PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DILIHAT DARI ASPEK HUKUM ADMINISTRASI
NEGARA (HAN)
OLEH : SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO[1]
A.
PENDAHULUAN
Sebagai negara yang sedang giat
membangun, tentunya membutuhkan dana pembangunan yang sangat besar. Adalah suatu
hal yang wajar apabila suatu pembangunan membutuhkan pengorbanan yang begitu
besar, bisa diibaratkan bahwa tanpa ada pengorbanan dari para pelaku
pembangunan tidak akan pernah ada pembangunan. Seperti apa pengorbanan dari
para pelaku pembangunan tersebut? Mungkin dapat digambarkan bahwa bahwa seorang
kepala daerah harus mampu mendesain dalam bentuk apa dalam membangun daerahnya,
berapa dana yang dibutuhkan, berapa tenaga kerja yang dibutuhkan, apa manfaat
dari pembangunan yang dirancangnya. Peran demikian dapat dikatakan bahwa
terdapat pengorbanan dari seorang kepala daerah
dalam berperan aktif dalam pembangunan. Dan hal ini hanya merupakan
salah satu contoh saja dari ribuan peran aktif dari masing-masing warga negara.
Peran aktif seorang kepala daerah
dalam gerak pembangunan seringkali melibatkan penggunaan dana pembangunan yang
begitu besar, yang seringkali menggoda sang kepala daerah tersebut untuk “sedikit”
menikmatinya. Keinginan tersebut benar-benar menjadi penyakit yang tidak mudah
untuk dihilangkan mengingat bahwa sifat manusiawi dari seorang manusia yang
menginginkan adanya kelebihan dari apa yang tekah dilakukannya demi memuaskan
keinginan pribadinya.
Perilaku kepala daerah yang
menginginkan bagian dari dana pembangunan yang digunakannya seringkali
dilakukan dengan melakukan berbagai hal, misalnya dengan melakukan
penggelembungan (mark up) dana pembangunan, pengurangan volume pembangunan,
perencanaan yang tidak komprehensif (asal-asalan), menerima imbalan dan masih
banyak perilaku negatif lainnya. Dari perilaku-perilaku tersebut, sebagian
merupakan wilayah dari hukum administrasi negara, adapula yang masuk ranah
hukum pidana dan ada juga yang masuk ranah hukum keperdataan.
Dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, seringkali melupakan hal
tersebut di atas. Hampir seluruh upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
hanya dilakukan melalui ranah hukum pidana, meskipun undang-undang tindak
pidana korupsi baik undang-undang nomor 31 tahun 1999 maupun undang-undang
nomor 20 tahun 2001 telah secara tegas menyebutkan kata penyalahgunaan wewenang yang secara tegas maupun secara eksplisit
merupakan domain dari hukum administrasi negara.
Oleh sebab itu, seharusnya ada upaya
mendudukkan kembali domain hukum adminstrasi negara di dalam upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Harus ada good will dari para pemegang kewenangan (stake holder) untuk dapat merubah paradigma kesalahan penerapan
hukum tersebut.
B.
MENDUDUKKAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Perilaku penyalahgunaan wewenang yang
merupakan ranah dari hukum adminstrasi negara sering dianggap sebagai delik
pidana di dalam perkara tindak pidana korupsi. Para penegak hukum, khususnya
pihak penyidik maupun penuntut umum, seringkali mengambil langkah gampang bahwa
salah satu penyebab kerugian negara akibat korupsi adalah karena adanya
penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi sering terlupakan, apakah benar telah
terjadi penyalahgunaan wewenang, bagaimana bentuk penyalahgunaan wewenang,
siapa pelakunya, apakah pelaku tunggal atau ada pelaku lainnya, apakah ada langkah
pencegahan sebelum adanya penyalahgunaan wewenang tersebut danmasih banyak
pertanyaan lain yang seharusnya dicari jawabannya secara administratif bukan
secara pidana.
Penyidik maupun penuntut umum bahkan
pengadilan tindak pidana korupsi tidak mempunyai kewenangan untuk menilai suatu
perbuatan aparatur pemerintahan sebagai suatu penyalahgunaan wewenang. Hal ini disebabkan
yang memiliki kewenangan menilai suatu perbuatan merupakan penyalahgunaan
wewenang hanya dapat dinilai di pengadilan yang khusus mengadili perkara hukum
adminstasi, yang dalam hal ini di Indonesia, dilakukan oleh pengadilan tata
usaha negara.
C.
TINDAKAN YANG DIPERLUKAN
Ketika aparat penegak hukum mencium
adanya indikasi tindak pidana korupsi yang disebabkan adanya penyalahgunaan
wewenang, maka apabila aparat penegak hukum tersebut akan melakukan penyidikan
terhadap aparatur pemerintahan sebagai terduga pelaku penyalahgunaan wewenang
yang menyebabkan timbulnya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan
negara, maka aparat penegak hukum tersebut seharusnya menilai perbuatan tersebut
dengan mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara. Harus diakui bahwa
terdapat paradigma bahwa beracara di pengadilan, termasuk di pengadilan tata
usaha negara, membutuhkan waktu yang lama dan bertele-tele. Tidak berlebihan
anggapan demikian sebab memang pada dasarnya proses gugatan membutuhkan proses
yang panjang. Namun hal ini tidak berarti tidak dapat dipangkas sehingga
menjadi lebih singkat.
Dalam ranah hukum perdata dikenal
adanya gugatan sederhana, yang mengharuskan suatu gugatan atas obyek yang
nilainya tidak lebih dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) harus
diputuskan dalam waktu paling lama 7 hari sejak gugatan tersebut didaftarkan
dan putusannya merupakan putusan akhir yang tidak ada upaya hukumnya. Hal ini
kiranya dapat diterapkan di bidang administrasi khususnya di pengadilan tata
usaha negara dalam menilai gugatan adanya penyalahgunaan wewenang yang
menimbulkan perilau korupsi dan mengakibatkan kerugian negara. Yang dinilai
disini HANYA mengenai adanya
penyalahgunaan wewenang, sedangkan perhitungan kerugian negara tetap menjadi
domain dari pengadilan tindak pidana korupsi.
Ketika suatu gugatan mengenai
penyalahgunaan wewenang telah diajukan maka harus diputuskan paling lama 7 hari
sejak gugatan diterima dan putusan yang dijatuhkan merupakan putusan akhir yang
tidak dapat diajukan upaya hukum baik banding maupun kasasi. Apabila diputuskan
terdapat penyalahgunaan wewenang, maka penyidik maupun penuntut umum dapat
langsung meneruskan perkara tersebut sebagai perkara tindak pidana korupsi,
namun akan lebih elok apabila aparat penegak hukum bisa memberikan tenggang waktu
kepada aparatur pemerintahan yang melakukan penyalahgunaan wewenang untuk dapat
mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkannya dalam periode waktu yang
telah ditentukan dalam undang-undang, jika dapat dikembalikan secara utuh, maka
aparatur pemerintahan tersebut hanya dapat dikenakan sanksi administratif,
namun apabila tidak dapt dikembalikan maka perkaranya diteruskan sebagai perkara
tindak pidana korupsi, namun apabila putusannya menyebutkan tidak terdapat
penyalahgunaan wewenang, maka terhadap aparatur negara yang diputuskan demikian
tidak dapat diajukan dalam perkara tindak pidana korupsi. Akan tetapi apabila
sudah diputuskan tidak terdapat penyalahgunaan wewenang namun secara nyata
terdapat kerugian negara, berdasarkan hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), maka menjadi tugas dari penyidik dan penuntut umum untuk meneruskan
pemeriksaan untuk menemukan apa penyebab terjadi kerugian negara, dengan
mengesampingkan aparatur pemerintahan yang sudah diputus tidak melakukan
penyalahgunaan wewenang.
Pertanyaannya, bisakah hal ini
dilakukan? Tentunya hal ini akan membutuhkan keinginan yang kuat dari para
pemangku kepentingan di bidang hukum di Indonesia untuk dapat bersinergi untuk
melindungi keuangan negara dan mencegah terjadinya perilaku koruptif.
D.
PERANAN MAHKAMAH AGUNG
Mahkamah Agung dapat mejadi pelopor
dalam hal ini, setidaknya dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung yang
mewajibkan setiap perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan aparatur
pemerintahan diserahkan untuk diperiksa terlebih dahulu penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan di pengadilan tata usaha negara sebelum diperiksa di pengadilan
tindak pidana korupsi dengan hukum acara sebagai perkara seperti gugatan
sederhana.
Apabila hal ini dapat dilakukan, maka
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak menghambat laju
pembagunan, mengingat saat ini banyak aparatur pemerintahan yang tidak bersedia
sebagai pelaku pembangunan, baik sebagai Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat
Pembuat Komitmen maupun jabatan sejenisnya.
E.
PENUTUP
Hukum sebagai instrumen dari suatu bangsa yang beradab akan selalu
berubah mengikuti perkembangan masyarakatnya. Hukum dianggap progesif adalah
ketika hukum tersebut bergerak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tidak statis
dan mampu merespon rasa keadilan dalam masyarakat.
Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi bahan pemikiran kita bersama
dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi namun upaya tersebut juga tidak
menghambat pembangunan sebab tidak ada bangsa yang maju tanpa adanya
pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar