Selasa, 15 Maret 2016

PRA PERADILAN


SEPINTAS MENGENAI PRA PERADILAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.  PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari warga negara yang sadar dan taat kepada hukum, tentunya akan membuat setiap individu di dalam masyarakat akan mengedepankan penyelesaian setiap sengketa atau perkara dengan cara yang damai dengan selalu mengutamakan asas musyawarah untuk mufakat. Meski demikian, akan selalu terdapat suatu perkara atau sengketa yang tidak bisa diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat, sehingga harus diselesaikan di muka persidangan.
Penyelesaian suatu perkara melalui persidangan tentunya membutuhkan teknik pembuktian yang jitu sehingga apa yang diinginkan dapat dikabulkan oleh Pengadilan. Bagi para pencari keadilan, segala macam cara pembuktian tentu akan dilakukan, dengan tujuan apa yang didalilkan menjadi terbukti dan bisa mendapatkan apa yang diminta atau dituntutnya. Oleh karenanya, kecermatan di dalam pembuktian dalil dalam suatu perkara, mutlak diperlukan, sehingga tidak membuang waktu dan tenaga dengan sia-sia.
Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.
Pengaturan mengeni tata cara proses penegakan hukum pidana sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun  1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang telah mengatur secara terperinci tugas masing-masing dari Aparat Penegak Hukum, dimulai sejak adanya laporan kepolisian maupun adanya aduan atas tindak pidana aduan sampai dengan proses eksekusi atas putusan Hakim oleh pihak Kejaksaan sebagai eksekutor putusan Hakim dan pelaksanaan pemidanaan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah dijabarkan secara terperinci mengenai tugas-tugas dari masing-masing Aparat Penegak Hukum dan juga dijelaskan mengenai hak-hak maupun kewajiban dari tersangka / terdakwa ataupun hak-hak dan kewajiban dari saksi / korban. Hal ini bertujuan untuk memperlancar proses penegakan hukum  (pro justisia) yang dimulai dari penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan Hakim.
Salah satu proses penegakan hukum yang saat ini menjadi perhatian masyarakat, yaitu mengenai pra peradilan. Keberadaan pra peradilan ini sebenarnya berguna sebagai alat introspeksi dari aparat penegak hukum, khususnya pihak Kepolisian dan Kejaksaan di dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan suatu tindak pidana.
Pengertian Praperadilan menurut Hartono adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja. Adapun yang dimaksud dengan materi pokoknya adalah materi perkara tersebut, misalnya perkara korupsi, maka materi pokoknya adalah perkara korupsi.[2]
Praperadilan, jika diartikan secara terminologi atau dipisah anatara kata pra dan peradilan. Pra beratti sebelum, sedangkan peradilan adalah proses penegakan hukum dalam mencari keadilan dalam sebuah institusi yang disebut pengadilan (adjudikasi). Kalau demikian, praperdilan lebih diartikan sebagai istilah yang sama dengan prajudikasi. Padahal prajudikasi lebih pada tingkat penyidikan, penyelidikan, dan setelah itu berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dalam bentuk requisitor yang masuk di area pengadilan. Proses pemerikasaan di pengadilan di sebut sebagai adjudikasi. Pra-adjudikasi yang disandingkan dengan praperadilan tidak tepat. Pasal 1 butir 10 memberikan arti yang berbeda. Praperadilan tidak diartikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan semata, melainkan adanya bantahan oleh tersangka, kuasa hukumnya, ahli waris, terhadap tidak sahnya tindakan penyidik dalam upaya paksa oleh penyidik terhadap penangkapan (arrest), penahanan (detention), penggelerdahan (searching) dan penyitaan (seizure) dan bantahan itu dapat diajukan kepengadilan negeri untuk dinilai oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat, yang diputuskan dalam waktu tujuh hari oleh pengadilan negeri.[3]

B.  PRA PERADILAN SEBAGAI ALAT INTROSPEKSI
Secara umum pra peradilan diatur di dalam pasal 77 – 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan. Pasal 77 menyebutkan, “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :
a.      Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;
b.      Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Penjelasan pasal 77 KUHAP ini hanya menyebutkan mengenai penghentian penuntutan, dengan menyatakan, “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.” Penjelasan ini tentunya dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, sehingga seharusnya terdapat penjelasan bahwa mengenai istilah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti rugi atau rehabilitasi menunjuk pada KETENTUAN UMUM sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 KUHAP.
Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya, bahkan hukum praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana. Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana.[4]
Di negara-negara yang memganut sistemn hukum Anglo Saxon, dikenal dengan adanya istilah Hakim Investigasi (Investigating Judge) yang merupakan salah satu aktor yang menjadi tunpuan harapan, agar terjamin tidak ada pelanggaran hak tersangka dan korban dalam tahap pra persidangan (pre trial justice.[5] Sedangkan dalam sistem hukum di Indonesia yang mengadopsi sistem hukum Continental Law, belum ada pengaturan mengenai Hakim Investigasi atau yang di dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara yang baru disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan, salah satunya sebagaimana diatur dalam pasal 58 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana.[6]
Praperadilan merupakan salah satu kewenangan pengadilan dan juga penerapan upaya paksa oleh Polisi dan Jaksa meliputi :[7]
·           Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80 KUHAP);
·            Ganti kerugian dan/ atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan ditingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP);
·           Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82 ayat (1) b dan ayat 3 KUHAP);
·           Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat (2) KUHAP);
·           Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau badan hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 97 ayat (3) KUHAP).
Apabila kita melihat pada pengaturan mengenai pelaksanaan pra persidangan, maka, secara singkat bahwa pihak penyidik, baik dari Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki pembatasan-pembatasan yang dipatuhi di dalam pelaksanaan tugas-tugasnya dalam melakukan penyidikan maupun penuntutan.
Terhadap ketentuan pasal 77 huruf a KUHAP, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 21/PUU-XII/2014, telah menjatuhkan putusan yang menegaskan ketentuan praperadilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.[8] Selain itu Mahkamah Konstitusi juga memasukkan mengenai pemaknaan “minimal dua alat bukti” dinilai Mahkamah merupakan perwujudan asas due process of law untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia, masih terdapat beberapa frasa dalam KUHAP yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik.[9]
Dari putusan Mahkamah Konstusi tersebut kiranya tepat dikatakan bahwa dalam praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan Undang - Undang tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata - nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara.[10]
Dari yang semula hanya memeriksa sesuai ketentuan Pasal 77 KUHAP secara kaku, kemudian mulai “malu-malu” menerabas Pasal 77 KUHAP, hingga akhirnya penerabasan itu dikukuhkan dengan adanya putusan MK yang memperluas objek praperadilan. Berikut perubahan “wajah” praperadilan yang dirangkum oleh hukumonline :[11]
1)   Penetapan tersangka tidak sah
Putusan Sarpin mungkin menjadi putusan praperadilan yang paling fenomenal di tahun 2015. Putusan Sarpin terlihat mencolok, mengingat subjek pemohon praperadilan adalah seorang calon Kapolri. Selain itu, putusan Sarpin memicu gelombang praperadilan, khususnya praperadilan yang diajukan tersangka kasus korupsi di KPK. Putusan Sarpin diikuti pula oleh Haswandi dan Upiek. Namun, sebenarnya, sebelum putusan Sarpin, telah ada putusan serupa pada November 2012. Hakim tunggal Suko Harsono menyatakan tindakan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan tersangka kasus korupsi bioremediasi Chevron, Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka tidak sah. Terhadap putusan praperadilan ini, Kejagung sempat berupaya mengajukan kasasi. Pengajuan kasasi Kejagung ditolak di PN Jakarta Selatan, sehingga Kejagung mencoba meminta pembatalan dari Mahkamah Agung (MA) dan melaporkan Suko ke Badan Pengawasan MA. Akhirnya, putusan praperadilan tersebut dibatalkan dan Suko dikenakan sanksi.
2)   Penyitaan, penggeledahan, dan pemasangan police line tidak sah
Koordinator LSM MAKI, Boyamin Saiman yang juga pemilik “Boyamin Saiman Law Firm” pernah mempraperadilankan Polri karena pemasangan garis polisi (police line) di Fasilitas Penunjang Satuan Rumah Susun (Fasum) Apartemen Slipi. Pengurus dan penghuni memberikan kuasa kepada kantor hukum Boyamin untuk memperaperadilankan Polri. Pasalnya, kegiatan penggeledahan dan penyitaan yang dilanjutkan dengan pemasangan police line tersebut dilakukan aparat Kepolisian tanpa memberikan lampiran atau salinan apapun kepada pemohon. Alhasil, hakim tunggal Belman Tambunan mengabulkan praperadilan para pemohon yang diajukan ke PN Jakarta Barat pada Juli 2013. Belman menyatakan tindakan penyitaan yang dilakukan Polres Jakarta Barat terhadap Fasum Apartemen Slipi tidak sah. Ia juga memerintahkan Polres Jakarta Barat melepaskan penyegelan ruang-ruang Fasum dan pintu masuk, serta mencabut garis polisi di ruang serbaguna, sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya. Senada, pada 2008, PN Jakarta Selatan juga mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Direktur Utama PT IIS Semion Tarigan. Berdasarkan putusan praperadilan No. 10/Pld.Prap/2008/PN.Jkt.Sel tanggal 1 Juli 2008, penyitaan yang dilakukan Dirjen Pajak terhadap ratusan dus dokumen perpajakan 15 anak usaha Asian Agri dianggap tidak sah.
3)   Memerintahkan melanjutkan penanganan perkara yang berlarut-larut
Pada November 2010, Muspani yang ketika itu menjabat sebagai anggota DPD Bengkulu mempraperadilankan berlarut-larutnya pelimpahan perkara Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin ke PN Jakarta Pusat. Muspani menduga Kejagung telah menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara Agusrin di secara diam-diam. Akan tetapi, dalam persidangan, Kejagung membantah telah menghentikan perkara Agusrin. Oleh karena itu, hakim tunggal Supraja memerintahkan Kejagung untuk segera melimpahkan perkara Agusrin ke pengadilan. Dengan demikian, Supraja mengakui penanganan “perkara yang berlarut-larut tidak dilimpahkan ke pengadilan” sebagai objek praperadilan.
4)   Menyatakan penyidik Polri tidak berwenang
Putusan praperadilan petinggi PT Newmont Minahasa Raya (NMR) pada 2005 juga menjadi salah satu putusan praperadilan yang mencolok kala itu. Pasalnya, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Johanes E Binti menyatakan status tahanan kota dan wajib lapor enam orang petinggi NMR tidak sah menurut hukum. Dalam pertimbangannya, Johanes berpendapat, penyidik Polri dinilai tidak berwenang melakukan penyidikan, melainkan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Ia menganggap penyidikan yang dilakukan penyidik Polri tidak sah melanggar ketentuan dalam Surat Keputusan Bersama Penegakan Hukum Lingkungan Satu Atap (SKB). Sama halnya dengan putusan praperadilan tersangka kasus gula impor ilegal, Abdul Waris Halid. Pada Juli 2004, hakim tunggal PN Jakarta Selatan Effendi mengabulkan permohonan praperadilan Abdul. Effendi memerintahkan Mabes Polri membebaskan Abdul karena tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan Mabes Polri tidak sah. Effendi menyatakan penyidik Polri tidak berwenang menangani kasus gula impor ilegal. Penyidik yang berwenang menangani kasus Abdul adalah PPNS Bea dan Cukai. Kewenangan penyidikan oleh PPNS Bea dan Cukai itu sesuai dengan ketentuan Pasal 112 UU No.10 Tahun 1995 jo Pasal 6 UU No.8 tahun 1981 jo PP No.55 tahun 1996.
5)   Mengakui legal standing LSM
LSM MAKI tercatat beberapa kali mengajukan upaya praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Salah satunya, upaya MAKI mempraperadilankan berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi Sisminbakum atas nama tersangka Yusril Ihza Mahendra di Kejagung. Namun, permohonan MAKI ditolak hakim tunggal Ari Jiwantara.
Apanila kita memperhatikan, subyek hukum yang dapat mengajukan permohonan pra peradilan, maka yang dapat mengajukan Pra peradilan adalah :[12]
a.    Tersangka, yaitu apakah tindakan penahanan terhadap dirinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, ataukah penahanan yang dikenakan sudah melawati batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP ;
b.    Penyidik untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penuntutan ;
c.    Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan misalnya saksi korban.
 Dikabulkannya praperadilan juga harus ditinjau lagi secara adil apakah karena suatu sebab yang disengaja atau suatu sebab yang berasal dari luar proses penyidikan sehingga adanya pra peradilan adalah untuk menjaga agar penyidik tidak sewenang-wenang serta untuk mengawal agar proses penyidikan dan atau penuntutan berjalan dengan mekanisme yang diatur di dalam KUHAP.[13]
Oleh karena itu, meskipun masing-masing Aparat Penegak Hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mempunyai PROTAP (Prosedur Tetap) dan SOP (Standard Operating Procedure), akan tetapi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan ruang yang luas bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksaanan tugas-tugas dari Aparat Penegak Hukum tersebut. Sebuah Undang-Undang bukanlah benda mati dan sakral yang tidak bisa diubah dengan dalil apapun, bahkan sebaliknya suatu Undang-Undang haruslah mengadopsi dan juga merupakan suatu manifestasi dari teta keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketika masyarakat menyatakan bahwa suatu Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang ada, maka sudah saatnya pula bahwa Undang-Undang tersebut harus diperbaharui.
Meski demikian, sebelum adanya perubahan atas suatu Undang-Undang, terutama yang mengatur mengenai Hukum Acara, dalam hal ini adalah Hukum Acara Pidana, maka Pengadilan Negeri atau Hakim-Hakim yang menyidangkan perkara pra peradilan tetap berpegang pada ketentuan Hukum Acara yang ada, meskipun sebagai Hakim tetap memiliki kebebasan dalam menjatuhkan putusan. Hal ini disebabkan tidak digunakannya peraturan perundangan yang ada membuat putusan yang dihasilkan :
1.    Tidak dapat dieksekusi (unexcecutable) ;
2.    Menimbulkan disparitas antara putusan yang satu dengan putusan yang lain ;
3.    Menimbulkan ketidakpastian hukum ;
4.    Menimbulkan kebingungan dalam masyarakat ;
5.    Keadilan yang dihasilkan hanya bersifat semu dan dapat diperdebatkan (debatable) ;
Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan tertinggi bidang Yudikatif sudah saat mengenluarkan aturan mengenai pelaksanaan persidangan pra peradilan, baik dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), khusus dalam kalangan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, yaitu Pengadilan Negeri, maupun dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dalam hal mengatur titik singgung pelaksanaan persidangan pra peradilan antara Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Mahkamah Agung RI.
C.  KESIMPULAN
1)        Di dalam praktek persidangan pra peradilan, telah terjadi perubaha paradigma pemikiran oleh Hakim-Hakim yang menyidangkannya ;
2)        Pra peradilan tidak hanya didasarkan pada ketentuan dalam pasal 77 – 83 KUHAP akan tetapi juga menganai penetapan seseorang sebagai tersangka atau terdakwa dan juga mengenai pengertian 2 (dua) alat bukti ;
3)        Adanya putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya ditindaklanjuti dengan dilakukannya perubahan terhadap ketentuan pra peradilan dalam Hukum Acara di Indonesia baik yang dilakukan dengan melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau merubah secara parsial, pasal per pasal khusus pasal yang mengatur tentang Pra Peradilan ;
4)        Mahkamah Agung harus mengeluarkan aturan mengenai pra peradilan baik dalam bentuk SEMA maupun PERMA.

5)        PENUTUP
Tulisan singkat ini sebenarnya sangat tidak mencukupi untuk menjelaskan tentang pra peradilan, akan tetapi setidaknya dapat sedikit memberikan gambaran kepada kita semua bahwa telah terjadi perubahan paradigma pemikiran tentang pra peradilan, dari yang awalnya hanya berpegang pada ketentuan pasal 77 – 83 KUHAP, akan tetapi saat ini pra peradilan telah meluas  diluar ketentuan dalam KUHAP tersebut.

6)        DAFTAR BACAAN
Andi Hamzah – RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015
https://slissety.wordpress.com/ruu-kuhap-2015/, diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;

http://pantaukuhap.id/?p=1294, diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;




[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[5] Andi Hamzah – RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h.viii ;
[6] https://slissety.wordpress.com/ruu-kuhap-2015/, diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;

[11] http://pantaukuhap.id/?p=1294, diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...