WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATORS,
FENOMENA BARU DALAM SISTEM HUKUM PIDANA
INDONESIA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH.[1]
A. Pendahuluan
Masalah
penegakan hukum di Indonesia saat ini sedang dalam sorotan tajam masyarakat,
mengingat saat ini semakin banyak terungkap praktek-praktek tindak pidana
korupsi dalam segala bentuk modus operandinya. Sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain mengatur mengenai tindak pidana korupsi
sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan pasal 2 dan pasal 3, di dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga ditambah pengaturannya
mengenai pemberian hadiah bagi pejabat negara atau aparatur negara dalam rangka
mempengaruhi kebijakannya atau lazim disebut dengan GRATIFIKASI.
Praktek
gratifikasi ini tidak mengenal pelaku, tempat dan bentuk gratifikasi, yang
lebih ditekankan adalah larangan bagi setiap pejabat negara atau apatatur
pemerintahan menerima pemberian atau hadiah yang berkaitan dengan jabatannya.
Bentuk lain dari tindak pidana yang makin
marak di Indonesia adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering) yang
langsung maupun tidak langsung merupakan turunan dari Tindak Pidana Korupsi,
sebagamana lazim terjadi di Indonesia. Selain itu marak pula Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Human Trafficking), Tindak Pidana Narkotika dan masih banyak
lagi tindak pidana yang saat ini bagaikan suatu kewajaran yang dapat dilakukan
oleh setiap orang. Meskipun telah banyak peraturan perundangan yang mengatur
pemberantasan terhadap berbagai macam tindak pidana tersebut, akan tetapi di
dalam prakteknya, semua yang terungkap bagaikan puncak gunung es, yang masih
menyimpan lebih banyak yang belum terungkap.
Adanya
peningkatan kesadaran masyarakat untuk membantu aparat penegak hukum untuk
mengungkap berbagai tindak pidana tersebut, harus mendapatkan apresiasi dalam
rangka menegakan supremasi hukum, sebagaimana diungkapkan oleh Ali Mansyur,
dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi
HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang
semestinya, fungsi Hukum dalam arti
materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan
memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Bahwa
selama ini masyarakat hanya melihat Hukum hanya dari peraturan-peraturan yang
tertulis saja, semisal Undang-Undang dan sejenisnya, akan tetapi masyarakat
sering lupa bahwa tatanan kehidupan manusia diatur dan dibatasi oleh
norma-norma, yaitu norma sosial, norma Hukum, norma kesusialaan, norma agama,
sehingga Hukum hanyalah menjadi salah
satu bagian dari norma-norma tersebut.
Pemahaman
masyarakat yang hanya memahami norma hukum, tidak sepenuhnya dapat disalahkan,
mengingat selama ini sistem pendidikan di Indonesia, hanya menekankan pada
keberadaan hukum yang tertulis saja yang tidak boleh dilanggar, sedangkan
sesungguhnya masih terlalu banyak norma kehidupan dalam masyarakat yang apabila
dilanggar dapat menjadikan ketidakharmonisan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “NORMA” ?
Norma,
sebagaimana ARIEF SIDARTA[3], menyatakan bahwa “Perkataan
NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi
atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari
sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan dan pederogasian adalah
juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya mengatakan bahwa “Norma
dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia mempunyai suatu sifat
individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal tingkahlaku tertentu yang
didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang tertentu yang ditetapkan
oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma mempunyai sifat umum,
jika apa yang dirumuskan batas-batasnya
secara individual melainkan seperangkat tingkah laku yang batas-batasnya
dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.[4]
Secara
sepintas, dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan dapat mengetahui bahwa
dirinya memiliki persamaan-persamaan dengan orang lain tetapi disisi lain juga
memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesadaran
dalam diri manusia bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman
pada suatu aturan yang oleh bagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan
ditaati oleh kaarena merupakan pegangaan baginya.[5]
Hukum
senantiasa harus dikaitkan dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja.
Bidang pengetahuan hukum pada umumnya memusatkan perhatian pada atura-aturan
yang dianggap oleh Pemerintah dan masyarakat sebagai aturan-aturan yang sah
berlaku dan oleh sebab itu harus ditaati, dan pengetahuan sosiologi sebagai
keseluruhan yang memusatkan perhatian pada tindakan-tindakan yang dalam
kenyataan diwujudkan oleh anggota dalam hubungan mereka satu sama lain, maka
untuk pengembangan hukum dan pengetahuan hukum dalam kehidupan masyarakat agar
tidak terpisah satu sama lain harus memperhatikan hukum dan kenyataan-kenyataan
dalam masyarakat.[6]
Saat
ini sangat dibutuhkan keberanian dari setiap anggota masyarakat untuk
melaporkan segala bentuk tindak pidana yang terjadi utamanya tindak pidana yang
mengancam rasa kemanusiaan dan mengusik rasa keadilan dalam masyarakat.
Keberanian melaporkan setiap tindak pidana yang terjadi tersebut, banyak
dikenal dalam masyarakat dengan istilah whistleblower.
B. Whistleblower, suatu fenomena baru
Hukum
selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga harus disadari
bahwa hukum yang bersifat statis atau kaku tentu tidak akan memberikan keadilan
dan kemanfaatan bagi masyarakat. Dalam hal ini perkembangan tidak hanya
perkembangan di dalam lingkungan masyrakat di mana hukum tersebut berlaku
tetapi juga masyarakat yang berada di luar lingkungan masyarakat tersebut, oleh
karenanya sistem hukum pidana Indonesia juga harus menyerap istilah hukum dari
luar sistem hukum Indonesia, diantaranya adalah mengenai whistleblower.
Dalam arti
harfiahnya whistleblower adalah peniup peluit, yaitu sejenis peluit yang sering
digunakan dalam pertandingan olahraga dimana istilah whistleblower ini sebernarnya
bukan sesuatu yang baru karena istilah tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Ralph Nader, seorang aktivis di Amerika
Serikat untuk menghindari konotasi negatif terhadap istilah informan atau
pengadu.[7]
Istilah
whistleblower ini sendiri dapat diartikan sebagai Pengungkap
aib yaitu
istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu
institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap
melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang yang secara umum segala
tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan
persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik, termasuk
di dalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi.[8]
Akan tetapi
fenomena adanya whistleblower ternyata sampai saat ini tidak atau belum diatur
secara tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan dan hanya terdapat
pengaturannya di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama (Justice Collabolators) Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Hal ini tentu saja kurang memberikan perlindungan terhadap setiap orang yang
memiiliki keberanian sehingga diperlukan pengaturan secara khusus di dalam
suatu peraturan perundang-undangan karena dengan diatur mengenai whistleblower
di dalam suatu perarturan perundang-undangan, akan dapat memberikan
perlindungan yang lebih optimal dan dapat menumbuhkan keberanian bagi setiap
anggota masyarakat untuk melaporkan adanya kegiatan yang mencurigakan dan
terjadinya tindak pidana.
Contoh
konkret dari whistleblower adalah sebagaimana diuraikan sebagai berikut :[9]
1. Adalah
orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya
malpraktek atau korupsi ;
2. Adalah
pembocor rahasia atau pengadu dengan harapan kejahatan dan pelanggaran hukum
yang terjadi berhenti dengan cara mengundang perhatian publik, sementara
informasi yang dibocorkan berupa informasi yang bersifat rahasia dikalangan lingkungan
informasi itu berada ;
3. Merupakan
istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja anggota suatu institusi
atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melawan ketentuan
kepada pihak yang berwenang ;
4. Tindakan
seorang pekerja yang memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan internal
dan kekuasaan eksternal tentang hal-hal yang illegal yang terjadi di lingkungan
kerja. Dari empat pengertian Whistle Blower tadi, ternyata tujuannya adalah baik,
dimana orang tersebut melaporkannya kepada penguasa/ publik didasarkan atas
segera terhentinya perbuatan melawan hukum tersebut.
Sebagai
perbandingan adalah di Amerika Serikat telah diatur mengenai whistleblower sebagaimana
tercantum di dalam U.S Federal Whistleblower Statues,
untuk dianggap sebagai seoarang whistle blower seorang pekerja harus secara
beralasan yakin bahwa seseorang atau institusi atau organisasi ataupun
perusahaan telah melakukan tindakan pelanggaran hukum.[10]
Whistleblower
tidak hanya dapat diterapkan pada negara tetapi juga dapat diterapkan pada
sebuah perusahaan, dalam rangka menjadikan perusahaan tersebut menjadi
perusahan yang bersih dari praktek-praktek kotor di diunia usaha tetapi juga
menjadikan perusahaan tersebut menjadi perusahaan yang efektif dan efisien di
dalam mendapatkan keuntungan.
Diantara
manfaat penerapan whistlebower, maka banyak manfaat yang dapat diperoleh oleh perusahaan,
antara lain :[11]
1. Tersedianya
informasi kunci dan kritikal (critical & key information) bagi perusahaan
kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman dan terkendali ;
2. Dengan
semakin meningkatnya kesediaan untuk melaporkan terjadinya berbagai
pelanggaran, maka timbul rasa keengganan untuk melakukan pelanggaran karena
kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif ;
3. Tersedianya
mekanisme deteksi dini (early warning mechanism) atas kemungkinan terjadinya
masalah yang diakibatkan adanya suatu pelanggaran ;
4. Mengurangi/meminimalisir
risiko yang dihadapi organisasi (perusahaan) akibat pelanggaran baik dari segi
keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja dan reputasi ;
5. Mengurangi
biaya (cost reduction) dalam mengelola akibat terjadinya suatu pelanggaran ;
6. Meningkatnya
reputasi perusahaan dimata pemangku kepentingan(stakeholders), regulator, dan
masyarakat umum (publik).
Pada tataran
penerapan whistleblower dalam suatu negara, maka tujuan sebagaimana yang
diharapkan pada perusahaan yang menerapkan Whstleblowing System, akan dapat
tercapai. Kiranya 6 poin manfaat dari perusahaan yang menerapkan Whistleblowing
System tersebut sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara ketika
menerapkan yhal yang sama, sehingga tindak pidana, terutama tindak pidana
terorganisir dan merugikan masyarakat dapat diminimalisir bahkan dapat dihindari.
Di dalam
SEMA Nomor 4 Tahun 2011, diatur tentang bentuk-bentuk perlindungan terhadap
pelapor tindak pidana (whistleblower) maupun terhadap pelaku yang bekerjasama
(Justice Collaborators), yaitu mengacu pada pasal 10 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 yaitu :
(1) Saksi,
Korban, dan pelapor tidak dapat dituntutsecara hukum baik pidana maupun perdata
atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya ;
(2) Seorang
Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan ;
(3) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku
terhadap Saksi, Korban,
dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
Ketentuan
pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut, mengandung pengertian
sebagaimana tercantum dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011, yaitu :
(1) Saksi korban
dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas
laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikannya ;
(2) Seorang
saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari
tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana.
C. Whistleblower dan Justice Collabolators
Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 selain
terdapat istilah Whistleblower (pelapor tindak pidana) juga terdapat istilah
Justice Collaborators (saksi pelaku yang bekerjasama). Penjelasan atas 2 (dua)
istilah tersebut bahwa whistle blower
adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan
merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya sedangkan justice
collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui
yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan
keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.[12]
Dari
kedua pengertian tersebut, maka secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut
:
1) Bahwa
seseorang dapat dikatakan sebagai whisteblower adalah ketika orang tersebut
merupakan bagian dari organisasi atau aparat pemerintahan yang melaporkan
dugaan tindak pidana kepada aparat penegak hukum, ketika terhadap tindak pidana
tersebut BELUM dilakukan proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, persidangan dan eksekusi atas putusan pengadilan.
2) Bahwa
seseorang dikatakan sebagai justice collaborator apabila orang tersebut yang
juga sebagai tersangka atau terdakwa dalam suatu tindak pidana, bersedia untuk
bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar tindak pidana yang
terjadi secara menyeluruh.
Bahwa
sampai sekarang masih terdapat kerancuan, bahkan dari pihak aparat penegak
hukum sendiri yang menyamakan kedua pengertian tersebut, hal ini disebabkan
karena kurangnya pemahaman terhadap perbedaan dari kedua istilah tersebut. Saat
ini ketika seseorang sudah disidik atas suatu tindak pidana kemudian yang
bersangkutan bersedia membongkar tindak pidana tersebut secara menyeluruh,
masih disebut sebagai whisleblower, padahal sebenarnya sebenarnya orang
tersebut harus disebut sebagai justice collaborator. Kesalahpahaman pengertian
tersebut, meyebabkan masyarakat menjadi bingung akan adanya kedua istilah
tersebut.
Terhadap
seseorang sebagai whistleblower, maka atas keterangan yang bersangkutan tidak
dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata sedangkan dan terhadap yang
bersangkutan dapat meminta perlindungan dengan tidak diajukan sebagai
tersangka. Sedangkan terhadap seseorang sebagai justice collaborator, atas
keterangannya juga tidak dapat dilakukan penuntutan dan yang bersangkutan dapat
memohon perlindungan dan keterangannya dapat digunakan untuk meringnkan pidana
yang dijatuhkan kepadanya.
Yang
kemudian menjadi pertanyaan, apakah dengan semudah itu seorang whistleblower
maupun justice collaborator dapat meminta perlindungan atas keterangan yang
diberikannya? Tentunya aparat penegak hukum yang harus menilai
keterangan-keterangan tersebut, apakah sudah mencakup keseluruhan data dari
suatu tindak pidana yang diduga telah terjadi atau hanya sekedar alasan bagi
pelaku whistleblower atau justice collborator untuk mendapatkan perlindungan
dan keringanan hukuman. Aparat penegak hukum harus jeli menilai seluruh
keterangan yang diberikan dan aparat penegak hukum harus memiliki standar
pembuktian atas keterangan-keterangan tersebut.
Harus
pula dipahami bahwa terhadap permohonan perlindungan saksi maupun pelapor
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, masih terdapat
hambatan-hambatan utamanya dalam perlindungan saksi dan korban sebagai pengungkap
fakta (whistle blower), yaitu :[13]
1. Belum adanya
dasar hukum yang kuat untuk menjamin perlindungan terhadap whistle blower,
undang-undang yang ada masih bersifat umum terhadap saksi, pelapor dan korban.
Kalau pun ada hanya berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung RI (“SEMA”) yaitu SEMA
Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle
Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di
dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dan Peraturan Bersama Kementerian
Hukum dan HAM RI, KPK RI, Kejaksaan RI, Polri, dan LPSK tentang Perlindungan
Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama ;
2. Belum adanya
pemahaman dan perspektif bersama aparat penegak hukum dalam memberikan
perlindungan terhadap whistle bower, kesepakatan bersama hanya di
tingkat atasan, dan belum tersosialisasi di tingkat bawah maupun daerah ;
3. Belum
maksimalnya pemberian perlindungan terhadap whistle blower. Hal ini karena
Hakim masih mengabaikan rekomendasi aparat penegak hukum terhadap status
seseorang sebagai whistle blower. Ini juga disebabkan SEMA sifatnya
tidak punya kekuatan hukum mengikat ;
4. Peran LPSK
masih terbatas dalam kewenangan yang dituangkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Beberapa
kasus yang melibatkan whistleblower maupun justice collaborator yang pernah
terjadi adalah :[14]
1. Cynthia
Cooper of Worldcom (Skandal Keuangan Perusahaan) ;
2. Sherron
Watkins of Enron (Skandal Keuangan Perusahaan) ;
3. Coleen
Rowley of the FBI, (melaporkan bahwa pihak yang terkait dalam hal ini FBI
lambat dalam bereaksi atas serangan 11 Septemeber 2001) ;
4. Allan Cutler
(Skandal the Canadian "AdScam" or sponsorship scandal) ;
5. Joseph Darby
- a member of the United States military police (Pada tahun 2004 yang
memperingatkan the U.S. military command of prisoner abuse di Abu Ghraib
prison, pada Abu Ghraib, Irak.) ;
6. Walter
DeNino (pelajar yang mempertanyakan Eric Poehlman's) ;
7. Russ Tice -
a former intelligence analyst for the National Security Agency (NSA), the U.S.
Air Force, Office of Naval Intelligence, and the Defense Intelligence Agency
(DIA) ;
8. Karen
Kwiatkowski - a retired Lieutenant Colonel in the U.S. Air Force (Skandal
penyerangan Irak) ;
9. Daniel
Ellsberg - a former State Department analyst (Skandal perang Vietnam) ;
10. W. Mark
Felt, (aka Deep Throat) (Skandal Watergate) ;
11. Frank
Serpico - A former New York City police (Skandal Penuapan ditubuh anggota
kepolisian) ;
12. Katharine
Gun - a former employee of Government Communications Headquarters (GCHQ),
(Skandal invasi irak yang melibatkan pihak amerika dengan inggris) ;
13. Christoph
Meili - a night guard pada Swiss bank. (Skandal penghancuran dokumen tabungan
korban Holocaust) ;
14. Samuel
Provance - a system administrator for Military Intelligence pada the Abu Ghraib
prison, (Skandal penyiksaan) ;
15. Paul van
Buitenen ? (Skandal korupsi European Commission members of corruption.) ;
16. Hans-Peter
Martin - who accused European Parliament members of invalid expense claims in
2004 ;
17. Linda Tripp
- former White House staff member who disclosed to the Office of Independent
Counsel that ;
18. Monica
Lewinsky (Skandal Hubungan Clinton-Lewinsky dan Paula Jones federal civil
rights suit.) ;
19. Jeffrey
Wigand - former executive of Brown & Williamson (Skandal manipulasi efek
nikotin) ;
20. Susno Duadji
dalam kasus mafia kasus dan mafia pajak di institusi Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Menurut
King (1999),
Whistle blowing dibedakan menjadi 2 yaitu whistle blowing internal dan whistle
blowing eksternal, yaitu :[15]
1. Whistle
blowing internal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang
dilakukan karyawan kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada atasannya ;
2. Whistle
blowing eksternal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang
dilakukan oleh perusahaan lalu membocorkannya kepada masyarakat karena
kecurangan itu akan merugikan masyarakat.
Terhadap
whistleblowing system, tentu akan membutuhkan sistem perlindungan terhadap
orang yang melakukan pelaporan tindak pidana, sehingga Sistem
Pelaporan Pelanggaran yang baik yang memberikan fasilitas dan perlindungan (whistleblower
protection) sebagai berikut (Anonim, 2008) :[16]
1. Fasilitas
saluran pelaporan (telepon, surat, email) atau Ombudsman yang independen, bebas
dan rahasia ;
2. Perlindungan
kerahasiaan identitas pelapor. Perlindungan ini diberikan bila pelapor
memberikan identitas serta informasi yang dapat digunakan untuk menghubungi
pelapor. Walaupun diperbolehkan, namun penyampaian pelaporan secara anonim, yaitu
tanpa identitas, tidak direkomendasikan. Pelaporan secara anonim menyulitkan
dilakukannya komunikasi untuk tindak lanjut atas pelaporan ;
3. Perlindungan
atas tindakan balasan dari terlapor atau organisasi. Perlindungan dari tekanan,
dari penundaan kenaikan pangkat, pemecatan, gugatan hukum, harta benda, hingga
tindakan fisik. Perlindungan ini tidak hanya untuk pelapor tetapi juga dapat
diperluas hingga ke anggota keluarga pelapor ;
4. Informasi
pelaksanaan tindak lanjut, berupa kapan dan bagaimana serta kepada institusi
mana tindak lanjut diserahkan. Informasi ini disampaikan secara rahasia kepada
pelapor yang lengkap identitasnya.
Keberanian
seseorang sebagai seorang whistleblower ataupun sebagai justice collaborators,
tentu akan membawa dampak yang tidak ringan bagi pelakunya, yaitu :[17]
1. Ancaman
dari orang-orang yang mereka beberkan namanya, ancaman dapat berbentuk berbagai
macam termasuk ancaman terhadap keselamatan jiwa sang pelapor ;
2. Berisiko
terkena efek “senjata makan tuan” dari pengakuan dan informasi yang mereka
berikan kepada media massa, lembaga antikorupsi, pengacara, penyidik KPK, atau
aparat hukum lainnya ;
3. Ketiga,
ancaman yang juga bakal dihadapi oleh whistle
blower datang dari kalangan internal perusahaan atau institusi.Whistle blower menghadapi
risiko penurunan pangkat, skorsing, intimidasi, atau diskriminasi dari
institusi tempatnya bekerja yang merasa dirugikan dan dipermalukan atas
pelaporannya.
Adanya
ancaman-ancaman tersebut, kiranya mempertegas bahwa perlu adanya Undang-Undang
yang khusus mengatur tentang whistleblower atupun justice collaborators,
setidaknya terdapat payung hukum yang dapat memberikan perlindungan sehingga
masyrakat tidak takut untuk melaporkan tindak pidana yang terjadi di lingkungan
kerjanya dan mengungkap secara jelas mengenai pelaku, modus operadi dan
masyrakat yang menjadi sasaran dari tindak pidana tersebut, khususnya tindak
pidana yang merugikan keuangan negara. Selain itu diperlukan kecermatan dari
aparat penegak hukum yang mendapatkan laporan dari anggota masyrakat yang
melakukan pelaporan atas tindak pidana yang terjadi di dalam lingkungan
kerjanya.
Negara
juga memiliki tanggung jawab yang besar yaitu keberanian menerapkan
Whistleblowing System yang memberikan ruang bagi anggota masyarakat untuk
bersedia melaporkan adanya dugaan tindak pidana yang terjadi di lingkungan
kerjanya dan bersedia bekerjasama mengungkap secara menyeluruh atas suatu
tindak pidana. Disamping itu Negara juga harus memberikan perlindungan yang
optimal terhadap pelaku Whistleblower maupun Justice Collaborators sebab tanpa
adanya perlindungan, maka tidak ada anggota masyrakat yang bersedia melaporkan
dugaan tindak pidana dalam lingkungan kerjanya dan membongkar secara menyeluruh
suatu tindak pidana.
D. PENUTUP
Sebagai
suatu hal yang baru, Whistleblower dan Justice Collaborators tentunya lebih
membutuhkan kepedulian dari Negara untuk membuatkan payung hukum yang dapat
memberikan perlindungan kepada setia orang yang melakukannya, mengingat besanya
ancaman terhadap para pelakunya, baik secara internal maupun eksternal.
E. DAFTAR PUSTAKA
1. Ali
Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan
Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang ;
2. Arief
Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung ;
3. Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2003, Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, Palu ;
4. Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta ;
F. LINK INTERNET :
1. http://www.kompasiana.com/bungchaidir/whistleblower-pahlawan-atau-pengkhianat_550f6f00813311c52cbc67fd, diunduh
tanggal 27 Juni 2016 ;
2. http://nusindo.co.id/prosedur-pelanggaran-whistleblowing-system-rajawali-nusindo/, diunduh
tanggal 27 Juni 2016 ;
3. [1]http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fb7bff86349a/perbedaan-iwhistle-blower-i-dan-ijustice-collaborator-i,diunduh
tanggal 27 Juni 2016 ;
4. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fabe1295851e/hambatan-dalam-perlindungan-hukum-bagi-whistle-blower-pengungkap-fakta,
diunduh tanggal 27 Juni 2016 ;
5. http://webariefspd.blogspot.co.id/2011/03/apa-itu-whistle-blower.html,
diunduh tanggal 27 Juni 2016 ;
6. http://juliana46.blogstudent.mb.ipb.ac.id/2011/11/21/teori-organisasi-dan-manajemen-pengetahuan-kasus-whistle-blowers-saints-or-sinners/,
diunduh tanggal 27 Juni 2016 ;
7. https://vgsiahaya.wordpress.com/artikel/perlindungan-bagi-whistle-blower/,
diunduh tanggal 28 Juni 2016 ;
8. https://vgsiahaya.wordpress.com/artikel/perlindungan-bagi-whistle-blower/,
diunduh tanggal 28 Juni 2016 ;
[1]
Hakim Yustisial pada
Mahkamah Agung RI, Mahasiswa pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ;
[2] Ali Mansyur, Aneka Persoalan
Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras,
Semarang, h. 148.
[3] Arief
Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[4] Ibid,
hal 19-20.
[5] Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, h. 9.
[7]http://www.kompasiana.com/bungchaidir/whistleblower-pahlawan-atau-pengkhianat_550f6f00813311c52cbc67fd, diunduh
tanggal 27 Juni 2016 ;
[10] http://webariefspd.blogspot.co.id/2011/03/apa-itu-whistle-blower.html,
diunduh tanggal 27 Juni 2016 ;
[11]http://nusindo.co.id/prosedur-pelanggaran-whistleblowing-system-rajawali-nusindo/,diunduh
tanggal 27 Juni 2016 ;
[12]http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fb7bff86349a/perbedaan-iwhistle-blower-i-dan-ijustice-collaborator-i, diunduh tanggal 27 Juni 2016 ;
[13]http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fabe1295851e/hambatan-dalam-perlindungan-hukum-bagi-whistle-blower-pengungkap-fakta,
diunduh tanggal 27 Juni 2016 ;
[14] http://webariefspd.blogspot.co.id/2011/03/apa-itu-whistle-blower.html,
diunduh tanggal 27 Juni 2016 ;
[15] http://juliana46.blogstudent.mb.ipb.ac.id/2011/11/21/teori-organisasi-dan-manajemen-pengetahuan-kasus-whistle-blowers-saints-or-sinners/,
diunduh tanggal 27 Juni 2016 ;
[17]
https://vgsiahaya.wordpress.com/artikel/perlindungan-bagi-whistle-blower/,
diunduh tanggal 28 Juni 2016 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar