Pemilihan
Umum atau biasa disebut dengan PEMILU sudah menjadi hal yang biasa dilaksanakan
di Indonesia. Bahkan, karena sudah seringnya dilakukan atau dilaksanakan,
sehingga kita menjadi bosan dan akhirnya tidak memperhatikannya secara cerdas,
bahwa sebenarnya banyak fenomena yang lazim terjadi pada saat pemilu.
Fenomena
yang lazim terjadi saat pemilu ini yang apabila tidak disikapi dengan bijak,
bukan tidak mungkin bisa menjadi penghambat lancarnya pelaksanaan pemilu di
kemudian hari. Meskipun demikian, sebenarnya fenomena yang sering terjadi saat
pemilu sebenarnya bisa menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua.
Beberapa
fenomena yang terjadi pada saat pelaksanaan pemilihan umum tersebut diantaranya
adalah :
1) Merasa Paling Bisa
Dalam setiap pelaksanaan pemilu, baik itu pemilihan
presiden/wakil presiden, pemilihan anggota dewan, pemilihan kepala daerah/wakil
kepala daerah, kita past akan disuguhi tontonan baik di media massa cetak,
televisi maupun media sosial, pernyataan seseorang yang merasa paling bisa
menjadi calon yang akan dipilih dalam pemilu. Hal ini sebenarnya baik, karena
sedari kecil kita selalu diajarkan untuk selalu percaya pada kemampuan diri
sendiri, akan tetapi dalam tataran pemilihan umum, kepercayaan diri tersebut
bisa juga akan disebut sebagai sebuah kesombongan diri, yang menyatakan bahwa
hanya dirinya sebagai calon yang mampu dan harus dipilih dalam pemilu,
sedangkan calon yang lain dianggap tidak mampu.
Memang benar, setiap penjual pasti akan akan mengatakan
bahwa apa yang dijual adalah produk yang paling baik. Namun tentunya dalam
paktek promosi penjualan, setiap produk akan dilengkapi dengan klasifikasi
produk yang akan dijual, khususnya mengenai kelebihan dari produknya, yang
seringkali dilengkapi dengan data secara ilmiah. Nah, dalam kaitan pemilihan
umum, sudah seharusnya seseorang yang akan mencalonkan diri juga melengkapi
dirinya dengan data, yang kalo bisa data secara ilmiah, yang bisa membuktikan
bahwa dirinya adalah calon yang paling harus dipilih, bukan cuma omon-omon
doang yang gak ada buktinya.
2) Perlu Modal Besar
Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa apabila seseorang akan mencalonkan diri dalam
pemilu, diperlukan modal yang besar. Karena itu, di negara-negara besar dan
sudah maju demokrasinya, setiap orang yang akan mencalonkan diri adalah
orang-orang yang sudah sukses secara ekonomi dan sudah selesai dirinya sendiri,
artinya, sudah tidak memikirkan keperluan hidup diri dan keluarganya.
Hal yang
berbeda yang terjadi di Indonesia, banyak orang yang mencalonkan diri adalah
orang-orang yang tidak didukung dengan kekuatan finansial yang kuat, sehingga
seringkali harus meminta bantuan kepada orang lain yang mempunyai modal besar,
yang seringkali menjadi hutang politik saat orang yang mencalonkan diri
tersebut benar-benar terpilih. Jadi, jangan heran ketika seseorang yang
terpilih akhirnya melakukan korupsi, hanya untuk menutup hutang politiknya,
khususnya secara finansial kepada orang lain.
3) Mencari Pekerjaan Dan Status Sosial
Bukan
menjadi hal baru ketika seseorang mencalonkan diri dalam pemilu adalah untuk
bisa mendapatkan pekerjaan dan status sosial. Menjadi anggota dewan atau
menjadi kepala pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, tentunya menjadi
pekerjaan yang menjanjikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup besar
sekaligus menaikkan status sosial orang tersebut. Banyak orang di Indonesia
yang mencalonkan diri, benar-benar hanya untuk mendapatkan pekerjaan dan
pendapatan yang layak. Sungguh miris.
Seseorang
merasa sudah menduduki kedudukan politik yang tinggi ketika dirinya dipanggil
dengan sebutan YANG MULIA, meskipun pada kenyataannya, ketika menduduki jabatan
tersebut, dirinya tidak amanah atau tidak bisa menjaga kepercayaan masyarakat
yang diberikan kepadanya. Hal ini menjadi hal yang jamak terjadi pada setiap
pemilu di Indonesia dan mirisnya, kita sendiri sebagai warga masyarakat tidak
menyadarinya.
4) Nyampah Di Setiap Sudut Kota
Ini yang
sering terjadi, ketika mencalonkan diri, seseorang cenderung akan menyebar
spanduk, banner atau pamflet di setiap sudut kota, baik dipasang melintang di
tengah jalan atau ditempel sembarangan di tembok-tembok rumah atau toko. Keadaan
ini akhirnya hanya akan menjadi sampah yang memenuhi setiap sudut kota dan
merepotkan semua pihak ketika akan dibersihkan.
Sampai
saat ini, masih sedikit orang yang mencalonkan diri yang mempromosikan dirinya
secara cerdas. Banyak cara yang bisa dilakukan mempromosikan diri dengan tidak
membuat sampah, misalnya dengan melakukan siarang langsung maupun tidak
langsung melalui media televisi atau media sosial. Atau, seperti yang pernah
penulis saksikan saat pemilu walikota di sebuah kota di Turki, sang calon akan
mendatangi setiap rumah warga untuk membagikan pamflet kertas berukuran kecil
yang berisikan bahan kampanyenya sekaligus bertatap muka dengan warga untuk
menyerap aspirasi warga. Hal ini cukup simpatik, daripada kampanye di lapangan
yang dihadiri banyak orang yang bisa menimbulkan gesekan secara sosial atau
bahkan bisa menimbulkan kebisingan dari knalpot sepeda motor para peserta
kampanye, padahal mereka sendiri sebagai peserta kampanye sama sekali gak tau
isi dari kampanye dari para calon yang akan mereka pilih, karena lebih banyak
diisi hiburan dangdutan.
Jadi, dari beberapa hal yang telah
penulis sebutkan di atas, kira-kira apakah akan terulang lagi pada
pemilu-pemilu yang akan datang? Sudah saatnya kita sebagai warga negara yang
baik bisa memilih dan memilah calon yang akan kita pilih saat diadakan
pemilihan umum. SEMOGA.