Selasa, 06 Desember 2016

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE PADA PENYALAHGUNA NARKOTIKA


PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE PADA PENYALAHGUNA NARKOTIKA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH.[1]

A.  Pendahuluan
Eksekusi pidana mati tahap ketiga terhadap terpidana-terpidana perkara Narkotika atas nama terpidana FREDDY BUDIMAN cs telah dijalankan. Meskipun tetap menuai kontroversi terhadap masih diberlakukannya pidana mati di Indonesia, akan tetapi fakta di lapangan membuktikan bahwa ancaman bahkan pelaksanaan hukuman mati tidak mengurangi tingkat peredaran narkotika di Indonesia. Masih banyak anggota masyarakat yang belum memahami dan menyadari bahaya narkotika apabila dipergunakan tanpa ada petunjuk penggunaan dari dokter ataupun petugas medis lainnya, sebab meskipun narkotika mempunyai fungsi untuk mengobati akan tetapi narkotika juga memiliki zat yang dapat membahayakan hidup manusia.
Keadaan ini sebenarnya disebabkan karena kurangnya sosialisasi berbahayanya penyalahgunaan narkotika. Sosialiasisasi yang dilakukan saat ini lebih banyak menyebutkan bahwa narkotika berbahaya bagi manusia, namun tanpa ada penjelasan mengapa narkotika berbahaya. Sosialisasi belum menyentuh pada substansi masalah yang ada yaitu masing-masing narkotika memiliki kandungan bahan berbahaya yang berbeda-beda, yang mengakibatkan efek yang berbeda pula.\
Selama ini, yang dilakukan hanyalah sebatas penyuluhan hukum yang hanya melibatkan aparat penegak hukum, baik dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan, yang semuanya hanya membahas mengenai dilarangnya penyalahgunaan narkotika, akan tetapi belum pernah dilakukan penyuluhan hukum secara terpadu dengan juga mengundang dokter maupun ahli kesehatan untuk ikut memberikan pencerahan dengan menjelaskan apa sebenarnya narkotika tersebut dan apa yang menyebabkan narkotika dianggap berbahaya.
Apabila hal tersebut dilakukan, tentu akan lebih efektif untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, sebab masyarakat akan menjadi lebih paham apabila sudah dijelaskan secara mendetail mengenai narkotika dan bahaya penyalahgunaannya.
Hal lain yang tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika, adalah mengenai penanganan terhadap penyalahguna narkotika, khususnya bagi penyalahguna pertama kali. Sampai saat ini, aparat penegak hukum masih memberlakukan pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika pada tahap pertama kali, hal ini tidak mengherankan sebab menjatuhkan pemidanaan dianggap lebih mudah dan lebih berbiaya ringan dibandingkan dengan apabila penyalahguna narkotika pada tahap awal dikenakan rehabilitasi, disamping prosedur penanganan rehabilitasi dianggap lebih berbelit-belit dan memakan waktu yang cukup lama.
Oleh sebab itu perlu adanya kajian yang lebih mendalam, khususnya terhadap penanganan terhadap penyalahguna narkotika pada tahap awal, namun kiranya di bidang hukum diperlukan pendekatan lain yang lebih manusiawi, disamping penggantian pemidanaan menjadi rehabilitasi, sehingga penyalahguna narkotika di tahap awal tidak mendapatkan stigma atau cap sebagai narapidana.
Saat ini Restorative Justice sedang menjadi tren di kalangan aparat penegak hukum, diantaranya dipergunakan pada perkara pidana anak sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengenai penggunaan Restorative Justice, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5, yang menyebutkan :
(1)     Sistem  Peradilan  Pidana  Anak  wajib  mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif ;
(2)     Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    penyidikan  dan  penuntutan  pidana  Anak  yang dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan,  kecuali  ditentukan  lain dalam Undang-Undang ini ;
b.   persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum ; dan
c.    pembinaan,  pembimbingan,  pengawasan, dan/atau  pendampingan  selama  proses pelaksanaan  pidana  atau  tindakan  dan  setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3)     Dalam  Sistem  Peradilan  Pidana  Anak  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (2)  huruf  a  dan  huruf  b  wajib diupayakan Diversi.
Meskipun tidak harus mengikuti secara mutlak sebagaimana dalam pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, akan tetapi jiwa dari Undang-Undang tersebut dapat diambil dalam rangka pencegahan dan pembinaan penyalahguna narkotika pada tahap awal. Bagi penyalahguna narkotika pada tahap awal, yang dibutuhkan adalah adanya konseling / pembinaan dan juga pengobatan / rahabilitasi sehingga dapat mengurangi bahkan menghentikan penggunaan narkotika yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dikedepankanya Restorative Justice tentunya akan membawa dampak yang signifikan dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Sehingga dengan demikian generasi muda akan terlepas dari belenggu penyalahgunaan narkotika.

B.  PERMASALAHAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas, dapat kiranya kita ambil suatu permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan penyalahguna narkotika ?
2.      Apa pengertian dari Restorative Justice ?
3.      Bagaimana penerapan Restorative Justice dalam penanganan pelaku penyalahguna narkotika ?
4.      Apa hambatan penerapan Restorative Justice dalam penanganan pelaku penyalahguna narkotika ?

C.  PEMBAHASAN
Terhadap permasalahan-permasalahan tersebut, sebaiknya kita melakukan analisa secara komprehensif antara permasalahan yang satu dengan permasalahan yang lain. Hal ini disebabkan permasalahan yang satu akan saling berkaitan dengan permasalahan lainnya. Apabila kita hanya menganalisa secara parsial, maka akan terbentur pada kendala bahwa terdapat ego sektoral dari masing-masing aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Apabila setiap sektor dari Aparat Penegak Hukum telah memahami masing-masing tugas pokok dan fungsinya, maka akan terjalin kerjasama yang baik diantara masing-masing sektor tersebut. Terciptanya hubungan kerja yang baik tentu akan memperlancar upaya pemerintah dalam mengatasi peredaran ilegal dan penyalahgunaan narkotika, sehingga bisa menyelamatkan generasi muda sebagai generasi penerus bangsa.
a)   Pengertian Penyalahguna Narkotika
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak menjelaskan secara spesifik apa yang dimaksud dengan  penyalahgunaan narkotika. Namun, kita dapat melihat pada pengaturan Pasal 1 ayat (15) menyatakan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum, dengan demikian, dapat kita artikan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.[2]
Dalam hukum pidana, tanpa hak atau melawan hukum ini disebut juga dengan istilah “wederrechtelijk”. Menurut wederrechtelijk  ini meliputi pengertian-pengertian :[3]
-       Bertentangan dengan hukum objektif; atau ;
-       Bertentangan dengan hak orang lain; atau ;
-       Tanpa hak yang ada pada diri seseorang; atau ;
-       Tanpa kewenangan.
Jadi, pada dasarnya yang dimaksud dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika sebagaimana dimaksud dalam UU Narkotika adalah penggunaan atau peredaran narkotika dan prekursor narkotika yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar UU Narkotika).[4]
Penyalahgunaan narkoba merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat patologik dan harus menjadi perhatian segenap pihak. Meskipun sudah terdapat banyak informasi yang menyatakan dampak negatif yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan dalam mengkonsumsi narkoba, tapi hal ini belum memberi angka yang cukup signifikan dalam mengurangi tingkat penyalahgunaan narkoba dan terdapat 3 (tiga) faktor yang menjadi penyebabnya :[5]
1.      Faktor Diri
a.       Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau brfikir panjang tentang akibatnya di kemudian hari ;
b.      Keinginan untuk mencoba-coba kerena penasaran ;
c.       Keinginan untuk bersenang-senang ;
d.      Keinginan untuk dapat diterima dalam satu kelompok (komunitas) atau lingkungan tertentu ;
e.       Workaholic agar terus beraktivitas maka menggunakan stimulant (perangsang) ;
f.       Lari dari masalah, kebosanan, atau kegetiran hidup ;
g.      Mengalami kelelahan dan menurunya semangat belajar ;
h.      Menderita kecemasan dan kegetiran ;
i.        Kecanduan merokok dan minuman keras. Dua hal ini merupakan gerbang ke arah penyalahgunaan narkoba ;
j.        Karena ingin menghibur diri dan menikmati hidup sepuas-puasnya ;
k.      Upaya untuk menurunkan berat badan atau kegemukan dengan menggunakan obat penghilang rasa lapar yang berlebihan ;
l.        Merasa tidak dapat perhatian, tidak diterima atau tidak disayangi, dalam lingkungan keluarga atau lingkungan pergaulan ;
m.    Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan ;
n.      Ketidaktahuan tentang dampak dan bahaya penyalahgunaan   narkoba ;
o.      Pengertian yang salah bahwa mencoba narkoba sekali-kali tidak akan menimbulkan masalah ;
p.      Tidak mampu atau tidak berani menghadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan narkoba ;
q.      Tidak dapat atau tidak mampu berkata TIDAK pada narkoba.
2.      Faktor Lingkungan
a.       Keluarga bermasalah atau broken home ;
b.      Ayah, ibu atau keduanya atau saudara menjadi pengguna atau penyalahguna atau bahkan pengedar gelap nrkoba ;
c.       Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salah satu atau beberapa atau bahkan semua anggotanya menjadi penyalahguna atau pengedar gelap narkoba ;
d.      Sering berkunjung ke tempat hiburan (café, diskotik, karoeke, dll.) ;
e.       Mempunyai banyak waktu luang, putus sekolah atau menganggur ;
f.       Lingkungan keluarga yang kurang / tidak harmonis ;
g.      Lingkungan keluarga di mana tidak ada kasih sayang, komunikasi, keterbukaan, perhatian, dan saling menghargai di antara anggotanya ;
h.      Orang tua yang otoriter ;
i.        Orang tua/keluarga yang permisif, tidak acuh, serba boleh, kurang/tanpa pengawasan ;
j.        Orang tua/keluarga yang super sibuk mencari uang/di luar rumah ;
k.      Lingkungan sosial yang penuh persaingan dan ketidakpastian ;
l.        Kehidupan perkotaan yang hiruk pikuk, orang tidak dikenal secara pribadi, tidak ada hubungan primer, ketidakacuan, hilangnya pengawasan sosial dari masyarakat,kemacetan lalu lintas, kekumuhan, pelayanan public yang buruk, dan tingginya tingkat kriminalitas ;
m.    Kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, dan keterlantaran ;
3.      Faktor Ketersediaan Narkoba, Narkoba itu sendiri menjadi faktor pendorong bagi seseorang untuk memakai narkoba, karena :
a.       Narkoba semakin mudah didapat dan dibeli ;
b.      Harga narkoba semakin murah dan dijangkau oleh daya beli masyarakat ;
c.       Narkoba semakin beragam dalam jenis, cara pemakaian, dan bentuk   kemasan ;
d.      Modus Operandi Tindak pidana narkoba makin sulit diungkap aparat hukum ;
e.       Masih banyak laboratorium gelap narkoba yang belum terungkap ;
f.       Sulit terungkapnya kejahatan computer dan pencucian uang yang bisa membantu bisnis perdagangan gelap narkoba ;
g.      Semakin mudahnya akses internet yang memberikan informasi pembuatan narkoba ;
h.      Bisnis narkoba menjanjikan keuntugan yang besar ;
i.        Perdagangan narkoba dikendalikan oleh sindikat yagn kuat dan professional. Bahan dasar narkoba (prekursor) beredar bebas di masyarakat.
Disamping itu, penyalahgunaan narkotika meliputi pengertian yang lebih luas antara lain :[6]
·      Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya dan mempunyai resiko ;
·      Menentang suatu otoritas baik terhadap orang tua, guru, hukum, maupun instansi tertentu ;
·      Mempermudah penyaluran perbuatan seks ;
·      Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional ;
·      Berusaha agar menemukan arti daripada hidup ;
·      Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada kegiatan ;
·      Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah ;
·      Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan ;
·      Hanya sekedar ingin tahu atau iseng ;
Kecuali itu, tetapi dapat juga digunakan untuk kepentingan ekonomi atau kepentingan pribadi.
SOEJONO D, SH, dalam bukunya NARKOTIKA dan REMAJA, menyebutkan bahwa, “Menurut Dr. Graham Blaine, orang-orang menyalahgunakan Narkotika dengan berbagai alasan, antara lain :[7]
a.      Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan seperti perkelahian, ngebut dan lain-lain ;
b.      Sebagai tindakan untuk memprotes suatu kekuasaan/kewenangan, seperti terhadap orang tua atau terhadap guru-guru dan terhadap norma-norma yang ada ;
c.        Untuk menghilangkan kekecewaan dan melepaskan diri dari kesepian ;
d.       Karena pengobatan yang berlanjut ;
e.        Ingin mencoba-coba”
Dari pendapat Soedjono D, SH tersebut, dapat diuraikan menjadi beberapa tahap sehingga seseorang menjadi PEMAKAI (Penyalahgunaan) Narkotika sebagaimana diuraikan oleh dr. DHARMAWAN dalam Seminar Sehaari Dampak Ketergantungan Obat terhadap Pelaku serta Upaya Pencegahan dan Rehabilitasinya pada bulan Agustus 1999, menyebutkan sebagai beikut :
1.        Mula-mula mereka hanya coba-coba (experimental use) dengan alasan untuk menghilangkan rasa susah, mencari rasa nyaman, enak atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu ;
2.        Kemudian, sebagian tidak meneruskan, tetapi sebagian lagi meneruskan menjadi social use, untuk mengisi kekosongan waktu senggang, konkow-konkow atau pada waktu pesta ;
3.        Sebagian  bersifat situational use, menggunakan pada saat stress, kecewa, sedih, tetapi mereka masih dapat mengendalikan pemakaian Narkotika ;
4.         Pada tahap ABUSE, merupakan tahap yang menentukan apakah ia akan menjadi pengguna tetap atau tidak, apabila menjadi pengguna tetap makan menjadi dependence use (kecanduan) ;
5.        Di tahap kecanduan, seseorang cenderung akan menambah dosis dari Narkotika yang dipakainya ;
Pintu masuk penggunaan NARKOTIKA adalah dengan MEROKOK, karena apabila sudah terbiasa merokok, tidak segan-segan untuk mencoba yang lebih tinggi lagi dan bereksperimen menggunakan DAUN GANJA, kemudian meningkat ke PIL KOPLO, lantas ke SABU-SABU dan meningkat lagi ke EXTACY dan HEROIN.[8]
Selanjutnya kita harus memahami dan mengerti macam-macam narkotika, yaitu :[9]
a.        COCAIN
Cocain adalah suatu alkoloida yang berasal dari daun/ Erythroxylon Coca L. tanaman tersebut banyak tumbuh di Amerika Selatan di bagian barat ke utara lautan teduh. Kebanyakan ditanam dan tumbuh di daratan tinggi Andes Amerika Selatan, khususnya di Peru dan Bolivia. Tumbuh juga Ceylon, India, dan Jawa. Di Pulau Jawa kadang-kadang ditanam dengan sengaja, tetapi sering tumbuh sebagai tanaman pagar.
Rasa dan daun Erythroxylon Coca L seperti teh dan mengandung kokain. Daun tersebut sering dikunyah karena sedap rasanya dan seolah-olah menyegarkan badan. Sebenarnya dengan mengunyah daun tanaman tersebut dapat merusak paru-paru dan melunakkan syaraf serta otot. Bunga Erythroxylon Coca L selalu tersusun berganda lima pada ketiak daun serta berwarna putih.
Cocain yang dikenal sekarang ini pertama kali dibuat secara sintesis pada tahun 1855, dimana dampak yang ditimbulkan diakui dunia kedokteran. Sumber penggunaan cocain lainnya yang terkenal adalah coca-cola yang diperkenalkan pertama kali oleh John Pomberton pada tahun 1886 yang dibuat dari sirup kokain dan kafein. Namun karena tekanan publik, penggunaan kokain pada coca-cola dicabut pada tahun1903. Dalam bidang ilmu kedokteran cocain dipergunakan sebagai anastesi (pemati rasa) lokal :
·      Dalam pembedahan pada mata, hidung, dan tenggorokan ;
·      Menghilangkan rasa nyeri selaput lender dengan cara menyemburkan larutan kokain ;
·      Menghilangkan rasa nyeri saat luka dibersihkan dan dijahit. Cara yang digunakan adalah menyuntik kokain subkutan ;
·      Menghilangkan rasanyeri yang lebih luas dengan menyuntikkan kokain ke dalam ruang ektradural bagian lumbal, anastesi lumbal (Hari Sasangka, 2003:58).
b.        GANJA
Ganja berasal dari tanaman yang mudah tumbuh tanpa memerlukan pemeliharaan istimewa. Tanaman ini tumbuh pada daerah beriklim sedang. Pohonnya cukup rimbun dan tumbuh subur  di daerah tropis. Dapat ditanam dan tumbuh secara liar di semak belukar.
Nama samara ganja banyak sekali, misalnya : Indian Hemp,Rumput, Barang, Daun Hijau, Bangli, Bunga, Ikat, Labang, Jayus, Jun.  Remaja di Jakarta menyebutnya Gele atau Cimeng. Dikalangan pecandu disebut Grass, Marihuana, Hasa tau Hashish.  Bagi pemakai sering dianggap sebagai lambang pergaulan, sebab di dalam pemakainnya hampir selalu beramai-ramai karena efek yang ditimbulkan oleh ganja adalah kegembiraan sehingga barang itu tidak mungkin dinikmati sendiri. Menurut Franz Bergel; pada suatu legenda sehubungan dengan kata hashish, yaitu suatu kata yang dihubungkan dengan kata  Assassin dalam bahasa inggris dan perancis. dikatakan bahwa kata Hashashi berasal dari kata Hashashan yang berarti manusia pemakan tumbuh-tumbuhan.
Adapun bentuk-bentuk ganja dapat dibagi ke dalam lima bentuk, yaitu :
1.        Berbentuk rokok lintingan yang disebut reefer ;
2.        Berbentuk campuran, dicampur tembakau untuk dihisap seperti  rokok ;
3.        Berbentuk campuran daun, tangkai dan biji untuk dihisap seperti rokok ;
4.        Berbentuk bubuk dan dammar yang dapat dihisap melalui hidung ;
5.        Berbentuk dammar hashish berwarna coklat kehitam-hitaman seperti makjun.
Efek penggunaan ganja terhadap tubuh manusia telah banyak ditulis oleh ahli. Efek tersebut lebih banyak buruknya daripada baiknya. Penggunaan ganja itu sendiri lebih banyak untuk tujuan yang negative dari pada tujuan yang positif seperti penggunaan untuk pengobatan. Efek penggunaan ganja menurut Franz Bergel, meliputi efek fisik dan psikis.
c.        CANDU (OPIUM)
Candu atau opium merupakan sumber utama dari narkotika alam. Opium adalah getah berwarna putih seperti susu yang keluar dari kotak biji tanaman papaver samni vervum yang belum masak. Jika buah candu yang bulat telur itu terkena torehan, getah tersebut jika ditampung dan kemudian dijemur akan menjadi opium mentah.  Cara modern untuk memprosesnya sekarang adalah dengan jalan mengolah jeraminya secara besar-besaran, kemudian dari jerami candu yang matang setelah diproses akan menghasilkan alkolida dalam bentuk cairan, padat, dan bubuk.
Berbagai narkotika berasal dari Alkoloida candu, misalnya Morphine, Heroin, berasal dari tanaman Papaver Somniferum L  dan dari keluarga Papaveraceae. Nama Papaver Somniferum merpakan sebutan yang diberikan oleh Linnaeus pada tahun 1753. Selain disebut dengan Papaver Somniferum, juga disebut Papaver Nigrum dan  Pavot Somnivere. Ciri-ciri tanaman Papaver Somniferum adalah sebaga berikut; tingginya 70-110 cm, daunnya hijau lebar berkeluk-keluk. Panjangnya 10-25 cm, tangkainya besar berdiri menjulang ke atas keluar dari rumpun pohonnya, berbunga (merah, putih, ungu) dan buahnya berbentuk bulat telur.dari buahnya itu diperoleh getah yang berwarna putih kemudian membeku, getah yang tadinya berwarna putih setelah mongering berganti warnanya menjadi hitam cokelat, getah itu dikumpulkan lalu diolah menjadi candu mentah atau candu kasar. Dalam  perkembangannya opium menjadi tiga bagian;opium mentah, opium masak, dan opium obat.
d.       MORPIN
Perkataan “morphin” itu berasal dari bahasa Yunani “Morpheus” yang artinya dewa mimpi yang dipuja-puja. Nama ini cocok dengan pecandu morphin, karena merasa fly di awang-awang. Morpin adalah jenis narkotika yang bahan bakunya berasal dari candu atau opium. Sekitar 4-21% morpin dapat dihasilkan dari opium. Morpin adalah prototype analgetik yang kuat, tidak berbau,rasanya pahit, berbentuk Kristal putih, dan warnanya makin lama berubah menjadi kecokelat-cokelatan. Morpin adalah alkoloida utama dari opium, dengan rumus kimia C17  H19 NO3. Ada tiga macam morpin yang beredar di masyarakat, yakni; cairan yang berwarna putih yang pemakainnya dengan cara injeksi, bubuk atau serbuk berwarna putih seperti bubuk kapur atau tepung yang pemakainnya dengan cara injeksi atau merokok, dan tablet kecil berwarna putih yang pemakainnya dengan menelan.
e.        HEROIN
Setelah ditemukan zat kimia morphine pada tahun 1806 oleh Fredich Sertumer, kemudian pada tahun 1898, Dr. Dresser, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, telah menemukan Zat Heroin. Semula zat baru ini (heroin) diduga dapat menggantikan morphine dalam dunia kedokteran dan bermanfaat untuk mengobati para morpinis. Akan tetapi harapan tersebut tidak berlangsung lama, karena terbukti adanya kecanduan yang berlebihan bahkan lebih cepat daripada morphine serta lebih susah disembuhkan bagi para pecandunya. Heroin atau diacethyl morpin adalah suatu zat semi sintesis turunan morpin. Proses pembuatan heroin adalah melalui proses penyulingan dan proses kimia lainnya di laboratorium dengan cara acethalasi  dengan aceticanydrida. Bahan bakunya adalah morpin, asam cuka, anhidraid atau asetilklorid.
Dengan mengetahui jenis-jenis narkotika tersebut dan juga efek buruk yang ditimbulkannya, maka harus menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa meskipun narkotika mempunyai fungsi sebagai sarana pengobatan yang harus dilakukan dengan perantaraan petugas medis, akan tetapi narkotika juga dapat merusak apabila digunakan secara tidak tepat dan tanpa pendampingan dari tenaga medis. Dan harus diakui bahwa sampai saat ini pembelajaran dan pencerahan kepada masyarkat terhadap bahaya dari narkotika, dalam hal memaparkan kandungan dari tiap-tiap narkotika tersebut, yang belum optimal dilakukan oleh para pemangku kepentingan dalam rangka mencegah dan juga mengurangi penyalahgunaan narkotika di lingkungan masyarakat.
Bagi aparat penegak hukum juga seharusnya tidak langsung mengedepankan penegakan hukum secara kaku tetapi juga melakukan pendekatan secara kemanusiaan (humanisme) dalam menangani perkara penyalahgunaan narkotika. Khusus terhadap pelaku penyalahguna narkotika yang baru pertama kali, sebaiknya dapat diterapkan pendekatan Restorative Justice, mengingat bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga sebagai korban dari peredaran ilegal narkotika, yang tidak lagi mengenal tempat dan waktu maupun korbannya. Setiap orang rentan menjadi korban, sekaligus sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Selain diperlukan tindakan tegas dari aparat penegak hukum, juga dibutuhkan pendekatan secara bijaksana terhadap pelaku yang baru pertama kali menyalahgunakan narkotika.
Dalam hal ini, pendekatan Restorative Justive kiranya tepat diterapkan bagi para pelaku penyalahgunaan narkotika yang baru pertama kali melakukannya. Hal ini dengan tujuan pelaku tersebut dapat diobati dan bisa meninggalkan kebiasaan penggunaan narkotika. Untuk bisa melaksanakan pendekatan Restorative Justice, perlu adanya pemahaman yang sama diantara aparat penegak hukum, bahwa penanganan terhadap pelaku tindak pidana narkotika tidak selama harus dilakukan dengan pemidanaan akan tetapi bisa dilakukan dengan Restorative Justice khususnya terhadap pelaku yang baru pertama kali melakukannya, dengan harapan pelaku tersebut menjadi sadar dan tidak akan melakukannya lagi serta bisa menjadi motivator bagi orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Hal ini kiranya dapat menjadi solusi jangka panjang bagi pemberantasan tindak pidana narkotika.
b)   Pengertian Restorative Justice
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan pengertian Restorative Justice yaitu suatu proses dimana semua pihak yang berhungungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan memikirkan bagaimana akibatnya dimasa yang akan datang.[10]
Keberadaan Restorative Justice yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat diartikan bahwa penerapan Restorative Justice merupakan suatu fenomena baru dalam penegakan hukum, yaitu hukum pidana tidak ditujukan semata-mata sebagai alat untuk menghukum atau memidana seseorang yang melakukan tindak pidana akan tetapi sebagai sarana mencegah seseorang untuk melakukan tindak pidana dan hukum pidana sebagai sarana untuk menyeimbangkan kembali keadilan yang rusak akibat dari suatu tindak pidana.
Wright menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana, dimana ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung-jawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.[11] Restorative Justice System merupakan sebuah konsep penegakan hukum yang menitik beratkan kepada kepentingan pelaku, korban dan masyarakat, disamping itu, Restorative Justice System bertujuan juga untuk mengembalikan kondisi masyarakat yang telah terganggu oleh adanya perbuatan kejahatan.[12]
Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan Sistem Peradilan Pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.
Marian Liebmann memberikan beberapa rumusan prinsip dasar restorative justice sebagai berikut :[13]
1.     Memperioritaskan dukungan dan penyembuhan korban;
2.     Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan;
3.     Dialog antara korban dan pelaku untuk mencapai pemahaman;
4.     Ada upaya untuk meletakan secara benar kerugian yang ditimbulkan;
5.     Pelaku pelanggaran harus sadar tentang bagaimana tidak mengulangi lagi kejahatan tersebut dimasa datang;
6.     Masyarakat turut membantu mengintegrasikan baik korban maupun pelaku.
Dignan mengatakan sebagai berikut: Restorative justice is a new framework for responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by edsucational, legal, social work, and counceling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community.[14] Pendapat Dignan tersebut dapat diartikan bahwa Keadilan Restoratif adalah keadilan terhadap segala tindak pidana yang dalam penanganannya membutuhkan dukungan dari unsur pendidikan, hukum, pekerja sosial dan pembinaan secara profesional yang ditujukan bagi pelaku tindak pidana, korban tindak pidana dan masyarakat yang terkena dampak dari tindak pidana tersebut.
Keberadaan dari sistem Restorative Justice memberikan kesempatan kepada para pelaku tindak pidana untuk melakukan sesuatu hal yang dapat mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Dalam hal pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika, maka sebenarnya Aparat Penegak Hukum mempunyai kewenangan untuk tidak menjatuhkan pemidanaan berupa pidana penjara namun dapat menjatuhkan pemidanaan berupa rehabilitasi. Hal ini penting dilakukan mengingat para pelaku awal tindak pidana penyalahgunaan narkotika pada hakekatnya masih memerlukan pembinaan dan pengawasan sekaligus pengobatan sehingga dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali pengaruh ketergantungan pada narkotika.
Apabila bentuk Restorative Justice pada pidana anak diterapkan dalam bentuk DIVERSI, maka sudah saatnya Pemerintah dan seluruh Aparat Penegak Hukum memikirkan bentuk Restirative Justice yang dapat diterapkan bagi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Hal ini perlu dipikirkan, mengingat bahwa esensi dari hukum pidana bukanlah untuk menjatuhkan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana tetapi justru harus mencegah seseorang melakukan suatu tindak pidana.
Ada suatu pepatah yang mengatakan Fiat justisia ruat coelum, pepatah latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan.” Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum dan dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit bertopeng dalih penegakan dan kepastian hukum.[15]
Harus diakui bahwa sampai saat ini, penanganan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika belum optimal. Pemenjaraan terhadap pelakunya justru akan membuat pelaku tersebut menjadi lebih “meningkat” keahliannya, dari semula hanya sebagai pemakai, kemudian ketika dijatuhi pidana penjara, justru akan menjadi pengendar atau bahkan menjadi bandar besar narkotika di kemudian hari.
Banyak hal yang dapat ditinjau dari penanganan narapidana tindak pidana penyalahgunaan narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang membuat, pembinaan narapidana tersebut menjadi tidak efektif dan seakan-akan menajdi mubazir. Oleh karenanya diperlukan upaya pencegahan sehingga pada setiap tindak pidana penyalahgunaan narkotika, pelakunya tidak perlu dijatuhi pemidanaan berupa pidana penjara, namun cukup dengan menjatuhkan pidana rehabilitasi. Namun hal tersebut dikecualikan terhadap para pelaku yang sudah berulang kali melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, atau bahkan sudah berperan sebagai pengedar maupun bandar narkotika.
c)    Penerapan Restorative Justice Dalam Penanganan Penyalahguna Narkotika
Meski harus pula diakui bahwa sangat tidak mudah untuk melakukan rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika. Seorang pencandu narkoba yang sembuh fisik, belum berarti pulih total karena masih banyak aspek yang perlu diselaraskan dan rupanya ada pendekatan komprehensif untuk menuntun mereka kembali ke jalan yang benar sebab merehabilitasi para pecandu narkoba bagaikan merajut benang yang kusut.[16]
Aparat penegak hukum harus jeli ketika menerima perkara penyalahgunaan narkotika. Dari awal penyelidikan, pihak Kepolisian harus memeriksa dengan teliti dan harus dapat membedakan apakah penyelidikan yang dilakukannya merupakan penyeldikan terhadap orang yang baru pertama kali melakukan penyalahgunaan narkotika atau orang yang sudah berulangkali melakukan penyalahgunaan narkotika.
Hal yang sama juga berlaku pada tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan, sebelum Hakim menjatuhkan putusannya. Untuk mengetahui apakah seseorang sedang dalam pengaruh narkotika atau tidak, dalam setiap penyidikan perkara penyalahgunaan narkotika seharusnya dilengkapi dengan Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh dokter dari instansi kesehatan yang menyatakan bahwa terhadap orang tersebut telah dilakukan tes urine. Dari hasil tes urine tersebut dapat diketahui apakah seseorang telah mengkonsumsi narkotika atau tidak dan apabila menginginkan hasil yang lebih akurat maka sebaiknya terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dilakukan pemeriksaan rambut, mengingat tingkat akurasi hasil pemeriksaan rambut lebih baik daripada hasil pemeriksaan urine.
Jenis tes yang paling akurat sebenarnya analisa rambut. Tes darah dan urine kurang bisa mendeteksi mayoritas jenis narkoba, terutama jika seseorang tidak mengonsumsinya sekitar satu minggu, misalnya saja heroin yang sudah tidak terdeteksi di urine setelah 3-5 hari dan berapa lama sebuah zat narkoba tinggal di dalam darah? Yang paling lama ternyata ganja, karena ia bisa bertahan sampai 5 hari, sementara itu kokain, barbiturates, dan MDMA bisa bertahan sampai 48 jam, untuk obat golongan methamphetamin bertahan selama 37 jam, sedangkan alkohol, amfetamin, dan heroin bertahan 12 jam. Morfin bertahan hanya 8 jam dan LSD 3 jam, untuk urine, jendela deteksinya sedikit lebih luas. Misalnya saja untuk LSD, MDMA dan heroin yang bisa dideteksi sampai 3-4 hari. Sementara alkohol, morfin, dan methamhetamine 5-6 hari, dan mariyuana sampai 30 hari dan untuk tes deteksi menggunakan analisa rambut, kita bisa melacak penggunaan alkohol, amfetamin, heroin, ganja, sampai morfin dalam 90 hari terakhir.[17]
Dalam pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 menyebutkan pengertian dari Pecandu Narkotika, yaitu Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sedangkan dalam pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 menyebutkan pengertian dari Korban Penyalahgunaan Narkotika, yaitu Korban Penyalahgunaan Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.
Dari ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut, telah jelas bahwa pebuatan penyalahgunaan narkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika dan / atau sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Terhadap pelaku sebagai pecandu maupun sebagai korban penyalahgunaan narkotika, adalah lebih tepat diterapkan Restorative Justice berupa Rehabilitasi, yang sejalan dengan program pemerintah yang telah menerapkan program rehabilitasi terhadap 100 ribu penyalahguna narkotika.
Program rehabilitasi 100 ribu penyalahguna narkoba merupakan perintah langsung dari Presiden Joko Widodo yang tidak hanya menjadi tugas dari BNN tetapi juga kementerian terkait.[18] Program pemerintah tersebut sudah seharusnya didukung oleh semua pemangku kepentingan (stake holder) di bidang penegakan hukum, termasuk di dalamnya adalah Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung sendiri telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabiltasi Medis dan Rehabilitasi Sosial serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahguna Narkotika Di Dalam Lembaga Rahabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010, pengaturan mengenai penerapan pemidanaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan pada angka 2, yang menyatakan tentang klasifikasi tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dapat diterapkan pemidanaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Dengan adanya SEMA Nomor 4 Tahun 2010, ternyata menimbulkan peningkatan penanganan penyalahguna narkotika, sehingga kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 3 Tahun 2011 yang merupakan pengaturan lebih lanjut terhadap penanganan penyalahguna narkotika, yang dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tersebut, menyebutkan bahwa pelaksanaan dari SEMA tersebut tetap mendasarkan pada SEMA Nomor 4 Tahun 2010.
Dengan berpedoman pada SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 3 Tahun 2011, di dalam persidangan, Hakim harus menilai apakah dalam berkas perkara penyalahgunaan narkotika telah dilengkapi dengan Laporan Uji Laboratorium yang menyatakan bahwa orang yang didakwa melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika benar-benar menggunakan narkotika sebagaimana ditentukan dalam angka 2 huruf c SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dan berdasarkan Laporan Uji Laboratorium tersebut, Hakim mempunyai kewenangan untuk memanggil dan memerintahkan dokter jiwa / psikiater pemerintah untuk memeriksa terdakwa penyalahguna narkotika dan memberikan rekomendasi untuk perlu / tidaknya dilakukan rehabilitasi terhadap yang bersangkutan. Apabila dokter jiwa / psikiater pemerintah memberikan rekomendasi untuk dilakukan rehabilitasi, maka Hakim bisa menjatuhkan pemidanaan berupa rehabilitasi dengan menunjuk Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial setempat dalam amar putusannya.      
Pengertian dari Rehabilitasi Medis maupun Rehabilitasi Sosial, adalah sebagai berikut :[19]
1.     Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika ;
2.     Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Hakim dalam putusannya tetap harus memperhatikan pada tingkat kebutuhan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang harus direhabilitasi. Dengan memperhatikan tingkat kebutuhan rehabilitasi tersebut, maka tindakan rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana tidak mubazir / sia-sia dan tidak membawa manfaat apapun.
Seorang ahli kesehatan yang juga Deputi Rahabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), dr. Diah Setia menyebutkan, "Kita lihat dari tingkat penggunaanya, jenis zat yang digunakan, komplikasi yang ada, kemudian faktor-faktor sosial yang lain. Kalau dia tingkat penggunaanya masih tingkat experimental atau recreational user, artinya dia baru coba sekali atau dua kali pakai dalam sebulan, itu cukup dengan intervensi misalnya pertemuan dua tiga kali dan psiko edukasi keluarga, itu bisa membantu dia jangan sampai masuk lagi." [20]
Perlunya pendekatan secara manusiawi / humanis bagi para penyalahguna narkotika sangat dibutuhkan mengingat para penyalahguna narkotika juga masih mempunyai keinginan untuk bisa sembuh dan terlepas dari penggunaan narkotika. Penyalahguna narkotika tidak perlu selalu dipersalahkan akan tetapi yang lebih penting adalah mengupayakan kesembuhan dan lepasnya dari ketergantungan dari narkotika.
Angka penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Jumlah pengguna narkoba di Indonesia pada tahun 2015 tercatat ada 5,2 juta jiwa, hal itu diungkapkan Kepala BNNP Brigjen. Iskandar Ibrahim, saat acara sosialisasi Optimalisasi Peran Tim Asesmen Terpadu yang digelar di Hotel Garden Permata, Jalan Lemahnendeut, Kota Bandung, Kamis (19/11/2016).[21] Angka tersebut apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia tentu sangat kecil, akan tetapi apabila dicermati dan diperhatikan, maka jumlah tersebut akan terus bertambah apabila tidak disertai dengan upaya pencegahan dan pengoatan terhadap pelaku penyalahguna narkotika dan upaya penindakan terhadap pelaku peredaran ilegal narkotika.
Tindakan pencegahan dan penindakan peredaran ilegal sudah dilakukan secara berkelanjutan. Sudah tidak terhitung lagi putusan pidana mati maupun seumur hidup yang dijatuhkan oleh Hakim-Hakim Indonesia dalam perkara peredaran ilegal narkotika, baik putusan di peradilan tingkat pertama, tingkat banding maupun pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali. Tidak terhitung pula jumlah putusan pengadilan yang menghukum pelaku tindak pidana peredaran ilegal narkotika yang menjatuhkan putusan maksimal selain pidana mati dan pidana seumur hidup. Hal ini perlu mendapatkan apresiasi bahwa masih banyak putusan pengadilan yang menjatuhkan putusan yang berat bagi pelaku tindak pidana peredaran ilegal narkotika.
Akan tetapi ada satu hal yang terkadang terlupakan dari putusan-putusan pengadilan tersebut, yaitu terhadap pelaku penyalahguna narkotika. Sampai saat ini, putusan pengadilan masih memandang sama antara pelaku penyalahguna narkotika yang diperlakukan sama dengan pelaku peredaran ilegal narkotika. Para penyalahguna narkotika lebih banyak dijatuhi pemidanaan berupa pidana penjara dibandingkan dengan pemidanaan berupa rehabilitasi di lembaga rehabilitasi yang telah ditunjuk sebagai tempat rehabilitasi bagi pelaku penyalahguna narkotika. Pemidanaan berupa pidana penjara seringkali tidak menyelesaikan masalah bagi pelaku penyalahguna narkotika tersebut, mengingat Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) saat ini belum memberikan pola pendidikan yang tepat bagi warga binaannya, sehingga bisa membuat warga binaannya sadar akan kesalahannya dan bukan menjadi pelaku kejahatan yang lebih ‘berilmu’ karena justru selama di dalam Lembaga Pemasayarakatan (LAPAS), warga binaan tersebut saling ‘belajar’ kejahatan.
Penempatan pelaku penyalahguna narkotika di LAPAS sebenarnya sudah dimulai sejak dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian terhadap suatu tindak pidana, yang dalam praktek, dengan argumen untuk mempermudah proses pemeriksaan, pelaku ditempatkan di LAPAS sebagai titipan tahanan. Hal ini berlanjut ketika memasuki proses penuntutan dan selama persidangan. Baik Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim lebih banyak ‘mengambil’ langkah aman yaitu dengan meneruskan penahanan terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika. Dan hal ini juga berlanjut ketika Jaksa Penuntut Umum menyampaikan Surat Tuntutannya yang selalu berupa pemidanaan berupa pidana penjara dan tutntutan pidana penjara oleh Penuntut Umum tersebut, diputuskan juga dengan pidana pemenjaraan oleh Hakim.  
Harus ada perubahan pola pikir dari tingkat penyidikan, yaitu pihak penyidik harus mampu memilah-milah mana yang termasuk pelaku peredaran ilegal narkotika dan mana yang merupakan pelaku penyalahguna narkotika. Apabila dari awal penyidikan, pihak penyidik sudah melakukan pemilahan tersebut, kiranya para pelaku penyalahguna narkotika tidak diperlakukan sama dengan pelaku peredaran ilegal narkotika. Pihak penyidik dari awal sudah dapat menempatkan pelaku penyalahguna di lembaga rehabilitasi untuk memberikan kesempatan bagi pelaku penyalahguna untuk menyembuhkan ketergantungannya terhadap narkotika. Hal ini dapat diteruskan pada tingkat penuntutan dan selama proses persidangan, yaitu dengan tetap menempatkan pelaku penyalahguna narkotika di lembaga rehabilitasi.
Menteri Kesehatan RI menyatakan, "Kementerian Kesehatan menyadari bahwa penyalahgunaan narkoba tidak bisa dengan penangkapan bandar-bandar saja, tetapi juga melalui terapi kepada pengguna,"[22] pernyataan dari Menteri Kesehatan RI tersebut juga merupakan sikap dari Pemerintah RI di dalam upaya memberantas peredaran ilegal narkotika dan juga melakukan rehabilitasi terhadap pelaku penyalahguna narkotika.
Keberhasilan program pemerintah tersebut, tidak akan dapat dicapai apabila tidak mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat dan juga dukungan dari aparat penegak hukum.
d)   Hambatan Dan Solusi Penerapan Restorative Justice Dalam Penanganan Pelaku Penyalahguna Narkotika
Peredaran narkotika, dalam bahasa awam sering disebut dengan narkoba, yang tidak lain adalah singakatan dari narkotika dan bahan adiktif, telah menjangkau seluruh lapisan masyarakat, tanpa kecuali. Dari rakyat jelata sampai dengan pejabat pemerintahan, telah terbukti dapat menjadi sasaran peredaran ilegal narkotika tersebut yang menyebabkan semakin bertambahnya jumlah penyalahguna narkotika dan juga tumbuh suburnya daerah-daerah peredaran narkotika ilegal yang dijual secara bebas. Dari daerah perkotaan hingga pelosok-pelosok pedesaan, peredaran ilegal narkotika sudah menjadi sesuatu hal yang massive yang apabila tidak dilakukan upaya-upaya pencegahan, bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan satu generasi, dikarenakan menjadi korban bahkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran ilegal narkotika.
Terhadap pelaku peredaran ilegal narkotika, telah banyak yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, akan tetapi terhadap pelaku penyalahguna narkotika, belum seluruhnya terjangkau dengan upaya rehabilitasi. Optimalisasi upaya rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika bagaikan setitik air di gurun pasir nan gersang yang dapat memberikan harapan bagi para penyalahguna narkotika, sekaligus dapat mengurangi beban para penegak hukum dalam penegakan hukum terhadap pelaku peredaran ilegal narkotika, karena sedari awal sudah dipilahkan antara pelaku peredaran ilegal dengan pelaku penyalahguna narkotika.
Upaya melakukan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika sejalan dengan program pemerintah. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), mengatakan, "Tahun ini pemerintah merehabilitasi 100 ribu penyalahguna narkoba. Tahun besar akan lebih besar dari ini karena ini baru pertama kali ada gerakan merehabilitasi penyalah guna sebesar ini. Ini langkah besar yang dilakukan oleh pemerintah karena diperintah langsung oleh Presiden Jokowi. Dan kami bersama-sama dengan kementerian lain siap melaksanakan itu,"[23] dan Anang Iskandar menambahkan, rehabilitasi kepada para penyalahguna narkoba ini tidak hanya pelayanan medis tetapi juga pelayanan sosial pasca rehabilitasi, "Pola rehabilitasinya adalah rehabilitasi medis, ada rehabilitasi sosial ada pasca rehabilitasi. Dan rehabilitasi ini tidak hanya rawat inap tetapi juga ada rawat jalan. Dengan pola counselling bagi para pengguna agar mereka bisa berhenti," lanjutnya.[24]
Pola rehabilitasi tersebut bukan tanpa hambatan, mengingat jumlah yang bisa direhabilitasi hanya seratus ribu orang, sedangkan pelaku penyalahguna narkotika sudah lebih dari 5 juta orang, sehingga sangat jauh perbandingan antara jumlah yang membutuhkan rehabilitasi dengan jumlah yang dapat direhabilitasi oleh Pemerintah, selain itu, para penyalahguna narkotika sudah merambah sampai di pelosok pedesaan yang bahkan tidak terjangkau oleh kendaraan, akan tetapisudah banyak bukti nyata bahwa di desa-desa terpencilpun sudah ada peredaran ilegal narkotika yang menyebabkan banyak orang menjadi penyalahguna narkotika.
Hal lain yang dapat menjadi penghambat yaitu, dari 34 (tiga puluh empat) provinsi di Indonesia, keberadaan Rumah Sakit atau Lembaga Kesehatan yang direkomendasikan sebagai tempat rehabilitasi ketergantungan narkotika, masih sedikit dan hanya tersedia di kota-kota besar, yang tidak terjangkau, karena jarak, oleh masyarakat di pedesaan. Harus dipahami bahwa tidak setiap kota memiliki fasilitas kesehatan yang memadai bahkan keberadaan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sekalipun tidak menjamin bahwa RSUD tersebut dapat memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat di daerah tersebut. Ditambah pula faktor ketersidaan tenaga kesehatan yang mumpuni dan berkualitas, baik dokter maupun tenaga medis lainnya. Bahkan keberadaan dokter spesialis yang tidak merata di masing-masing daerah, yang dapat menghambat pelayanan kesehatan di suatu daerah. Dalam keadaan demikian, tentunya akan menjadi dilema sebab untuk memberikan pelayanan kesehatan rutin saja belum dapat diberikan dan kemudian ditambah dengan kemampuan dari sebuah lembaga kesehatan dalam melakukan rehabilitasi terhadap pelaku penyalahguna narkotika. Selain itu, belum adanya political will dari Pemerintah untuk memberikan rekomendasi atas sebuah lembaga kesehatan yang dapat melakukan rehabilitasi terhadap pelaku penyalahguna narkotika.
Hal-hal ini yang menjadi salah satu penghambat bagi program pemerintah yang akan melakukan rehabilitasi terhadap 100.000 (seratus ribu) pecandu narkotika. Apabila pecandu / penyalahguna narkotika tersebut berada di kota-kota besar, tentu tidak akan menjadi masalah serius, karena hampir setiap lembaga kesehatan di koa-kota besar sudah mempunyai kemampuan untuk melakukan rehabilitasi dan telah pula mendapatkan rekomendasi dari Pemerintah sebagai tempat rujukan bagi pelaksanaan rehabilitasi. Akan tetapi akan menjadi masalah apabila pecandu / penyalahguna narkotika tersebut berada di kota-kota kecil yang terpencil dan jauh dari fasilitas kesehatan yang memadai yang dapat melakukan rehabilitasi.
Di persidanganpun terdapat hambatan, mengingat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 di angka 2 huruf d menyebutkan, “Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa / psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh Hakim.” Dari ketentuan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tersebut, tentu akan menyulitkan pihak aparat penegak hukum, dalam hal ini Hakim yang akan menjatuhkan pemidanaan berupa tindakan rehabilitasi bagi Terdakwa  pelaku tindak pidana narkotika. Hal ini dikatakan menyulitkan sebab, tidak semua daerah memiliki dokter jiwa / psikiater pemerintah dan pemanggilan tersebut akan dibebankan pembiayaannya kepada siapa, mengingat dalam persidangan perkara pidana, tidak dikenal adanya panjar biaya perkara yang dapat dipergunakan untuk memanggil saksi atau ahli. Selain itu ketika dokter jiwa / psikiater telah didatangkan untuk memberikan surat keterangan, apakah akan dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap terdakwa atau cukup hanya memeriksa urine atau darah saja, sebab untuk mengetahui bahwa seseorang sebagai penyalahguna apalagi sebagai pecandu, maka pemeriksaan yang dilakukan tidak cukup hanya dengan pemeriksaan urine atau darah saja akan tetapi harus dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh, untuk mengetahui apakah seseorang yang diajukan sebagai terdakwa penyalahguna narkotika benar-benar sebagai pecandu atau hanya sebagai pemakai untuk mempengaruhi orang lain supaya membeli narkotika yang dimilikinya (posisi sebagai bandar narkotika).
Untuk itu diperlukan adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dengan tenaga kesehatan setempat ketika melakukan penanganan tindak pidana narkotika, sehingga ketika diperlukan kehadiran tenaga kesehatan (dokter jiwa / psikiater), pihak lembaga kesehatan setempat dapat menyediakannya dan melakukan tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dan, apabila di daerah setempat tidak terdapat dokter jiwa / psikiater, maka lembaga kesehatan setempat dapat merujuk kepada lembaga kesehatan daerah terdekat yang memiliki tenaga dokter jiwa / psikiater. Disamping itu, dengan adanya kerjasama yang baik antara aparat penegak hukum dan tenaga / lembaga kesehatan setempat, dapat dicarikan jalan keluar terhadap permasalahan pembiayaan untuk mendatangkan dokter jiwa / psikiater untuk memeriksa dan memberikan Surat Keterangan bagi Terdakwa yang menerangkan bahwa Terdakwa benar-benar sebagai pecandu narkotika dan membutuhkan tindakan rehabilitasi.
Dengan adanya Surat Keterangan dari dokter jiwa / psikiater yang menerangkan bahwa terdakwa membutuhkan tindakan rehabilitasi, maka sejak awal pemeriksaan perkara dari penyidikan sampai dengan penjatuhan putusan, terdakwa sudah bisa mendapatkan tindakan rehabilitasi yang dapat mencegah terdakwa menjadi pecandu narkotika yang tidak dapat disembuhkan lagi. Bagi pemerintah, perlu dipikirkan untuk mengadakan rehabilitasi bagi pecandu narkotika dalam jumlah yang lebih besar sehingga lebih efektif dalam upaya penanganan terhadap pecandu narkotika.
Dengan adanya keterlibatan tenaga kesehatan (dokter jiwa / psikiater) dari awal proses penyidikan dalam perkara tindak pidana narkotika, maka penanganan terhadap pecandu / penyalahguna narkotika dapat cepat dan tepat tertangani, sehingga dari tahap penyidikan dapat diterapkan restorative justice terhadap pelaku penyalahguna / pecandu narkotika, yaitu berupa penempatan pecandu narkotika tersebut dalam program rehabilitasi. Hal ini disebabkan para pelaku penyalahguna / pecandu narkotika tersebut sebenarnya juga adalah sebagai korban dari peredaran ilegal narkotika. Penanganan yang cepat dan tepat terhadap pelaku penyalahguna / pecandu narkotika bisa menyelamatkan nyawa dari pecandu terssebut dari ketergantungan narkotika.
Kiranya aparat penegak hukum dan juga pemerintah, khususnya stake holder di bidang kesehatan dapat duduk bersama membahas mengenai penanganan terhadap pecandu narkotika mengingat bahwa terhadap pemberantasan tindak pidana peredaran ilegal narkotika membutuhkan gerak cepat dalam penanganannya sehingga tidak menambah jumlah pecandu dan pelaku peredaran ilegal narkotika.
Pemerintah, dalam hal Badan Narkotika Nasional, kiranya dapat memberikan rekomendasi kepada lebih banyak Rumah Sakit atau lembaga kesehatan lainnya, yang lebih tersebar di seluruh Indonesia, sehingga dapat mempermudah bagi aparat penegak hukum dalam melakukan tindakan rehabilitasi. Kemudian, Badan Narkotika Nasional bisa mengajukan penambahan jumlah pecandu narkotika yang dapat direhabilitasi oleh Negara.
Bagi Hakim, kiranya harus ada satu pemahaman bahwa tidak semua pelaku tindak pidana narkotika harus dipidana dengan pidana penjara, sebab tidak semua pelaku tindak pidana adalah pelaku peredaran ilegal narkotika, sebab diantaranya ada yang hanya sebagai penyalahguna / pecandu narkotika yang lebih membutuhkan tindakan rehabilitasi dibandingkan pidana pemenjaraan. Diperlukan perubahan paradigma pemikiran di kalangan Hakim bahwa tindakan rehabilitasi lebih dibutuhkan dibandingkan dengan mejatuhkan pidana penjara sebab dengan rehabilitasi, maka dapat menyelamatkan pelaku penyalahguna / pecandu narkotika dari ketergantungan narkotika. Dengan dilakukannya rehabilitasi, secara tidak langsung akan mengurangi pelaku tindak pidana narkotika.
Hal lain yang perlu dilakukan aparat penegak hukum adalah dengan memperbanyak sosialisasi tentang bahaya narkotika dengan menggandeng tenaga-tenaga medis sebagai nara sumber untuk menjelaskan berbahayanya narkotika dari segi medis, sehingga dapat menyadarkan masyarakat bagaimana bahayanya peredaran ilegal maupun penyalahgunaan narkotika. Tenaga-tenaga medis yang dapat menjelaskan kandungan yang terdapat di dalam narkotika dengan segala bentuknya dan juga bagaimana kandungan dalam narkotika tersebut dapat membahayakan pemakainya. Dalam tataran tertentu, sebenarnya narkotika adalah bahan pembuat obat, akan tetapi penggunaan obat tersebut harus dengan pendampingan dari tenaga kesehatan dan dengan aturan pemakaian yang sudah ditentukan oleh tenaga kesehatan, sehingga penggunaan narkotika tanpa adanya pendampingan dari tenaga kesehatan merupakan suatu penyalahgunaan dari narkotika yang dapat membahayakan diri pemakai dan bagi orang lain.
Mahkamah Agung RI sebagai badan peradilan tertinggi dan sebagai puncak dari seluruh tingkatan peradilan perlu membuat suatu aturan yang kiranya dapat menjadi pedoman lebih lanjut dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 03 Tahun 2011, yang dapat lebih memudahkan bagi Hakim untuk menilai fakta persidangan atas suatu tindak pidana narkotika, dengan lebih mengedepankan tindakan rehabilitasi daripada pemidanaan berupa pidana penjara bagi pelaku penyalahguna narkotika. Dan juga dengan mengadopsi ketentuan mengenai penunjukkan Rumah Sakit dan lembaga kesehatan lainnya yang direkomendasikan sebagai tempat rehabilitasi bagi pecandu / penyalahguna narkotika.
Dengan adanya pembagian pelaksanaan tugas secara berkesinambungan dari mulai penyidikan sampai dengan penjatuhan putusan, maka diharapkan dapat mempercepat penanganan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, baik sebagai penyalahguna maupun sebagai pelaku peredaran ilegal narkotika.

D.  KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas kiranya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1)      Tindak pidana narkotika sudah menjadi suatu kejahatan terorganisir (well organized crime) yang membutuhkan sinergitas kinerja dari aparat penegak hukum, baik penyidik, penuntut umum maupun hakim.
2)      Pelaku tindak pidana narkotika tidak hanya sebagai pelaku peredaran ilegal narkotika tetapi juga sebagai pelaku penyalahguna narkotika, yang keduanya membutuhkan penanganan yang berbeda dengan tujuan utama menyelamatkan generasi bangsa ;
3)      Rehabilitasi menjadi pilihan utama di dalam penerapan restorative justice terhadap pelaku penyalahguna narkotika, mengingat penyalahguna narkotika sejatinya adalah korban dari peredaran ilegal narkotika ;
4)      Pemerintah melalui Badan Narkotika Nasional (BNN) perlu menambah jumlah Rumah Sakit atau lembaga kesehatan yang direkomendasikan sebagai tempat rehabilitasi dan menambah jumlah anggaran rehabilitasi sehingga dapat merehabilitasi lebih banyak pecandu narkotika ;
5)      Mahkamah Agung perlu membuat aturan hukum sebagai payung bagi Hakim dalam menangani perkara peredaran dan penyalahgunaan narkotika dengan mengadopsi ketentuan yang memuat penunjukkan Rumah Sakit atau lembaga kesehatan yang direkomendasikan sebagai tempat rehabilitasi. 

E.  SARAN
Dalam tulisan ini sebagaimana telah dicantumkan dalam kesimpulan, maka saran-saran yang perlu diajukan adalah :
1)        Pemerintah perlu meningkatkan upaya penanganan terhadap perkara tindak pidana narkotika khususnya terhadap pelaku penyalahguna / pecandu narkotika ;
2)        Rehabilitasi harus menjadi prioritas dalam penanganan terhadap pelaku penyalahguna / pecandu narkotika dengan memperbanyak Rumah Sakit atau lembaga kesehatan lainnya sebagai tempat rujukan tindakan rehabilitasi dan perlunya penambahan anggaran untuk membiayai tindakan rehabilitasi ;

F.   DAFTAR BACAAN
1.    Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., dalam bukunya "Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia" , Penerbit Sinar Grafika, Jakarta Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika, Jakarta ;

G.  LINK INTERNET
3.    https://jauhinarkoba.com/pemicu-terjadinya-penyalahgunaan-narkoba/, diunduh tanggal 16 November  2016 ;
4.    http://bramfikma.blogspot.co.id/2013/10/penyalahgunaan-narkotika.html, diunduh tanggal 16 November 2016 ;
7.    http://bramfikma.blogspot.co.id/2013/10/penyalahgunaan-narkotika.html, diunduh tanggal 16 November 2016 ;



[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang ;
[3] Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., dalam bukunya "Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia" , Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 354-355 ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...