MEMALSUKAN SURAT (Bagian 8)
Melanjutkan pembahasan tentang Memalsukan Surat, maka ada 2 (dua) pasal yang dihapuskan, yaitu pasal 272 KUH Pidana dan pasal 273 KUH Pidana (dihapuskan dengan Staatblad 1926 No. 359 jo. No. 429). Selanjutnya kita akan membahas ketentuan pasal 274 KUH Pidana, yang menyebutkan :
(1) Barangsiapa yang membuat palsu atau memalsukan surat keterangan pegawai negeri sipil yang menjalankan kekuasaan yang sah tentang hak milik atas sesuatu barang, dengan maksud akan memudahkan penjualan atau pengadaan barang itu atau dengan maksud akan memperdayakan pegawai kehakiman atau polisi tentang asalnya barang itu, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun;
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan maksud yang serupa menggunakan surat keterangan palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat ituasli dan tidak dipalsukan (lihat ketentuan pasal 61 ayat (2) KUH Pidana dan pasal 486 KUH Pidana).
Dari ketentuan pasal 274 KUH Pidana tersebut, maka dapat diterangkan secara singkat sebagai berikut :
1. Surat Keterangan yang dibuat palsu atau yang dipalsukan dalam pasal ini ialah terdiri dari keterangan yang dalam prakteknya banyak diberikan oleh para pegawai pamongpraja, termasuk pula para pamongdesa, kepada penduduk yang akan membawa keluar atau menjual barang-barangnya untuk menyatakan bahwa barang-barang itu betul-betul milik orang tersebut. Pemberian surat keterangan semacam itu tidak berdasar atas suatu peraturan undang-undang, akan tetapi oleh masyarakat Indonesia ternyata dipandang perlu, guna menghindarkan penahanan barang-barang itu oleh polisi karena disangka asal dari kejahatan (pencurian). Demikian pula karena tidak adanya kantor pernyataan tanah yang mendaftarkan pemindahan hak milik bangsa Indonesia terhadap barang-barang yang tetap seperti tanah, maka biasanya kepala-kepala desa memberikan surat-surat yang menerangkan siapa orang yang berhak atas sebidang tanah, hal mana sesuai dengan keterangan tersebut di atas dipalsukan dapat dihukum menurut pasal ini;
2. Pemalsuan surat keterangan semacam ini biasanya dilakukan dalam praktek untuk memudahkan penjualan barang-barang yang asalnya gelap atau dari kejahatan;
3. Pasal ini pada sejarahnya diberlaukan karena pada saat adanya KUH Pidana di sekitar tahun 1819 belum ada Notaris atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang sudah tersebar seperti saat ini, maka untuk mengatasi adanya jual beli sebidang tanah atau bangunan, harus menyertakan surat keterangan dari pihak berwenang yaitu pamongpraja atau pegawai negeri dari instansi yang berwenang atau dari pamong desa atau kepala desa maupun perangkat desa yang berwenang membuatnya;
4. Untuk saat ini, terhadap barang-barang yang diduga hasil dari kejahatan yang kemudian dijual lagi, masih belum ada pengaturannya akan tetapi terhadap barang-barang yang diduga hasil kejahatan dan sudah diproses secara pidana tindak kejahatannya, maka terhadap barang-barang tersebut yang mempunayi nilai ekonomis, dapat dijual secara lelang setelah ada putusan yang tetap (inkracht) dari pengadilan. (BERSAMBUNG).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar