KORUPSI LEBIH
BERBAHAYA DARI TERORISME
oleh : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
PENDAHULUAN
Sebuah judul yang barangkali
bersifat EKSTREM bagi bangsa-bangsa di dunia, terutama bagi bangsa Indonesia,
yang selama kurang lebih 11 (sebelas) tahun ini terkungkung dengan masalah
TERORISME. Judul demikian sudah tentu akan memicu banyak perbedaan pendapat
diantara kita semua, sebab bagaimanapun secara kasat mata TERORISME telah
merenggut banyak korban jiwa, baik itu dari warga Negara Indonesia (WNI) maupun
warga Negara Asing (WNA). Sudah tidak terhitung pula berapa banyak korban
luka-luka baik yang luka ringan maupun yang luka berat permanent, belum lagi
korban secara psikis, yang menderita secara moril akibat perbuatan TERORISME
yang menghentak kita semua.
Kesadaran akan TERORISME, membuat
kita bertindak sigap dan cepat dengan membentuk DENSUS 88, yang mempunyai
segudang KEWENANGAN, bahkan untuk MEMBUNUH, sekalipun tanpa adanya Putusan
Pengadilan. Kewenangan itulah yang juga membuat TAKUT sebagian kalangan, sebab
bukan tidak mungkin akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan di dalam
pelaksanaannya.
Hal yang berbeda kita lihat pada
upaya pemberantasan KORUPSI, dimana kita lihat setiap hari bukan bertambah
kurang, tetapi malah semakin menggurita di dalam setiap tata kehidupan
bermasyarakat. Bahkan dalam berita-berita di media-media elektronik maupun
media online, semakin terpapar dengan jelas sepak terjang para pelaku Tindak
Pidana Korupsi.
Berbagai cara melakukan KORUPSI
dipertontonkan secara gamblang dari setiap berita tentang KORUPSI, beserta
Tindak Pidana Turunannya, yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang. Sehingga bisa
kita saksikan dengan jelas perilaku Tindak Pidana Korupsi dari berbagai
kalangan, baik itu birokrat, pejabat negara ataupun kalangan swasta. Hal
demikian yang seharusnya menimbulkan kesadaran bagi kita semua untuk terus
melakukan PEMBERANTASAN KORUPSI dengan sepenuh hati sehingga nantinya tidak
menimbulkan kerugian bagi bangsa Indonesia dan bisa menumbuhkan rasa bangga
bagi masyrarakat Indonesia karena telah berhasil menuntaskan pemberantasan
korupsi di Indonesia.
APAKAH KORUPSI
ITU ?
Secara gambalng, KPK dalam bukunya
yang berjudul MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI, Buku Panduan Untuk Memahami Tindak
Pidana Korupsi, Diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Tahun 2006, pada
halaman 15 menyebutkan bahwa "Menurut perspektif hukum, definisi korupsi
telah secara gamblang dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk / jenis tindak
pidana korupsi." Ketiga puluh jenis
KORUPSI tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa, yaitu :
Kerugian
Keuangan Negara ;
Suap menyuap ;
Penggelapan
dalam Jabatan ;
Pemerasan ;
Perbuatan
curang ;
Benturan
kepentingan dalam pengadaan ;
Gratifikasi ;
Secara harfiah
korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak, jika membicarakan
tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi
menyangkut segi-segi moral, sifat keadaan yang busuk, jabatan karena pemberian,
faktor ekonomi dan politik, sera penempatan kelurga atau golongan kedalam
kedinasan di bawah kekusaan jabatannya.
Prof.DR.H.Baharuddin
Lopa, SH, dalam bukunya Undang-Undang Penberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
No. 3 Tahun 1971) Berikut Pembahasan serta Penerapannya Dalam Praktek,
menyebutkan bahwa, menurut A.S. Hornby, mengatakan bahwa KORUPSI (CORRUPTION)
ialah, "The offering and accepting of bribes (penawaran/pemberian dan
penerimaan hadiah berupa suap)".
Sedangkan
David M. Chelmer, menguraikan KORUPSI, dalam berbagai bidang sebagaimana
dikemukakan sebagai berikut, "Financial manipulations dan decisions
injurious to the economy are often corrupt (manipulasi-manipulasi dan
keputusan-keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering
dikategorikan perbuatan korupsi)".
Djoko Prakoso,
SH, mengatakan bahwa istilah KORUPSI pertama kali menjadi istilah hukum ada
salam Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi,
yang dalam konsiderannya menyebutkan, "Bahwa berhubung tidak adanya
kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi,
perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam
usaha korupsi."
Dari
pengertian-pengertian sebagaimana tersebut di atas, maka suatu perbuatan dapat
dikatakan sebagai KORUPSI, adalah apabila perbuatan tersebut menyebabkan
kerugian KEUANGAN dan PEREKONOMIAN NEGARA.
KORUPSI DAN
KEUANGAN NEGARA
Dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pengertian tentang KORUPSI telah tercantum
dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Dalam Pasal 2 menyebutkan :
(1)ÿÿÿÿÿÿ Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat
dijatuhkan.
Dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
menyebutkan tentang KEUANGAN NEGARA, lalu apakah yang dimaksudkan dengan
KEUANGAN NEGARA ?
Pasal 1 angka
1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan,
"Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut." Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan
bahwa, "Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi
salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan
keuangan negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan
system pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan
aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan asas-asas umum
yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
diperlukan suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara."
Dari
penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tersebut, terungkap bahwa
Pemerintah telah menyadari bahwa di dalam pengelolaan Keuangan Daerah sering
menimbulkan bentuk-bentuk penyimpangan, sehingga diperlukan adanya suatu
perangkat perundang-undangan yang mampu mengatur lebih ketat mengenai
peruntukkan Keuangan Negara ini.Segala bentuk penyimpangan penggunaan Keuangan
Negara akan berakibat pada timbulnya KERUGIAN pada Keuangan Negara, sehingga
hal tersebut akan menimbulkan KORUPSI.
Pada tahun
1967 dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang
Pemberantasan Korupsi, telah membuktikan bahwa sesungguhnya Pemerintah telah
mempunyai komitmen yang kuat di dalam MENYELAMATKAN KEUANGAN NEGARA. Tidak
dipungkiri bahwa perilaku menyimpang terhadap penggunaan Keuangan Negara telah
ada sejak jaman kemerdekaan, akan tetapi dengan semakin berkembangnya
tekhnologi, sehingga saat ini masyarakat semakin mengetahui cara-cara pelaku
KORUPSI bertindak.
PEMBERANTASAN
KORUPSI DI MASA LAMPAU
I. Kabinet
Djuanda
Di masa Orde
Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama,
dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut
Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H.
Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan
Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan
data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan.
Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah
bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban
secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran,
tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran
berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan
tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
II. Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963,
pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo
dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan
tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan
sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya
yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti
Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak
karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas
lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan
negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan
pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio, kemudian diganti menjadi Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi
ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun
2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan
korupsi pada masa Orde Lamapun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
SUBJEK DELIK
KORUPSI ADALAH ORANG DAN KORPORASI
Dalam
Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi,
disebutkan bahwa disebut KORUPSI, apabila :
Tiap perbuatan
yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri atau
kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau
tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara ;
Tiap perbuatan
yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan
negara atau daerah ataupun dari suatu badan atau daerah yang dengan
mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan
kepadanya oleh jabatan, langsung maupun tidak langsung membawa keuntungan keuangan
atau materiil baginya ;
Dari hal
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada awal pengaturan mengenai
Tindak Pidana Korupsi, yang menjadi SUBJEK hanya ORANG, sedangkan KORPORASI
belum ada pengaturannya. Kemudian pada tahun 1960 keluarlaah Undang-Undang No.
24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi. Hal tersebut dipertegas dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 228
Tahun 1967 isinya adalah membentuk Team Pemberantasan Korupsi (TPK) yang
bertugas membantu pemerintah dalam memberantas perbuatan Korupsi
secepat-cepatnya dan setertib-tertibnya. Team ini mempunyai tugas :
1. Mengadakan penelitian dan penilaian terhadap
kebijaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pemberantasan Korupsi ;
2. Memberikan pertimbangan kepada Pemerintah
mengenai kebijaksanaan yang masih diperlukan dalam pemberantasan Korupsi ;
Dalam
perkembangannya, diterbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi, yang isinya mengikuti hukum pidana umum
(KUHP) yang menetapkan dalam Pasal 59, yaitu sebagai berikut :
"Dalam
hal-hal yang hukuman ditentukan karena pelanggaran terhadap para Pengurus, para
Anggota suatu Badan Pengurus atau Komisaris, tiada dijatuhkan hukuman atas
Pengurus atau Komisaris jika ternyata bahwa ia turut campur dalam melakukan
pelanggaran itu."
Sehingga dari ketentuan tersebut,
dapat diambil kesimpulan, bahwa dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, selain
ORANG, maka KORPORASI, juga dapat dijatuhi pidana apabila terbukti melakukan
Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
menyebutkan :
"Barangsiapa
memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2
dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukan itu."
Lebih lanjut,
di dalam Pasal 1 ayat (1) sub a dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 terdapat
UNSUR LANGSUNG atau TIDAK LANGSUNG merugikan keuangan Negara dan/atau
perekonomian Negara, hal ini bermakna bahwaa dalam STRICT LIABILITY (UNSUR
LANGSUNG) ialah konsep yang tidak memerlukan pembuktian adanya sengaja dan alpa
pembuat delik, yang menurut A.Z. Abidin, menyebutkan ada 3 alasan diterima
STRICT LIABILITY, yaitu :
Esensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang
penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati ;
Pembuktian MENS REA (sikap batin si pembuat) terhadap
delik-delik serupa sangat sulit ;
Suatu tingkat tinggi "bahaya sosial" dapat
membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut STRICT LIABILITY ;
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menyebut
"BADAN" atau "BADAN HUKUM", akan tetapi BADAN atau BADAN
HUKUM disini bukanlah sebagai PENANGGUNG JAWAB PIDANA melainkan sebagai
"Pihak yang diperkaya atau diuntungkan oleh delik Korupsi (sesuai Pasal 1
ayat (1) sub a dan b UU No.3 Tahun 1971), sedangkan dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menjadikan KORPORASI sebagai
SUBJEK DELIK.
Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memberi arti korporasi sebagai berikut :
"Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum."
Dari uraian-uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya Pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang
telah mengatur secara komprehensif tentang Tindak Pidana Korupsi. Segala hal
yang memungkinkan terjadinya penyimpangan penggunaan keuangan Negara yang bisa
menimbulkan KORUPSI, seharusnya sudah dapat dicegah sebelum tindak pidana
tersebut dilakukan baik oleh orang per orang maupun oleh korporasi ;
KPK, LEMBAGA SUPER POWER
Pada
tahun 2000, kita semua mulai terhenyak dengan kenyataan bahwa telah nyata
begitu banyak penyimpangan penggunaan anggaran yang menyebabkan adanya KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA. Hal tersebut tidak lepas dari adanya GERAKAN REFORMASI yang
dipelopori oleh para mahasiswa.
Reformasi
tersebut, membawa banyak perubahan positif, diantaranya adalah dibentuklah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Untuk mewujudkan Aparatur
Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas KKN itulah, kemudian dibentuklah
PERATURAN PEMERINTAH RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Sejak
tahun 2003, untuk lebih mengintentifkan upaya-upaya pemberantasan Korupsi di
Indonesia, maka dibentuklah Lembaga Baru yaitu KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai tugas-tugas
sebagai berikut :
1. Koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
2. Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4. Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sedangkan dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenangÿ:
1. Mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.
Dengan
kewenangan yang begitu besar, membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menjadi LEMBAGA SUPER POWER, yang mampu menerobos segala macam
"PENGHALANG" di dalam upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Meski
demikian, Komisi Pemberantasan Korupsi tetap memiliki KODE ETIK dalam
pelaksanaan tugasnya. Kode Etik tersebut bertujuan untuk :
1. Menjaga martabat, kehormatan, citra dan
kredibilitas Komisi ;
2. Menghindarkan segala benturan kepentingan
Pegawai Komisi ;
3. Mewujudkan Indonesia Bebas dari Korupsi ;
4. Sebagai Penggerak Perubahan untuk mewujudkan
Bangsa yang Anti Korupsi ;
KORUPSI MUSUH BERSAMA
Dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi, maka telah ada niat dari bangsa Indonesia untuk
melakukan Pemberantasan Korupsi. Akan tetapi harus ada kesepahaman bersama dari
seluruh unsur bangsa Indonesia, bahwa KORUPSI adalah MUSUH BERSAMA.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa
kegiatan TERORISME dapat "MEMBUNUH" ratusan bahkan ribuan orang, akan
tetapi KORUPSI yang menggurita, yang melanda segala aspek kehidupan, dapat
menghacurkan peradaban suatu bangsa di dunia. Dapat dibayangkan apabila setengah
dari Anggaran Perbendaharaan dan Belanja Negara (APBN) yang seharusnya diserap
untuk pembangunan tetapi kemudian menguap akibat KORUPSI, maka bisa
menghancurkan perekonomian Negara dan menyebabkan terputusnya rantai
pembangunan Negara kita.
Sudah saatnya kita semua
bergandengan tangan untuk saling mengingatkan, saling mencegah timbulnya Tindak
Pidana Korupsi di lingkungan kehidupan kita. Bukan tidak mungkin, Korupsi
timbul dari perilaku kita yang tidak disipilin dalam penggunaan waktu, kemudian
menjadi tidak disiplin dalam pekerjaan dan lain sebagainya.
Bagaimanapun hebatnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), akan tetapi apabila diri kita sendiri tidak
mencegah terjadinya Korupsi, maka jangan banyak berharap Negeri kita akan bebas
dari penyakit Korupsi. Prof Satjipto Rahadjo mengatakan bahwa, "
Pembangunan dan modernisasi dapat dimasukkan ke dalam suatu kelompok
pengertian, yaitu sebagai suatu bentuk kegiatan yang dilakukan dengan sengaja
untuk membawa masyarakat kepada perubahan yang direncanakan atau
dikehendaki." Dari pendapat Prof. Satjipto Rahadjo tersebut, dapat kita
simpulkan bahwa kita sendiri sebagai penggerak dari pembangunan dan
modernisasi, sehingga keberlangsungan dan kesinambungan pembangunan menjadi
tugas dan tanggung jawab kita bersama, termasuk di dalamnya adalah
perbuatan-perbuatan yang dapat menghambat pembangunan itu sendiri, seperti
Tindak Pidana Korupsi.
KESIMPULAN
Dari pemaparan sebagaimana tersebut di atas, maka dapatlah kita ambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Tindak Pidana
Korupsi telah ada sejak berdirinya Republik ini, dan telah menjadi musuh
bersama bagi bangsa Indonesia ;
Segala bentuk
peraturan perundang-undangan maupun Lembaga Pemberantasan Korupsi hanyalah
sebagai alat dan sarana untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi ;
Kita semua
memiliki tanggung jawab bersama untuk mencegah terjadinya Tindak Pidan Korupsi
dan seandainya telah terjadi Tindak Pidana Korupsi, maka menjadi tugas kita
pula untuk melakukan pemberantasannya.
Pembangunan
Negara kita tidak boleh terhambat dengan adanya Korupsi, karena itu Korupsi
harulah menjadi musuh bersama bagi bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar