ANALISIS SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDINESIA DITINJAU DARI PELAKSANAAN TUGAS APARAT PENEGAK HUKUM DIBANDINGKAN DENGAN SISTEM PERADILAN PIDANA DI NEGARA LAIN
Oleh : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
I.
Latar Belakang
Bahwa perkembangan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Perubahan tersebut menyebabkan masyakat menjadi semakin dinamis,
meski demikian, perubahan tersebut juga membuat semakin sering terjadi
gesekan-gesekan di antara anggota masyarakat.
Menurut Robert J. Wicks, sebagaimana dikutip oleh Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, mengatakan, [1]”Keadaan tidak tenteram terjadi apabila
pribadi-pribadi mengalami :
1.
Frustasi,
yaitu the result of something blocking
the attainmen of particular goal” ;
2.
Konflik yang
merupakan a particular form of internal
stress ;
3.
Kekhawatiran,
yakni the result of a vague but often
strong concern about an impending danger of some sort.
Hal tersebut akhirnya menyadarkan manusia, bahwa di dalam kehidupan
bermasyarakat membutuhkan suatu ATURAN
MAIN yang bisa mengatur tata kehidupan bermasyarakat. Aturan main itulah
yang kita sebut dengan HUKUM. Dan
HUKUM tersebut tidak hanya HUKUM yang tertulis berupa peraturan
perundang-undangan tetapi juga HUKUM yang tidak tertulis, seperti hukum adat
maupun kebiasaan-kebiasaan di dalam masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Purnadi Purbacara dan Soerjono
Soekanto, yang mengatakan, “Bahwa hukum
mengatur hubungan antara warga masyarakat, yang menyangkut hak-hak dan
kewajiban-kewajiban serta hukum memerlukan proses penegakan.”[2]
Peranan dari Aparat Penegak Hukum adalah untuk menegakkan HUKUM, terutama
Hukum yang tertulis, berupa peraturan perundang-undangan dalam rangka mengatur
tata kehidupan masyrakat sehingga diharapkan akan tercipta kehidupan yang
harmonis diantara anggota masyarakat.
Dari peranan Aparat Penegak Hukum itulah yang pada akhirnya menimbulkan
apa yang disebut dengan Criminal Justice Sistem atau Sistem Peradilan Pidana. Di
tiap Negara memiliki Sistem Peradilan Pidana yang berbeda-beda tergantung pada
Sistem Hukum yang dianutnya, apakah Sistem Hukum Eropa Kontinental maupun Anglo
Saxon. Oleh sebab itu, akan
menimbulkan berbagai macam bentuk Sistem Peradilan Pidana yang mempunyai
kekhasan tersendiri, terutama Sistem Peradilan Pidana di Indinesia.
Sistem Peradilan
Pidana (SPP) berasal dari kata yaitu “sistem” dan “peradilan pidana”. Pemahaman
mengenai ”sistem” dapat diartikan sebagai suatu rangkaian diantara sejumlah
unsur yang saling terkait untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pandangan
Muladi, pengertian sistem harus dilihat dalam konteks, baik sebagai physical sistem
dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu
tujuan dan sebagai abstract sistem dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan
susunan yang teratur yang satu sama lain saling ketergantungan. Dan
apabila dikaji dari etimologis, maka ”sistem” mengandung arti terhimpun (antar)
bagian atau komponen (subsistem) yang saling berhubungan secara beraturan dan
merupakan suatu keseluruhan. Sedangkan ”peradilan pidana” merupakan suatu
mekanisme pemeriksaan perkara pidana yang bertujuan untuk menghukum atau
membebaskan seseorang dari suatu tuduhan pidana. Dalam kaitannya dengan
peradilan pidana, maka dalam implementasinya dilaksanakan dalam suatu sistem
peradilan pidana. Tujuan akhir dari peradilan ini tidak lain adalah pencapaian
keadilan bagi masyarakat. Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice Sistem”
kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Ciri
pendekatan ”sistem” dalam peradilan pidana.[3]
Di dalam pelaksanaan peradilan
pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana,
yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak.[4]
II. Permasalahan
Dari perkembangan dan asal
usul Sistem Peradilan Pidana di Indinesia tersebut, akan menimbulkan permasalahan
sebagai berikut :
- Bagaimana perbedaan antara Sistem Hukum Pidana di Indinesia dengan Sistem Hukum Pidana di Belanda maupun di Inggris ?
- Bagaimana peranan Sistem Hukum Pidana dalam rangka mengurangi tindak pidana di Indinesia ?
III. Pembahasan
1.
Perbedaan antara Sistem Hukum Pidana di Indinesia
dengan Sistem Hukum Pidana di Belanda maupun di Inggris
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur
perbuatan dan tindakan yang bertentangan dengan hukum sekaligus sanksi yang
dikenakan kepada siapa saja yang melakukannya sehingga dapat dikatakan bahwa
hukum pidana memiliki fungsi ganda yakni sebagai sarana penanggulangan
kejahatan dan sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial baik secara
spontan maupun secara tertulis oleh negara dengan alat perlengkapannya. Hukum
pidana adalah merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yakni dalam hal
sanksinya. Setiap kita berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju ke arah
sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di dalamnya
terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan serta akibatnya. Yang disebut akibat adalah sanksi yang bersifat
negatif yang disebut sebagai pidana (hukuman).
Hukum pidana dan pelaksanaan hukum pidana merupakan
objek beberapa ilmu pengetahuan. Jika ditinjau dari segi metodenya maka dalam
ilmu pengetahuan hukum pidana yang sistematis terbagi menjadi dua yakni hukum
pidana (hukum pidana materiil) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal).[5]
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh
karena itu, merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.[6]
Sudibyo Triatmodjo mengatakan, [7]”Di dalam kehidupan hukum sebagai suatu
sistem untuk menciptakan keteraturan, ketertiban dan keadilan di dalam
masyarakat tidak bisa mengacuhkan demikian saja wibawa etika”. Dari hal
tersebut, telah nyata bahwa penerapan hokum di dalam praktek, tetap harus
memperhatikan etika yang ada di dalam masyarakat, sehingga tidak akan melanggar
hak asasi seseorang ketika akan diperiksa sebagai tersangka maupun terdakwa di
dalam suatu proses penegakan hokum.
Hukum Pidana tersebut diaplikasikan secara
nyata di dalam persidangan kasus pidana, sebagaimana dikatakan oleh Tolib Effendi,
“Berbicara tentang persidangan kasus
pidana, maka kita juga berbicara tentang sebuah sistem yaitu sistem peradilan
pidana”.[8]
Romli
Atmasasmita, lebih lanjut mengatakan bahwa, “Sistem
Peradilan Pertama (SPP) untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum
pidana dan para ahli dalam criminal
justice science di Amerika Serikat, sejalan dengan ketidakpuasan terhadap
mekanisme kerja aparatut penegak hukum dan institusi penegakan hukum.”[9]
Selanjutnya
Romli Atmasasmita mengatakan, “Komponen
sistem peradilan pidana yang lazim diakui, baik dalam pengetahuan mengenai
kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktek penegakan hukum
terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan.”[10]
Mengacu
kepada definisi sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro yang
mengatakan, “Sistem peradilan pidana
adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri atas lembaga kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.”[11]
Apabila
kita menlihat pada sistem peradilan pidana di Indonesia, sebelum dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, sistem peradilan pidana di Indiensia berlandaskan pada Het Herziene
Inlandsch Reglement (Stbl. 1941 No. 44) atau yang sering kita sebut dengan
istilah HIR. Menurut pandangan dari Romli Atmasasmita, di dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah
meletakkan dasar humanisme dan merupakan suatu era baru dalam dunia peradilan
di Indinesia yang bertujuan untuk mencapai ketertiban dan kepastian hukum tanpa
adanya perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia.[12]
Sejalan dengan konsepsi Negara hukum, peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman harus memegah teguh azas “Rule of Law”. Untuk
menegakan Rule of Law para Hakim dan Mahkamah Pengadilan harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut :[13]
a. Supremasi hukum ;
b. Equality Before The Law ;
c. Human Rights ;
Sebagaimana diungkapkan oleh Romli Atmasasmita,
keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dalam kehidupan hukum di Indiensia, telah meniti suatu era baru, yaitu
era kebangkitan hukum nasional yang mengutamakan perlindungan hak asasi seorang
tersangka dalam mekanisme sistem peradilan pidana.[14]
Dengan terlindunginya hak asasi seorang tersangka di dalam proses sistem
peradilan pidana, tentunya diharapkan akan mempermudah dan mempercepat proses
sistem peradilan pidana. Hal ini sejalan dengan Resolusi Kongres PBB ke – 9 /
1995 di Kairo, Mesir tentang “Criminal
Justice Management in the Context of Accountability of Public Administration
and Sustanable Development”, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :[15]
¨
Penyelenggara peradilan (pidana) bertanggung
jawab untuk terselenggaranya peradilan pidana yang efisien dan manusiawi
(humane and efficient criminal justice) ;
¨
Manajemen peradilan pidana merupakan bagian dari
administarsi public yang bertanggung jawab pada masyarakat luas ;
¨
Penyelenggaraan peradilan pidana harus merupakan
bagian dari kebijakan pembangunan sumber daya yang berkelanjutan (a policy of
sustainable development of resources), termasuk ensuring justice dan the savety
of citizens.
Perlunya kita mempelajari perbandingan hukum antara
sistem hukum yang kita anut dengan sistem hukum negara lain termasuk pula dalam
hal pelaksanaannya, menurut Sri Endah Wahyuningsih, “Pentingnya kajian komparatif dalam rangka mewujudkan rekonstruksi
Sistem Hukum Pidana Nasional, dimaksudkan untuk mempelajari konsep / sistem
hukum lain yang lebih dekat dengan karakteristik sumber hukum di Indonesia.”[16]
Meskipun memiliki persamaan di dalam tujuan proses
sistem peradilan pidana, akan tetapi di dalam pelaksanaannya, terdapat
perbedaan-perbedaan antara sistem peradilan pidana di Indinesia dengan Negara
lain, utamanya adalah dengan Belanda dan Inggris.
A. SISTEM PERADILAN PIDANA BELANDA
Meskipun
sistem peradilan pidana Indinesia masih menginduk pada sistem peradilan pidana
Belanda, akan tetapi dalam perkembangannya, sistem peradilan Belanda telah
banyak mengalaami perubahan.
Sebagai
bekas negara jajahan Perancis, maka sistem hukum di Belanda bersumber pada
sistem hukum di Perancis, meski demikian setelah Belanda merdeka dari Perancis,
Belanda melakukan banyak perubahan di dalam sistem hukum mereka terutama dalam
hal sistem peradilan pidana.
Secara
umum, lembaga-lembaga yang berhubungan dengan sistem peradilan pidana di
Belanda tidak berbeda jauh dengan Indinesia, yaitu terdiri dari kepolisian,
kejaksaan, pengadilann dan ditambah dengan imigrasi, namun terdapat perbedaan
yang paling utama yaitu pengadilan, kejaksaan dan kepolisian serta imigrasi
berada dalam organisasi dan struktur Kementrian Kehakiman, bahkan Interpol dan
Laboratorium Kriminal juga berada di bawah Kementrian Kehakiman.[17]
1.
Kepolisian
Sebagaimana
telah diterangkan sebelumnya bahwa Kepolisian Belanda di bawah organisasi dan
struktur Kementrian Kehakiman, akan tetapi susunan formal dinas kepolisian
Belanda ditetapkan dalam Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Kepolisian
yaitu Undang-Undang Kepolisian Tahun 1957 (Police Act 1957) dan kemudian
diganti dengan Police Act 1993.[18]
Kepolisian
Belanda terbagi menjadi 25 (dua puluh lima) polisi regional dan 1 polisi
nasional yang disebut dengan Nasional Police Service Agency (KLPD), yang
terbagi menjadi 11 (sebelas) divisi yang masing-masing memiliki area
pertanggungjawaban khusus, yaitu :
a.
Polisi lalu lintas ;
b.
Polisi kereta api ;
c.
Polisi air ;
d.
Polisi penerbangan ;
e.
Polisi gunung dan satuan anjing pelacak ;
f.
Dukungan operasional dan koordinasi ;
g.
Perlindungan kerajaan dan anggota diplomatik ;
h.
Layanan logistic ;
i.
Dinas intelejen nasional ;
j.
Dinas hubungan internasional ;
k.
Dinas penerapan investigasi khusus dan ;
l.
Investigasi criminal nasional.[19]
Dari uraian tersebut, Kepolisian Belanda dalam sistem
peradilan pidana, mempunyai tugas utama yaitu melakukan penyidikan (Opsporing)
untuk menemukan tersangka dan alat bukti.[20]
2. Pengadilan
Struktur pengadilan di Belanda diatur dalam
Undang-Undang tentang Organisasi Pengadilan (Act of 18 April 1827 on the
Composition of the Judicary and the Organisation of Justice Sistem / Wt op the
Rechterlijke Organisatie), yang dalam pasal 2 membagi pengadilan Belanda
menjadi 3 (tiga) kategori yaitu 19 (sembilan belas) Pengadilan Wilayah
(district court), 5 (lima) Pengadilan Banding (appeal court) dan 1 (satu) Mahkamah
Agung (supreme court). Selain itu Belanda juga mengenal 1 9satu) Pengadilan
Khusus (special tribunal) yang memiliki yurisdiksi khusus berkaitan dengan
hukum administrasi.
Sembilan belas Pengadilan Wilayah sebagaimana
disebutkan di atas tersebut, adalah :
a. Berada di wilayah Pengadilan Banding
Hertogenbosch, yaitu :
1. Hertogenbosch ;
2. Breda ;
3. Maastricht dan ;
4. Roermond.
b.
Berada di wilayah Pengadilan Banding Arnhem, yaitu :
5.
Arnhem
;
6.
Zutphen ;
7.
Zwolle
dan ;
8.
Almelo.
c.
Berada di wilayah Pengadilan Banding The Hague, yaitu :
9.
The Hague
;
10. Rotterdam ;
11. Dirdrecht
dan ;
12. Middelburg
;
d.
Berada di wilayah Pengadilan Banding Amsterdam, yaitu :
13. Amsterdam ;
14. Alkmaar ;
15. Haarlem dan ;
16. Utrecht.
e.
Berada di wilayah Pengadilan banding Leeuwarden, yaitu :
17. Leeuwarden ;
18. Groningen dan ;
19. Assen.[21]
Meskipun
persidangan perkara pidana di pengadilan Belanda adalah dengan Hakim Tunggal,
kecuali dalam perkara-perkara tertentu. Hakim Tunggal tersebut diperuntukkan
bagi perkara-perkara :
a.
Perkara berkaitan dengan pelaku di bawah umur (diatur
dalam Pasal 53 Act of 18 April 1827 on the Compostion of the Judicary and the
Organisation of the Justice Sistem) ;
b.
Perkara-perkara ringan yaitu perkara-perkara dengan
tuntutan pidana maksimum tidak melebihi 6 (enam) bulan, yang diperiksa oleh
Hakim Polisi (diatur dalam Pasal 51 Act of 18 April 1827 on the Compostion of
the Judicary and the Organisation of the Justice Sistem)[22]
Hal lain yang membedakan dengan pengadilan di Indinesia,
adalah pengadilan di Belanda telah mengenal HAKIM KOMISARIS, yang bertugas
dalam pemeriksaan pendahuluan, yaitu pada tahap penyidikan termasuk dalam tahap
ketika penuntut umum melimpahkan perkara untuk dilakukan pemeriksaan
pendahuluan sebelum dilakukan proses penuntutan.[23]
3.
Kejaksaan
Sebagaimana
pengadilan, maka kejaksaan di Belanda juga terbadi menjadi 19 (sembilan belas)
Kejaksaan Wilayah, 5 (lima) Kejaksaan Tingkat Banding dan Kantor Kejaksaan pada
tingkat Mahkamah Agung yang bertugas memberikan nasihat kepada Mahkamah Agung
sehubungan dengan keputusan-keputusan yang yang diambil pada banding dalam
kasasi atau kasus-kasus yang dimohon peninjauan kembali.[24]
Sembilan belas Kejaksaan Wilayah sebagaimana
disebutkan di atas tersebut, adalah :
a.
Berada di wilayah Kejaksaan Tingkat Banding
Hertogenbosch, yaitu :
1. Hertogenbosch ;
2. Breda ;
3. Maastricht dan ;
4. Roermond.
b.
Berada di wilayah Kejaksaan Tingkat Banding Arnhem,
yaitu :
5. Arnhem
;
6.
Zutphen ;
7.
Zwolle
dan ;
8.
Almelo.
c. Berada di wilayah Kejaksaan Tingkat Banding The Hague, yaitu :
9.
The Hague
;
10. Rotterdam ;
11. Dirdrecht
dan ;
12. Middelburg
;
d. Berada di wilayah Pengadilan Banding Amsterdam, yaitu :
13. Amsterdam ;
14. Alkmaar ;
15. Haarlem dan ;
16. Utrecht.
e. Berada di wilayah Pengadilan banding Leeuwarden, yaitu :
17. Leeuwarden ;
18. Groningen dan ;
19. Assen.[25]
Secara umum, tugas kejaksaan di Belanda tidak berbeda
jauh dengan kejaksaan di Indonesia,
yaitu :[26]
1.
Investigating Criminal Offences (Penyidikan Tindak
Pidana) ;
Penuntut Umum bertanggung jawab atas adanya penyidikan
dan setiap penyidikan berada di bawah instruksi penuntut umum, dimana penuntut
umum juga memastikan bahwa polisi menjalankan peraturan dan prosedur
berdasarkan undang-undang ;
2.
Prosecuting Offenders (Melakukan Penuntutan) ;
Menurut Pasal 9 ayat (1) KUHAP Belanda, penuntut umum
bertanggung jawab untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana yang
dilakukan di dalam daerah/wilayahnya.
3.
Making sure that sentences are carried out properly
(Melakukan Eksekusi) ;
Kejaksaan secara formal bertanggung jawab bagi
pelaksanaan keputusan pengadilan dan kejaksaan diharuskan mentaati nasihat para
pejabat di lembaga pemasyaratan (diatur dalam Pasal 553 KUHAP Belanda).
4.
Profesi
Hukum
Yang dimaksud adalah para advokat atau penasihat hukum
yang memberikan bantuan hukum.[27]Pengacara
diberikan hak untuk hadir dan mendampingi pada waktu pemeriksaan tersangka di
kepolisian, menjenguk tersangka di dalam tahanan dan menggunakan upaya-upaya
hukum atas nama tersangka, juga mempunyai untuk memanggil saks-saksi,
diperbolehkan melihat catatan-catatan mengenai kasus dan juga berhak menerima
salinan pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh kepolisian (BAP)
5.
Dinas Probasi
Merupakan badan pelayan sosial yang merupakan bagian
dari jaringan dinas dan pelayanan sosial. Tugasnya adalh membuat
laporan-laporan sebelum penjatuhan hukuman kepada kejaaksaan serta memberikan
bantuan dan rehabilitasi sehubungan dengan pembebasan bersyarat dan pidana
bersayarat.[28]
B.
SISTEM PERADILAN PIDANA INGRRIS
Dengan
sistem hukum yang berbeda dari sistem hukum yang dianut oleh Indonesia, maka
akan nampak sekali perbedaan dalam hal pengaturan Aparat Penegak Hukum
berdasarkan sistem hukum Anglo Saxon.
1. Kepolisian
Salah satu
penggagas konsep Kepolisian Inggris adalah Henry Fielding dengan gagasannya
bahwa, “Tindakan polisi haruslah
diarahkan untuk pencegahan kejahatan sebagai upaya mengontrolnya, sebagaimana
kebiasaan yang berlangsung pada waktu itu, yaitu dengan cara menunggu kejahatan
itu terjadi kemudian membasminya dengan cara kekerasan atau hukuman yang
brutal.”[29]
Sedangkan
prinsip-prinsip Kepolisian Metropolis London telah tercipta pada tahun 1829,
antara lain :[30]
1. Kepolisian haruslah berada di bawah
kontrol lembaga pemerintah ;
2. Kepolisian haruslah stabil, efisien dan
berada dalam garis organisasi dengan militer ;
3. Efisiensi kepolisian ditentukan oleh
minimnya kejahatan ;
4.
Penyebaran kekuatan kepolisian, baik waktu dan area adalah
penting ;
5.
Kepimpinan yang sempurna dalam hal pelaku adalah ciri
kepolisian yang dibutuhkan ;
6.
Polisi harus dipekerjakan dalam basis probasi ;
7.
Catatan Kepolisian dibutuhkan untuk distribusi kekuatan
polisi yang sesuai ;
8.
Pelatihan petugas kepolisian membawa efisiensi yang
lebih besar.
Dalam hal penyidikan, kinerja kepolisian berada di
bawah perintah dan pengawasan kejaksaan sehingga kejaksaan menjadi pemimpin
kepolisian dalam melakukan penyidikan, karena tanpa kosultasi sedini mungkin
dengan kejaksaan, perkaranya akan kurang berhasil di persidangan.[31]
2. Solicitor
Salah satu komponen yang unik dan paling terkemuka
dalam sistem peradilan pidana Inggris adalah adanya 2 (dua) lembaga yang
disebut dengan Solicitor dan Barristers. Solicitor adalah tempat pertama dimana
seorang mencari saran-saran atau nasihat hukum berkaitan dengan permasalahan
hukum yang dihadapi dan banyak Solicitor yang bergabung dengan sebuah firma
besar yang khusus mengangani perkara-perkara tertentu.[32]
3. Barristers
Barristers seringkali disamakan dengan fungsi Advokat
yang berbicara di depan persidangan, namun Barristers juga banyak berperan di
luar persidangan, menyusun argument dan pembelaan serta menuliskan saran-saran
untuk Solicitor serta tidak diperkenankan berkerja bersama-sama kecuali dengan
pengacara asing.[33]
4. Kejaksaan
Pada system Anglo Saxon, Penuntut Umum bagi
perkara-perkara ringan adalah Polisi (Police Prosecutor) sedangkan bagi
perkara-perkara agak berat, Penuntut Umumnya adalah pengacara yang disebut
Solicitor, adapun perkara-perkara berat yang disidangkan di Pengadilan Tinggi
dan Banding, Penuntut Umumnya adalah pengacara yang disebut Barristers.[34]
Lebiah lanjut Tolib Effendi menjelaskan, system
penuntutan di Inggris memang berbeda dengan system penuntutan di Negara lain,
karena di Inggris dikenal istilah Private Prosecution (penuntutan individu
tanpa melalui polisi dan kejaksaan, akan tetapi dalam Passal 6 ayat (2)
Prosecution of Offences Act 1985 (Undang-Undang Kejaksaan Inggris) memberi
kewenangan kepada penuntut umum (CPS) untuk mengambil alih suatu Private
Prosecution menjadi Public Prosecution dan untuk perkara pidana berat, hanya
CPS yang berwenang untuk melakukan penuntutan atau menolak untuk melakukan
penuntutan.[35]
5. Pengadilan
Di Inggris, Pengadilan dikualifikasikan ke dalam 3
(tiga) struktur dasar, yaitu pengadilan pidana dan perdata, pengadilan tingkat
pertama dan pengadilan tingkat banding serta pengadilan superior dan inferior.[36]
Penjabaran dari 3 (tiga) struktur dasar pengadilan
tersebut adalah sebagai berikut :[37]
a.
Pengadilan Pidana dan Perdata ;
Pengadilan Pidana berfungsi untuk memutuskan apakah
seseorang bersalah atau tidak berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan menjatuhkan hukuman bagi yang dinyatakan bersalah,
sedangkan Pengadilan Perdata berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan antar
individu dan menjatuhkan ganti rugi yang sesuai dengan pihak yang dirugikan ;
b. Pengadilan Tingakt Pertama dan Banding ;
Pengadilan
tingkat pertama mengadili perkara pada tingkat pertama sebelum ada banding
sedangkan Pengadilan banding mempertimbangkan
penerapan prinsip-prinsip hukum pada kasus yang pernah didengar pada
pemeriksaan pertama ;
c. Pengadilan Superior dan Inferior ;
¨ Pengadilan Superior ;
Pengadilan
Superior tidak memiliki batas yurisdiksi geografis dan finansial dan pada
umumnya pengadilan superior memeriksa perkara yang penting dan/atau sulit tanpa
adanya pembatasan area atau jumlah uang yang disengketakan. Yang
termasuk Pengadilan Superior adalah :
1)
House of Lords, dalam perkara pidana, pengadilan ini
memeriksa perkara banding yang diajukan oleh pengadilan banding (court of
appeal) maupun pengadilan tinggi.
2)
Pengadilan Banding (Court of Appeal), yaitu pengadilan
ini memiliki yurisdiksi mengadili perkara banding, namun juga memiliki
yurisdiksi untuk memeriksa perkara-perkara dimana perkara-perkara tersebut
dilimpahkan, yaitu :
a)
Banding dari Crown Courts melawan putusan bersalah,
putusan pemidanaan atau keduanya ;
b)
Diajukan oleh jaksa agung terkait dengan putusan bebas
dari dakwaan sebagaimana diatur di dalam Pasal 36 Criminal Justice Act 1972 ;
c)
Diajukan oleh jaksa agung terhadap putusan yang terlalu
toleran / ringan sebagaimana diatur di dalam Passal 36 Criminal Justice Act
1972 ;
d)
Diajukan oleh Komisi Pemantau Perkara Pidana (Criminal
Cases Review Commission), sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Criminal Appeal Act
1995.
3)
Pengadilan Tinggi, yaitu seperti halnya pengadilan
banding, pengadilian tinggi adalah 1 (satu) pengadilan namun dibagi ke dalam 3
(tiga) divisi untuk keperluan administrasi, yaitu :
a)
Queen’s Brench Division, yaitu memiliki yurisdiksa atas
perkara pidana berupa banding dari pengadilan magistrate dan dari crown court,
untuk pemeriksaan tanpa juri ;
b) Chancery Division, memiliki yurisdiksi
memeriksa perkara perdata bisnis ;
c) Familiy Division, memiliki yurisdiksi
memeriksa perkara di bidang perceraian, adopsi dan lain-lain.
4) Crown Court (Pengadilan Kerajaan), yaitu pengadilan yang memiliki yurisdiksi
dapat memeriksa perkara dengan ketentuan :
a)
Persidangan-persidangan dengan dakwaan oleh juri ;
b) Kasus-kasus dimana pengadilan magistrate
telah menolak yurisdiksi sebelum disidangkan ;
c) Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan
magistrate dimana pengadilan magistrate memiliki pertimbangan bahwa keputusan
tersebut tidak cukup kuat.
5)
Pengadilan Banding Urusan Ketenagakerjaan (Employment
Appeal Tribunal), bertugas memeriksa perkara banding dari pengadilan
ketenagakerjaan dalam hal pertimbangan hukumnya.
¨
Pengadilan Inferior
Yang
termasuk di dalam Pengadilan Inferior diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Country Courts, yaitu pengadilan tingkat
rendah yang tidak memeriksa perkara pidana, beberapa perkara perdata didengar
pertama kali pada tingkat ini sedangkan perkara pidana pada tingkat pertama
didengar di pengadilan magistrate ;
b) Magistrates Courts, adalah pengadilan
tingkat pertama untuk perkara pidana dan hampir 90 % (sembilan puluh persen
berakhir di sini dan yang diperiksa adalah :
1) Persidangan awal tindak pidana ;
2) Pengajuan jaminan ;
3)
Dikeluarkannya surat
panggilan dan surat
penangkapan/penahan atau penggeldahan ;
4)
Pernyataan bersalah ;
5)
Proses awal crown court atau penjatuhan hukuman.
c)
Pengadilan Koroner, yaitu khusus untuk memeriksa dan
menyelidiki penyebab kematian seseorang yang tidak wajar.
d)
Pengadilan Militer, memiliki yurisdiksi terbatas pada
pihak-pihak yang diperiksa yaitu pelaku tindak pidana merupakan anggota
militer.
¨ Pengadilan Yurisdiksi Khusus :
1. Pengadilan Koroner ;
2. Pengadilan Militer ;
3. Pengadilan Ketenagakerjaan ;
4. Rent Tribunal ;
5. Pengadilan Banding Imigrasi ;
6. Pengadilan Kesehatan Mental.
6.
Juri
Juri banyak digunakan di Pengadilan Kerajaan (crown
court), dengan syarat sebagaimana ditentukan dalam Criminal Jurist Act 2003,
yaitu :
a) Berusia antara 18 – 70 tahun dan terdaftar
sebagai pemilih dalam pemilu ;
b) Berdomisili di Inggris Raya paling sedikit
5 (lima) tahun sejak usia 13 (tiga belas) tahun ;
c) Tidak mengalami gangguan mental dan ;
d) Tidak didiskualifikasi, karena :
1) Berada dalam jaminan ;
2) Pernah dihukum lima tahun penjara atau
lebih ;
3) Selama sepuluh tahun terakhir pernah
menerima hukuman, menjalani hukuman kurungan, menjalani rehabilitasi (masa
percobaa), menjalani hukuman dari masyarakat dan menerima perawatan atas
obat-obatan dan pengawasan penggunaan narkoba.
C.
SISTEM PERADILAN PIDANA INDINESIA
Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan menjamin semua warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan Pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan tanpa ada
pengecualian.[38]
Sebagai
negara yang merupakan bekas jajahan Kolonial Belanda, maka, dalam lapangan
Hukum Pidana masih menggunkan Hukum Pidana peninggalan Kolonial Belanda
sehingga masih digunakannya Hukum Pidana peninggalan Kolonial Belanda di Indinesia,
suka maupun tidak suka, akan mengoyak rasa keadilan dalam masyarakat. Hal
tersebut disebabkan karena baik secara filosofis, sosiologis maupun tujuan
pembuatan Hukum Pidana oleh Pemerintah Belanda sudah tentu bukanlah berdasarkan
rasa keadilan yang ada pada masyarakat Indinesia, sehingga tentunya sudah
saatnya Negara kita memiliki Hukum Pidana sendiri yang berdasarkan nilai-nilai
kemanusian bangsa Indinesia.
Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Thomas E. Davitt, yang menyatakan bahwa, “Hukum adalah suatu instrument untuk
mengarahkan manusia di dalam hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan bersama dan
yang umum bagi mereka”.[39] Dari pengertian tersebut, maka akan
timbul adanya Hukum Yang Tertulis maupun Hukum Yang Tidak Tertulis.Terhadap
Hukum yang Tidak Tertulis, Thomat E. Davitt mengatakan bahwa, “Hukum yang dibuat orang-orang yang belum
pernah belajar menulis, yaitu masyarakat tradisonal yang tidak memiliki tradisi
tulisan, disebut hukum tidak tertulis yang diekspresikan utamanya lewat
kebiasaan dan tradisi terkait kesejahteraan setiap anggota masyarakatnya”.[40]Sedangkan
salah satu bentuk dari Hukum Tertulis adalah Hukum Pidana.
Di bidang hukum formil, yaitu hukum acara pidana,
bangsa Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempu membuat kodifikasi
peraturan perundang-undangan hukum acara pidana yaitu dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Andi Hamzah mengatakan bahwa, “Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia
diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh
proses pidana dari awal (mencari kebenaran) sampai pada kasasi di Mahkamah
Agung bahkan sampai meliputi peninjauan kembali (herzeining).”[41]
Selanjutnya Andi Hamzah menambahkan bahwa, “Polisi, jaksa dan hakim tidak boleh
semaunya menjalankan acara pidana, tetapi harus berdasarkan ketentuan
Undang-Undang yaitu KUHAP dan perundang-undangan di luar KUHP yang mengandung
ketentuan acara yang menyimpang.”[42]Lebih
lanjut, Andi Hamzah mengatakan bahwa, “KUHAP
tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya
seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan,
upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain.”[43]
Terhadap keberadaan KUHAP, peringatan lebih keras
disampaikan oleh M. Yahya Harahap, yang mengatakan, “Memang KUHAP telah mengangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa
dalam kedudukan yang berderajat, yang harus diperlakukan sesuai dengan
nilai-nilai luhur kemanusiaan, namun dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap
tersangka atau terdakwa, tidak boleh
ditelanjangi hak asasi utama yang melekat pada dirinya.”[44]
Di dalam KUHAP telah dijelaskan secara terperinci
mengenai tugas-tugas dari mulai kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai
penuntut umum dan pelaksana eksekusi putusan pengadilan (eksekutor) dan hakim
sebagai pemutus perkara pidana. Oleh karenanya akan kita bahas satu per satu
dari fungsi setiap Aparat Penegak Hukum (APH) sebagaimana terdapat pada KUHAP.
Menurut M. Yahya Harahap, “Sistem
peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan sistem terpada (Integrated
criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan
prinsip differensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan
tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.”[45]
1. Kepolisian
Tolib Effendi mengatakan, “Kepolisian Indonesia
mempunyai tugas utama : menerima laporan dan pengaduan dari public manakala
terjadinya tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana,
melakukan penyaringan terhadap perkara-perkara yang memenuhi syarat untuk
diajukan ke kejaksaan, melaporkan penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan
dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.”[46]Kepolisian
Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara serta diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan secara organisasi Kepolisian Indonesia
merupakan lembaga non departemen yang memiliki kedudukan setara dengan
kejaksaan dan langsung berada di bawah garis koordinasi Presiden.
Dalam kaitan dengan sistem peradilan pidana, maka
tugas Kepolisian Indonesia
adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan baik atas inisiatif sendiri maupun
atas laporan masyarakat dan bertanggung jawab kepada lembaganya sendiri.
Meskipun kepolisian Indonesia
tidak memiliki kewenangan melakukan penuntutan akan tetapi kepolisian Indonesia
mempunyai kewenangan untuk menghentikan penyidikan atau menghentikan perkara.[47]
Struktur organisasi kepolisian Indonesia, terbagi
menjadi 33 (tiga puluh tiga) Kepolisian Daerah (Polda) dan masing-masing Polda
terdiri dari beberapa Kepolisian Resort (Polres) dan masing-masing Polres terdiri dari beberapa
Kepolisian Sektor (Polsek).
2. Kejaksaan
Kejaksaan di Indonesia memiliki tugas pokok menyaring
kasus yang layak diajukan ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan,
melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.[48]
Kejaksaan sebagai sub sistem dari sistem
peradilan pidana, diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan.dan Kejaksaan merupakan lembaga non departemen yang pucuk pimpinannya
dipegang oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab kepada Presiden.[49]
Kejaksaan di Indonesia mempunyai tugas utama yaitu
melakukan penuntutan akan tetapi kejaksaan juga mempunyai kewenangan untuk
melakukan penyidikan untuk tindak pidana tertentu, yaitu tindak pidana korupsi.[50] Di
dalam praktek, kejaksaan juga memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian
penuntutan dengan alasan-alasan tertentu serta mengesampingkan perkara tersebut
karena kepentingan umum.
Struktur Kejaksaan di Indonesia, terbagi menjadi 33
(tiga puluh tiga) Kejaaksaan Tinggi (Kejat) dan masing-masing Kejati terdiri
dari beberapa Kejaksaan Negeri (Kejari) dan beberapa diantara juga terdiri dari
Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari).
3. Pengadilan
Pengadilan memiliki tugas untuk menerima, memeriksa
dan mengadili perkara pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum (Jaksa) dan
menurut Tolib Effendi, “Pengadilan
berkewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan, melindungi hak-hak terdakwa,
saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, melakukan pemeriksaan
kasus-kasus secara efisien dan efektif, memberikan putusan yang adil dan
berdasarkan hukum dan menyiapkan arena public untuk persidangan sehingga public
dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses peradilan.”[51]
Struktur organisasi pengadilan di Indonesia, diatur
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pengadilan di
Indonesia, terbagi atas 33 (tiga puluh tiga) Pengadilan Tinggi (PT) yang
masing-masing Pengadilan Tinggi terdiri dari beberapa Pengadilan Negeri (PN),
yang seluruhnya bertanggung jawab, secara berjenjang, kepada Ketua Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
tahun 2009, maka “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”, sehingga Hakim tidak boleh menolak
suatu perkara yang diajukan ke persidangan dengan alasan tidak ada hukumnya. Dan
Hakim dalam memutus suatu perkara dalam sistem peradilan pidana selain
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga harus
berdasarkan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, sehingga akan
tercapai keadilan bagi para pencari keadilan.
4. Pemasyarakatan
Sebagai salah satu sub sistem dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia, pemasyarakatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun
1995, yang berfungsi untuk menjalankan putusan pengadilan yang merupakan
pemenjaraan, memastikan perlindungan hak-hak terpidana, melakukan upaya-upaya
untuk memperbaiki narapidana serta mempersiapkan narapidana kembali ke
masyarakat.[52]
5. Advokat
Merupakan komponen baru dari sub sistem peradilan
pidana, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor18 Tahun 2003 tentang
Advokat, dalam hal mewakili warga Negara dalam hubungannya dengan pemerintah /
Negara melalui alat-alat penegak hukumnya.
Sebagaimana telah diatur dalam KUHAP yaitu dalam Pasal
54 – 57 (yang mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan
penasihat hukum) dan Pasal 69 – 74 (mengenai tata cara penasihat hukum
berhubungan dengantersangka atau terdakwa).[53]
Istilah Penasihat Hukum menurut Abdurrahman adalah kurang tepat, karena lebih
tepat menggunakan istilah Pembantu Hukum, karena lebih tegas memberikan
gambaran tentang sifat pembantuan dalam bidang hukum kepada mereka yang
memerlukannya.[54]
Menurut Mr. S.M. Amin sebagaimana dikutip oleh
Abdurrahman, “Tugas sebenarnya dari
seorang Advokat adalah membantu hakim mencari kebenaran.”[55]Sedangkan
Yap Thiam Hien berpendapat bahwa, “Bahwa
pembela tidak hanya membela kepentingan kliennya saja tetapi juga membela
kepentingan umum.”[56]
Kedua pendapat tersebut hendaknya merupakan tujuan mulia
dari setiap Advokat dalam setiap melaksanakan tugas-tugasnya sebagai bagian
dari proses sistem peradilan pidana di Indonesia.
2.
Peranan Sistem Hukum Pidana dalam rangka
mengurangi tindak pidana di Indinesia
Meskipun
peranan dari setiap Aparat Penegak Hukum, dari mulai Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan di Indonesia dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana terdapat
perbedaan dengan sistem peradilan pidana yang ada di negara lain, akan tetapi
dalam perkembangannya, sudah mulai banyak peraturan perundang-undangan yang
menerapkan azas restorative justice, yang lebih mengedepankan penyelesaian
perkara pidana tanpa harus diajukan ke persidangan.
Sistem
Restorative Justice dapat terwujud apabila terdapat kesamaan pandangan bahwa
terhadap pelaku tindak pidana yang bersifat ringan dan tidak menimbulkan bahaya
bagi keselamatan jiwa seseorang, tidak perlu dijatuhi pidana penjara. Terdapat
banyak alternatif pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana berkaitan dengan
azas Restorative Justice, diantaranya adalah pembayaran sejumlah denda ataupun
pelaku tindak pidana bersedia memberikan ganti rugi yang sepadan / setara
dengan nilai kerugian yang ditimbulkannya kepada korban tindak pidana yang
dilakukannya.
Disamping
itu perlu segera dilakukan revisi ataupun perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana berkaitan
dengan Hakim Komisaris, dengan tujuan dapat melakukan penyeleksian terhadap
perkara-perkara pidana yang akan diajukan di persidangan, sehingga dapat
mengurangi penumpukan dan tunggakan perkara di Pengadilan.
Lebih
khusus terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak, dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana
menurut M. Nasir Djamil, “Peradilan pidana
anak dengan keadilan restoratuf bertujuan untuk :[57]
1)
Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak ;
2)
Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan ;
3)
Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan
;
4)
Menanamkan rasa tanggung jawab anak ;
5)
Mewujudkan kesejahteraan anak.
Lebih lanjut dalam perkara pidana anak sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dikenal dengan azas Diversi, yaitu “Suaatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus
anak yang diduga melaakukan tindak pidana tertentu dari proses formal ke
penyelesaian damai antara tersangka / terdakwa / pelaku tindak pidana dengan
korban yang difasilitasi oleh keluarga dan / atau masyarakat, Pembimbing
Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.”[58]
Dari hal-hal yang diurarikan tersebut di atas, maka
sejatinya sistem peradilan pidana Indonesia sudah melangkah maju menuju sistem
peradilan pidana yang progresif , yang tidak hanya berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang tertulis saja tetapi juga pada hukum yang hidup di
dalam masyarakat sehingga diharapkan keadilan yang sesungguhnya dapat dirasakan
oleh para pencari keadilan.
IV. KESIMPULAN
1.
Perbedaan antara Sistem Hukum Pidana di
Indinesia dengan Sistem Hukum Pidana di Belanda maupun di Inggris
Dari
uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan sebagai
berikut :
-
Meskipun
Indonesia adalah bekas negara jajahan Belanda, tetapi sistem peradilan pidana
yang dilaksanakan di Indonesia, berbeda dengan sistem peradilan pidana yang ada
di Belanda ;
-
Belanda
yang telah melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangannya, tampak
lebih maju di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana dengan tidak
mengedepankan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana akan tetapi lebih kepada
upaya perdamaian dan ganti rugi terhadap korban ;
-
Inggris
dengan sistem hukum Anglo Saxon, membuka kesempatan seluas-luasnya kepada
warganya untuk melakukan penuntutan terhadap kerugian yang dialaminya kepada
pelaku tindak pidana, namun tidak harus selalu melalui proses persidangan yang
beralrut-larut, tetapi lebih kepada upaya perdamaian dan pembayaran ganti rugi,
kecuali terhadap perkara pidana berat, harus melalui proses persidangan dan
terhadap pelakunya akan dijatuhi pemidanaan.
2.
Peranan Sistem Hukum Pidana dalam rangka
mengurangi tindak pidana di Indinesia
Dari uraian
sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
-
Sudah
saatnya sistem hukum Indonesia bersifat progresif, dalam arti tidak hanya
berpedoman pada peraturan perundang-undangan saja tetapi juga menggali dan
mengikuti hukum yang berkembang di dalam masyarakat ;
-
Untuk
mengurangi penumpukan perkara pidana, untuk perkara pidana ringan, dapat
dilakukan dengan azas Restorative Justice dan azas Diversi, yang lebih
mengutamakan perdamaian antara pelaku tindak pidana dengan korban dalam bentuk
pemberian denda maupun ganti rugi yang sepadan dari pelaku tindak pidana kepada
korban.
[1] Purnadi Purbacaraka dan Sorjono Soekanto,
1979, Sendi-Sendi Hukum dan Tata Hukum, Bandung,
Alumni, h.18.
[2] Purnadi Purbacaraka dan Sorjono Soekanto
, Ibid, h. 54.
[4] http://triwantoselalu.blogspot.com/2009/06/sistem-peradilan-pidana.html
[5] Ronny
Hanitijo Soemitro, SH, 1979, Permasalahan
Hukum Di Dalam Masyarakat, Bandung,
Alumni, h. 25
[6] Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,
Jakarta: Sinar Grafika, h. 2-3
[7]
Sudibyo Triatmodjo, 1981, Potret
Kehidupan Hukum, Bandung,
Alumni, h.3.
[8] Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses Sistem
Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Jakarta, Pustaka Yustisia, h.3.
[9] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensi dan Abolisionisme, 1996,
Bandung, Penerbit Binacipta, h.7.
[10] Romli Atmasasmita, Ibid, h.24.
[11]
Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi
Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana : Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta,
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, h. 85.
[12] Ibid,
h.28.
[14] Romli
Atmasasmita, Op.Cit., h.39.
[15] Barda
Nawawi Arief, 2012, Kapita Selekta Hukum
Pidana, Cetakan ke – 3, Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, h.46 – 47.
[16] Sri
Endah Wahyuningsih, 2013, Perbandingan
Hukum Pidana, Dari Perspektif Religious Law System, Semarang, Unissula Press, h.1.
[17] Tolib Effendi, Op. Cit., h.35.
[18] Ibid,
h.36.
[19]
Ministry of Interior and Kingdom Relation, 2004, Policing in the Netherland, Drukkerij De Bink, Leiden, p.14 – 15.
[20] Tolib Effendi, Op. Cit. h. 38.
[21] Tolib Effendi, Ibid, h. 39 – 40.
[22] Tolib Effendi , Ibid, h. 41.
[23] Ibid,
h. 42.
[24] Ibid,
h. 44.
[25] Tolib Effendi , Ibid, h. 39 – 40.
[27] Ibid,
h. 47 – 48.
[28] Ibid,
h. 48.
[29] Tolib Effendi, Op.Cit., h.60.
[30] Ibid,
h.60 – 61.
[31] Andi Hamzah, 2008, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Edisi Ketiga, Jakarta,
Sinar Grafika, h.137.
[32] Tolib
Effendi, Op.Cit. h.61.
[33] Ibid,
h.62.
[34] Ibid,
h.63.
[35] Tolib Effendi , Ibid, h.65 – 66.
[36] Ibid,
h.70.
[37] Ibid,
h.71 – 80.
[38] Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, Jakarta, Penerbit
Ghalia, h.13.
[39] Thomas
E. Davitt, Tahun 2012, Nilai-Nilai Dasar
Di Dalam Hukum – Menganalisa Implikasi-Implikasi Legal-Etik Psikologi &
Antropologi Bagi Lahirnya Hukum, Yogyakarta, Penerbit Pallmal, h.41.
[40] Ibid,
h.71
[41] Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika,
h.3.
[42] Ibid,
h.2.
[43] Ibid,
h.4.
[44] M.
Yahya Harahap, 2005, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Jakarta,
Sinar Grafika, h.1 – 2.
[45]M. Yahya
Harahap, Ibid, h.90.
[46] Tolib Effendi, Op. Cit., h.147 – 148.
[47]Tolib Effendi, Ibid, h.149.
[48] Ibid, h.153.
[49] Ibid, h.153.
[50] Ibid, h.153 – 154.
[51]Tolib Effendi, Ibid, h.158.
[52] Tolib Effendi, Op. Cit., h.163.
[53] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., h.91.
[54] Abdurrahman, 1983, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, Cendana Press,
h.206.
[55] Ibid,
h.211.
[56] Ibid,
h.211.
[57] M.
Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk
Dihukum, Catatan Pembahasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
(UU-SPPA), Jakarta, Sinar Grafika, h. 133.
[58] Dalam
Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, h.48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar