Kamis, 26 Maret 2015

KEBERADAAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA



KEBERADAAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA DALAM PERJALANAN NEGARA DARI AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI DENGAN REFORMASI

OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]


I.       Latar Belakang
Sebagai Negara yang menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah menyatakan sebagai Negara Hukum, maka Indonesia memliki politik hukum yang akan membentuk sistem hukum yang akan diberlakukan. Sebagaiamana dikemukakan oleh Padmo Wahjono yang dikutip oleh Abdul Latif, menyatakan bahwa, “Polittik Hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang berlaku”.[2]
Pendapat dari Padmo Wahjono ini tentu masih bersifat abstrak, sehingga kemudian Padmo Wahjono melengkapinya dalam sebuah Majalah Forum Keadilan yang berjudul Menyelisik Proses Terbentuknya Undang-Undang, mengatakan, “Politik Hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu”.[3] Sehingga dengan demikian dari pendapat padmo Wahjono tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa “Politik Hukum adalah kebijakan yang bersifat mendasar dalam menentukan aarah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu”.[4]
Dari politik hukum itulah yang kemudian akan menentukan sistem hukum yang akan berlaaku di Indonesia, termasuk pula produk perundang-undangan yang akan dibentuk.
II. Permasalahan
Dari uraian tersebut di atas, maka akan timbul suatu permasalahan yaitu, “Bagaimana keberadaan Sistem Hukum Di Indonesia Dalam Perjalanan Negara Dari Awal Kemerdekaan Sampai Dengan Reformasi ?”

III. Pembahasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai bekas Negara Jajahan Belanda, maka Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia dipengaruhi oleh Sistem Hukum Belanda  yaitu Civil Law. Pembentukan Sistem Hukum Nasional sampai saat ini masih belum selesai dan masih banyak harmonisasi pengaruh hukum asing atau internasional. Akan tetapi, sudah terlihat adanya Politik  Hukum untuk (setidaknya) mengganti Sistem Hukum peninggalan Kolonial Belanda dengan Sistem Hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
Romli Atmasasmita mengatakan, “Langkah pertama Pemerintah menasionalisasi sistem hukum asing (Belanda) yaitu permberlakuan Undang-Undnag Nomor 1 Tahun 1946 berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Indonesia. Langkah tersebut kemudian dilanjutkan dengan penggantian ketentuan Hukum Acara Pidana warisan pemerintah Kolonial Belanda, Het Herziene Inlands Reglement (HIR)  dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.”[5]
Thomas E Davitt mengatakan, “Regulasi merupakan sesuatu yang universal di semua masyarakat yang pernah dan bisa diketahui siapapun. Manusia dipandu dan diarahkan oleh aturan, kode etik dan seperangkat kebiasaan yang membedakan apa yang bisa diterima dan tidak, apa yang baik dan burukm apa yang benar dan salah.”[6]Atas dasar itulah kemudian mengharuskan Pemerintah Indonesia untuk segera memperbaharui sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang diharapkan akan lebih sesuai dengan keadilan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Di bidang Hukum Pidana, adalah suatu langkah besar bagi bangsa Indonesia, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah menggantikan sebagian besar ketentuan-ketentuan di dalam Het Herziene Inlands Reglement (HIR), akan tetapi berkaitan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bangsa Indonesia masih mempergunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan Belanda yang dijadikan Hukum Pidana Nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia.
Hal ini tentu saja menyadarkan kepada kita semua, bahwa nilai-nilai yang terkandiung di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan Belanda tentu saja tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Untuk itulah diperlukan adanya pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menurut pendapat Sri Endah Wahyuningsih, mengatakan, “Visi dan misi rekonstruksi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional telah ditegaskan di dalam Penjelasan RUU KUHP yang diarahkan kepada misi dekolonisasi, demokrasi, konsolidasi, adaptasi dan harmonisasi hukum pidana, terhadap perbagai perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar serta norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional”.[7]
Lebih lanjut, Sudarto mengatakan, “Modernisasi merupakan proses penyesuaian diri dengan keadaan konstalasi dunia pada waktu ini. Secara umum penyesuaian yang dilakukan dalam memodernisir diri suatu Negara berupa pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern yang tertampung dalam pengertian revolusi industri.”[8]Berkaitan dengan studi tentang perkembangan masyarakat terhadap hukum pidana, antara lain dilakukan oleh Wolfgang Friedmann, yang mengetehakan butir-butir pembahasan sebagai berikut :[9]
a.       Kejahatan ekonomi yang merugikan masyarakat ;
b.      Pencemaran Lingkungan ;
c.       Kebijaksanaan diam-diam yang berhubungan dengan sex dalam hukum pidana ;
d.      Hukum Pidana di Negara makmur, masalah mensrea dan pelanggaran terhadap kesejahteraan umum ;
e.       Ilmu pengetahuan modern dan pertanggungjawaban individu ;
f.       Badan Hukum dan pertanggungjawaban pidana ;
g.      Psikologi modern dan hukum pidana ;
h.      Tujuan pembaharuan hukum ;
i.        Alternatif bagi sanksi pidana ;
j.        Hukum pidana di masa yang akan datang.
Sudarto mengambahkan, “Orang mengira bahwa kemajuan ekonomi akan mengurangi kejahatan, kenyataannya tidaklah demikian, bahkan kemajuan ini diikuti secara membandel oleh kemajuan dari aktivitas kejahatan, sehingga hampir dapat dikatakan bahwa kemajuan di bidang ekonomi atau di bidang sosial pada umumnya itu sendiri merupakan biang dari perkembangan kejahatan.”[10]
Kiranya perlu dicermati bahwa pembagunan adalah usaha atau kegiatan yang sudah diniati atau disengaja dan direncanakan sejak semula untuk mencapai hasil yang lebih baik menurut ukuran kualitas maupun kuantitas atau hanya kaualitas ataupun kuantitas saja.[11] Lebih lanjut Ronny hanitijo Soemtro mengemukakan, “Peranan dan fungsi hukum dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan ini adalah menjamin agar proses perubahan berjalan menurut suatu cara yang tertib dan perubahan-perubahan yang berjalan secara tertib dengan melalui proses hukum dalam bentuk perundang-undangan atau keputusan Pengadilan adalah selalu lebih baik dari perubahan-perubahan yang tidak teratur dengan mempergunakan kekerasan”.[12]
Oleh karena itu bangsa Indonesia perlu bersepakat dan sependapat bahwa harus ada pembaharuan hukum di Indonesia yang sejalan dengan nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia.  Terutama pada saat era Reformasi saat ini dimana kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum semakin besar sehingga menuntut pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lebih baik lagi. Terlebih bagi para Aparatur Penegak Hukum (APH), perlu lebih memahami kondisi masyarakat Indonesia yang saat ini sangat membutuhkan terciptanya keadilan yang benar-benar adil di dalam setiap perikehidupan masyarakat.
Pada saat ini Indonesia telah memiliki Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP), yang masing-masing ditujukan untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang lama dan diharapkan dapat mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Muladi dan Barda Nawawi Arief mengatakan, “Tujuan pidana dan pemidanaan menurut Konsep Rencana KUHP Nasional bertitik tolak dari suatu pandangan filosofis tertentu, yaitu pembinaan (treatment phylosophy)  yang sudah seharusnya juga mempunyai pengaruh dalam menetapkan kebijakan strategi berikutnya yaitu dalam kebijakan menetapkan sanksi pidana.”[13]
Perkembangan hukum nasional masa Reformasi saat ini merupakan konsekuensi sistem demokrasi yang menuntut transparansi, mengedepankanhak asasi manusia serta membuka akses informasi publik ke dalam birokrasi dan seluruh proses rekonstruksi sosial dan pengembangan sarana dan prasarana dalam pembangunan nasional selalu dilaksanakan melalui dan dilandaskan produk peraturan perundang-undangan yang berlaku.[14] Lebih lanjut Romli mengatakan, “Dalam praktek pembentukan hukum dan penegakan hukum  dalam kaitan Teori Hukum Pembangunan masih sering mengalami hambatan-hambatan antara lain kebiasaan kurang terpuji selama 50 (lima puluh) tahun Indonesia merdeka, yaitu pengambil kebijakan sering memanfaatkan celah untuk menggunakan hukum sekedar alat (mekanis) dengan tujuan memperkuat dan mendahulukan kepentingan kekuasaan daripada kepentingan dan manfaat bagi masyarakat seluas-luasnya”.[15]
Selanjutnya, Romli Atmasasmita mengatakan,  “Perkembangan hukum pasca Reformasi (1998) lebih kompleks, karena tuntutan reformasi dalam bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi dilaksanakan pada awal tahun 1998 terbukti sangat cepat tanpa melalui masa transisi yang memadai untuk mengendapkan dan mendalami esensi reformasi kehidupan ketatanegaraan serta sistem politik di Indonesia saat itu. Selain itu dalam masalah penataan kelembagaan aparatur hukum, masih mengedepankan egoisme sektoral, miskomunikasi dan miskoordinasi antar lembaga penegak hukum yang disebabkan miskinnya pemikiran pemahaman aparatur hukum mengenai prinsip Good Governance, due process of law, praduga tak bersalah, transparancy, acountability dan the right to counsel.”[16]
Akan tetapi, sampai saat ini masyarakat Indonesia masih mengedepankan pembaharuan hanya di bidang hukum pidana, sedangkan dalam hukum privat (hukum perdata), terutama di dalam proses acara persidangan maupun di dalam hukum materiilnya, sampai saat ini masih menggunakan ketentuan hukum peninggalan kolonial Belanda.
Masih diberlakukannya Het Herziene Inlands Reglement (HIR), Rv maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang merupakan pengalihan dari aturan-aturan dalam Burgerlijke Wetboek (BW), membuktikan bahwa sampai saat ini belum ada perhatian akan adanya pembaharuan di bidang hukum perdata. Padahal sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya Harahap dalam Kata Pengantar Bukunya, “Benar dan adilnya penyelesaian perkara di depan pengadilan, bukan dilihat pada hasil akhir putusan yang dijatuhkan, tetapi harus dinilai sejak awal proses pemeriksaan perkara dimulai, apakah sejak tahap awal ditangani, Pengadilan memberi pelayanan sesuai dengan ketentuan hukum acara atau tidak.”[17]
Keberadaan Hukum Acara Perdata yang baru yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sangat dibutuhkan sebab, hal tersebut akan menentukan lancar tidaknya proses persidangan dan memberikan kepastian huikum kepada para pencari keadilan. Sebab, dalam perkembangan zaman seperti saat ini dimana poertumbuhan ekonomi bertambah tentu akan menimbulkan pertambahan kebutuhan ekonomi dari warga masyarakat yang sudah tentu akan dapat menimbulkan gesekan-gesekan di dalamnya. Hal ini tidak terlepas dari pendapat yang dikemukakan oleh Hanitijo Soemitro, “Pembangunan dan modernisasi membuka kemungkinan untuk menjalankan pola hidup yang berlebih-lebihan, mewah dan bersifat konsumtif. Perubahan pola konsumsi pada satu golongan kelihatan sangat lambat dan tidak berarti sehingga timbul jurang yang mengganggu rasa keadilan dan menimbulkan keresahan sosial.”[18]
Sangat disayangkan apabila hukum perdata Indonesia belum mampu mengatasi adanya perubahan pola kehidupan masyarakatnya. Meskipun dalam praktek, telah diterbitkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan perdata, akan tetapi hal pokok mengenai Hukum Acara Perdata belum juga ada pembaharuan, masih menggunakan hukum peninggalan kolonial Belanda. Keberadaan pembaharuan hukum tentunya dapat menimbulkan adanya Hukum Modern.
Hanitijo Soemitro lebih lanjut mengatakan,[19] “Menurut pendapat lawrence M. Friedman, cirri-ciri hukum adalah sebagai berikut :
a.      bersifat sekuler dan pragmatis ;
b.      berorientasi kepada kepentingan dan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar oleh manusia ;
c.       bersifat terbuka dan mengandung unsur perubahan yang dilakukan secara sengaja ;”
Dari pendapat tersebut, dapat dijelaskan bahwa norma-norma hukum dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengkonkretisasikan dan mengoperasionalisasikan nilai-nilai dan sikap-sikap untuk mencapai modernisasi manusia dan memodernisasi masyarakat manusia.[20]
Peradilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan perlu bertindak dalam koridor hukum tanpa melupakan esensinya yaitu memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Oleh karenanya sudah mendesak kiranya apabila para ahli hukum di Indonesia mulai memikirkan adanya pembaharuan di bidang hukum perdata formil (hukum acara) maupun hukum perdata materiil (hukum perdata), sebagai landasan berpijak bagi aparatur Pengadilan di dalam melaksanakan tugas-tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan.
Tanpa adanya pembaharuan hukum acara perdata, maka akan tetap dipergunakan hukum acara peninggalan Belanda yang sudah usang dan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat Indonesia, yang bahkan bisa menghambat atau memperlama para pencari keadilan di dalam proses peradilan. Sedangkan tanpa adanya pembaharuan hukum perdata materiil, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan keperdataan masih menggunakan hukum perdata peninggalan Belanda yang sudah tidak up to date dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia saat ini.

IV. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka kiranya dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Terdapat perubahan yang cepat di dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, akan tetapi hukum yang berlaku saat ini tidak dapat sepenuhnya menjamin dan melindungi masyarakat dari dampak negatif perubahan tersebut ;
2.      Perlu segera diadakan pembaharuan baik Hukum Pidana Materiil, Hukum Pidana Formil, Hukum Perdata Materiil dan Hukum Perdata Formil, demi menjamin terselenggaranya tata kehidupan masyarakat yang harmonis ;
3.      Perlunya pemahaman dari Aparat Penegak Hukum untuk tidak hanya memandang hukum yang tertulis saja (peraturan perundang-undangan) tetapi juga hukum yang tidak tertulis.



[1] Wakil Ketua pada Pengadilan Negeri Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara, Mahasiswa S3 pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.
[2] Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Jakarta, Sinar Grafika, h. 25.
[3] Ibid, h. 25.
[4] Ibid, h. 25.
[5] Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, 2012, Yogyakarta, Genta Publishing, h. 61.
[6] Thomas E. Davitt, Nilai-Nilai DasarDi Dalam Hukum, Menganalisa Implikasi-Implikasi Legal Etik Psikologi & Antropologi Bagi Lahirnya Hukum, 2012, Yogyakarta, Pallmall, h. 85.
[7] Sri Endah Wahyuninsih, 2013, Perbandingan Hukum Pidana, Dari Perspektif Religious Law System, Semarang, h. 10.
[8] Sudarto, 1983, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru, h. 39 – 40.
[9] Ibid, h. 40 – 41.
[10] Ibid, h. 46.
[11] Ronny hanitijo Soemitro, 1984, Permasalahan Hukum Di Dalam Masyarakat, Bandung, Almuni, h. 78.
[12] Ibid, h. 78 – 79.
[13] Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, h. 96 – 97.
[14] Romli Atmasasmita, Op.Cit., h. 75.
[15] Ibid, h. 75 – 76.
[16] Ibid, h. 79 – 80.
[17] M. Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, h. v.
[18] Hanitijo Soemitro, Op.Cit., h. 37 – 39.
[19] Ibid, h.82 – 83.
[20] Ibid, h. 86.

DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku

Abdurrahman, 1983, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, Cendana Press.

Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.

Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Hukum Acara Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Barda Nawawi, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Semarang, PT. Citra Adtya Bakti.

L & J Law Firm. 2009. Bila Anda Menghadapi Masalah Hukum. Hak Anda saat Digeledah, Disita, Ditangkap, Ditahan, Didakwa dan Dipenjara. Jakarta. Forum Sahabat

Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika

-----------------. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika.

Lilik Mulyadi, 1996, Hukum Acara Pidana, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.

Moeljatno, 1983, Asas-asas hukum Pidana, Jakarta: PT. Bina Aksara

Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung

M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan Dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika.

M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika.

Peter Mahmud Marzuki. 2006.Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979, Sendi-Sendi Ilmu Hukum Dan Tata Hukum, Bandung, Alumni.
R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia – Bogor

Romly Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung, Bina Cipta.

Romly Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Yogyakarta, Genta Publishing.

Roeslan Saleh, 1981, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta, Aksara Baru.

Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Hukum Peradilan Anak Di Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing

Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia

Sudarto, 1980, Asas-asas Hukum Pidana. FH UNDIP Semarang

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadapa Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru.

Sudibyo Triatmodjo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Bandung, Alumni.

Sri Endah Wahyuningsih, 2013, Prinsip-Prinsip Individualisasi Pidana Dalam Hukum Pidana Islam dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Semarang, Unissula Press.

Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Yogyakarta: RajaGrafindo Perkasa

Tirtaadmidjaja, 1953. Kedudukan Hakim dan Jaksa. Jakarta : Fasco.

Thomat E.Davitt, 2012, Nilai-Nilai Dasar Di Dalam Hukum, Menganalisa Implikasi-Implikasi Psikologi dan Antropologi bagi Lahirnya Hukum, Cetakan Pertama, Yogyakarta, Pallmal.

Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Cetakan Pertama, Jakarta, PT. Buku Seru.

Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, Bandung, Eresco

Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika


Perundang-undangan


Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak


Internet


http://blogingria.blogspot.com/2012/03/sistem-peradilan-pidana.html

[1]http://triwantoselalu.blogspot.com/2009/06/sistem-peradilan-pidana.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...