Selasa, 19 Juli 2016

PEMANGGILAN DIKLAT

Diklat Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup Angkatan 1 Peradilan Umum (Kerjasama Mahkamah Agung RI dengan UNDP)

SUMBER : http://litbangdiklatkumdil.net/component/jdownloads/download/57-2016/731-diklat-sertifikasi-hakim-lingkungan-hidup-angkatan-1-peradilan-umum-kerjasama-mahkamah-agung-ri-dengan-undp.html?Itemid=

WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATORS



WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATORS,
FENOMENA BARU DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH.[1]

A.  Pendahuluan
Masalah penegakan hukum di Indonesia saat ini sedang dalam sorotan tajam masyarakat, mengingat saat ini semakin banyak terungkap praktek-praktek tindak pidana korupsi dalam segala bentuk modus operandinya. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain mengatur mengenai tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan pasal 2 dan pasal 3, di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga ditambah pengaturannya mengenai pemberian hadiah bagi pejabat negara atau aparatur negara dalam rangka mempengaruhi kebijakannya atau lazim disebut dengan GRATIFIKASI.
Praktek gratifikasi ini tidak mengenal pelaku, tempat dan bentuk gratifikasi, yang lebih ditekankan adalah larangan bagi setiap pejabat negara atau apatatur pemerintahan menerima pemberian atau hadiah yang berkaitan dengan jabatannya.
 Bentuk lain dari tindak pidana yang makin marak di Indonesia adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering) yang langsung maupun tidak langsung merupakan turunan dari Tindak Pidana Korupsi, sebagamana lazim terjadi di Indonesia. Selain itu marak pula Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking), Tindak Pidana Narkotika dan masih banyak lagi tindak pidana yang saat ini bagaikan suatu kewajaran yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Meskipun telah banyak peraturan perundangan yang mengatur pemberantasan terhadap berbagai macam tindak pidana tersebut, akan tetapi di dalam prakteknya, semua yang terungkap bagaikan puncak gunung es, yang masih menyimpan lebih banyak yang belum terungkap.
Adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap berbagai tindak pidana tersebut, harus mendapatkan apresiasi dalam rangka menegakan supremasi hukum, sebagaimana diungkapkan oleh Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM  seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum  dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Bahwa selama ini masyarakat hanya melihat Hukum hanya dari peraturan-peraturan yang tertulis saja, semisal Undang-Undang dan sejenisnya, akan tetapi masyarakat sering lupa bahwa tatanan kehidupan manusia diatur dan dibatasi oleh norma-norma, yaitu norma sosial, norma Hukum, norma kesusialaan, norma agama, sehingga Hukum  hanyalah menjadi salah satu bagian dari norma-norma tersebut.
Pemahaman masyarakat yang hanya memahami norma hukum, tidak sepenuhnya dapat disalahkan, mengingat selama ini sistem pendidikan di Indonesia, hanya menekankan pada keberadaan hukum yang tertulis saja yang tidak boleh dilanggar, sedangkan sesungguhnya masih terlalu banyak norma kehidupan dalam masyarakat yang apabila dilanggar dapat menjadikan ketidakharmonisan di dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “NORMA” ?
Norma, sebagaimana ARIEF SIDARTA[3], menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma mempunyai sifat umum, jika  apa yang dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.[4]
Secara sepintas, dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan dapat mengetahui bahwa dirinya memiliki persamaan-persamaan dengan orang lain tetapi disisi lain juga memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh bagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh kaarena merupakan pegangaan baginya.[5]
Hukum senantiasa harus dikaitkan dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja. Bidang pengetahuan hukum pada umumnya memusatkan perhatian pada atura-aturan yang dianggap oleh Pemerintah dan masyarakat sebagai aturan-aturan yang sah berlaku dan oleh sebab itu harus ditaati, dan pengetahuan sosiologi sebagai keseluruhan yang memusatkan perhatian pada tindakan-tindakan yang dalam kenyataan diwujudkan oleh anggota dalam hubungan mereka satu sama lain, maka untuk pengembangan hukum dan pengetahuan hukum dalam kehidupan masyarakat agar tidak terpisah satu sama lain harus memperhatikan hukum dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat.[6]
Saat ini sangat dibutuhkan keberanian dari setiap anggota masyarakat untuk melaporkan segala bentuk tindak pidana yang terjadi utamanya tindak pidana yang mengancam rasa kemanusiaan dan mengusik rasa keadilan dalam masyarakat. Keberanian melaporkan setiap tindak pidana yang terjadi tersebut, banyak dikenal dalam masyarakat dengan istilah whistleblower.
B. Whistleblower, suatu fenomena baru
Hukum selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga harus disadari bahwa hukum yang bersifat statis atau kaku tentu tidak akan memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Dalam hal ini perkembangan tidak hanya perkembangan di dalam lingkungan masyrakat di mana hukum tersebut berlaku tetapi juga masyarakat yang berada di luar lingkungan masyarakat tersebut, oleh karenanya sistem hukum pidana Indonesia juga harus menyerap istilah hukum dari luar sistem hukum Indonesia, diantaranya adalah mengenai whistleblower.
Dalam arti harfiahnya whistleblower adalah peniup peluit, yaitu sejenis peluit yang sering digunakan dalam pertandingan olahraga dimana istilah whistleblower ini sebernarnya bukan sesuatu yang baru karena istilah tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Ralph Nader, seorang aktivis di Amerika Serikat untuk menghindari konotasi negatif terhadap istilah informan atau pengadu.[7]
Istilah whistleblower ini sendiri dapat diartikan sebagai Pengungkap aib yaitu istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang yang secara umum segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik, termasuk di dalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi.[8]
Akan tetapi fenomena adanya whistleblower ternyata sampai saat ini tidak atau belum diatur secara tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan dan hanya terdapat pengaturannya di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collabolators) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Hal ini tentu saja kurang memberikan perlindungan terhadap setiap orang yang memiiliki keberanian sehingga diperlukan pengaturan secara khusus di dalam suatu peraturan perundang-undangan karena dengan diatur mengenai whistleblower di dalam suatu perarturan perundang-undangan, akan dapat memberikan perlindungan yang lebih optimal dan dapat menumbuhkan keberanian bagi setiap anggota masyarakat untuk melaporkan adanya kegiatan yang mencurigakan dan terjadinya tindak pidana.
Contoh konkret dari whistleblower adalah sebagaimana diuraikan sebagai berikut :[9]
1.     Adalah orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktek atau korupsi ;
2.     Adalah pembocor rahasia atau pengadu dengan harapan kejahatan dan pelanggaran hukum yang terjadi berhenti dengan cara mengundang perhatian publik, sementara informasi yang dibocorkan berupa informasi yang bersifat rahasia dikalangan lingkungan informasi itu berada ;
3.     Merupakan istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja anggota suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melawan ketentuan kepada pihak yang berwenang ;
4.     Tindakan seorang pekerja yang memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan internal dan kekuasaan eksternal tentang hal-hal yang illegal yang terjadi di lingkungan kerja. Dari empat pengertian Whistle Blower tadi, ternyata tujuannya adalah baik, dimana orang tersebut melaporkannya kepada penguasa/ publik didasarkan atas segera terhentinya perbuatan melawan hukum tersebut.
Sebagai perbandingan adalah di Amerika Serikat telah diatur mengenai whistleblower sebagaimana tercantum di dalam U.S Federal Whistleblower Statues, untuk dianggap sebagai seoarang whistle blower seorang pekerja harus secara beralasan yakin bahwa seseorang atau institusi atau organisasi ataupun perusahaan telah melakukan tindakan pelanggaran hukum.[10]
Whistleblower tidak hanya dapat diterapkan pada negara tetapi juga dapat diterapkan pada sebuah perusahaan, dalam rangka menjadikan perusahaan tersebut menjadi perusahan yang bersih dari praktek-praktek kotor di diunia usaha tetapi juga menjadikan perusahaan tersebut menjadi perusahaan yang efektif dan efisien di dalam mendapatkan keuntungan.
Diantara manfaat penerapan whistlebower, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh oleh perusahaan, antara lain :[11]
1.    Tersedianya informasi kunci dan kritikal (critical & key information) bagi perusahaan kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman dan terkendali ;
2.    Dengan semakin meningkatnya kesediaan untuk melaporkan terjadinya berbagai pelanggaran, maka timbul rasa keengganan untuk melakukan pelanggaran karena kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif ;
3.    Tersedianya mekanisme deteksi dini (early warning mechanism) atas kemungkinan terjadinya masalah yang diakibatkan adanya suatu pelanggaran ;
4.    Mengurangi/meminimalisir risiko yang dihadapi organisasi (perusahaan) akibat pelanggaran baik dari segi keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja dan reputasi ;
5.    Mengurangi biaya (cost reduction) dalam mengelola akibat terjadinya suatu pelanggaran ;
6.    Meningkatnya reputasi perusahaan dimata pemangku kepentingan(stakeholders), regulator, dan masyarakat umum (publik).
Pada tataran penerapan whistleblower dalam suatu negara, maka tujuan sebagaimana yang diharapkan pada perusahaan yang menerapkan Whstleblowing System, akan dapat tercapai. Kiranya 6 poin manfaat dari perusahaan yang menerapkan Whistleblowing System tersebut sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara ketika menerapkan yhal yang sama, sehingga tindak pidana, terutama tindak pidana terorganisir dan merugikan masyarakat dapat diminimalisir bahkan dapat dihindari.
Di dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, diatur tentang bentuk-bentuk perlindungan terhadap pelapor tindak pidana (whistleblower) maupun terhadap pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators), yaitu mengacu pada pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yaitu :
(1)   Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntutsecara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya ;
(2)   Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan ;
(3)   Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  tidak  berlaku  terhadap  Saksi,  Korban,  dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
Ketentuan pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut, mengandung pengertian sebagaimana tercantum dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, yaitu :
(1)   Saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikannya ;
(2)   Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana.
C. Whistleblower dan Justice Collabolators
Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 selain terdapat istilah Whistleblower (pelapor tindak pidana) juga terdapat istilah Justice Collaborators (saksi pelaku yang bekerjasama). Penjelasan atas 2 (dua) istilah tersebut bahwa whistle blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya sedangkan justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.[12]
Dari kedua pengertian tersebut, maka secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
1)    Bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai whisteblower adalah ketika orang tersebut merupakan bagian dari organisasi atau aparat pemerintahan yang melaporkan dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum, ketika terhadap tindak pidana tersebut BELUM dilakukan proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan eksekusi atas putusan pengadilan.
2)    Bahwa seseorang dikatakan sebagai justice collaborator apabila orang tersebut yang juga sebagai tersangka atau terdakwa dalam suatu tindak pidana, bersedia untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar tindak pidana yang terjadi secara menyeluruh.
Bahwa sampai sekarang masih terdapat kerancuan, bahkan dari pihak aparat penegak hukum sendiri yang menyamakan kedua pengertian tersebut, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap perbedaan dari kedua istilah tersebut. Saat ini ketika seseorang sudah disidik atas suatu tindak pidana kemudian yang bersangkutan bersedia membongkar tindak pidana tersebut secara menyeluruh, masih disebut sebagai whisleblower, padahal sebenarnya sebenarnya orang tersebut harus disebut sebagai justice collaborator. Kesalahpahaman pengertian tersebut, meyebabkan masyarakat menjadi bingung akan adanya kedua istilah tersebut.
Terhadap seseorang sebagai whistleblower, maka atas keterangan yang bersangkutan tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata sedangkan dan terhadap yang bersangkutan dapat meminta perlindungan dengan tidak diajukan sebagai tersangka. Sedangkan terhadap seseorang sebagai justice collaborator, atas keterangannya juga tidak dapat dilakukan penuntutan dan yang bersangkutan dapat memohon perlindungan dan keterangannya dapat digunakan untuk meringnkan pidana yang dijatuhkan kepadanya.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah dengan semudah itu seorang whistleblower maupun justice collaborator dapat meminta perlindungan atas keterangan yang diberikannya? Tentunya aparat penegak hukum yang harus menilai keterangan-keterangan tersebut, apakah sudah mencakup keseluruhan data dari suatu tindak pidana yang diduga telah terjadi atau hanya sekedar alasan bagi pelaku whistleblower atau justice collborator untuk mendapatkan perlindungan dan keringanan hukuman. Aparat penegak hukum harus jeli menilai seluruh keterangan yang diberikan dan aparat penegak hukum harus memiliki standar pembuktian atas keterangan-keterangan tersebut.
Harus pula dipahami bahwa terhadap permohonan perlindungan saksi maupun pelapor sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, masih terdapat hambatan-hambatan utamanya dalam perlindungan saksi dan korban sebagai pengungkap fakta (whistle blower), yaitu :[13]
1.  Belum adanya dasar hukum yang kuat untuk menjamin perlindungan terhadap whistle blower, undang-undang yang ada masih bersifat umum terhadap saksi, pelapor dan korban. Kalau pun ada hanya berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung RI (“SEMA”) yaitu SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dan Peraturan Bersama Kementerian Hukum dan HAM RI, KPK RI, Kejaksaan RI, Polri, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama ;
2.  Belum adanya pemahaman dan perspektif bersama aparat penegak hukum dalam memberikan perlindungan terhadap whistle bower, kesepakatan bersama hanya di tingkat atasan, dan belum tersosialisasi di tingkat bawah maupun daerah ;
3.  Belum maksimalnya pemberian perlindungan terhadap whistle blower. Hal ini karena Hakim masih mengabaikan rekomendasi aparat penegak hukum terhadap status seseorang sebagai whistle blower. Ini juga disebabkan SEMA sifatnya tidak punya kekuatan hukum mengikat ;
4.  Peran LPSK masih terbatas dalam kewenangan yang dituangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Beberapa kasus yang melibatkan whistleblower maupun justice collaborator yang pernah terjadi adalah :[14]
1.    Cynthia Cooper of Worldcom (Skandal Keuangan Perusahaan) ;
2.    Sherron Watkins of Enron (Skandal Keuangan Perusahaan) ;
3.    Coleen Rowley of the FBI, (melaporkan bahwa pihak yang terkait dalam hal ini FBI lambat dalam bereaksi atas serangan 11 Septemeber 2001) ;
4.    Allan Cutler (Skandal the Canadian "AdScam" or sponsorship scandal) ;
5.    Joseph Darby - a member of the United States military police (Pada tahun 2004 yang memperingatkan the U.S. military command of prisoner abuse di Abu Ghraib prison, pada Abu Ghraib, Irak.) ;
6.    Walter DeNino (pelajar yang mempertanyakan Eric Poehlman's) ;
7.    Russ Tice - a former intelligence analyst for the National Security Agency (NSA), the U.S. Air Force, Office of Naval Intelligence, and the Defense Intelligence Agency (DIA) ;
8.    Karen Kwiatkowski - a retired Lieutenant Colonel in the U.S. Air Force (Skandal penyerangan Irak) ;
9.    Daniel Ellsberg - a former State Department analyst (Skandal perang Vietnam) ;
10. W. Mark Felt, (aka Deep Throat) (Skandal Watergate) ;
11. Frank Serpico - A former New York City police (Skandal Penuapan ditubuh anggota kepolisian) ;
12. Katharine Gun - a former employee of Government Communications Headquarters (GCHQ), (Skandal invasi irak yang melibatkan pihak amerika dengan inggris) ;
13. Christoph Meili - a night guard pada Swiss bank. (Skandal penghancuran dokumen tabungan korban Holocaust) ;
14. Samuel Provance - a system administrator for Military Intelligence pada the Abu Ghraib prison, (Skandal penyiksaan) ;
15. Paul van Buitenen ? (Skandal korupsi European Commission members of corruption.) ;
16. Hans-Peter Martin - who accused European Parliament members of invalid expense claims in 2004 ;
17. Linda Tripp - former White House staff member who disclosed to the Office of Independent Counsel that ;
18. Monica Lewinsky (Skandal Hubungan Clinton-Lewinsky dan Paula Jones federal civil rights suit.) ;
19. Jeffrey Wigand - former executive of Brown & Williamson (Skandal manipulasi efek nikotin) ;
20. Susno Duadji dalam kasus mafia kasus dan mafia pajak di institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut King (1999), Whistle blowing dibedakan menjadi 2 yaitu whistle blowing internal dan whistle blowing eksternal, yaitu :[15]
1.    Whistle blowing internal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan karyawan kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada atasannya ;
2.    Whistle blowing eksternal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan lalu membocorkannya kepada masyarakat karena kecurangan itu akan merugikan masyarakat.
Terhadap whistleblowing system, tentu akan membutuhkan sistem perlindungan terhadap orang yang melakukan pelaporan tindak pidana, sehingga Sistem Pelaporan Pelanggaran yang baik yang memberikan fasilitas dan perlindungan (whistleblower protection) sebagai berikut (Anonim, 2008)  :[16]
1.  Fasilitas saluran pelaporan (telepon, surat, email) atau Ombudsman yang independen, bebas dan rahasia ;
2.  Perlindungan kerahasiaan identitas pelapor. Perlindungan ini diberikan bila pelapor memberikan identitas serta informasi yang dapat digunakan untuk menghubungi pelapor. Walaupun diperbolehkan, namun penyampaian pelaporan secara anonim, yaitu tanpa identitas, tidak direkomendasikan. Pelaporan secara anonim menyulitkan dilakukannya komunikasi untuk tindak lanjut atas pelaporan ;
3.  Perlindungan atas tindakan balasan dari terlapor atau organisasi. Perlindungan dari tekanan, dari penundaan kenaikan pangkat, pemecatan, gugatan hukum, harta benda, hingga tindakan fisik. Perlindungan ini tidak hanya untuk pelapor tetapi juga dapat diperluas hingga ke anggota keluarga pelapor ;
4.  Informasi pelaksanaan tindak lanjut, berupa kapan dan bagaimana serta kepada institusi mana tindak lanjut diserahkan. Informasi ini disampaikan secara rahasia kepada pelapor yang lengkap identitasnya.
Keberanian seseorang sebagai seorang whistleblower ataupun sebagai justice collaborators, tentu akan membawa dampak yang tidak ringan bagi pelakunya, yaitu :[17]
1.  Ancaman dari orang-orang yang mereka beberkan namanya, ancaman dapat berbentuk berbagai macam termasuk ancaman terhadap keselamatan jiwa sang pelapor ;
2.  Berisiko terkena efek “senjata makan tuan” dari pengakuan dan informasi yang mereka berikan kepada media massa, lembaga antikorupsi, pengacara, penyidik KPK, atau aparat hukum lainnya ;
3.  Ketiga, ancaman yang juga bakal dihadapi oleh whistle blower datang dari kalangan internal perusahaan atau institusi.Whistle blower menghadapi risiko penurunan pangkat, skorsing, intimidasi, atau diskriminasi dari institusi tempatnya bekerja yang merasa dirugikan dan dipermalukan atas pelaporannya.
Adanya ancaman-ancaman tersebut, kiranya mempertegas bahwa perlu adanya Undang-Undang yang khusus mengatur tentang whistleblower atupun justice collaborators, setidaknya terdapat payung hukum yang dapat memberikan perlindungan sehingga masyrakat tidak takut untuk melaporkan tindak pidana yang terjadi di lingkungan kerjanya dan mengungkap secara jelas mengenai pelaku, modus operadi dan masyrakat yang menjadi sasaran dari tindak pidana tersebut, khususnya tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Selain itu diperlukan kecermatan dari aparat penegak hukum yang mendapatkan laporan dari anggota masyrakat yang melakukan pelaporan atas tindak pidana yang terjadi di dalam lingkungan kerjanya.
Negara juga memiliki tanggung jawab yang besar yaitu keberanian menerapkan Whistleblowing System yang memberikan ruang bagi anggota masyarakat untuk bersedia melaporkan adanya dugaan tindak pidana yang terjadi di lingkungan kerjanya dan bersedia bekerjasama mengungkap secara menyeluruh atas suatu tindak pidana. Disamping itu Negara juga harus memberikan perlindungan yang optimal terhadap pelaku Whistleblower maupun Justice Collaborators sebab tanpa adanya perlindungan, maka tidak ada anggota masyrakat yang bersedia melaporkan dugaan tindak pidana dalam lingkungan kerjanya dan membongkar secara menyeluruh suatu tindak pidana.
D. PENUTUP
Sebagai suatu hal yang baru, Whistleblower dan Justice Collaborators tentunya lebih membutuhkan kepedulian dari Negara untuk membuatkan payung hukum yang dapat memberikan perlindungan kepada setia orang yang melakukannya, mengingat besanya ancaman terhadap para pelakunya, baik secara internal maupun eksternal.
E.  DAFTAR PUSTAKA
1.    Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang ;
2.    Arief Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung ;
3.    Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2003, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu ;
4.    Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta ;
F.  LINK INTERNET :


[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ;
[2] Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang, h. 148.
[3] Arief Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[4] Ibid, hal 19-20.
[5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, h. 9.
[6]Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2003, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu h. 2.


[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Pengungkap_aib, diunduh tanggal 27 Juni 2016 ;

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...