Senin, 18 November 2013

ANALISIS SISTEM PERADILAN PIDANA



ANALISIS SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDINESIA DITINJAU DARI PELAKSANAAN TUGAS APARAT PENEGAK HUKUM DIBANDINGKAN DENGAN SISTEM PERADILAN PIDANA DI NEGARA LAIN    

Oleh : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH


I.       Latar Belakang

Bahwa perkembangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut menyebabkan masyakat menjadi semakin dinamis, meski demikian, perubahan tersebut juga membuat semakin sering terjadi gesekan-gesekan di antara anggota masyarakat.
Menurut Robert J. Wicks, sebagaimana dikutip oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, mengatakan, [1]”Keadaan tidak tenteram terjadi apabila pribadi-pribadi mengalami :
1.            Frustasi, yaitu the result of something blocking the attainmen of particular goal” ;
2.            Konflik yang merupakan a particular form of internal stress ;
3.            Kekhawatiran, yakni the result of a vague but often strong concern about an impending danger of some sort.
Hal tersebut akhirnya menyadarkan manusia, bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat membutuhkan suatu ATURAN MAIN yang bisa mengatur tata kehidupan bermasyarakat. Aturan main itulah yang kita sebut dengan HUKUM. Dan HUKUM tersebut tidak hanya HUKUM yang tertulis berupa peraturan perundang-undangan tetapi juga HUKUM yang tidak tertulis, seperti hukum adat maupun kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Purnadi Purbacara dan Soerjono Soekanto, yang mengatakan, “Bahwa hukum mengatur hubungan antara warga masyarakat, yang menyangkut hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta hukum memerlukan proses penegakan.”[2]
Peranan dari Aparat Penegak Hukum adalah untuk menegakkan HUKUM, terutama Hukum yang tertulis, berupa peraturan perundang-undangan dalam rangka mengatur tata kehidupan masyrakat sehingga diharapkan akan tercipta kehidupan yang harmonis diantara anggota masyarakat.
Dari peranan Aparat Penegak Hukum itulah yang pada akhirnya menimbulkan apa yang disebut dengan Criminal Justice Sistem atau Sistem Peradilan Pidana. Di tiap Negara memiliki Sistem Peradilan Pidana yang berbeda-beda tergantung pada Sistem Hukum yang dianutnya, apakah Sistem Hukum Eropa Kontinental maupun Anglo Saxon. Oleh sebab itu, akan menimbulkan berbagai macam bentuk Sistem Peradilan Pidana yang mempunyai kekhasan tersendiri, terutama Sistem Peradilan Pidana di Indinesia.
Sistem Peradilan Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu “sistem” dan “peradilan pidana”. Pemahaman mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pandangan Muladi, pengertian sistem harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical sistem dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract sistem dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan. Dan apabila dikaji dari etimologis, maka ”sistem” mengandung arti terhimpun (antar) bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan pidana” merupakan suatu mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam kaitannya dengan peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian keadilan bagi masyarakat. Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice Sistem” kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Ciri pendekatan ”sistem” dalam peradilan pidana.[3]
Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak.[4]

II. Permasalahan

Dari perkembangan dan asal usul Sistem Peradilan Pidana di Indinesia tersebut, akan menimbulkan permasalahan sebagai berikut :
  1. Bagaimana perbedaan antara Sistem Hukum Pidana di Indinesia dengan Sistem Hukum Pidana di Belanda maupun di Inggris ?
  2. Bagaimana peranan Sistem Hukum Pidana dalam rangka mengurangi tindak pidana di Indinesia ?
III. Pembahasan

1.      Perbedaan antara Sistem Hukum Pidana di Indinesia dengan Sistem Hukum Pidana di Belanda maupun di Inggris
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan dan tindakan yang bertentangan dengan hukum sekaligus sanksi yang dikenakan kepada siapa saja yang melakukannya sehingga dapat dikatakan bahwa hukum pidana memiliki fungsi ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial baik secara spontan maupun secara tertulis oleh negara dengan alat perlengkapannya. Hukum pidana adalah merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yakni dalam hal sanksinya. Setiap kita berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju ke arah sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di dalamnya terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan serta akibatnya. Yang disebut akibat adalah sanksi yang bersifat negatif yang disebut sebagai pidana (hukuman).
Hukum pidana dan pelaksanaan hukum pidana merupakan objek beberapa ilmu pengetahuan. Jika ditinjau dari segi metodenya maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana yang sistematis terbagi menjadi dua yakni hukum pidana (hukum pidana materiil) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal).[5] Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh karena itu, merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.[6]
Sudibyo Triatmodjo mengatakan, [7]”Di dalam kehidupan hukum sebagai suatu sistem untuk menciptakan keteraturan, ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat tidak bisa mengacuhkan demikian saja wibawa etika”. Dari hal tersebut, telah nyata bahwa penerapan hokum di dalam praktek, tetap harus memperhatikan etika yang ada di dalam masyarakat, sehingga tidak akan melanggar hak asasi seseorang ketika akan diperiksa sebagai tersangka maupun terdakwa di dalam suatu proses penegakan hokum.
Hukum Pidana tersebut diaplikasikan secara nyata di dalam persidangan kasus pidana, sebagaimana dikatakan oleh Tolib Effendi, “Berbicara tentang persidangan kasus pidana, maka kita juga berbicara tentang sebuah sistem yaitu sistem peradilan pidana”.[8]
Romli Atmasasmita, lebih lanjut mengatakan bahwa, “Sistem Peradilan Pertama (SPP) untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amerika Serikat, sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatut penegak hukum dan institusi penegakan hukum.”[9]
Selanjutnya Romli Atmasasmita mengatakan, “Komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui, baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktek penegakan hukum terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.”[10]
Mengacu kepada definisi sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro yang mengatakan, “Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri atas lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.”[11]
Apabila kita menlihat pada sistem peradilan pidana di Indonesia, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sistem peradilan pidana di Indiensia berlandaskan pada Het Herziene Inlandsch Reglement (Stbl. 1941 No. 44) atau yang sering kita sebut dengan istilah HIR. Menurut pandangan dari Romli Atmasasmita, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah meletakkan dasar humanisme dan merupakan suatu era baru dalam dunia peradilan di Indinesia yang bertujuan untuk mencapai ketertiban dan kepastian hukum tanpa adanya perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia.[12]
Sejalan dengan konsepsi Negara hukum, peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman harus memegah teguh azas “Rule of Law”. Untuk menegakan Rule of Law para Hakim dan Mahkamah Pengadilan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :[13]
a. Supremasi hukum ;
b. Equality Before The Law ;
c. Human Rights ;
Sebagaimana diungkapkan oleh Romli Atmasasmita, keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam kehidupan hukum di Indiensia, telah meniti suatu era baru, yaitu era kebangkitan hukum nasional yang mengutamakan perlindungan hak asasi seorang tersangka dalam mekanisme sistem peradilan pidana.[14] Dengan terlindunginya hak asasi seorang tersangka di dalam proses sistem peradilan pidana, tentunya diharapkan akan mempermudah dan mempercepat proses sistem peradilan pidana. Hal ini sejalan dengan Resolusi Kongres PBB ke – 9 / 1995 di Kairo, Mesir tentang “Criminal Justice Management in the Context of Accountability of Public Administration and Sustanable Development”, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai   berikut :[15]
¨      Penyelenggara peradilan (pidana) bertanggung jawab untuk terselenggaranya peradilan pidana yang efisien dan manusiawi (humane and efficient criminal justice) ;
¨      Manajemen peradilan pidana merupakan bagian dari administarsi public yang bertanggung jawab pada masyarakat luas ;
¨      Penyelenggaraan peradilan pidana harus merupakan bagian dari kebijakan pembangunan sumber daya yang berkelanjutan (a policy of sustainable development of resources), termasuk ensuring justice dan the savety of citizens.
Perlunya kita mempelajari perbandingan hukum antara sistem hukum yang kita anut dengan sistem hukum negara lain termasuk pula dalam hal pelaksanaannya, menurut Sri Endah Wahyuningsih, “Pentingnya kajian komparatif dalam rangka mewujudkan rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Nasional, dimaksudkan untuk mempelajari konsep / sistem hukum lain yang lebih dekat dengan karakteristik sumber hukum di Indonesia.”[16]
Meskipun memiliki persamaan di dalam tujuan proses sistem peradilan pidana, akan tetapi di dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan-perbedaan antara sistem peradilan pidana di Indinesia dengan Negara lain, utamanya adalah dengan Belanda dan Inggris.

A.     SISTEM PERADILAN PIDANA BELANDA
Meskipun sistem peradilan pidana Indinesia masih menginduk pada sistem peradilan pidana Belanda, akan tetapi dalam perkembangannya, sistem peradilan Belanda telah banyak mengalaami perubahan.
Sebagai bekas negara jajahan Perancis, maka sistem hukum di Belanda bersumber pada sistem hukum di Perancis, meski demikian setelah Belanda merdeka dari Perancis, Belanda melakukan banyak perubahan di dalam sistem hukum mereka terutama dalam hal sistem peradilan pidana.
Secara umum, lembaga-lembaga yang berhubungan dengan sistem peradilan pidana di Belanda tidak berbeda jauh dengan Indinesia, yaitu terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilann dan ditambah dengan imigrasi, namun terdapat perbedaan yang paling utama yaitu pengadilan, kejaksaan dan kepolisian serta imigrasi berada dalam organisasi dan struktur Kementrian Kehakiman, bahkan Interpol dan Laboratorium Kriminal juga berada di bawah Kementrian Kehakiman.[17]
1.      Kepolisian
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa Kepolisian Belanda di bawah organisasi dan struktur Kementrian Kehakiman, akan tetapi susunan formal dinas kepolisian Belanda ditetapkan dalam Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Kepolisian yaitu Undang-Undang Kepolisian Tahun 1957 (Police Act 1957) dan kemudian diganti dengan Police Act 1993.[18]
Kepolisian Belanda terbagi menjadi 25 (dua puluh lima) polisi regional dan 1 polisi nasional yang disebut dengan Nasional Police Service Agency (KLPD), yang terbagi menjadi 11 (sebelas) divisi yang masing-masing memiliki area pertanggungjawaban khusus, yaitu :
a.       Polisi lalu lintas ;
b.      Polisi kereta api ;
c.       Polisi air ;
d.      Polisi penerbangan ;
e.       Polisi gunung dan satuan anjing pelacak ;
f.        Dukungan operasional dan koordinasi ;
g.       Perlindungan kerajaan dan anggota diplomatik ;
h.       Layanan logistic ;
i.         Dinas intelejen nasional ;
j.        Dinas hubungan internasional ;
k.      Dinas penerapan investigasi khusus dan ;
l.         Investigasi criminal nasional.[19]
Dari uraian tersebut, Kepolisian Belanda dalam sistem peradilan pidana, mempunyai tugas utama yaitu melakukan penyidikan (Opsporing) untuk menemukan tersangka dan alat bukti.[20]
2.      Pengadilan
Struktur pengadilan di Belanda diatur dalam Undang-Undang tentang Organisasi Pengadilan (Act of 18 April 1827 on the Composition of the Judicary and the Organisation of Justice Sistem / Wt op the Rechterlijke Organisatie), yang dalam pasal 2 membagi pengadilan Belanda menjadi 3 (tiga) kategori yaitu 19 (sembilan belas) Pengadilan Wilayah (district court), 5 (lima) Pengadilan Banding (appeal court) dan 1 (satu) Mahkamah Agung (supreme court). Selain itu Belanda juga mengenal 1 9satu) Pengadilan Khusus (special tribunal) yang memiliki yurisdiksi khusus berkaitan dengan hukum administrasi.
Sembilan belas Pengadilan Wilayah sebagaimana disebutkan di atas tersebut, adalah :
a.       Berada di wilayah Pengadilan Banding Hertogenbosch, yaitu :
1.      Hertogenbosch ;
2.      Breda ;
3.      Maastricht dan ;
4.      Roermond.
b.      Berada di wilayah Pengadilan Banding Arnhem, yaitu :
5.      Arnhem ;
6.      Zutphen ;
7.      Zwolle dan ;
8.      Almelo.
c.       Berada di wilayah Pengadilan Banding The Hague, yaitu :
9.      The Hague ;
10.  Rotterdam ;
11.  Dirdrecht dan ;
12.  Middelburg ;
d.      Berada di wilayah Pengadilan Banding Amsterdam, yaitu :
13.  Amsterdam ;
14.  Alkmaar ;
15.  Haarlem dan ;
16.  Utrecht.
e.       Berada di wilayah Pengadilan banding Leeuwarden, yaitu :
17.  Leeuwarden ;
18.  Groningen dan ;
19.  Assen.[21]
Meskipun persidangan perkara pidana di pengadilan Belanda adalah dengan Hakim Tunggal, kecuali dalam perkara-perkara tertentu. Hakim Tunggal tersebut diperuntukkan bagi perkara-perkara :
a.       Perkara berkaitan dengan pelaku di bawah umur (diatur dalam Pasal 53 Act of 18 April 1827 on the Compostion of the Judicary and the Organisation of the Justice Sistem) ;
b.      Perkara-perkara ringan yaitu perkara-perkara dengan tuntutan pidana maksimum tidak melebihi 6 (enam) bulan, yang diperiksa oleh Hakim Polisi (diatur dalam Pasal 51 Act of 18 April 1827 on the Compostion of the Judicary and the Organisation of the Justice Sistem)[22]
Hal lain yang membedakan dengan pengadilan di Indinesia, adalah pengadilan di Belanda telah mengenal HAKIM KOMISARIS, yang bertugas dalam pemeriksaan pendahuluan, yaitu pada tahap penyidikan termasuk dalam tahap ketika penuntut umum melimpahkan perkara untuk dilakukan pemeriksaan pendahuluan sebelum dilakukan proses penuntutan.[23]
3.      Kejaksaan
Sebagaimana pengadilan, maka kejaksaan di Belanda juga terbadi menjadi 19 (sembilan belas) Kejaksaan Wilayah, 5 (lima) Kejaksaan Tingkat Banding dan Kantor Kejaksaan pada tingkat Mahkamah Agung yang bertugas memberikan nasihat kepada Mahkamah Agung sehubungan dengan keputusan-keputusan yang yang diambil pada banding dalam kasasi atau kasus-kasus yang dimohon peninjauan kembali.[24]
Sembilan belas Kejaksaan Wilayah sebagaimana disebutkan di atas tersebut, adalah :
a.       Berada di wilayah Kejaksaan Tingkat Banding Hertogenbosch, yaitu :
1.      Hertogenbosch ;
2.      Breda ;
3.      Maastricht dan ;
4.      Roermond.
b.      Berada di wilayah Kejaksaan Tingkat Banding Arnhem, yaitu :
5. Arnhem ;
6.      Zutphen ;
7.      Zwolle dan ;
8.      Almelo.
c. Berada di wilayah Kejaksaan Tingkat Banding The Hague, yaitu :
9.      The Hague ;
10.  Rotterdam ;
11.  Dirdrecht dan ;
12.  Middelburg ;
d. Berada di wilayah Pengadilan Banding Amsterdam, yaitu :
13.  Amsterdam ;
14.  Alkmaar ;
15.  Haarlem dan ;
16.  Utrecht.
e. Berada di wilayah Pengadilan banding Leeuwarden, yaitu :
17.  Leeuwarden ;
18.  Groningen dan ;
19.  Assen.[25]
Secara umum, tugas kejaksaan di Belanda tidak berbeda jauh dengan kejaksaan di Indonesia, yaitu :[26]
1.      Investigating Criminal Offences (Penyidikan Tindak Pidana) ;
Penuntut Umum bertanggung jawab atas adanya penyidikan dan setiap penyidikan berada di bawah instruksi penuntut umum, dimana penuntut umum juga memastikan bahwa polisi menjalankan peraturan dan prosedur berdasarkan undang-undang ;
2.      Prosecuting Offenders (Melakukan Penuntutan) ;
Menurut Pasal 9 ayat (1) KUHAP Belanda, penuntut umum bertanggung jawab untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan di dalam daerah/wilayahnya.
3.      Making sure that sentences are carried out properly (Melakukan   Eksekusi) ;
Kejaksaan secara formal bertanggung jawab bagi pelaksanaan keputusan pengadilan dan kejaksaan diharuskan mentaati nasihat para pejabat di lembaga pemasyaratan (diatur dalam Pasal 553 KUHAP Belanda).
4.      Profesi  Hukum
Yang dimaksud adalah para advokat atau penasihat hukum yang memberikan bantuan hukum.[27]Pengacara diberikan hak untuk hadir dan mendampingi pada waktu pemeriksaan tersangka di kepolisian, menjenguk tersangka di dalam tahanan dan menggunakan upaya-upaya hukum atas nama tersangka, juga mempunyai untuk memanggil saks-saksi, diperbolehkan melihat catatan-catatan mengenai kasus dan juga berhak menerima salinan pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh kepolisian (BAP)
5.      Dinas Probasi
Merupakan badan pelayan sosial yang merupakan bagian dari jaringan dinas dan pelayanan sosial. Tugasnya adalh membuat laporan-laporan sebelum penjatuhan hukuman kepada kejaaksaan serta memberikan bantuan dan rehabilitasi sehubungan dengan pembebasan bersyarat dan pidana bersayarat.[28]

B.     SISTEM PERADILAN PIDANA INGRRIS
Dengan sistem hukum yang berbeda dari sistem hukum yang dianut oleh Indonesia, maka akan nampak sekali perbedaan dalam hal pengaturan Aparat Penegak Hukum berdasarkan sistem hukum Anglo Saxon.
1. Kepolisian
Salah satu penggagas konsep Kepolisian Inggris adalah Henry Fielding dengan gagasannya bahwa, “Tindakan polisi haruslah diarahkan untuk pencegahan kejahatan sebagai upaya mengontrolnya, sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada waktu itu, yaitu dengan cara menunggu kejahatan itu terjadi kemudian membasminya dengan cara kekerasan atau hukuman yang brutal.”[29]
Sedangkan prinsip-prinsip Kepolisian Metropolis London telah tercipta pada tahun 1829, antara lain :[30]
1.      Kepolisian haruslah berada di bawah kontrol lembaga pemerintah ;
2.      Kepolisian haruslah stabil, efisien dan berada dalam garis organisasi dengan militer ;
3.      Efisiensi kepolisian ditentukan oleh minimnya kejahatan ;
4.      Penyebaran kekuatan kepolisian, baik waktu dan area adalah penting ;
5.      Kepimpinan yang sempurna dalam hal pelaku adalah ciri kepolisian yang dibutuhkan ;
6.      Polisi harus dipekerjakan dalam basis probasi ;
7.      Catatan Kepolisian dibutuhkan untuk distribusi kekuatan polisi yang  sesuai ;
8.      Pelatihan petugas kepolisian membawa efisiensi yang lebih besar.
Dalam hal penyidikan, kinerja kepolisian berada di bawah perintah dan pengawasan kejaksaan sehingga kejaksaan menjadi pemimpin kepolisian dalam melakukan penyidikan, karena tanpa kosultasi sedini mungkin dengan kejaksaan, perkaranya akan kurang berhasil di persidangan.[31]
2.  Solicitor
Salah satu komponen yang unik dan paling terkemuka dalam sistem peradilan pidana Inggris adalah adanya 2 (dua) lembaga yang disebut dengan Solicitor dan Barristers. Solicitor adalah tempat pertama dimana seorang mencari saran-saran atau nasihat hukum berkaitan dengan permasalahan hukum yang dihadapi dan banyak Solicitor yang bergabung dengan sebuah firma besar yang khusus mengangani perkara-perkara tertentu.[32]
3.      Barristers
Barristers seringkali disamakan dengan fungsi Advokat yang berbicara di depan persidangan, namun Barristers juga banyak berperan di luar persidangan, menyusun argument dan pembelaan serta menuliskan saran-saran untuk Solicitor serta tidak diperkenankan berkerja bersama-sama kecuali dengan pengacara asing.[33]
4.      Kejaksaan
Pada system Anglo Saxon, Penuntut Umum bagi perkara-perkara ringan adalah Polisi (Police Prosecutor) sedangkan bagi perkara-perkara agak berat, Penuntut Umumnya adalah pengacara yang disebut Solicitor, adapun perkara-perkara berat yang disidangkan di Pengadilan Tinggi dan Banding, Penuntut Umumnya adalah pengacara yang disebut Barristers.[34]
Lebiah lanjut Tolib Effendi menjelaskan, system penuntutan di Inggris memang berbeda dengan system penuntutan di Negara lain, karena di Inggris dikenal istilah Private Prosecution (penuntutan individu tanpa melalui polisi dan kejaksaan, akan tetapi dalam Passal 6 ayat (2) Prosecution of Offences Act 1985 (Undang-Undang Kejaksaan Inggris) memberi kewenangan kepada penuntut umum (CPS) untuk mengambil alih suatu Private Prosecution menjadi Public Prosecution dan untuk perkara pidana berat, hanya CPS yang berwenang untuk melakukan penuntutan atau menolak untuk melakukan penuntutan.[35]
5.      Pengadilan
Di Inggris, Pengadilan dikualifikasikan ke dalam 3 (tiga) struktur dasar, yaitu pengadilan pidana dan perdata, pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding serta pengadilan superior dan inferior.[36]
Penjabaran dari 3 (tiga) struktur dasar pengadilan tersebut adalah sebagai berikut :[37]
a.       Pengadilan Pidana dan Perdata ;
Pengadilan Pidana berfungsi untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjatuhkan hukuman bagi yang dinyatakan bersalah, sedangkan Pengadilan Perdata berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan antar individu dan menjatuhkan ganti rugi yang sesuai dengan pihak yang dirugikan ;
b.      Pengadilan Tingakt Pertama dan Banding ;
Pengadilan tingkat pertama mengadili perkara pada tingkat pertama sebelum ada banding sedangkan Pengadilan banding mempertimbangkan  penerapan prinsip-prinsip hukum pada kasus yang pernah didengar pada pemeriksaan pertama ;
c.       Pengadilan Superior dan Inferior ;
¨      Pengadilan Superior ;
Pengadilan Superior tidak memiliki batas yurisdiksi geografis dan finansial dan pada umumnya pengadilan superior memeriksa perkara yang penting dan/atau sulit tanpa adanya pembatasan area atau jumlah uang yang disengketakan. Yang termasuk Pengadilan Superior adalah :
1)      House of Lords, dalam perkara pidana, pengadilan ini memeriksa perkara banding yang diajukan oleh pengadilan banding (court of appeal) maupun pengadilan tinggi.
2)      Pengadilan Banding (Court of Appeal), yaitu pengadilan ini memiliki yurisdiksi mengadili perkara banding, namun juga memiliki yurisdiksi untuk memeriksa perkara-perkara dimana perkara-perkara tersebut dilimpahkan, yaitu :
a)      Banding dari Crown Courts melawan putusan bersalah, putusan pemidanaan atau keduanya ;
b)      Diajukan oleh jaksa agung terkait dengan putusan bebas dari dakwaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 36 Criminal Justice Act 1972 ;
c)      Diajukan oleh jaksa agung terhadap putusan yang terlalu toleran / ringan sebagaimana diatur di dalam Passal 36 Criminal Justice Act 1972 ;
d)      Diajukan oleh Komisi Pemantau Perkara Pidana (Criminal Cases Review Commission), sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Criminal Appeal Act 1995.
3)      Pengadilan Tinggi, yaitu seperti halnya pengadilan banding, pengadilian tinggi adalah 1 (satu) pengadilan namun dibagi ke dalam 3 (tiga) divisi untuk keperluan administrasi, yaitu :
a)      Queen’s Brench Division, yaitu memiliki yurisdiksa atas perkara pidana berupa banding dari pengadilan magistrate dan dari crown court, untuk pemeriksaan tanpa juri ;
b)      Chancery Division, memiliki yurisdiksi memeriksa perkara perdata bisnis ;
c)      Familiy Division, memiliki yurisdiksi memeriksa perkara di bidang perceraian, adopsi dan lain-lain.
4)      Crown Court (Pengadilan Kerajaan),  yaitu pengadilan yang memiliki yurisdiksi dapat memeriksa perkara dengan ketentuan :
a)      Persidangan-persidangan dengan dakwaan oleh juri ;
b)      Kasus-kasus dimana pengadilan magistrate telah menolak yurisdiksi sebelum disidangkan ;
c)      Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan magistrate dimana pengadilan magistrate memiliki pertimbangan bahwa keputusan tersebut tidak cukup kuat.
5)      Pengadilan Banding Urusan Ketenagakerjaan (Employment Appeal Tribunal), bertugas memeriksa perkara banding dari pengadilan ketenagakerjaan dalam hal pertimbangan hukumnya.
¨      Pengadilan Inferior
Yang termasuk di dalam Pengadilan Inferior diantaranya adalah sebagai berikut :
a)      Country Courts, yaitu pengadilan tingkat rendah yang tidak memeriksa perkara pidana, beberapa perkara perdata didengar pertama kali pada tingkat ini sedangkan perkara pidana pada tingkat pertama didengar di pengadilan magistrate ;
b)      Magistrates Courts, adalah pengadilan tingkat pertama untuk perkara pidana dan hampir 90 % (sembilan puluh persen berakhir di sini dan yang diperiksa adalah :
1)      Persidangan awal tindak pidana ;
2)      Pengajuan jaminan ;
3)      Dikeluarkannya surat panggilan dan surat penangkapan/penahan atau penggeldahan ;
4)      Pernyataan bersalah ;
5)      Proses awal crown court atau penjatuhan hukuman.
c)      Pengadilan Koroner, yaitu khusus untuk memeriksa dan menyelidiki penyebab kematian seseorang yang tidak wajar.
d)      Pengadilan Militer, memiliki yurisdiksi terbatas pada pihak-pihak yang diperiksa yaitu pelaku tindak pidana merupakan anggota militer.
¨      Pengadilan Yurisdiksi Khusus :
1.      Pengadilan Koroner ;
2.      Pengadilan Militer ;
3.      Pengadilan Ketenagakerjaan ;
4.      Rent Tribunal ;
5.      Pengadilan Banding Imigrasi ;
6.      Pengadilan Kesehatan Mental.
6.      Juri
Juri banyak digunakan di Pengadilan Kerajaan (crown court), dengan syarat sebagaimana ditentukan dalam Criminal Jurist Act 2003, yaitu :
a)      Berusia antara 18 – 70 tahun dan terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu ;
b)      Berdomisili di Inggris Raya paling sedikit 5 (lima) tahun sejak usia 13 (tiga belas) tahun ;
c)      Tidak mengalami gangguan mental dan ;
d)      Tidak didiskualifikasi, karena :
1)      Berada dalam jaminan ;
2)      Pernah dihukum lima tahun penjara atau lebih ;
3)      Selama sepuluh tahun terakhir pernah menerima hukuman, menjalani hukuman kurungan, menjalani rehabilitasi (masa percobaa), menjalani hukuman dari masyarakat dan menerima perawatan atas obat-obatan dan pengawasan penggunaan narkoba.

C.     SISTEM PERADILAN PIDANA INDINESIA
Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin semua warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan Pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan tanpa ada pengecualian.[38]
Sebagai negara yang merupakan bekas jajahan Kolonial Belanda, maka, dalam lapangan Hukum Pidana masih menggunkan Hukum Pidana peninggalan Kolonial Belanda sehingga masih digunakannya Hukum Pidana peninggalan Kolonial Belanda di Indinesia, suka maupun tidak suka, akan mengoyak rasa keadilan dalam masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena baik secara filosofis, sosiologis maupun tujuan pembuatan Hukum Pidana oleh Pemerintah Belanda sudah tentu bukanlah berdasarkan rasa keadilan yang ada pada masyarakat Indinesia, sehingga tentunya sudah saatnya Negara kita memiliki Hukum Pidana sendiri yang berdasarkan nilai-nilai kemanusian bangsa Indinesia.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Thomas E. Davitt, yang menyatakan bahwa, “Hukum adalah suatu instrument untuk mengarahkan manusia di dalam hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan bersama dan yang umum bagi mereka”.[39] Dari pengertian tersebut, maka akan timbul adanya Hukum Yang Tertulis maupun Hukum Yang Tidak Tertulis.Terhadap Hukum yang Tidak Tertulis, Thomat E. Davitt mengatakan bahwa, “Hukum yang dibuat orang-orang yang belum pernah belajar menulis, yaitu masyarakat tradisonal yang tidak memiliki tradisi tulisan, disebut hukum tidak tertulis yang diekspresikan utamanya lewat kebiasaan dan tradisi terkait kesejahteraan setiap anggota masyarakatnya”.[40]Sedangkan salah satu bentuk dari Hukum Tertulis adalah Hukum Pidana.
Di bidang hukum formil, yaitu hukum acara pidana, bangsa Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempu membuat kodifikasi peraturan perundang-undangan hukum acara pidana yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Andi Hamzah mengatakan bahwa, “Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung bahkan sampai meliputi peninjauan kembali (herzeining).”[41]
Selanjutnya Andi Hamzah menambahkan bahwa, “Polisi, jaksa dan hakim tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana, tetapi harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang yaitu KUHAP dan perundang-undangan di luar KUHP yang mengandung ketentuan acara yang menyimpang.”[42]Lebih lanjut, Andi Hamzah mengatakan bahwa, “KUHAP tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain.”[43]
Terhadap keberadaan KUHAP, peringatan lebih keras disampaikan oleh M. Yahya Harahap, yang mengatakan, “Memang KUHAP telah mengangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang berderajat, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, namun dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa, tidak boleh ditelanjangi hak asasi utama yang melekat pada dirinya.”[44]
Di dalam KUHAP telah dijelaskan secara terperinci mengenai tugas-tugas dari mulai kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum dan pelaksana eksekusi putusan pengadilan (eksekutor) dan hakim sebagai pemutus perkara pidana. Oleh karenanya akan kita bahas satu per satu dari fungsi setiap Aparat Penegak Hukum (APH) sebagaimana terdapat pada KUHAP. Menurut M. Yahya Harahap, “Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan sistem terpada (Integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip differensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.”[45]
1.      Kepolisian
Tolib Effendi mengatakan, “Kepolisian Indonesia mempunyai tugas utama : menerima laporan dan pengaduan dari public manakala terjadinya tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap perkara-perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.”[46]Kepolisian Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara serta diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan secara organisasi Kepolisian Indonesia merupakan lembaga non departemen yang memiliki kedudukan setara dengan kejaksaan dan langsung berada di bawah garis koordinasi Presiden.
Dalam kaitan dengan sistem peradilan pidana, maka tugas Kepolisian Indonesia adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan baik atas inisiatif sendiri maupun atas laporan masyarakat dan bertanggung jawab kepada lembaganya sendiri.
Meskipun kepolisian Indonesia tidak memiliki kewenangan melakukan penuntutan akan tetapi kepolisian Indonesia mempunyai kewenangan untuk menghentikan penyidikan atau menghentikan perkara.[47]
Struktur organisasi kepolisian Indonesia, terbagi menjadi 33 (tiga puluh tiga) Kepolisian Daerah (Polda) dan masing-masing Polda terdiri dari beberapa Kepolisian Resort (Polres) dan  masing-masing Polres terdiri dari beberapa Kepolisian Sektor (Polsek).
2.      Kejaksaan
Kejaksaan di Indonesia memiliki tugas pokok menyaring kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.[48] Kejaksaan sebagai sub  sistem dari sistem peradilan pidana, diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.dan Kejaksaan merupakan lembaga non departemen yang pucuk pimpinannya dipegang oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab kepada Presiden.[49]
Kejaksaan di Indonesia mempunyai tugas utama yaitu melakukan penuntutan akan tetapi kejaksaan juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan untuk tindak pidana tertentu, yaitu tindak pidana korupsi.[50] Di dalam praktek, kejaksaan juga memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian penuntutan dengan alasan-alasan tertentu serta mengesampingkan perkara tersebut karena kepentingan umum.
Struktur Kejaksaan di Indonesia, terbagi menjadi 33 (tiga puluh tiga) Kejaaksaan Tinggi (Kejat) dan masing-masing Kejati terdiri dari beberapa Kejaksaan Negeri (Kejari) dan beberapa diantara juga terdiri dari Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari).
3.      Pengadilan
Pengadilan memiliki tugas untuk menerima, memeriksa dan mengadili perkara pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum (Jaksa) dan menurut Tolib Effendi, “Pengadilan berkewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan, melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif, memberikan putusan yang adil dan berdasarkan hukum dan menyiapkan arena public untuk persidangan sehingga public dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan.”[51]
Struktur organisasi pengadilan di Indonesia, diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pengadilan di Indonesia, terbagi atas 33 (tiga puluh tiga) Pengadilan Tinggi (PT) yang masing-masing Pengadilan Tinggi terdiri dari beberapa Pengadilan Negeri (PN), yang seluruhnya bertanggung jawab, secara berjenjang, kepada Ketua Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, maka “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, sehingga Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan ke persidangan dengan alasan tidak ada hukumnya. Dan Hakim dalam memutus suatu perkara dalam sistem peradilan pidana selain berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga harus berdasarkan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, sehingga akan tercapai keadilan bagi para pencari keadilan.
4.      Pemasyarakatan
Sebagai salah satu sub sistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, pemasyarakatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995, yang berfungsi untuk menjalankan putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan perlindungan hak-hak terpidana, melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana serta mempersiapkan narapidana kembali ke masyarakat.[52]
5.      Advokat
Merupakan komponen baru dari sub sistem peradilan pidana, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor18 Tahun 2003 tentang Advokat, dalam hal mewakili warga Negara dalam hubungannya dengan pemerintah / Negara melalui alat-alat penegak hukumnya.
Sebagaimana telah diatur dalam KUHAP yaitu dalam Pasal 54 – 57 (yang mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasihat hukum) dan Pasal 69 – 74 (mengenai tata cara penasihat hukum berhubungan dengantersangka atau terdakwa).[53] Istilah Penasihat Hukum menurut Abdurrahman adalah kurang tepat, karena lebih tepat menggunakan istilah Pembantu Hukum, karena lebih tegas memberikan gambaran tentang sifat pembantuan dalam bidang hukum kepada mereka yang memerlukannya.[54]
Menurut Mr. S.M. Amin sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman, “Tugas sebenarnya dari seorang Advokat adalah membantu hakim mencari kebenaran.”[55]Sedangkan Yap Thiam Hien berpendapat bahwa, “Bahwa pembela tidak hanya membela kepentingan kliennya saja tetapi juga membela kepentingan umum.”[56]
Kedua pendapat tersebut hendaknya merupakan tujuan mulia dari setiap Advokat dalam setiap melaksanakan tugas-tugasnya sebagai bagian dari proses sistem peradilan pidana di Indonesia.

2.      Peranan Sistem Hukum Pidana dalam rangka mengurangi tindak pidana di Indinesia
Meskipun peranan dari setiap Aparat Penegak Hukum, dari mulai Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan di Indonesia dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana terdapat perbedaan dengan sistem peradilan pidana yang ada di negara lain, akan tetapi dalam perkembangannya, sudah mulai banyak peraturan perundang-undangan yang menerapkan azas restorative justice, yang lebih mengedepankan penyelesaian perkara pidana tanpa harus diajukan ke persidangan.
Sistem Restorative Justice dapat terwujud apabila terdapat kesamaan pandangan bahwa terhadap pelaku tindak pidana yang bersifat ringan dan tidak menimbulkan bahaya bagi keselamatan jiwa seseorang, tidak perlu dijatuhi pidana penjara. Terdapat banyak alternatif pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana berkaitan dengan azas Restorative Justice, diantaranya adalah pembayaran sejumlah denda ataupun pelaku tindak pidana bersedia memberikan ganti rugi yang sepadan / setara dengan nilai kerugian yang ditimbulkannya kepada korban tindak pidana yang dilakukannya.
Disamping itu perlu segera dilakukan revisi ataupun perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana berkaitan dengan Hakim Komisaris, dengan tujuan dapat melakukan penyeleksian terhadap perkara-perkara pidana yang akan diajukan di persidangan, sehingga dapat mengurangi penumpukan dan tunggakan perkara di Pengadilan.
Lebih khusus terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana menurut M. Nasir Djamil, “Peradilan pidana anak dengan keadilan restoratuf bertujuan untuk :[57]
1)      Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak ;
2)      Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan ;
3)      Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan ;
4)      Menanamkan rasa tanggung jawab anak ;
5)      Mewujudkan kesejahteraan anak.
Lebih lanjut dalam perkara pidana anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dikenal dengan azas Diversi, yaitu “Suaatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melaakukan tindak pidana tertentu dari proses formal ke penyelesaian damai antara tersangka / terdakwa / pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan / atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.”[58]
Dari hal-hal yang diurarikan tersebut di atas, maka sejatinya sistem peradilan pidana Indonesia sudah melangkah maju menuju sistem peradilan pidana yang progresif , yang tidak hanya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang tertulis saja tetapi juga pada hukum yang hidup di dalam masyarakat sehingga diharapkan keadilan yang sesungguhnya dapat dirasakan oleh para pencari keadilan.

IV. KESIMPULAN

1.      Perbedaan antara Sistem Hukum Pidana di Indinesia dengan Sistem Hukum Pidana di Belanda maupun di Inggris
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
-         Meskipun Indonesia adalah bekas negara jajahan Belanda, tetapi sistem peradilan pidana yang dilaksanakan di Indonesia, berbeda dengan sistem peradilan pidana yang ada di Belanda ;
-         Belanda yang telah melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangannya, tampak lebih maju di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana dengan tidak mengedepankan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana akan tetapi lebih kepada upaya perdamaian dan ganti rugi terhadap korban ;
-         Inggris dengan sistem hukum Anglo Saxon, membuka kesempatan seluas-luasnya kepada warganya untuk melakukan penuntutan terhadap kerugian yang dialaminya kepada pelaku tindak pidana, namun tidak harus selalu melalui proses persidangan yang beralrut-larut, tetapi lebih kepada upaya perdamaian dan pembayaran ganti rugi, kecuali terhadap perkara pidana berat, harus melalui proses persidangan dan terhadap pelakunya akan dijatuhi pemidanaan.

2.      Peranan Sistem Hukum Pidana dalam rangka mengurangi tindak pidana di Indinesia
Dari uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
-         Sudah saatnya sistem hukum Indonesia bersifat progresif, dalam arti tidak hanya berpedoman pada peraturan perundang-undangan saja tetapi juga menggali dan mengikuti hukum yang berkembang di dalam masyarakat ;
-         Untuk mengurangi penumpukan perkara pidana, untuk perkara pidana ringan, dapat dilakukan dengan azas Restorative Justice dan azas Diversi, yang lebih mengutamakan perdamaian antara pelaku tindak pidana dengan korban dalam bentuk pemberian denda maupun ganti rugi yang sepadan dari pelaku tindak pidana kepada korban.



[1] Purnadi Purbacaraka dan Sorjono Soekanto, 1979, Sendi-Sendi Hukum dan Tata Hukum, Bandung, Alumni, h.18.
[2] Purnadi Purbacaraka dan Sorjono Soekanto , Ibid, h. 54.
[3] http://blogingria.blogspot.com/2012/03/sistem-peradilan-pidana.html

[4] http://triwantoselalu.blogspot.com/2009/06/sistem-peradilan-pidana.html

[5] Ronny Hanitijo Soemitro, SH, 1979, Permasalahan Hukum Di Dalam Masyarakat, Bandung, Alumni, h. 25
[6] Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, h. 2-3
[7] Sudibyo Triatmodjo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Bandung, Alumni, h.3.
[8] Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Jakarta, Pustaka Yustisia, h.3.
[9] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensi dan Abolisionisme, 1996, Bandung, Penerbit Binacipta, h.7.
[10] Romli Atmasasmita, Ibid, h.24.
[11] Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana : Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, h. 85.
[12] Ibid, h.28.
[14] Romli Atmasasmita, Op.Cit., h.39.
[15] Barda Nawawi Arief, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan ke – 3, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, h.46 – 47.
[16] Sri Endah Wahyuningsih, 2013, Perbandingan Hukum Pidana, Dari Perspektif Religious Law System, Semarang, Unissula Press, h.1.
[17] Tolib Effendi, Op. Cit., h.35.
[18] Ibid, h.36.
[19] Ministry of Interior and Kingdom Relation, 2004, Policing in the Netherland, Drukkerij De Bink, Leiden, p.14 – 15.
[20] Tolib Effendi, Op. Cit. h. 38.
[21] Tolib Effendi, Ibid, h. 39 – 40.
[22] Tolib Effendi , Ibid, h. 41.
[23] Ibid, h. 42.
[24] Ibid, h. 44.
[25] Tolib Effendi , Ibid, h. 39 – 40.
[26]Tolib Effendi,  Ibid, h. 45 – 47.
[27] Ibid, h. 47 – 48.
[28] Ibid, h. 48.
[29] Tolib Effendi, Op.Cit., h.60.

[30] Ibid, h.60 – 61.
[31] Andi Hamzah, 2008, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Edisi Ketiga, Jakarta, Sinar Grafika, h.137.
[32] Tolib Effendi, Op.Cit. h.61.
[33] Ibid, h.62.
[34] Ibid, h.63.
[35] Tolib Effendi , Ibid, h.65 – 66.
[36] Ibid, h.70.
[37] Ibid, h.71 – 80.
[38] Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Jakarta, Penerbit Ghalia, h.13.
[39] Thomas E. Davitt, Tahun 2012, Nilai-Nilai Dasar Di Dalam Hukum – Menganalisa Implikasi-Implikasi Legal-Etik Psikologi & Antropologi Bagi Lahirnya Hukum, Yogyakarta, Penerbit Pallmal, h.41.
[40] Ibid, h.71
[41] Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, h.3.
[42] Ibid, h.2.
[43] Ibid, h.4.
[44] M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, h.1 – 2.
[45]M. Yahya Harahap,  Ibid, h.90.
[46] Tolib Effendi, Op. Cit., h.147 – 148.
[47]Tolib Effendi, Ibid, h.149.
[48] Ibid, h.153.
[49] Ibid, h.153.
[50] Ibid, h.153 – 154.
[51]Tolib Effendi, Ibid, h.158.
[52] Tolib Effendi, Op. Cit., h.163.
[53] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., h.91.
[54] Abdurrahman, 1983, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, Cendana Press, h.206.
[55] Ibid, h.211.
[56] Ibid, h.211.
[57] M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Catatan Pembahasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Jakarta, Sinar Grafika, h. 133.
[58] Dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, h.48.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...