PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE PADA
PENYALAHGUNA NARKOTIKA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH.[1]
A. Pendahuluan
Eksekusi
pidana mati tahap ketiga terhadap terpidana-terpidana perkara Narkotika atas
nama terpidana FREDDY BUDIMAN cs telah dijalankan. Meskipun tetap menuai
kontroversi terhadap masih diberlakukannya pidana mati di Indonesia, akan
tetapi fakta di lapangan membuktikan bahwa ancaman bahkan pelaksanaan hukuman
mati tidak mengurangi tingkat peredaran narkotika di Indonesia. Masih banyak
anggota masyarakat yang belum memahami dan menyadari bahaya narkotika apabila
dipergunakan tanpa ada petunjuk penggunaan dari dokter ataupun petugas medis
lainnya, sebab meskipun narkotika mempunyai fungsi untuk mengobati akan tetapi
narkotika juga memiliki zat yang dapat membahayakan hidup manusia.
Keadaan
ini sebenarnya disebabkan karena kurangnya sosialisasi berbahayanya
penyalahgunaan narkotika. Sosialiasisasi yang dilakukan saat ini lebih banyak
menyebutkan bahwa narkotika berbahaya bagi manusia, namun tanpa ada penjelasan
mengapa narkotika berbahaya. Sosialisasi belum menyentuh pada substansi masalah
yang ada yaitu masing-masing narkotika memiliki kandungan bahan berbahaya yang
berbeda-beda, yang mengakibatkan efek yang berbeda pula.\
Selama
ini, yang dilakukan hanyalah sebatas penyuluhan hukum yang hanya melibatkan
aparat penegak hukum, baik dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan, yang
semuanya hanya membahas mengenai dilarangnya penyalahgunaan narkotika, akan
tetapi belum pernah dilakukan penyuluhan hukum secara terpadu dengan juga
mengundang dokter maupun ahli kesehatan untuk ikut memberikan pencerahan dengan
menjelaskan apa sebenarnya narkotika tersebut dan apa yang menyebabkan
narkotika dianggap berbahaya.
Apabila
hal tersebut dilakukan, tentu akan lebih efektif untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan narkotika, sebab masyarakat akan menjadi lebih paham apabila
sudah dijelaskan secara mendetail mengenai narkotika dan bahaya
penyalahgunaannya.
Hal
lain yang tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan penyalahgunaan
narkotika, adalah mengenai penanganan terhadap penyalahguna narkotika,
khususnya bagi penyalahguna pertama kali. Sampai saat ini, aparat penegak hukum
masih memberlakukan pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika pada tahap
pertama kali, hal ini tidak mengherankan sebab menjatuhkan pemidanaan dianggap
lebih mudah dan lebih berbiaya ringan dibandingkan dengan apabila penyalahguna
narkotika pada tahap awal dikenakan rehabilitasi, disamping prosedur penanganan
rehabilitasi dianggap lebih berbelit-belit dan memakan waktu yang cukup lama.
Oleh
sebab itu perlu adanya kajian yang lebih mendalam, khususnya terhadap
penanganan terhadap penyalahguna narkotika pada tahap awal, namun kiranya di
bidang hukum diperlukan pendekatan lain yang lebih manusiawi, disamping
penggantian pemidanaan menjadi rehabilitasi, sehingga penyalahguna narkotika di
tahap awal tidak mendapatkan stigma atau cap sebagai narapidana.
Saat
ini Restorative Justice sedang
menjadi tren di kalangan aparat penegak hukum, diantaranya dipergunakan pada
perkara pidana anak sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
mengenai penggunaan Restorative Justice, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5,
yang menyebutkan :
(1)
Sistem Peradilan
Pidana Anak wajib
mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif ;
(2)
Sistem
Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
penyidikan dan
penuntutan pidana Anak
yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini ;
b.
persidangan
Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum ; dan
c.
pembinaan, pembimbingan,
pengawasan, dan/atau
pendampingan selama proses pelaksanaan pidana
atau tindakan dan
setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a
dan huruf b
wajib diupayakan Diversi.
Meskipun tidak harus mengikuti secara
mutlak sebagaimana dalam pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, akan tetapi jiwa dari Undang-Undang
tersebut dapat diambil dalam rangka pencegahan dan pembinaan penyalahguna
narkotika pada tahap awal. Bagi penyalahguna narkotika pada tahap awal, yang
dibutuhkan adalah adanya konseling / pembinaan dan juga pengobatan /
rahabilitasi sehingga dapat mengurangi bahkan menghentikan penggunaan narkotika
yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dikedepankanya Restorative Justice
tentunya akan membawa dampak yang signifikan dalam upaya pemberantasan
penyalahgunaan narkotika. Sehingga dengan demikian generasi muda akan terlepas
dari belenggu penyalahgunaan narkotika.
B. PERMASALAHAN
Dari
uraian-uraian tersebut di atas, dapat kiranya kita ambil suatu permasalahan
sebagai berikut :
1. Apa
yang dimaksud dengan penyalahguna narkotika ?
2. Apa
pengertian dari Restorative Justice ?
3. Bagaimana
penerapan Restorative Justice dalam
penanganan pelaku penyalahguna narkotika ?
4. Apa
hambatan penerapan Restorative Justice
dalam penanganan pelaku penyalahguna narkotika ?
C. PEMBAHASAN
Terhadap
permasalahan-permasalahan tersebut, sebaiknya kita melakukan analisa secara
komprehensif antara permasalahan yang satu dengan permasalahan yang lain. Hal
ini disebabkan permasalahan yang satu akan saling berkaitan dengan permasalahan
lainnya. Apabila kita hanya menganalisa secara parsial, maka akan terbentur
pada kendala bahwa terdapat ego sektoral dari masing-masing aparat penegak
hukum dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Apabila
setiap sektor dari Aparat Penegak Hukum telah memahami masing-masing tugas
pokok dan fungsinya, maka akan terjalin kerjasama yang baik diantara
masing-masing sektor tersebut. Terciptanya hubungan kerja yang baik tentu akan
memperlancar upaya pemerintah dalam mengatasi peredaran ilegal dan
penyalahgunaan narkotika, sehingga bisa menyelamatkan generasi muda sebagai
generasi penerus bangsa.
a)
Pengertian
Penyalahguna Narkotika
Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak menjelaskan secara spesifik
apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan narkotika. Namun, kita dapat
melihat pada pengaturan Pasal 1 ayat (15) menyatakan bahwa penyalahguna
adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum, dengan
demikian, dapat kita artikan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum.[2]
Dalam hukum
pidana, tanpa hak atau melawan hukum ini disebut juga dengan istilah “wederrechtelijk”.
Menurut wederrechtelijk ini meliputi pengertian-pengertian :[3]
-
Bertentangan dengan hukum objektif; atau ;
-
Bertentangan dengan hak orang lain; atau ;
-
Tanpa hak yang ada pada diri seseorang; atau ;
-
Tanpa kewenangan.
Jadi, pada
dasarnya yang dimaksud dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
prekursor narkotika sebagaimana dimaksud dalam UU Narkotika adalah penggunaan
atau peredaran narkotika dan prekursor narkotika yang tidak sah (tanpa
kewenangan) dan melawan hukum (melanggar UU Narkotika).[4]
Penyalahgunaan
narkoba merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat patologik dan harus
menjadi perhatian segenap pihak. Meskipun sudah terdapat banyak informasi yang
menyatakan dampak negatif yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan dalam
mengkonsumsi narkoba, tapi hal ini belum memberi angka yang cukup signifikan
dalam mengurangi tingkat penyalahgunaan narkoba dan terdapat 3 (tiga) faktor
yang menjadi penyebabnya :[5]
1.
Faktor Diri
a.
Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar
atau brfikir panjang tentang akibatnya di kemudian hari ;
b.
Keinginan untuk mencoba-coba kerena penasaran ;
c.
Keinginan untuk bersenang-senang ;
d.
Keinginan untuk dapat diterima dalam satu kelompok
(komunitas) atau lingkungan tertentu ;
e.
Workaholic agar terus beraktivitas maka menggunakan
stimulant (perangsang) ;
f.
Lari dari masalah, kebosanan, atau kegetiran hidup ;
g.
Mengalami kelelahan dan menurunya semangat belajar ;
h.
Menderita kecemasan dan kegetiran ;
i.
Kecanduan merokok dan minuman keras. Dua hal ini
merupakan gerbang ke arah penyalahgunaan narkoba ;
j.
Karena ingin menghibur diri dan menikmati hidup
sepuas-puasnya ;
k.
Upaya untuk menurunkan berat badan atau kegemukan
dengan menggunakan obat penghilang rasa lapar yang berlebihan ;
l.
Merasa tidak dapat perhatian, tidak diterima atau
tidak disayangi, dalam lingkungan keluarga atau lingkungan pergaulan ;
m.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan ;
n.
Ketidaktahuan tentang dampak dan bahaya penyalahgunaan
narkoba ;
o.
Pengertian yang salah bahwa mencoba narkoba
sekali-kali tidak akan menimbulkan masalah ;
p.
Tidak mampu atau tidak berani menghadapi tekanan dari
lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan narkoba ;
q.
Tidak dapat atau tidak mampu berkata TIDAK pada
narkoba.
2.
Faktor Lingkungan
a.
Keluarga bermasalah atau broken home ;
b.
Ayah, ibu atau keduanya atau saudara menjadi pengguna
atau penyalahguna atau bahkan pengedar gelap nrkoba ;
c.
Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salah satu
atau beberapa atau bahkan semua anggotanya menjadi penyalahguna atau pengedar
gelap narkoba ;
d.
Sering berkunjung ke tempat hiburan (café, diskotik,
karoeke, dll.) ;
e.
Mempunyai banyak waktu luang, putus sekolah atau
menganggur ;
f.
Lingkungan keluarga yang kurang / tidak harmonis ;
g.
Lingkungan keluarga di mana tidak ada kasih sayang,
komunikasi, keterbukaan, perhatian, dan saling menghargai di antara anggotanya
;
h.
Orang tua yang otoriter ;
i.
Orang tua/keluarga yang permisif, tidak acuh, serba
boleh, kurang/tanpa pengawasan ;
j.
Orang tua/keluarga yang super sibuk mencari uang/di luar
rumah ;
k.
Lingkungan sosial yang penuh persaingan dan
ketidakpastian ;
l.
Kehidupan perkotaan yang hiruk pikuk, orang tidak
dikenal secara pribadi, tidak ada hubungan primer, ketidakacuan, hilangnya
pengawasan sosial dari masyarakat,kemacetan lalu lintas, kekumuhan, pelayanan
public yang buruk, dan tingginya tingkat kriminalitas ;
m.
Kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, dan
keterlantaran ;
3.
Faktor Ketersediaan Narkoba, Narkoba itu sendiri
menjadi faktor pendorong bagi seseorang untuk memakai narkoba, karena :
a.
Narkoba semakin mudah didapat dan dibeli ;
b.
Harga narkoba semakin murah dan dijangkau oleh daya
beli masyarakat ;
c.
Narkoba semakin beragam dalam jenis, cara pemakaian,
dan bentuk kemasan ;
d.
Modus Operandi Tindak pidana narkoba makin sulit
diungkap aparat hukum ;
e.
Masih banyak laboratorium gelap narkoba yang belum
terungkap ;
f.
Sulit terungkapnya kejahatan computer dan pencucian
uang yang bisa membantu bisnis perdagangan gelap narkoba ;
g.
Semakin mudahnya akses internet yang memberikan
informasi pembuatan narkoba ;
h.
Bisnis narkoba menjanjikan keuntugan yang besar ;
i.
Perdagangan narkoba dikendalikan oleh sindikat yagn
kuat dan professional. Bahan dasar narkoba (prekursor) beredar bebas di
masyarakat.
Disamping
itu, penyalahgunaan
narkotika meliputi pengertian yang lebih luas antara lain :[6]
·
Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan
berbahaya dan mempunyai resiko ;
·
Menentang suatu otoritas baik terhadap orang tua,
guru, hukum, maupun instansi tertentu ;
·
Mempermudah penyaluran perbuatan seks ;
·
Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh
pengalaman-pengalaman emosional ;
·
Berusaha agar menemukan arti daripada hidup ;
·
Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan
karena tidak ada kegiatan ;
·
Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah ;
·
Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan
;
·
Hanya sekedar ingin tahu atau iseng ;
Kecuali itu, tetapi dapat juga digunakan untuk
kepentingan ekonomi atau kepentingan pribadi.
SOEJONO D, SH, dalam bukunya
NARKOTIKA dan REMAJA, menyebutkan bahwa, “Menurut
Dr. Graham Blaine, orang-orang menyalahgunakan Narkotika dengan berbagai alasan,
antara lain :[7]
a.
Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang
membahayakan seperti perkelahian, ngebut dan lain-lain ;
b. Sebagai
tindakan untuk memprotes suatu kekuasaan/kewenangan, seperti terhadap orang tua
atau terhadap guru-guru dan terhadap norma-norma yang ada ;
c. Untuk menghilangkan kekecewaan dan melepaskan
diri dari kesepian ;
d. Karena pengobatan yang berlanjut ;
e. Ingin mencoba-coba”
Dari pendapat Soedjono D, SH
tersebut, dapat diuraikan menjadi beberapa tahap sehingga seseorang menjadi
PEMAKAI (Penyalahgunaan) Narkotika sebagaimana diuraikan oleh dr. DHARMAWAN
dalam Seminar Sehaari Dampak Ketergantungan Obat terhadap Pelaku serta Upaya
Pencegahan dan Rehabilitasinya pada bulan Agustus 1999, menyebutkan sebagai
beikut :
1.
Mula-mula mereka hanya coba-coba (experimental use) dengan alasan untuk
menghilangkan rasa susah, mencari rasa nyaman, enak atau sekedar memenuhi rasa
ingin tahu ;
2.
Kemudian, sebagian tidak meneruskan, tetapi sebagian lagi meneruskan
menjadi social use, untuk mengisi kekosongan waktu senggang, konkow-konkow atau
pada waktu pesta ;
3.
Sebagian bersifat situational use,
menggunakan pada saat stress, kecewa, sedih, tetapi mereka masih dapat
mengendalikan pemakaian Narkotika ;
4.
Pada tahap ABUSE, merupakan tahap
yang menentukan apakah ia akan menjadi pengguna tetap atau tidak, apabila
menjadi pengguna tetap makan menjadi dependence use (kecanduan) ;
5.
Di tahap kecanduan, seseorang cenderung akan menambah dosis dari Narkotika
yang dipakainya ;
Pintu masuk penggunaan
NARKOTIKA adalah dengan MEROKOK, karena
apabila sudah terbiasa merokok, tidak segan-segan untuk mencoba yang lebih
tinggi lagi dan bereksperimen menggunakan DAUN GANJA, kemudian meningkat ke PIL
KOPLO, lantas ke SABU-SABU dan meningkat lagi ke EXTACY dan HEROIN.[8]
Selanjutnya kita
harus memahami dan mengerti macam-macam narkotika, yaitu :[9]
a.
COCAIN
Cocain adalah suatu alkoloida yang berasal dari daun/
Erythroxylon Coca L. tanaman tersebut banyak tumbuh di Amerika Selatan di
bagian barat ke utara lautan teduh. Kebanyakan ditanam dan tumbuh di daratan
tinggi Andes Amerika Selatan, khususnya di Peru dan Bolivia. Tumbuh juga
Ceylon, India, dan Jawa. Di Pulau Jawa kadang-kadang ditanam dengan sengaja,
tetapi sering tumbuh sebagai tanaman pagar.
Rasa dan daun Erythroxylon Coca L seperti teh dan
mengandung kokain. Daun tersebut sering dikunyah karena sedap rasanya dan
seolah-olah menyegarkan badan. Sebenarnya dengan mengunyah daun tanaman
tersebut dapat merusak paru-paru dan melunakkan syaraf serta otot. Bunga
Erythroxylon Coca L selalu tersusun berganda lima pada ketiak daun serta
berwarna putih.
Cocain yang dikenal sekarang ini pertama kali dibuat
secara sintesis pada tahun 1855, dimana dampak yang ditimbulkan diakui dunia
kedokteran. Sumber penggunaan cocain lainnya yang terkenal adalah coca-cola
yang diperkenalkan pertama kali oleh John Pomberton pada tahun 1886 yang dibuat
dari sirup kokain dan kafein. Namun karena tekanan publik, penggunaan kokain
pada coca-cola dicabut pada tahun1903. Dalam bidang ilmu kedokteran cocain dipergunakan
sebagai anastesi (pemati rasa) lokal :
·
Dalam pembedahan pada mata, hidung, dan tenggorokan ;
·
Menghilangkan rasa nyeri selaput lender dengan cara
menyemburkan larutan kokain ;
·
Menghilangkan rasa nyeri saat luka dibersihkan dan
dijahit. Cara yang digunakan adalah menyuntik kokain subkutan ;
·
Menghilangkan rasanyeri yang lebih luas dengan
menyuntikkan kokain ke dalam ruang ektradural bagian lumbal, anastesi lumbal
(Hari Sasangka, 2003:58).
b.
GANJA
Ganja berasal dari tanaman yang mudah tumbuh tanpa
memerlukan pemeliharaan istimewa. Tanaman ini tumbuh pada daerah beriklim
sedang. Pohonnya cukup rimbun dan tumbuh subur di daerah tropis. Dapat
ditanam dan tumbuh secara liar di semak belukar.
Nama samara ganja banyak sekali, misalnya : Indian
Hemp,Rumput, Barang, Daun Hijau, Bangli, Bunga, Ikat, Labang, Jayus, Jun.
Remaja di Jakarta menyebutnya Gele atau Cimeng. Dikalangan pecandu disebut
Grass, Marihuana, Hasa tau Hashish. Bagi pemakai sering dianggap sebagai
lambang pergaulan, sebab di dalam pemakainnya hampir selalu beramai-ramai
karena efek yang ditimbulkan oleh ganja adalah kegembiraan sehingga barang itu
tidak mungkin dinikmati sendiri. Menurut Franz Bergel; pada suatu legenda
sehubungan dengan kata hashish, yaitu suatu kata yang dihubungkan dengan kata
Assassin dalam bahasa inggris dan perancis. dikatakan bahwa kata Hashashi
berasal dari kata Hashashan yang berarti manusia pemakan tumbuh-tumbuhan.
Adapun bentuk-bentuk ganja dapat dibagi ke dalam lima
bentuk, yaitu :
1.
Berbentuk rokok lintingan yang disebut reefer ;
2.
Berbentuk campuran, dicampur tembakau untuk dihisap
seperti rokok ;
3.
Berbentuk campuran daun, tangkai dan biji untuk
dihisap seperti rokok ;
4.
Berbentuk bubuk dan dammar yang dapat dihisap melalui
hidung ;
5.
Berbentuk dammar hashish berwarna coklat
kehitam-hitaman seperti makjun.
Efek penggunaan ganja terhadap tubuh manusia telah
banyak ditulis oleh ahli. Efek tersebut lebih banyak buruknya daripada baiknya.
Penggunaan ganja itu sendiri lebih banyak untuk tujuan yang negative dari pada
tujuan yang positif seperti penggunaan untuk pengobatan. Efek penggunaan ganja
menurut Franz Bergel, meliputi efek fisik dan psikis.
c.
CANDU (OPIUM)
Candu atau opium merupakan sumber utama dari narkotika
alam. Opium adalah getah berwarna putih seperti susu yang keluar dari kotak
biji tanaman papaver samni vervum yang belum masak. Jika buah candu yang bulat
telur itu terkena torehan, getah tersebut jika ditampung dan kemudian dijemur
akan menjadi opium mentah. Cara modern untuk memprosesnya sekarang adalah
dengan jalan mengolah jeraminya secara besar-besaran, kemudian dari jerami
candu yang matang setelah diproses akan menghasilkan alkolida dalam bentuk
cairan, padat, dan bubuk.
Berbagai narkotika berasal dari Alkoloida candu,
misalnya Morphine, Heroin, berasal dari tanaman Papaver Somniferum L dan
dari keluarga Papaveraceae. Nama Papaver Somniferum merpakan sebutan yang
diberikan oleh Linnaeus pada tahun 1753. Selain disebut dengan Papaver
Somniferum, juga disebut Papaver Nigrum dan Pavot Somnivere. Ciri-ciri
tanaman Papaver Somniferum adalah sebaga berikut; tingginya 70-110 cm, daunnya
hijau lebar berkeluk-keluk. Panjangnya 10-25 cm, tangkainya besar berdiri
menjulang ke atas keluar dari rumpun pohonnya, berbunga (merah, putih, ungu)
dan buahnya berbentuk bulat telur.dari buahnya itu diperoleh getah yang
berwarna putih kemudian membeku, getah yang tadinya berwarna putih setelah
mongering berganti warnanya menjadi hitam cokelat, getah itu dikumpulkan lalu
diolah menjadi candu mentah atau candu kasar. Dalam perkembangannya opium
menjadi tiga bagian;opium mentah, opium masak, dan opium obat.
d.
MORPIN
Perkataan “morphin” itu berasal dari bahasa Yunani
“Morpheus” yang artinya dewa mimpi yang dipuja-puja. Nama ini cocok dengan
pecandu morphin, karena merasa fly di awang-awang. Morpin adalah jenis
narkotika yang bahan bakunya berasal dari candu atau opium. Sekitar 4-21%
morpin dapat dihasilkan dari opium. Morpin adalah prototype analgetik yang
kuat, tidak berbau,rasanya pahit, berbentuk Kristal putih, dan warnanya makin
lama berubah menjadi kecokelat-cokelatan. Morpin adalah alkoloida utama dari
opium, dengan rumus kimia C17 H19 NO3. Ada tiga macam morpin yang beredar
di masyarakat, yakni; cairan yang berwarna putih yang pemakainnya dengan cara
injeksi, bubuk atau serbuk berwarna putih seperti bubuk kapur atau tepung yang
pemakainnya dengan cara injeksi atau merokok, dan tablet kecil berwarna putih
yang pemakainnya dengan menelan.
e.
HEROIN
Setelah ditemukan zat kimia morphine pada tahun 1806
oleh Fredich Sertumer, kemudian pada tahun 1898, Dr. Dresser, seorang ilmuwan
berkebangsaan Jerman, telah menemukan Zat Heroin. Semula zat baru ini (heroin)
diduga dapat menggantikan morphine dalam dunia kedokteran dan bermanfaat untuk
mengobati para morpinis. Akan tetapi harapan tersebut tidak berlangsung lama,
karena terbukti adanya kecanduan yang berlebihan bahkan lebih cepat daripada
morphine serta lebih susah disembuhkan bagi para pecandunya. Heroin atau
diacethyl morpin adalah suatu zat semi sintesis turunan morpin. Proses
pembuatan heroin adalah melalui proses penyulingan dan proses kimia lainnya di
laboratorium dengan cara acethalasi dengan aceticanydrida. Bahan bakunya
adalah morpin, asam cuka, anhidraid atau asetilklorid.
Dengan
mengetahui jenis-jenis narkotika tersebut dan juga efek buruk yang
ditimbulkannya, maka harus menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa meskipun
narkotika mempunyai fungsi sebagai sarana pengobatan yang harus dilakukan
dengan perantaraan petugas medis, akan tetapi narkotika juga dapat merusak
apabila digunakan secara tidak tepat dan tanpa pendampingan dari tenaga medis. Dan
harus diakui bahwa sampai saat ini pembelajaran dan pencerahan kepada masyarkat
terhadap bahaya dari narkotika, dalam hal memaparkan kandungan dari tiap-tiap
narkotika tersebut, yang belum optimal dilakukan oleh para pemangku kepentingan
dalam rangka mencegah dan juga mengurangi penyalahgunaan narkotika di
lingkungan masyarakat.
Bagi
aparat penegak hukum juga seharusnya tidak langsung mengedepankan penegakan
hukum secara kaku tetapi juga melakukan pendekatan secara kemanusiaan
(humanisme) dalam menangani perkara penyalahgunaan narkotika. Khusus terhadap
pelaku penyalahguna narkotika yang baru pertama kali, sebaiknya dapat
diterapkan pendekatan Restorative Justice, mengingat bahwa seseorang yang melakukan
tindak pidana penyalahgunaan narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana
juga sebagai korban dari peredaran ilegal narkotika, yang tidak lagi mengenal
tempat dan waktu maupun korbannya. Setiap orang rentan menjadi korban,
sekaligus sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Selain
diperlukan tindakan tegas dari aparat penegak hukum, juga dibutuhkan pendekatan
secara bijaksana terhadap pelaku yang baru pertama kali menyalahgunakan
narkotika.
Dalam
hal ini, pendekatan Restorative Justive kiranya tepat diterapkan bagi para
pelaku penyalahgunaan narkotika yang baru pertama kali melakukannya. Hal ini
dengan tujuan pelaku tersebut dapat diobati dan bisa meninggalkan kebiasaan
penggunaan narkotika. Untuk bisa melaksanakan pendekatan Restorative Justice,
perlu adanya pemahaman yang sama diantara aparat penegak hukum, bahwa
penanganan terhadap pelaku tindak pidana narkotika tidak selama harus dilakukan
dengan pemidanaan akan tetapi bisa dilakukan dengan Restorative Justice
khususnya terhadap pelaku yang baru pertama kali melakukannya, dengan harapan
pelaku tersebut menjadi sadar dan tidak akan melakukannya lagi serta bisa
menjadi motivator bagi orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Hal
ini kiranya dapat menjadi solusi jangka panjang bagi pemberantasan tindak
pidana narkotika.
b)
Pengertian
Restorative Justice
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan pengertian Restorative Justice yaitu suatu proses dimana semua pihak yang
berhungungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan
memikirkan bagaimana akibatnya dimasa yang akan datang.[10]
Keberadaan
Restorative Justice yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat diartikan
bahwa penerapan Restorative Justice merupakan suatu fenomena baru dalam
penegakan hukum, yaitu hukum pidana tidak ditujukan semata-mata sebagai alat
untuk menghukum atau memidana seseorang yang melakukan tindak pidana akan
tetapi sebagai sarana mencegah seseorang untuk melakukan tindak pidana dan
hukum pidana sebagai sarana untuk menyeimbangkan kembali keadilan yang rusak
akibat dari suatu tindak pidana.
Wright
menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana,
dimana ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban
kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan yang
menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan
mensyaratkan pelaku untuk bertanggung-jawab, dengan bantuan keluarga dan
masyarakat bila diperlukan.[11] Restorative
Justice System merupakan sebuah konsep penegakan hukum yang menitik
beratkan kepada kepentingan pelaku, korban dan masyarakat, disamping itu, Restorative
Justice System bertujuan juga untuk mengembalikan kondisi masyarakat yang
telah terganggu oleh adanya perbuatan kejahatan.[12]
Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang
merespon pengembangan Sistem Peradilan Pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.
Marian Liebmann memberikan beberapa rumusan prinsip dasar restorative
justice sebagai berikut :[13]
1. Memperioritaskan
dukungan dan penyembuhan korban;
2. Pelaku
pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan;
3. Dialog
antara korban dan pelaku untuk mencapai pemahaman;
4. Ada upaya
untuk meletakan secara benar kerugian yang ditimbulkan;
5. Pelaku
pelanggaran harus sadar tentang bagaimana tidak mengulangi lagi kejahatan
tersebut dimasa datang;
6. Masyarakat
turut membantu mengintegrasikan baik korban maupun pelaku.
Dignan
mengatakan sebagai berikut: Restorative justice is a new framework for
responding to wrong doing and conflict that is rapidly gaining acceptance and
support by edsucational, legal, social work, and counceling professionals and
community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding
to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the
person causing the harm, and the affected community.[14] Pendapat Dignan tersebut dapat diartikan
bahwa Keadilan Restoratif adalah keadilan terhadap segala tindak pidana yang
dalam penanganannya membutuhkan dukungan dari unsur pendidikan, hukum, pekerja
sosial dan pembinaan secara profesional yang ditujukan bagi pelaku tindak
pidana, korban tindak pidana dan masyarakat yang terkena dampak dari tindak
pidana tersebut.
Keberadaan
dari sistem Restorative Justice memberikan kesempatan kepada para pelaku tindak
pidana untuk melakukan sesuatu hal yang dapat mengembalikan keadaan sebagaimana
sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Dalam hal pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika, maka sebenarnya Aparat Penegak Hukum mempunyai
kewenangan untuk tidak menjatuhkan pemidanaan berupa pidana penjara namun dapat
menjatuhkan pemidanaan berupa rehabilitasi. Hal ini penting dilakukan mengingat
para pelaku awal tindak pidana penyalahgunaan narkotika pada hakekatnya masih
memerlukan pembinaan dan pengawasan sekaligus pengobatan sehingga dapat
mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali pengaruh ketergantungan pada
narkotika.
Apabila
bentuk Restorative Justice pada pidana anak diterapkan dalam bentuk DIVERSI,
maka sudah saatnya Pemerintah dan seluruh Aparat Penegak Hukum memikirkan
bentuk Restirative Justice yang dapat diterapkan bagi pelaku tindak pidana
penyalahgunaan narkotika. Hal ini perlu dipikirkan, mengingat bahwa esensi dari
hukum pidana bukanlah untuk menjatuhkan pemidanaan terhadap pelaku tindak
pidana tetapi justru harus mencegah seseorang melakukan suatu tindak pidana.
Ada suatu
pepatah yang mengatakan Fiat justisia ruat coelum, pepatah latin ini
memiliki arti “meski langit runtuh
keadilan harus ditegakkan.” Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer
karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan
sebuah sistem peraturan hukum dan dalam penerapannya, adagium tersebut
seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit
bertopeng dalih penegakan dan kepastian hukum.[15]
Harus diakui
bahwa sampai saat ini, penanganan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan
narkotika belum optimal. Pemenjaraan terhadap pelakunya justru akan membuat
pelaku tersebut menjadi lebih “meningkat”
keahliannya, dari semula hanya sebagai pemakai, kemudian ketika dijatuhi pidana
penjara, justru akan menjadi pengendar atau bahkan menjadi bandar besar
narkotika di kemudian hari.
Banyak hal
yang dapat ditinjau dari penanganan narapidana tindak pidana penyalahgunaan
narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang membuat, pembinaan
narapidana tersebut menjadi tidak efektif dan seakan-akan menajdi mubazir. Oleh
karenanya diperlukan upaya pencegahan sehingga pada setiap tindak pidana
penyalahgunaan narkotika, pelakunya tidak perlu dijatuhi pemidanaan berupa
pidana penjara, namun cukup dengan menjatuhkan pidana rehabilitasi. Namun hal
tersebut dikecualikan terhadap para pelaku yang sudah berulang kali melakukan
tindak pidana penyalahgunaan narkotika, atau bahkan sudah berperan sebagai
pengedar maupun bandar narkotika.
c)
Penerapan
Restorative Justice Dalam Penanganan Penyalahguna Narkotika
Meski harus
pula diakui bahwa sangat tidak mudah untuk melakukan rehabilitasi terhadap
pelaku penyalahgunaan narkotika. Seorang pencandu
narkoba yang sembuh fisik, belum berarti pulih total karena masih banyak aspek
yang perlu diselaraskan dan rupanya ada pendekatan komprehensif untuk menuntun
mereka kembali ke jalan yang benar sebab merehabilitasi para pecandu narkoba bagaikan
merajut benang yang kusut.[16]
Aparat
penegak hukum harus jeli ketika menerima perkara penyalahgunaan narkotika. Dari
awal penyelidikan, pihak Kepolisian harus memeriksa dengan teliti dan harus
dapat membedakan apakah penyelidikan yang dilakukannya merupakan penyeldikan
terhadap orang yang baru pertama kali melakukan penyalahgunaan narkotika atau
orang yang sudah berulangkali melakukan penyalahgunaan narkotika.
Hal
yang sama juga berlaku pada tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan,
sebelum Hakim menjatuhkan putusannya. Untuk mengetahui apakah seseorang sedang
dalam pengaruh narkotika atau tidak, dalam setiap penyidikan perkara
penyalahgunaan narkotika seharusnya dilengkapi dengan Surat Keterangan yang
dikeluarkan oleh dokter dari instansi kesehatan yang menyatakan bahwa terhadap
orang tersebut telah dilakukan tes urine. Dari hasil tes urine tersebut dapat
diketahui apakah seseorang telah mengkonsumsi narkotika atau tidak dan apabila
menginginkan hasil yang lebih akurat maka sebaiknya terhadap orang yang
disangka melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dilakukan
pemeriksaan rambut, mengingat tingkat akurasi hasil pemeriksaan rambut lebih
baik daripada hasil pemeriksaan urine.
Jenis
tes yang paling akurat sebenarnya analisa rambut. Tes darah dan urine kurang
bisa mendeteksi mayoritas jenis narkoba, terutama jika seseorang tidak
mengonsumsinya sekitar satu minggu, misalnya saja heroin
yang sudah tidak terdeteksi di urine setelah 3-5 hari dan berapa lama sebuah
zat narkoba tinggal di dalam darah? Yang paling lama ternyata ganja,
karena ia bisa bertahan sampai 5 hari, sementara itu kokain,
barbiturates, dan MDMA bisa bertahan sampai 48 jam, untuk obat golongan
methamphetamin bertahan selama 37 jam, sedangkan alkohol, amfetamin, dan heroin
bertahan 12 jam. Morfin bertahan hanya 8 jam dan LSD 3 jam, untuk urine,
jendela deteksinya sedikit lebih luas. Misalnya saja untuk LSD, MDMA dan heroin
yang bisa dideteksi sampai 3-4 hari. Sementara alkohol, morfin, dan
methamhetamine 5-6 hari, dan mariyuana sampai 30 hari dan untuk tes deteksi
menggunakan analisa rambut, kita bisa melacak penggunaan alkohol, amfetamin, heroin,
ganja,
sampai morfin dalam 90 hari terakhir.[17]
Dalam
pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 menyebutkan pengertian
dari Pecandu Narkotika, yaitu Pecandu
Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
Sedangkan dalam pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011
menyebutkan pengertian dari Korban
Penyalahgunaan Narkotika, yaitu Korban Penyalahgunaan Narkotika adalah
seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya,
ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.
Dari
ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut, telah jelas bahwa pebuatan
penyalahgunaan narkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika dan / atau
sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Terhadap pelaku sebagai pecandu maupun
sebagai korban penyalahgunaan narkotika, adalah lebih tepat diterapkan
Restorative Justice berupa Rehabilitasi, yang sejalan dengan program pemerintah
yang telah menerapkan program rehabilitasi terhadap 100 ribu penyalahguna
narkotika.
Program
rehabilitasi 100 ribu penyalahguna narkoba merupakan perintah langsung dari
Presiden Joko Widodo yang tidak hanya menjadi tugas dari BNN tetapi juga
kementerian terkait.[18]
Program pemerintah tersebut sudah seharusnya didukung oleh semua pemangku
kepentingan (stake holder) di bidang
penegakan hukum, termasuk di dalamnya adalah Mahkamah Agung.
Mahkamah
Agung sendiri telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4
Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu
Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabiltasi Medis dan Rehabilitasi Sosial serta
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban
Penyalahguna Narkotika Di Dalam Lembaga Rahabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010, pengaturan mengenai penerapan pemidanaan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
disebutkan pada angka 2, yang menyatakan tentang klasifikasi tindak pidana
penyalahgunaan narkotika yang dapat diterapkan pemidanaan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Dengan adanya SEMA Nomor 4 Tahun 2010,
ternyata menimbulkan peningkatan penanganan penyalahguna narkotika, sehingga
kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 3 Tahun 2011
yang merupakan pengaturan lebih lanjut terhadap penanganan penyalahguna
narkotika, yang dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tersebut, menyebutkan bahwa
pelaksanaan dari SEMA tersebut tetap mendasarkan pada SEMA Nomor 4 Tahun 2010.
Dengan
berpedoman pada SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 3 Tahun 2011, di dalam
persidangan, Hakim harus menilai apakah dalam berkas perkara penyalahgunaan
narkotika telah dilengkapi dengan Laporan Uji Laboratorium yang menyatakan
bahwa orang yang didakwa melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika
benar-benar menggunakan narkotika sebagaimana ditentukan dalam angka 2 huruf c
SEMA Nomor 4 Tahun 2010 dan berdasarkan Laporan Uji Laboratorium tersebut,
Hakim mempunyai kewenangan untuk memanggil dan memerintahkan dokter jiwa /
psikiater pemerintah untuk memeriksa terdakwa penyalahguna narkotika dan
memberikan rekomendasi untuk perlu / tidaknya dilakukan rehabilitasi terhadap
yang bersangkutan. Apabila dokter jiwa / psikiater pemerintah memberikan
rekomendasi untuk dilakukan rehabilitasi, maka Hakim bisa menjatuhkan
pemidanaan berupa rehabilitasi dengan menunjuk Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Sosial setempat dalam amar putusannya.
Pengertian
dari Rehabilitasi Medis maupun Rehabilitasi Sosial, adalah sebagai berikut :[19]
1. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan
Narkotika ;
2. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu
Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Hakim dalam
putusannya tetap harus memperhatikan pada tingkat kebutuhan rehabilitasi
terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang harus direhabilitasi. Dengan
memperhatikan tingkat kebutuhan rehabilitasi tersebut, maka tindakan
rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana tidak mubazir / sia-sia dan tidak
membawa manfaat apapun.
Seorang ahli
kesehatan yang juga Deputi Rahabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), dr. Diah
Setia menyebutkan, "Kita lihat dari
tingkat penggunaanya, jenis zat yang digunakan, komplikasi yang ada, kemudian
faktor-faktor sosial yang lain. Kalau dia tingkat penggunaanya masih tingkat
experimental atau recreational user, artinya dia baru coba sekali
atau dua kali pakai dalam sebulan, itu cukup dengan intervensi misalnya
pertemuan dua tiga kali dan psiko edukasi keluarga, itu bisa membantu dia
jangan sampai masuk lagi." [20]
Perlunya
pendekatan secara manusiawi / humanis bagi para penyalahguna narkotika sangat
dibutuhkan mengingat para penyalahguna narkotika juga masih mempunyai keinginan
untuk bisa sembuh dan terlepas dari penggunaan narkotika. Penyalahguna
narkotika tidak perlu selalu dipersalahkan akan tetapi yang lebih penting
adalah mengupayakan kesembuhan dan lepasnya dari ketergantungan dari narkotika.
Angka penyalahgunaan narkoba
di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. Jumlah pengguna narkoba di
Indonesia pada tahun 2015 tercatat ada 5,2 juta jiwa, hal itu diungkapkan
Kepala BNNP Brigjen. Iskandar Ibrahim, saat acara sosialisasi Optimalisasi
Peran Tim Asesmen Terpadu yang digelar di Hotel Garden Permata, Jalan
Lemahnendeut, Kota Bandung, Kamis (19/11/2016).[21] Angka tersebut apabila
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia tentu sangat kecil, akan tetapi
apabila dicermati dan diperhatikan, maka jumlah tersebut akan terus bertambah
apabila tidak disertai dengan upaya pencegahan dan pengoatan terhadap pelaku
penyalahguna narkotika dan upaya penindakan terhadap pelaku peredaran ilegal
narkotika.
Tindakan pencegahan dan
penindakan peredaran ilegal sudah dilakukan secara berkelanjutan. Sudah tidak
terhitung lagi putusan pidana mati maupun seumur hidup yang dijatuhkan oleh
Hakim-Hakim Indonesia dalam perkara peredaran ilegal narkotika, baik putusan di
peradilan tingkat pertama, tingkat banding maupun pada tingkat kasasi maupun
peninjauan kembali. Tidak terhitung pula jumlah putusan pengadilan yang
menghukum pelaku tindak pidana peredaran ilegal narkotika yang menjatuhkan
putusan maksimal selain pidana mati dan pidana seumur hidup. Hal ini perlu
mendapatkan apresiasi bahwa masih banyak putusan pengadilan yang menjatuhkan
putusan yang berat bagi pelaku tindak pidana peredaran ilegal narkotika.
Akan tetapi ada satu hal
yang terkadang terlupakan dari putusan-putusan pengadilan tersebut, yaitu
terhadap pelaku penyalahguna narkotika. Sampai saat ini, putusan pengadilan
masih memandang sama antara pelaku penyalahguna narkotika yang diperlakukan
sama dengan pelaku peredaran ilegal narkotika. Para penyalahguna narkotika
lebih banyak dijatuhi pemidanaan berupa pidana penjara dibandingkan dengan
pemidanaan berupa rehabilitasi di lembaga rehabilitasi yang telah ditunjuk
sebagai tempat rehabilitasi bagi pelaku penyalahguna narkotika. Pemidanaan
berupa pidana penjara seringkali tidak menyelesaikan masalah bagi pelaku
penyalahguna narkotika tersebut, mengingat Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) saat
ini belum memberikan pola pendidikan yang tepat bagi warga binaannya, sehingga
bisa membuat warga binaannya sadar akan kesalahannya dan bukan menjadi pelaku
kejahatan yang lebih ‘berilmu’ karena justru selama di dalam Lembaga
Pemasayarakatan (LAPAS), warga binaan tersebut saling ‘belajar’ kejahatan.
Penempatan
pelaku penyalahguna narkotika di LAPAS sebenarnya sudah dimulai sejak
dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Kepolisian terhadap suatu
tindak pidana, yang dalam praktek, dengan argumen untuk mempermudah proses
pemeriksaan, pelaku ditempatkan di LAPAS sebagai titipan tahanan. Hal ini
berlanjut ketika memasuki proses penuntutan dan selama persidangan. Baik Jaksa
Penuntut Umum maupun Hakim lebih banyak ‘mengambil’ langkah aman yaitu dengan
meneruskan penahanan terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika. Dan
hal ini juga berlanjut ketika Jaksa Penuntut Umum menyampaikan Surat
Tuntutannya yang selalu berupa pemidanaan berupa pidana penjara dan tutntutan
pidana penjara oleh Penuntut Umum tersebut, diputuskan juga dengan pidana
pemenjaraan oleh Hakim.
Harus ada
perubahan pola pikir dari tingkat penyidikan, yaitu pihak penyidik harus mampu
memilah-milah mana yang termasuk pelaku peredaran ilegal narkotika dan mana
yang merupakan pelaku penyalahguna narkotika. Apabila dari awal penyidikan,
pihak penyidik sudah melakukan pemilahan tersebut, kiranya para pelaku
penyalahguna narkotika tidak diperlakukan sama dengan pelaku peredaran ilegal
narkotika. Pihak penyidik dari awal sudah dapat menempatkan pelaku penyalahguna
di lembaga rehabilitasi untuk memberikan kesempatan bagi pelaku penyalahguna
untuk menyembuhkan ketergantungannya terhadap narkotika. Hal ini dapat
diteruskan pada tingkat penuntutan dan selama proses persidangan, yaitu dengan
tetap menempatkan pelaku penyalahguna narkotika di lembaga rehabilitasi.
Menteri
Kesehatan RI menyatakan, "Kementerian Kesehatan menyadari
bahwa penyalahgunaan narkoba tidak bisa dengan penangkapan bandar-bandar saja,
tetapi juga melalui terapi kepada pengguna,"[22] pernyataan
dari Menteri Kesehatan RI tersebut juga merupakan sikap dari Pemerintah RI di
dalam upaya memberantas peredaran ilegal narkotika dan juga melakukan
rehabilitasi terhadap pelaku penyalahguna narkotika.
Keberhasilan
program pemerintah tersebut, tidak akan dapat dicapai apabila tidak mendapat
dukungan dari seluruh lapisan masyarakat dan juga dukungan dari aparat penegak
hukum.
d)
Hambatan
Dan Solusi Penerapan Restorative Justice Dalam Penanganan Pelaku Penyalahguna
Narkotika
Peredaran
narkotika, dalam bahasa awam sering disebut dengan narkoba, yang tidak lain
adalah singakatan dari narkotika dan bahan adiktif, telah menjangkau seluruh
lapisan masyarakat, tanpa kecuali. Dari rakyat jelata sampai dengan pejabat
pemerintahan, telah terbukti dapat menjadi sasaran peredaran ilegal narkotika
tersebut yang menyebabkan semakin bertambahnya jumlah penyalahguna narkotika dan
juga tumbuh suburnya daerah-daerah peredaran narkotika ilegal yang dijual
secara bebas. Dari daerah perkotaan hingga pelosok-pelosok pedesaan, peredaran
ilegal narkotika sudah menjadi sesuatu hal yang massive yang apabila tidak dilakukan upaya-upaya pencegahan, bukan
tidak mungkin Indonesia akan kehilangan satu generasi, dikarenakan menjadi
korban bahkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran ilegal
narkotika.
Terhadap
pelaku peredaran ilegal narkotika, telah banyak yang dijatuhi pidana mati atau
pidana seumur hidup, akan tetapi terhadap pelaku penyalahguna narkotika, belum
seluruhnya terjangkau dengan upaya rehabilitasi. Optimalisasi upaya
rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika bagaikan setitik air di gurun
pasir nan gersang yang dapat memberikan harapan bagi para penyalahguna
narkotika, sekaligus dapat mengurangi beban para penegak hukum dalam penegakan
hukum terhadap pelaku peredaran ilegal narkotika, karena sedari awal sudah
dipilahkan antara pelaku peredaran ilegal dengan pelaku penyalahguna narkotika.
Upaya
melakukan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika sejalan dengan program
pemerintah. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), mengatakan, "Tahun ini
pemerintah merehabilitasi 100 ribu penyalahguna narkoba. Tahun besar akan lebih
besar dari ini karena ini baru pertama kali ada gerakan merehabilitasi penyalah
guna sebesar ini. Ini langkah besar yang dilakukan oleh pemerintah karena
diperintah langsung oleh Presiden Jokowi. Dan kami bersama-sama dengan
kementerian lain siap melaksanakan itu,"[23] dan
Anang Iskandar menambahkan, rehabilitasi kepada para penyalahguna narkoba ini
tidak hanya pelayanan medis tetapi juga pelayanan sosial pasca rehabilitasi, "Pola
rehabilitasinya adalah rehabilitasi medis, ada rehabilitasi sosial ada pasca
rehabilitasi. Dan rehabilitasi ini tidak hanya rawat inap tetapi juga ada rawat
jalan. Dengan pola counselling bagi para pengguna agar mereka bisa
berhenti," lanjutnya.[24]
Pola
rehabilitasi tersebut bukan tanpa hambatan, mengingat jumlah yang bisa
direhabilitasi hanya seratus ribu orang, sedangkan pelaku penyalahguna
narkotika sudah lebih dari 5 juta orang, sehingga sangat jauh perbandingan
antara jumlah yang membutuhkan rehabilitasi dengan jumlah yang dapat
direhabilitasi oleh Pemerintah, selain itu, para penyalahguna narkotika sudah
merambah sampai di pelosok pedesaan yang bahkan tidak terjangkau oleh
kendaraan, akan tetapisudah banyak bukti nyata bahwa di desa-desa terpencilpun
sudah ada peredaran ilegal narkotika yang menyebabkan banyak orang menjadi
penyalahguna narkotika.
Hal
lain yang dapat menjadi penghambat yaitu, dari 34 (tiga puluh empat) provinsi
di Indonesia, keberadaan Rumah Sakit atau Lembaga Kesehatan yang
direkomendasikan sebagai tempat rehabilitasi ketergantungan narkotika, masih
sedikit dan hanya tersedia di kota-kota besar, yang tidak terjangkau, karena
jarak, oleh masyarakat di pedesaan. Harus dipahami bahwa tidak setiap kota
memiliki fasilitas kesehatan yang memadai bahkan keberadaan Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) sekalipun tidak menjamin bahwa RSUD tersebut dapat memberikan
pelayanan yang optimal bagi masyarakat di daerah tersebut. Ditambah pula faktor
ketersidaan tenaga kesehatan yang mumpuni dan berkualitas, baik dokter maupun
tenaga medis lainnya. Bahkan keberadaan dokter spesialis yang tidak merata di
masing-masing daerah, yang dapat menghambat pelayanan kesehatan di suatu
daerah. Dalam keadaan demikian, tentunya akan menjadi dilema sebab untuk
memberikan pelayanan kesehatan rutin saja belum dapat diberikan dan kemudian
ditambah dengan kemampuan dari sebuah lembaga kesehatan dalam melakukan
rehabilitasi terhadap pelaku penyalahguna narkotika. Selain itu, belum adanya political will dari Pemerintah untuk
memberikan rekomendasi atas sebuah lembaga kesehatan yang dapat melakukan
rehabilitasi terhadap pelaku penyalahguna narkotika.
Hal-hal
ini yang menjadi salah satu penghambat bagi program pemerintah yang akan
melakukan rehabilitasi terhadap 100.000 (seratus ribu) pecandu narkotika.
Apabila pecandu / penyalahguna narkotika tersebut berada di kota-kota besar,
tentu tidak akan menjadi masalah serius, karena hampir setiap lembaga kesehatan
di koa-kota besar sudah mempunyai kemampuan untuk melakukan rehabilitasi dan
telah pula mendapatkan rekomendasi dari Pemerintah sebagai tempat rujukan bagi
pelaksanaan rehabilitasi. Akan tetapi akan menjadi masalah apabila pecandu /
penyalahguna narkotika tersebut berada di kota-kota kecil yang terpencil dan
jauh dari fasilitas kesehatan yang memadai yang dapat melakukan rehabilitasi.
Di
persidanganpun terdapat hambatan, mengingat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2010 di angka 2 huruf d menyebutkan, “Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa / psikiater pemerintah yang
ditunjuk oleh Hakim.” Dari ketentuan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010
tersebut, tentu akan menyulitkan pihak aparat penegak hukum, dalam hal ini
Hakim yang akan menjatuhkan pemidanaan berupa tindakan rehabilitasi bagi
Terdakwa pelaku tindak pidana narkotika.
Hal ini dikatakan menyulitkan sebab, tidak semua daerah memiliki dokter jiwa /
psikiater pemerintah dan pemanggilan tersebut akan dibebankan pembiayaannya
kepada siapa, mengingat dalam persidangan perkara pidana, tidak dikenal adanya
panjar biaya perkara yang dapat dipergunakan untuk memanggil saksi atau ahli.
Selain itu ketika dokter jiwa / psikiater telah didatangkan untuk memberikan
surat keterangan, apakah akan dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap
terdakwa atau cukup hanya memeriksa urine atau darah saja, sebab untuk
mengetahui bahwa seseorang sebagai penyalahguna apalagi sebagai pecandu, maka
pemeriksaan yang dilakukan tidak cukup hanya dengan pemeriksaan urine atau
darah saja akan tetapi harus dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh, untuk
mengetahui apakah seseorang yang diajukan sebagai terdakwa penyalahguna
narkotika benar-benar sebagai pecandu atau hanya sebagai pemakai untuk
mempengaruhi orang lain supaya membeli narkotika yang dimilikinya (posisi
sebagai bandar narkotika).
Untuk
itu diperlukan adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dengan tenaga
kesehatan setempat ketika melakukan penanganan tindak pidana narkotika,
sehingga ketika diperlukan kehadiran tenaga kesehatan (dokter jiwa /
psikiater), pihak lembaga kesehatan setempat dapat menyediakannya dan melakukan
tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Dan, apabila di daerah setempat tidak terdapat dokter jiwa /
psikiater, maka lembaga kesehatan setempat dapat merujuk kepada lembaga
kesehatan daerah terdekat yang memiliki tenaga dokter jiwa / psikiater.
Disamping itu, dengan adanya kerjasama yang baik antara aparat penegak hukum
dan tenaga / lembaga kesehatan setempat, dapat dicarikan jalan keluar terhadap
permasalahan pembiayaan untuk mendatangkan dokter jiwa / psikiater untuk
memeriksa dan memberikan Surat Keterangan bagi Terdakwa yang menerangkan bahwa
Terdakwa benar-benar sebagai pecandu narkotika dan membutuhkan tindakan
rehabilitasi.
Dengan
adanya Surat Keterangan dari dokter jiwa / psikiater yang menerangkan bahwa
terdakwa membutuhkan tindakan rehabilitasi, maka sejak awal pemeriksaan perkara
dari penyidikan sampai dengan penjatuhan putusan, terdakwa sudah bisa
mendapatkan tindakan rehabilitasi yang dapat mencegah terdakwa menjadi pecandu
narkotika yang tidak dapat disembuhkan lagi. Bagi pemerintah, perlu dipikirkan
untuk mengadakan rehabilitasi bagi pecandu narkotika dalam jumlah yang lebih
besar sehingga lebih efektif dalam upaya penanganan terhadap pecandu narkotika.
Dengan
adanya keterlibatan tenaga kesehatan (dokter jiwa / psikiater) dari awal proses
penyidikan dalam perkara tindak pidana narkotika, maka penanganan terhadap
pecandu / penyalahguna narkotika dapat cepat dan tepat tertangani, sehingga
dari tahap penyidikan dapat diterapkan restorative
justice terhadap pelaku penyalahguna / pecandu narkotika, yaitu berupa
penempatan pecandu narkotika tersebut dalam program rehabilitasi. Hal ini
disebabkan para pelaku penyalahguna / pecandu narkotika tersebut sebenarnya
juga adalah sebagai korban dari peredaran ilegal narkotika. Penanganan yang
cepat dan tepat terhadap pelaku penyalahguna / pecandu narkotika bisa
menyelamatkan nyawa dari pecandu terssebut dari ketergantungan narkotika.
Kiranya
aparat penegak hukum dan juga pemerintah, khususnya stake holder di bidang kesehatan dapat duduk bersama membahas
mengenai penanganan terhadap pecandu narkotika mengingat bahwa terhadap
pemberantasan tindak pidana peredaran ilegal narkotika membutuhkan gerak cepat
dalam penanganannya sehingga tidak menambah jumlah pecandu dan pelaku peredaran
ilegal narkotika.
Pemerintah,
dalam hal Badan Narkotika Nasional, kiranya dapat memberikan rekomendasi kepada
lebih banyak Rumah Sakit atau lembaga kesehatan lainnya, yang lebih tersebar di
seluruh Indonesia, sehingga dapat mempermudah bagi aparat penegak hukum dalam
melakukan tindakan rehabilitasi. Kemudian, Badan Narkotika Nasional bisa
mengajukan penambahan jumlah pecandu narkotika yang dapat direhabilitasi oleh
Negara.
Bagi
Hakim, kiranya harus ada satu pemahaman bahwa tidak semua pelaku tindak pidana
narkotika harus dipidana dengan pidana penjara, sebab tidak semua pelaku tindak
pidana adalah pelaku peredaran ilegal narkotika, sebab diantaranya ada yang
hanya sebagai penyalahguna / pecandu narkotika yang lebih membutuhkan tindakan
rehabilitasi dibandingkan pidana pemenjaraan. Diperlukan perubahan paradigma
pemikiran di kalangan Hakim bahwa tindakan rehabilitasi lebih dibutuhkan
dibandingkan dengan mejatuhkan pidana penjara sebab dengan rehabilitasi, maka
dapat menyelamatkan pelaku penyalahguna / pecandu narkotika dari ketergantungan
narkotika. Dengan dilakukannya rehabilitasi, secara tidak langsung akan
mengurangi pelaku tindak pidana narkotika.
Hal
lain yang perlu dilakukan aparat penegak hukum adalah dengan memperbanyak
sosialisasi tentang bahaya narkotika dengan menggandeng tenaga-tenaga medis
sebagai nara sumber untuk menjelaskan berbahayanya narkotika dari segi medis,
sehingga dapat menyadarkan masyarakat bagaimana bahayanya peredaran ilegal
maupun penyalahgunaan narkotika. Tenaga-tenaga medis yang dapat menjelaskan
kandungan yang terdapat di dalam narkotika dengan segala bentuknya dan juga
bagaimana kandungan dalam narkotika tersebut dapat membahayakan pemakainya.
Dalam tataran tertentu, sebenarnya narkotika adalah bahan pembuat obat, akan
tetapi penggunaan obat tersebut harus dengan pendampingan dari tenaga kesehatan
dan dengan aturan pemakaian yang sudah ditentukan oleh tenaga kesehatan,
sehingga penggunaan narkotika tanpa adanya pendampingan dari tenaga kesehatan
merupakan suatu penyalahgunaan dari narkotika yang dapat membahayakan diri
pemakai dan bagi orang lain.
Mahkamah
Agung RI sebagai badan peradilan tertinggi dan sebagai puncak dari seluruh
tingkatan peradilan perlu membuat suatu aturan yang kiranya dapat menjadi
pedoman lebih lanjut dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun
2010 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 03 Tahun 2011, yang dapat
lebih memudahkan bagi Hakim untuk menilai fakta persidangan atas suatu tindak
pidana narkotika, dengan lebih mengedepankan tindakan rehabilitasi daripada
pemidanaan berupa pidana penjara bagi pelaku penyalahguna narkotika. Dan juga
dengan mengadopsi ketentuan mengenai penunjukkan Rumah Sakit dan lembaga
kesehatan lainnya yang direkomendasikan sebagai tempat rehabilitasi bagi
pecandu / penyalahguna narkotika.
Dengan
adanya pembagian pelaksanaan tugas secara berkesinambungan dari mulai
penyidikan sampai dengan penjatuhan putusan, maka diharapkan dapat mempercepat
penanganan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, baik sebagai penyalahguna
maupun sebagai pelaku peredaran ilegal narkotika.
D. KESIMPULAN
Dari
uraian-uraian tersebut di atas kiranya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
:
1) Tindak
pidana narkotika sudah menjadi suatu kejahatan terorganisir (well organized
crime) yang membutuhkan sinergitas kinerja dari aparat penegak hukum, baik
penyidik, penuntut umum maupun hakim.
2) Pelaku
tindak pidana narkotika tidak hanya sebagai pelaku peredaran ilegal narkotika
tetapi juga sebagai pelaku penyalahguna narkotika, yang keduanya membutuhkan
penanganan yang berbeda dengan tujuan utama menyelamatkan generasi bangsa ;
3) Rehabilitasi
menjadi pilihan utama di dalam penerapan restorative
justice terhadap pelaku penyalahguna narkotika, mengingat penyalahguna
narkotika sejatinya adalah korban dari peredaran ilegal narkotika ;
4) Pemerintah
melalui Badan Narkotika Nasional (BNN) perlu menambah jumlah Rumah Sakit atau
lembaga kesehatan yang direkomendasikan sebagai tempat rehabilitasi dan
menambah jumlah anggaran rehabilitasi sehingga dapat merehabilitasi lebih
banyak pecandu narkotika ;
5) Mahkamah
Agung perlu membuat aturan hukum sebagai payung bagi Hakim dalam menangani
perkara peredaran dan penyalahgunaan narkotika dengan mengadopsi ketentuan yang
memuat penunjukkan Rumah Sakit atau lembaga kesehatan yang direkomendasikan
sebagai tempat rehabilitasi.
E. SARAN
Dalam
tulisan ini sebagaimana telah dicantumkan dalam kesimpulan, maka saran-saran
yang perlu diajukan adalah :
1)
Pemerintah perlu meningkatkan upaya
penanganan terhadap perkara tindak pidana narkotika khususnya terhadap pelaku
penyalahguna / pecandu narkotika ;
2)
Rehabilitasi harus menjadi prioritas
dalam penanganan terhadap pelaku penyalahguna / pecandu narkotika dengan
memperbanyak Rumah Sakit atau lembaga kesehatan lainnya sebagai tempat rujukan
tindakan rehabilitasi dan perlunya penambahan anggaran untuk membiayai tindakan
rehabilitasi ;
F.
DAFTAR
BACAAN
1. Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., dalam bukunya "Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia" , Penerbit Sinar Grafika, Jakarta
Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika,
Jakarta ;
G. LINK
INTERNET
1. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4dc0cc5c25228/penyalahgunaan-narkotika-dan-prekursor-narkotika, diunduh
tanggal 16 November 2016 ;
2. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4dc0cc5c25228/penyalahgunaan-narkotika-dan-prekursor-narkotika, diunduh
tanggal 16 November 2016 ;
3. https://jauhinarkoba.com/pemicu-terjadinya-penyalahgunaan-narkoba/, diunduh
tanggal 16 November 2016 ;
4. http://bramfikma.blogspot.co.id/2013/10/penyalahgunaan-narkotika.html,
diunduh tanggal 16 November 2016 ;
5. http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/06/penyalahgunaan-narkotika_12.html,
diunduh tanggal 16 November 2016 ;
6. http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/06/penyalahgunaan-narkotika_12.html,
diunduh tanggal 16 November 2016 ;
7. http://bramfikma.blogspot.co.id/2013/10/penyalahgunaan-narkotika.html,
diunduh tanggal 16 November 2016 ;
8. http://kabarnusantara.net/2016/08/31/restorative-justice-dalam-sistem-peradilan-anak/,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
9. http://kabarnusantara.net/2016/08/31/restorative-justice-dalam-sistem-peradilan-anak/,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
10. http://sekolahparalegal.blogspot.co.id/2012/11/mediasi-penal-penerapan-restorative.html,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
11. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/kegiatan-umum/927-restorative-justice-dan-penerapannya-dalam-hukum-nasional.html,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
12. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
13. http://www.intisari-online.com/read/rehabilitasi-pecandu-narkoba-bagaikan-merajut-benang-yang-kusut,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
14. http://lampung.tribunnews.com/2016/02/22/berapa-lama-narkoba-bertahan-dalam-darah-dan-urine,
diunduh tanggal 17 November 2016 ;
15. http://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-tetapkan-gerakan-rehabilitasi-100-ribu-pengguna-narkoba/2622737.html, diunduh tanggal 15 September 2016 ;
16. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560211ea73636/tata-cara-pengajuan-permohonan-rehabilitasi-narkotika,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
17. http://www.antaranews.com/berita/473092/jenis-rehabilitasi-harus-disesuaikan-dengan-tingkat-penggunaan-narkoba,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
18. https://www.merdeka.com/peristiwa/pengguna-narkoba-di-indonesia-tahun-2015-mencapai-52-juta-jiwa.html,
diunduh tanggal 05 Desember 2016 ;
19. http://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-tetapkan-gerakan-rehabilitasi-100-ribu-pengguna-narkoba/2622737.html, diunduh tanggal 15 September 2016 ;
20. http://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-tetapkan-gerakan-rehabilitasi-100-ribu-pengguna-narkoba/2622737.html, diunduh tanggal 15 September 2016 ;
21. http://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-tetapkan-gerakan-rehabilitasi-100-ribu-pengguna-narkoba/2622737.html, diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[1]
Hakim Yustisial pada
Mahkamah Agung RI, mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang ;
[2]http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4dc0cc5c25228/penyalahgunaan-narkotika-dan-prekursor-narkotika, diunduh
tanggal 16 November 2016 ;
[3]
Drs.
P.A.F. Lamintang, S.H., dalam
bukunya "Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia" , Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 354-355 ;
[4]
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4dc0cc5c25228/penyalahgunaan-narkotika-dan-prekursor-narkotika, diunduh tanggal 16 November 2016 ;
[5]
https://jauhinarkoba.com/pemicu-terjadinya-penyalahgunaan-narkoba/, diunduh tanggal 16 November 2016 ;
[6] http://bramfikma.blogspot.co.id/2013/10/penyalahgunaan-narkotika.html,
diunduh tanggal 16 November 2016 ;
[7]http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/06/penyalahgunaan-narkotika_12.html, diunduh tanggal 16 November
2016 ;
[8] http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/06/penyalahgunaan-narkotika_12.html, diunduh tanggal 16 November
2016 ;
[9] http://bramfikma.blogspot.co.id/2013/10/penyalahgunaan-narkotika.html,
diunduh tanggal 16 November 2016 ;
[10]
http://yuyantilalata.blogspot.co.id/2012/10/restorative-justice-dalam-sistem.html, diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[11] http://kabarnusantara.net/2016/08/31/restorative-justice-dalam-sistem-peradilan-anak/,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[12] http://kabarnusantara.net/2016/08/31/restorative-justice-dalam-sistem-peradilan-anak/,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[13]
http://sekolahparalegal.blogspot.co.id/2012/11/mediasi-penal-penerapan-restorative.html,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[14]
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/kegiatan-umum/927-restorative-justice-dan-penerapannya-dalam-hukum-nasional.html, diunduh tanggal 15 September
2016 ;
[15]http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-irestorative-justice-i-dalam-sistem-pidana-indonesia-broleh--jecky-tengens--sh-,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[16]
http://www.intisari-online.com/read/rehabilitasi-pecandu-narkoba-bagaikan-merajut-benang-yang-kusut,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[17] http://lampung.tribunnews.com/2016/02/22/berapa-lama-narkoba-bertahan-dalam-darah-dan-urine, diunduh tanggal 17 November
2016 ;
[18]http://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-tetapkan-gerakan-rehabilitasi-100-ribu-pengguna-narkoba/2622737.html, diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[19]http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt560211ea73636/tata-cara-pengajuan-permohonan-rehabilitasi-narkotika,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[20]http://www.antaranews.com/berita/473092/jenis-rehabilitasi-harus-disesuaikan-dengan-tingkat-penggunaan-narkoba, diunduh tanggal 15 September
2016 ;
[21]https://www.merdeka.com/peristiwa/pengguna-narkoba-di-indonesia-tahun-2015-mencapai-52-juta-jiwa.html, diunduh tanggal 05 Desember
2016 ;
[22]http://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-tetapkan-gerakan-rehabilitasi-100-ribu-pengguna-narkoba/2622737.html,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[23]http://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-tetapkan-gerakan-rehabilitasi-100-ribu-pengguna-narkoba/2622737.html,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
[24]http://www.voaindonesia.com/a/pemerintah-tetapkan-gerakan-rehabilitasi-100-ribu-pengguna-narkoba/2622737.html,
diunduh tanggal 15 September 2016 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar