
melepaskan penyegelan ruang-ruang Fasum dan pintu masuk, serta mencabut garis
polisi di ruang serbaguna, sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Senada,
pada 2008, PN Jakarta Selatan juga mengabulkan permohonan praperadilan yang
diajukan Direktur Utama PT IIS Semion Tarigan. Berdasarkan putusan praperadilan
No. 10/Pld.Prap/2008/PN.Jkt.Sel tanggal 1 Juli 2008, penyitaan yang dilakukan
Dirjen Pajak terhadap ratusan dus dokumen perpajakan 15 anak usaha Asian Agri
dianggap tidak sah.
3)
Memerintahkan melanjutkan penanganan perkara yang
berlarut-larut
Pada November 2010, Muspani yang
ketika itu menjabat sebagai anggota DPD Bengkulu mempraperadilankan
berlarut-larutnya pelimpahan perkara Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin ke PN
Jakarta Pusat. Muspani menduga Kejagung telah menerbitkan Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara Agusrin di secara diam-diam. Akan tetapi,
dalam persidangan, Kejagung membantah telah menghentikan perkara Agusrin. Oleh
karena itu, hakim tunggal Supraja memerintahkan Kejagung untuk segera
melimpahkan perkara Agusrin ke pengadilan. Dengan demikian, Supraja mengakui
penanganan “perkara yang berlarut-larut tidak dilimpahkan ke pengadilan”
sebagai objek praperadilan.
4)
Menyatakan penyidik Polri tidak berwenang
Putusan praperadilan petinggi PT
Newmont Minahasa Raya (NMR) pada 2005 juga menjadi salah satu putusan
praperadilan yang mencolok kala itu. Pasalnya, hakim tunggal PN Jakarta Selatan
Johanes E Binti menyatakan status tahanan kota dan wajib lapor enam orang
petinggi NMR tidak sah menurut hukum. Dalam pertimbangannya, Johanes
berpendapat, penyidik Polri dinilai tidak berwenang melakukan penyidikan,
melainkan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Ia menganggap penyidikan yang
dilakukan penyidik Polri tidak sah melanggar ketentuan dalam Surat Keputusan
Bersama Penegakan Hukum Lingkungan Satu Atap (SKB). Sama halnya dengan putusan
praperadilan tersangka kasus gula impor ilegal, Abdul Waris Halid. Pada Juli
2004, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Effendi mengabulkan permohonan
praperadilan Abdul. Effendi memerintahkan Mabes Polri membebaskan Abdul karena
tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan Mabes Polri tidak sah. Effendi
menyatakan penyidik Polri tidak berwenang menangani kasus gula impor ilegal.
Penyidik yang berwenang menangani kasus Abdul adalah PPNS Bea dan Cukai.
Kewenangan penyidikan oleh PPNS Bea dan Cukai itu sesuai dengan ketentuan Pasal
112 UU No.10 Tahun 1995 jo Pasal 6 UU No.8 tahun 1981 jo PP No.55 tahun 1996.
5)
Mengakui legal standing LSM
LSM MAKI tercatat beberapa kali
mengajukan upaya praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Salah satunya, upaya MAKI
mempraperadilankan berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi Sisminbakum atas
nama tersangka Yusril Ihza Mahendra di Kejagung. Namun, permohonan MAKI ditolak
hakim tunggal Ari Jiwantara.
Apanila kita
memperhatikan, subyek hukum yang dapat mengajukan permohonan pra peradilan,
maka yang dapat mengajukan Pra peradilan adalah :[12]
a. Tersangka,
yaitu apakah tindakan penahanan terhadap dirinya bertentangan dengan ketentuan
Pasal 21 KUHAP, ataukah penahanan yang dikenakan sudah melawati batas waktu
yang ditentukan Pasal 24 KUHAP ;
b. Penyidik
untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penuntutan ;
c. Penuntut
Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk memeriksa sah tidaknya
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak
ketiga yang berkepentingan misalnya saksi korban.
Dikabulkannya praperadilan juga harus ditinjau lagi secara adil
apakah karena suatu sebab yang disengaja atau suatu sebab yang berasal dari
luar proses penyidikan sehingga adanya pra peradilan adalah untuk menjaga agar
penyidik tidak sewenang-wenang serta untuk mengawal agar proses penyidikan dan
atau penuntutan berjalan dengan mekanisme yang diatur di dalam KUHAP.[13]
Oleh karena
itu, meskipun masing-masing Aparat Penegak Hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan
maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mempunyai PROTAP (Prosedur
Tetap) dan SOP (Standard Operating Procedure), akan tetapi Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan
ruang yang luas bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksaanan
tugas-tugas dari Aparat Penegak Hukum tersebut. Sebuah Undang-Undang bukanlah
benda mati dan sakral yang tidak bisa diubah dengan dalil apapun, bahkan
sebaliknya suatu Undang-Undang haruslah mengadopsi dan juga merupakan suatu
manifestasi dari teta keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketika masyarakat
menyatakan bahwa suatu Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai
keadilan yang ada, maka sudah saatnya pula bahwa Undang-Undang tersebut harus
diperbaharui.
Meski
demikian, sebelum adanya perubahan atas suatu Undang-Undang, terutama yang
mengatur mengenai Hukum Acara, dalam hal ini adalah Hukum Acara Pidana, maka
Pengadilan Negeri atau Hakim-Hakim yang menyidangkan perkara pra peradilan
tetap berpegang pada ketentuan Hukum Acara yang ada, meskipun sebagai Hakim
tetap memiliki kebebasan dalam menjatuhkan putusan. Hal ini disebabkan tidak
digunakannya peraturan perundangan yang ada membuat putusan yang dihasilkan :
1.
Tidak dapat dieksekusi (unexcecutable) ;
2.
Menimbulkan disparitas antara putusan yang satu dengan
putusan yang lain ;
3.
Menimbulkan ketidakpastian hukum ;
4.
Menimbulkan kebingungan dalam masyarakat ;
5.
Keadilan yang dihasilkan hanya bersifat semu dan dapat
diperdebatkan (debatable) ;
Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
bidang Yudikatif sudah saat mengenluarkan aturan mengenai pelaksanaan
persidangan pra peradilan, baik dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA), khusus dalam kalangan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, yaitu
Pengadilan Negeri, maupun dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dalam
hal mengatur titik singgung pelaksanaan persidangan pra peradilan antara
Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Mahkamah Agung
RI.
C. KESIMPULAN
1)
Di dalam praktek persidangan pra peradilan, telah
terjadi perubaha paradigma pemikiran oleh Hakim-Hakim yang menyidangkannya ;
2)
Pra peradilan tidak hanya didasarkan pada ketentuan
dalam pasal 77 – 83 KUHAP akan tetapi juga menganai penetapan seseorang sebagai
tersangka atau terdakwa dan juga mengenai pengertian 2 (dua) alat bukti ;
3)
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya
ditindaklanjuti dengan dilakukannya perubahan terhadap ketentuan pra peradilan
dalam Hukum Acara di Indonesia baik yang dilakukan dengan melakukan perubahan
atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) atau merubah secara parsial, pasal per pasal khusus pasal yang mengatur
tentang Pra Peradilan ;
4)
Mahkamah Agung harus mengeluarkan aturan mengenai pra
peradilan baik dalam bentuk SEMA maupun PERMA.
5)
PENUTUP
Tulisan
singkat ini sebenarnya sangat tidak mencukupi untuk menjelaskan tentang pra peradilan,
akan tetapi setidaknya dapat sedikit memberikan gambaran kepada kita semua bahwa
telah terjadi perubahan paradigma pemikiran tentang pra peradilan, dari yang awalnya
hanya berpegang pada ketentuan pasal 77 – 83 KUHAP, akan tetapi saat ini pra peradilan
telah meluas diluar ketentuan dalam KUHAP
tersebut.
6)
DAFTAR
BACAAN
Andi Hamzah – RM Surachman, Pre-Trial
Justice Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, 2015
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-praperadilan.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
http://www.damang.web.id/2011/07/putusan-praperadilan-terhadap.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
http://s-hukum.blogspot.co.id/2015/02/opini-hukum-praperadilan-di-indonesia.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016
https://slissety.wordpress.com/ruu-kuhap-2015/,
diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;
http://www.sidabukke.co.id/news_sidabukke/legal_news/50.html,diunduh
tanggal 23 Pebruari 2016;
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
http://s-hukum.blogspot.co.id/2015/02/opini-hukum-praperadilan-di-indonesia.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
http://pantaukuhap.id/?p=1294, diunduh
tanggal 23 Pebruari 2016 ;
http://www.pn-sarolangun.go.id/index.php/prosedur-berperkara/pra-peradilan,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=137&Itemid=137,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH)
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2]http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-praperadilan.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
[3]http://www.damang.web.id/2011/07/putusan-praperadilan-terhadap.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
[4]
http://s-hukum.blogspot.co.id/2015/02/opini-hukum-praperadilan-di-indonesia.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
[5] Andi Hamzah – RM Surachman,
Pre-Trial Justice Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar
Grafika, Jakarta, 2015, h.viii ;
[7]
http://www.sidabukke.co.id/news_sidabukke/legal_news/50.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016;
[8]
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
[9]
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10796,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
[10]
http://s-hukum.blogspot.co.id/2015/02/opini-hukum-praperadilan-di-indonesia.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
[11]
http://pantaukuhap.id/?p=1294, diunduh
tanggal 23 Pebruari 2016 ;
[12] http://www.pn-sarolangun.go.id/index.php/prosedur-berperkara/pra-peradilan,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
[13]http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=137&Itemid=137,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar