Kamis, 02 Mei 2019

Ketentuan Pasal 419 ayat (1) dan Pasal 420 KUHP (Bagian II)

Tidak dapat dipungkiri bahwa Tindak Pidana Korupsi sudah menjadi WABAH PENYAKIT sejak masa Kolonial Belanda. Walaupun mungkin, jumlah perkara tipikor tidak sebanyak perkara tipikor saat ini. Oleh sebab itu, pengaturan pemidanaan terhadap perkara tipikor tidak dibuat secara khusus dan tetap tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan tidak pula dibentuk lembaga otonom yang mempunyai kekuasaan yang besar untuk melakukan penyidikan dan penuntutan perkara tipikor.
Hal ini memang memerlukan kajian yang lebih mendalam, apakah memang perkara tipikor HANYA merupakan perkara pidana biasa atau pidana khusus. Dan juga perlu ada kajian terhadap perlunya ada lembaga otonom dalam penindakan tindak pidana korupsi.
Dalam perjalanan sejarahnya, penindakan korupsi di era setelah kemerdekaan memang sangat panjang. Pemerintah sempat mengadakan operasi khusus pemberantasan korupsi yang dikenal dengan nama OPERASI BUDHY di sekitar akhir tahun 1960an, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan beberapa lembaga anti korupsi dan saat ini telah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan pembentukan berbagai lembaga anti korupsi tersebut, apakah perkara tipikor menjadi berkurang? Perlu ada kajian ilmiah untuk menjawabnya, sebab saat ini justru semakin banyak perkara korupsi yang terungkap, atau korupsi-korupsi tersebut tidak akan terungkap di masa lalu?
Salah satu penyebab tipikor adalah POLA HIDUP HEDONIS, apa itu? Secara singkat pola hidup hedonis adalah pola hidup yang mengandalkan harta sebagai tolok penilaian terhadap seseorang. Seorang akan dianggap bermartabat apabila PUNYA HARTA. Hal inilah yang harus diubah sebab dengan perubahan pola pikir ini (barangkali) akan membuat perkara tipikor akan berkurang.
Kembali kepada pengaturan mengenai perkara tipikor, sebenarnya cukup diatur di dalam KUHP dengan mengadopsi ketentuan Undang-Undang Tipikor yang sudah ada. Dan yang lebih penting adalah penguatan lembaga penegak hukum yang ada. Bersihkan dahulu lembaga penegak hukum baik itu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan bahkan Lembaga Pemasyarakatan dari perilaku koruptif. Sebab dengan menjadi bersih, maka lembaga-lembaga penegak hukum tersebut bisa menjadi ujung tombak pemberantasan tipikor. Lalu, bagaimana posisi KPK? Adanya baiknya lembaga ini melebur kembali ke dalam lembaga penegak hukum yang sudah ada atau menjadi lembaga penasihat kepresidenan khusus dalam hal penindakan tipikor dengan kewenangan pro justitial untuk MENCIDUK aparat-aparat penegak hukum yang masih berperilaku koruptif.
Semua ini hanya dapat dilakukan apabila seluruh penegak hukum sudah bersinergi dan satu kata dalam penindakan perkara tipikor. Tanpa ada sinergitas dan satu kata dalam penindakan perkara tipikor, tidak akan terwujud.

Ketentuan Pasal 419 ayat (1) dan Pasal 420 KUHP

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tetang Pemberantasan Korupsi yang beberapa kali diperbaharui sampai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, khusus perihal SUAP (PASSIVE OMKOPING), sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu di dalam ketentuan Pasal 419 ayat (1) dan Pasal 420 KUHP. 
Ketentuan Pasal 419 ayat (1) KUHP tersebut menyebutkan :
"Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, dihukum pegawai negeri :
a. Yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk membujuknya supaya dalam jabatannya melakukan atau mengalpakan sesuatu apa yang berlawanan dengan kewajibannya;
b. Yang menerima pemberian, sedang diketahuinya bahwa pemberian itu diberikan kepadanya oleh karena atau berhubungan dengan apa yang telah dilakukan atau dialpakan dalam jabatannya yang berlawanan dengan kewajibannya". Penjelasan singkat pasal ini adalah Pegawai Negeri yang dimaksud adalah termasuk juga Aparatur Kepolisian dan Kejaksaan.
Sedangkan ketentuan Pasal 420 KUHP menyebutkan :
"Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, dihukum :
a. Hakim yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya, bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi keputusan suatu perkara yang diserahkan pada pertimbangannya;
b. Barangsiapa yang menurut peraturan perundang-undangan ditunjuk sebagai pembicara atau penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan yang menerima atau perjanjian, sedang ia tahu bahwa hadiah atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi pertimbangan atau pendapatnya tentang perkara yang harus diputuskan oleh pengadilan tersebut";
Ketentuan Pasal 420 ayat (2) KUHP menyebutkan :
"Jika pemberian atau perjanjian itu diterima dengan keinsyafan, bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya supaya mendapatkan suatu penghukuman dalam perkara pidana maka si tersalah dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun".
Penjelasan singkat atas Pasal 420 ayat (1) dan (2) KUHP adalah pasal ini dikhususkan kepada HAKIM dan ADVOKAT (dahulu disebut Pengacara).
Dari kedua ketentuan tersebut, sebenarnya kita bisa melihat bagaimana pandangan pembuat undang-undang di masa kolonial Belanda yang sudah bisa memperkirakan bahwa suatu saat nanti ketentuan undang-undang ini dapat diberlakukan. Sebagai catatan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang berlaku di Belanda dan mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...