KEBERADAAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA DALAM PERJALANAN NEGARA DARI AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI DENGAN REFORMASI
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
I.
Latar Belakang
Sebagai
Negara yang menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia
telah menyatakan sebagai Negara Hukum, maka Indonesia memliki politik hukum
yang akan membentuk sistem hukum yang akan diberlakukan. Sebagaiamana
dikemukakan oleh Padmo Wahjono yang dikutip oleh Abdul Latif, menyatakan bahwa,
“Polittik Hukum sebagai kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang berlaku”.[2]
Pendapat
dari Padmo Wahjono ini tentu masih bersifat abstrak, sehingga kemudian Padmo
Wahjono melengkapinya dalam sebuah Majalah Forum
Keadilan yang berjudul Menyelisik
Proses Terbentuknya Undang-Undang, mengatakan, “Politik Hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu”.[3]
Sehingga dengan demikian dari pendapat padmo Wahjono tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa “Politik Hukum adalah
kebijakan yang bersifat mendasar dalam menentukan aarah, bentuk maupun isi dari
hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu”.[4]
Dari
politik hukum itulah yang kemudian akan menentukan sistem hukum yang akan
berlaaku di Indonesia, termasuk pula produk perundang-undangan yang akan
dibentuk.
II. Permasalahan
Dari uraian
tersebut di atas, maka akan timbul suatu permasalahan yaitu, “Bagaimana keberadaan Sistem Hukum Di
Indonesia Dalam Perjalanan Negara Dari Awal Kemerdekaan Sampai Dengan Reformasi
?”
III. Pembahasan
Tidak dapat
dipungkiri bahwa sebagai bekas Negara Jajahan Belanda, maka Sistem Hukum yang
berlaku di Indonesia dipengaruhi oleh Sistem Hukum Belanda yaitu Civil Law. Pembentukan
Sistem Hukum Nasional sampai saat ini masih belum selesai dan masih banyak
harmonisasi pengaruh hukum asing atau internasional. Akan tetapi, sudah
terlihat adanya Politik Hukum untuk
(setidaknya) mengganti Sistem Hukum peninggalan Kolonial Belanda dengan Sistem
Hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
Romli Atmasasmita mengatakan, “Langkah pertama Pemerintah menasionalisasi
sistem hukum asing (Belanda) yaitu permberlakuan Undang-Undnag Nomor 1 Tahun
1946 berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Indonesia. Langkah tersebut
kemudian dilanjutkan dengan penggantian ketentuan Hukum Acara Pidana warisan
pemerintah Kolonial Belanda, Het
Herziene Inlands Reglement (HIR) dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.”[5]
Thomas E Davitt mengatakan, “Regulasi merupakan sesuatu yang universal
di semua masyarakat yang pernah dan bisa diketahui siapapun. Manusia dipandu
dan diarahkan oleh aturan, kode etik dan seperangkat kebiasaan yang membedakan
apa yang bisa diterima dan tidak, apa yang baik dan burukm apa yang benar dan
salah.”[6]Atas
dasar itulah kemudian mengharuskan Pemerintah Indonesia
untuk segera memperbaharui sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang diharapkan akan lebih sesuai
dengan keadilan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Di bidang Hukum Pidana, adalah suatu
langkah besar bagi bangsa Indonesia, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah
menggantikan sebagian besar ketentuan-ketentuan di dalam Het Herziene Inlands Reglement
(HIR), akan tetapi berkaitan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
bangsa Indonesia masih mempergunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
peninggalan Belanda yang dijadikan Hukum Pidana Nasional berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1958, diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia.
Hal ini tentu saja menyadarkan kepada
kita semua, bahwa nilai-nilai yang terkandiung di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana peninggalan Belanda tentu saja tidak sesuai dengan nilai-nilai
yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Untuk itulah diperlukan
adanya pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menurut pendapat
Sri Endah Wahyuningsih, mengatakan, “Visi
dan misi rekonstruksi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional telah
ditegaskan di dalam Penjelasan RUU KUHP yang diarahkan kepada misi dekolonisasi, demokrasi, konsolidasi,
adaptasi dan harmonisasi hukum
pidana, terhadap perbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat
perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan
nilai-nilai, standar serta norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di
dunia internasional”.[7]
Lebih lanjut, Sudarto mengatakan, “Modernisasi merupakan proses penyesuaian
diri dengan keadaan konstalasi dunia pada waktu ini. Secara
umum penyesuaian yang dilakukan dalam memodernisir diri suatu Negara berupa
pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern yang
tertampung dalam pengertian revolusi industri.”[8]Berkaitan dengan studi tentang
perkembangan masyarakat terhadap hukum pidana, antara lain dilakukan oleh
Wolfgang Friedmann, yang mengetehakan butir-butir pembahasan sebagai berikut :[9]
a.
Kejahatan ekonomi yang
merugikan masyarakat ;
b.
Pencemaran Lingkungan ;
c.
Kebijaksanaan diam-diam yang
berhubungan dengan sex dalam hukum pidana ;
d. Hukum Pidana di Negara makmur, masalah
mensrea dan pelanggaran terhadap kesejahteraan umum ;
e.
Ilmu pengetahuan modern dan
pertanggungjawaban individu ;
f.
Badan Hukum dan
pertanggungjawaban pidana ;
g.
Psikologi modern dan hukum
pidana ;
h.
Tujuan pembaharuan hukum ;
i.
Alternatif bagi sanksi pidana ;
j.
Hukum
pidana di masa yang akan datang.
Sudarto
mengambahkan, “Orang mengira bahwa
kemajuan ekonomi akan mengurangi kejahatan, kenyataannya tidaklah demikian,
bahkan kemajuan ini diikuti secara membandel oleh kemajuan dari aktivitas
kejahatan, sehingga hampir dapat dikatakan bahwa kemajuan di bidang ekonomi
atau di bidang sosial pada umumnya itu sendiri merupakan biang dari
perkembangan kejahatan.”[10]
Kiranya
perlu dicermati bahwa pembagunan adalah usaha atau kegiatan yang sudah diniati
atau disengaja dan direncanakan sejak semula untuk mencapai hasil yang lebih
baik menurut ukuran kualitas maupun kuantitas atau hanya kaualitas ataupun
kuantitas saja.[11]
Lebih lanjut Ronny hanitijo Soemtro mengemukakan, “Peranan dan fungsi hukum dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan
ini adalah menjamin agar proses perubahan berjalan menurut suatu cara yang
tertib dan perubahan-perubahan yang berjalan secara tertib dengan melalui
proses hukum dalam bentuk perundang-undangan atau keputusan Pengadilan adalah
selalu lebih baik dari perubahan-perubahan yang tidak teratur dengan
mempergunakan kekerasan”.[12]
Oleh karena
itu bangsa Indonesia perlu bersepakat dan sependapat bahwa harus ada
pembaharuan hukum di Indonesia yang sejalan dengan nilai-nilai luhur yang hidup
dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia.
Terutama pada saat era Reformasi saat ini dimana kesadaran masyarakat
akan pentingnya hukum semakin besar sehingga menuntut pelaksanaan peraturan
perundang-undangan yang lebih baik lagi. Terlebih bagi para Aparatur Penegak
Hukum (APH), perlu lebih memahami kondisi masyarakat Indonesia yang saat ini
sangat membutuhkan terciptanya keadilan yang benar-benar adil di dalam setiap
perikehidupan masyarakat.
Pada saat
ini Indonesia telah memiliki Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RUU-KUHP) dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (RUU-KUHAP), yang masing-masing ditujukan untuk menggantikan peraturan
perundang-undangan yang lama dan diharapkan dapat mampu memberikan rasa
keadilan kepada masyarakat.
Muladi dan
Barda Nawawi Arief mengatakan, “Tujuan
pidana dan pemidanaan menurut Konsep Rencana KUHP Nasional bertitik tolak dari
suatu pandangan filosofis tertentu, yaitu pembinaan (treatment phylosophy) yang sudah seharusnya juga mempunyai pengaruh
dalam menetapkan kebijakan strategi berikutnya yaitu dalam kebijakan menetapkan
sanksi pidana.”[13]
Perkembangan
hukum nasional masa Reformasi saat ini merupakan konsekuensi sistem demokrasi
yang menuntut transparansi, mengedepankanhak asasi manusia serta membuka akses
informasi publik ke dalam birokrasi dan seluruh proses rekonstruksi sosial dan
pengembangan sarana dan prasarana dalam pembangunan nasional selalu
dilaksanakan melalui dan dilandaskan produk peraturan perundang-undangan yang
berlaku.[14]
Lebih lanjut Romli mengatakan, “Dalam
praktek pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam kaitan Teori Hukum Pembangunan masih
sering mengalami hambatan-hambatan antara lain kebiasaan kurang terpuji selama
50 (lima puluh) tahun Indonesia merdeka, yaitu pengambil kebijakan sering
memanfaatkan celah untuk menggunakan hukum sekedar alat (mekanis) dengan tujuan
memperkuat dan mendahulukan kepentingan kekuasaan daripada kepentingan dan
manfaat bagi masyarakat seluas-luasnya”.[15]
Selanjutnya,
Romli Atmasasmita mengatakan, “Perkembangan hukum pasca Reformasi (1998)
lebih kompleks, karena tuntutan reformasi dalam bidang politik, hukum, sosial
dan ekonomi dilaksanakan pada awal tahun 1998 terbukti sangat cepat tanpa
melalui masa transisi yang memadai untuk mengendapkan dan mendalami esensi
reformasi kehidupan ketatanegaraan serta sistem politik di Indonesia saat itu. Selain
itu dalam masalah penataan kelembagaan aparatur hukum, masih mengedepankan
egoisme sektoral, miskomunikasi dan miskoordinasi antar lembaga penegak hukum
yang disebabkan miskinnya pemikiran pemahaman aparatur hukum mengenai prinsip
Good Governance, due process of law, praduga tak bersalah, transparancy,
acountability dan the right to counsel.”[16]
Akan
tetapi, sampai saat ini masyarakat Indonesia masih mengedepankan pembaharuan
hanya di bidang hukum pidana, sedangkan dalam hukum privat (hukum perdata),
terutama di dalam proses acara persidangan maupun di dalam hukum materiilnya,
sampai saat ini masih menggunakan ketentuan hukum peninggalan kolonial Belanda.
Masih
diberlakukannya Het Herziene Inlands Reglement (HIR), Rv maupun Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) yang merupakan pengalihan dari aturan-aturan
dalam Burgerlijke Wetboek (BW), membuktikan bahwa sampai saat ini belum ada
perhatian akan adanya pembaharuan di bidang hukum perdata. Padahal sebagaimana
dikemukakan oleh M. Yahya Harahap dalam Kata Pengantar Bukunya, “Benar dan adilnya penyelesaian perkara di
depan pengadilan, bukan dilihat pada hasil akhir putusan yang dijatuhkan,
tetapi harus dinilai sejak awal proses pemeriksaan perkara dimulai, apakah
sejak tahap awal ditangani, Pengadilan memberi pelayanan sesuai dengan
ketentuan hukum acara atau tidak.”[17]
Keberadaan
Hukum Acara Perdata yang baru yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat sangat dibutuhkan sebab, hal tersebut akan menentukan
lancar tidaknya proses persidangan dan memberikan kepastian huikum kepada para
pencari keadilan. Sebab, dalam perkembangan zaman seperti saat ini dimana
poertumbuhan ekonomi bertambah tentu akan menimbulkan pertambahan kebutuhan
ekonomi dari warga masyarakat yang sudah tentu akan dapat menimbulkan
gesekan-gesekan di dalamnya. Hal ini tidak terlepas dari pendapat yang
dikemukakan oleh Hanitijo Soemitro, “Pembangunan
dan modernisasi membuka kemungkinan untuk menjalankan pola hidup yang
berlebih-lebihan, mewah dan bersifat konsumtif. Perubahan pola konsumsi pada
satu golongan kelihatan sangat lambat dan tidak berarti sehingga timbul jurang
yang mengganggu rasa keadilan dan menimbulkan keresahan sosial.”[18]
Sangat
disayangkan apabila hukum perdata Indonesia belum mampu mengatasi adanya
perubahan pola kehidupan masyarakatnya. Meskipun dalam praktek, telah
diterbitkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang mengatur
permasalahan perdata, akan tetapi hal pokok mengenai Hukum Acara Perdata belum
juga ada pembaharuan, masih menggunakan hukum peninggalan kolonial Belanda.
Keberadaan pembaharuan hukum tentunya dapat menimbulkan adanya Hukum Modern.
Hanitijo
Soemitro lebih lanjut mengatakan,[19]
“Menurut pendapat lawrence M. Friedman,
cirri-ciri hukum adalah sebagai berikut :
a.
bersifat sekuler dan pragmatis ;
b.
berorientasi kepada kepentingan dan
merupakan usaha yang dilakukan secara sadar oleh manusia ;
c. bersifat terbuka dan
mengandung unsur perubahan yang dilakukan secara sengaja ;”
Dari pendapat tersebut, dapat dijelaskan
bahwa norma-norma hukum dapat dipergunakan sebagai sarana untuk
mengkonkretisasikan dan mengoperasionalisasikan nilai-nilai dan sikap-sikap
untuk mencapai modernisasi manusia dan memodernisasi masyarakat manusia.[20]
Peradilan sebagai benteng terakhir
para pencari keadilan perlu bertindak dalam koridor hukum tanpa melupakan
esensinya yaitu memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi para pencari
keadilan. Oleh karenanya sudah mendesak kiranya apabila para ahli hukum di Indonesia
mulai memikirkan adanya pembaharuan di bidang hukum perdata formil (hukum
acara) maupun hukum perdata materiil (hukum perdata), sebagai landasan berpijak
bagi aparatur Pengadilan di dalam melaksanakan tugas-tugasnya memberikan
pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan.
Tanpa adanya pembaharuan hukum acara
perdata, maka akan tetap dipergunakan hukum acara peninggalan Belanda yang
sudah usang dan tidak mencerminkan
nilai-nilai keadilan dalam masyarakat Indonesia, yang bahkan bisa menghambat
atau memperlama para pencari keadilan di dalam proses peradilan. Sedangkan
tanpa adanya pembaharuan hukum perdata materiil, maka segala sesuatu yang
berkaitan dengan hubungan keperdataan masih menggunakan hukum perdata
peninggalan Belanda yang sudah tidak up
to date dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia saat ini.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di
atas, maka kiranya dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat perubahan yang cepat di dalam
kehidupan bermasyarakat di Indonesia, akan tetapi hukum yang berlaku saat ini
tidak dapat sepenuhnya menjamin dan melindungi masyarakat dari dampak negatif
perubahan tersebut ;
2. Perlu segera diadakan pembaharuan baik
Hukum Pidana Materiil, Hukum Pidana Formil, Hukum Perdata Materiil dan Hukum
Perdata Formil, demi menjamin terselenggaranya tata kehidupan masyarakat yang
harmonis ;
3. Perlunya pemahaman dari Aparat Penegak
Hukum untuk tidak hanya memandang hukum yang tertulis saja (peraturan
perundang-undangan) tetapi juga hukum yang tidak tertulis.
[1] Wakil Ketua pada
Pengadilan Negeri Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara, Mahasiswa S3 pada Program
Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
Semarang.
[2] Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Jakarta, Sinar
Grafika, h. 25.
[3] Ibid, h. 25.
[4] Ibid, h. 25.
[5] Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, 2012, Yogyakarta, Genta Publishing, h. 61.
[6] Thomas E. Davitt, Nilai-Nilai DasarDi Dalam Hukum, Menganalisa Implikasi-Implikasi Legal
Etik Psikologi & Antropologi Bagi Lahirnya Hukum, 2012, Yogyakarta,
Pallmall, h. 85.
[7] Sri Endah Wahyuninsih, 2013, Perbandingan
Hukum Pidana, Dari Perspektif Religious Law System, Semarang, h. 10.
[8] Sudarto, 1983, Hukum Pidana
Dan Perkembangan Masyarakat, kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru, h. 39
– 40.
[9] Ibid, h. 40 – 41.
[10] Ibid, h. 46.
[11] Ronny hanitijo Soemitro, 1984, Permasalahan Hukum Di Dalam Masyarakat, Bandung,
Almuni, h. 78.
[12] Ibid, h. 78 – 79.
[13] Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori
Dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, h. 96 – 97.
[14] Romli Atmasasmita, Op.Cit., h. 75.
[15] Ibid, h. 75 – 76.
[16] Ibid, h. 79 – 80.
[17] M. Yahya Harahap, 2004, Hukum
Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, h. v.
[18] Hanitijo Soemitro, Op.Cit., h. 37 – 39.
[19] Ibid, h.82 – 83.
[20] Ibid, h. 86.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdurrahman, 1983, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, Cendana Press.
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.
Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Hukum Acara Pidana, Jakarta, Ghalia
Indonesia.
Barda Nawawi, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Semarang, PT. Citra
Adtya Bakti.
L & J Law Firm. 2009. Bila
Anda Menghadapi Masalah Hukum. Hak Anda saat Digeledah, Disita,
Ditangkap, Ditahan, Didakwa dan Dipenjara. Jakarta. Forum Sahabat
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik
Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika
-----------------. 2010. Proses
Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika.
Lilik Mulyadi, 1996, Hukum Acara
Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan
Peradilan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan
Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.
Moeljatno, 1983,
Asas-asas hukum Pidana, Jakarta: PT. Bina Aksara
Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori-teori
dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan Dan Penuntutan, Jakarta, Sinar
Grafika.
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika.
Peter Mahmud
Marzuki. 2006.Penelitian Hukum. Kencana
Prenada Media Group. Jakarta
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979, Sendi-Sendi Ilmu Hukum Dan Tata Hukum, Bandung, Alumni.
R. Soesilo,
1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia – Bogor
Romly Atmasasmita, 1996, Sistem
Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung,
Bina Cipta.
Romly Atmasasmita, 2012, Teori Hukum
Progresif, Cetakan Kedua, Yogyakarta, Genta Publishing.
Roeslan Saleh, 1981, Sifat Melawan
Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta, Aksara Baru.
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide
Diversi Dalam Pembaruan Sistem Hukum Peradilan Anak Di Indonesia, Yogyakarta,
Genta Publishing
Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni
Made Martini Tinduk, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak
(Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia
Sudarto, 1980, Asas-asas
Hukum Pidana. FH UNDIP Semarang
Sudarto, 1983, Hukum
Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadapa Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru.
Sudibyo Triatmodjo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Bandung,
Alumni.
Sri Endah Wahyuningsih, 2013, Prinsip-Prinsip Individualisasi Pidana Dalam Hukum Pidana Islam dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Semarang, Unissula Press.
Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana,
Yogyakarta: RajaGrafindo Perkasa
Tirtaadmidjaja, 1953. Kedudukan Hakim dan Jaksa. Jakarta
: Fasco.
Thomat E.Davitt, 2012, Nilai-Nilai Dasar Di Dalam Hukum, Menganalisa Implikasi-Implikasi
Psikologi dan Antropologi bagi Lahirnya Hukum, Cetakan Pertama, Yogyakarta,
Pallmal.
Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan
Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa
Negara, Cetakan Pertama, Jakarta, PT. Buku Seru.
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak
Pidana tertentu di Indonesia, Bandung, Eresco
Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika
Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Internet
http://blogingria.blogspot.com/2012/03/sistem-peradilan-pidana.html
[1]http://triwantoselalu.blogspot.com/2009/06/sistem-peradilan-pidana.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar