PENGGUNAAN INFORMASI
ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A. PENDAHULUAN
Sebagai
bagian dari warga negara yang sadar dan taat kepada hukum, tentunya akan
membuat setiap individu di dalam masyarakat akan mengedepankan penyelesaian
setiap sengketa atau perkara dengan cara yang damai dengan selalu mengutamakan
asas musyawarah untuk mufakat. Meski demikian, akan selalu terdapat suatu
perkara atau sengketa yang tidak bisa diselesaikan dengan cara musyawarah untuk
mufakat, sehingga harus diselesaikan di muka persidangan.
Penyelesaian
suatu perkara melalui persidangan tentunya membutuhkan teknik pembuktian yang
jitu sehingga apa yang diinginkan dapat dikabulkan oleh Pengadilan. Bagi para
pencari keadilan, segala macam cara pembuktian tentu akan dilakukan, dengan
tujuan apa yang didalilkan menjadi terbukti dan bisa mendapatkan apa yang
diminta atau dituntutnya. Oleh karenanya, kecermatan di dalam pembuktian dalil
dalam suatu perkara, mutlak diperlukan, sehingga tidak membuang waktu dan
tenaga dengan sia-sia.
Proses hukum secara garis besar dapat
dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan
hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang
adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat
dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan
kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri
B. PEMBUKTIAN DI
PERSIDANGAN
Di
dalam hukum acara baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, ketika seseorang akan membuktikan suatu dalil baik
itu Jaksa Penuntut Umum yang akan membuktikan dalil dakwaannya, maupun Terdakwa
yang akan membantah dalil dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum atau Penggugat yang
akan membuktikan dalil gugatannya maupun Tergugat yang akan membantah dalil
gugatan dari Penggugat, akan berusaha melakukannya dengan cara pembuktian di
persidangan. Yahya Harahap mengatakan bahwa, “Pembuktian merupakan titik
sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan”[2]
1.
PEMBUKTIAN
DALAM HUKUM PIDANA
Di
dalam Hukum Acara Pidana, telah diatur bagaimana cara pembuktian dapat
dilakukan di persidangan dan bagaimana hakim bersikap di dalam putusannya terhadapp
suatu perkara. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menyebutkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut hanya
menyebutkan “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan
dan kepastian hukum bagi seseorang”,
sehingga untuk memahami ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut. Kiranya
ketentuan Pasal 183 KUHAP ini mengadopsi dari ketentuan Pasal 294 HIR, yang
dianggap sebagai pembuktian menurut undang-undang secara negatif.[3]
Dari
ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut tersurat bahwa dibutuhkan minimal 2 (dua)
alat bukti yang dapat menjadi pegangan hakim sebelum menjatuhkan putusan,
sehingga kemudian perlu dipahami pula ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
mengenai alat bukti yang sah yaitu :
a. Keterangan
saksi ;
b. Keterangan
ahli ;
c. Surat
;
d. Petunjuk
;
e. Keterangan
Terdakwa ;
Tulisan ini hanya akan membatasi pembahasan pada
alat bukti berupa SURAT maupun PETUNJUK,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c dan huruf d KUHAP.
Mengenai surat, telah diatur di dalam Pasal 187 KUHAP
yang menyebutkan, “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :
a. Berita
Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu ;
b. Surat
yang dibuat menurut ketentuan peraturn perundanga-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawab dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atas ssesuatu
keadaan ;
c. Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari
padanya ;
d. Surat
lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubunganna dengan isi dari alat
pembuktian yang lain ;
Di dalam penjelasan Pasal 187 KUHAP, hanya pada
huruf b saja yang mendapatkan penjelasan sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan
surat yang dibuat oleh pejabat termasuk surat yang dikeluarkan oleh suatu
majelis yang berwenang untuk itu”.
Mengenai kekuatan pembuktian surat, Yahya Harahap
membagi ke dalam 2 segi yaitu dari segi formil dan dari segi materiil.[4]
Dari segi formil, bukti surat mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna,
dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut :
a. Sudah
benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain ;
b. Semua
pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya ;
c. Juga
tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat berwenang
di dalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan
alat bukti yang lain ;
d. Isi
keterangan yang tertuang di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti
yang lain baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau
keterangan Terdakwa.
Dari
segi materiil, nilai kekuatan pembuktin alat bukti surat sama halnya dengan
nilai embuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, yaitu
sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, sehingga hakim
bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya dengan alasan :
a. Asas
proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau
kebenaran sejati (materiil waarheid) bukan kebenaran formal, sehingga hakim bebas menilai
kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat ;
b. Asas
keyakinan hakim, yaitu hakim hanya dapat menjatuhkan pemidanaan kepada Terdakwa
apabila telah diperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah ;
c. Asas
batas minimum pembuktian, dalam arti meskipun melekt sifat kesempurnaan secara
formal atas bukti surat, akan tetapi alat bukti surat tidak cukup sebagai alat
bukti yang berdiri sendiri dan tetap memerlukan dukungan dari alat bukti
lainnya ;
Mengenai
alat bukti petunjuk adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 188 KUHAP yang
menyebutkan :
(1) Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya ;
(2) Petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
a. Keterangan
saksi ;
b. Surat
;
c. Keterangan
Terdakwa ;
(3) Penilaian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan
dengan kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Penjelasan
dalam pasal 188 KUHAP inipun hanya menyebutkan cukup jelas, sehingga di dalam
praktek diperlukan kehati-hatian yang sangat mendalam dan kecermatan dari
setiap hakim terhadapp alat bukti berupa petunjuk. Dan terhadapp nilai kekuatan
pembuktian alat bukti petunjuk, juga bersifat bebas dalam arti :[5]
a. Hakim
tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk ;
b. Petunjuk
sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan Terdakwa
dan tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian ;
2.
PEMBUKTIAN
DALAM PERKARA PERDATA
Di dalam proses persidangan perkara
perdata, dalam hal pembuktian terdapat hal yang bersifat lebih rumit dan
kompleks dibandingkan dengan proses persidangan perkara pidana, karena
berkaitan dengan menggali kebenaran yang tempus (waktunya) bisa tidak terhingga
lamanya, bukan hanya dalam hitungan hari atau bulan tetapi bahkan dalam
hitungan tahun. Hal lain yang memperngaruhi rumitnya pembuktian perkara perdata
adalah sebagaimana disampaikan oleh Yahya Harahap, yaitu :[6]
1. Faktor
Sistem Adversarial (Adversarial System), yaitu sistem yang mengharuskan
memberikan hak yang sama kepada para pihak yang berperkara untuk saling
mengajukan kebenaran masing-masing serta mempunyai hak untuk saling membantah
kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial
(adversarial proceeding) ;
2. Pada
prinsipnya kedudukan hakim dalam proses pembuktian sesuai dengan sistem
adversarial adalah lemah dan pasif, dalam arti tidak aktif mencari dan
menemukan kebenaran di luar aa yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan.
Dalam
perkara perdata, yang diutamakan adalah mencari kebenaran formil (formeel
waarheid), sehingga terbuka kemungkinan bahwa para pihak akan mengajukan
pembuktian yang tidak sebenarnya dan terdapat unsur kebohongan di dalam
pembuktian yang diajuakan ke persidangan. Meski demikian, perlu pula dicermati
Putusan Mahkamah Agung RI No.3136 K/Pdt/1983 yang mengatakan, “Tidak dilarang
pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil, namun apabila
kebenaran materiil tidak ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan
hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.”[7]
Pedoman
umum di dalam pembuktian perkara perdata adalah sebagaimana digariskan dalam
Pasal 163 HIR yang berbunyi, “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak
atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk
membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau
adanya kejadian itu.” Ketentuan ini sama dengan ketentuan Pasal 263 RBg atau
Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sehingga tentang
pembuktiaan dalam perkara perdata dapat disimpulkan sebagai berikut :
· Siapa
yang mendalil sesuatu hak, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan
hak yang didalilkannya dan
· Siapa
yang mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang didalilkan
pihak lain, kepadanya dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil
bantahan tersebut ;
Lebih
lanjut mengenai pembuktian di perkara perdata, dikenal adanya istilah
Pengertian Batas Minimal yang dapat diartikan :[8]
· Suatu
jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi agar alat bukti
itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang
didalilkan atau dikemukakan ;
· Apabila
alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai batas minimal, alat
bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk
membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.
Patokan
menentukan batas minimal, tidak ditentukan pada faktor kuantitas akan tetapi
ditentukan pada faktor kualitas, sebagai contoh adalah dalam suatu perkara
perdata, pihak Penggugat menghadirkan saksi sejumlah 100 (seratus) orang, akan
tetapi selama persidangan, saksi yang benar-benar mengetahui mengenai sengketa
perkara antara Penggugat dengan Tergugat hanya 1 (satu) orang saksi, maka hakim
dapat mengabaikan keterangan dari 99 (sembilan puluh sembilan) orang saksi
lainnya. Sehingga, dalam perkara perdata di dalam hal pembuktian, peranan hakim
justru mengemuka dalam arti hakim yang akan menilai kualitas dari pembuktian
yang dilakukan oleh para pihak, apakah pembuktian yang diberikan benar-benar
memiliki kualitas sebagai alat bukti atau tidak.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam perkara perdata akan lebih banyak melibatkan alat
bukti berupa surat, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Akta
Otentik ;
b. Akta
Bawah tangan dan ;
c. Akta
Sepihak atau pengakuan sepihak ;
C. INFORMASI ELEKTRONIK
DAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
Sebelum
membahas mengenai Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik, maka terlebih
dahulu perlu diketahui Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang khusus mengatur mengenai
pelaksanaan informasi dan dokumen secara elektronik, termasuk di dalamnya
mengatur mengenai pengelolaan alat bukti yang bersifat elektronik.
I.
PENGERTIAN
INFORMASI ELEKTRONIK
Mengenai
Informasi Elektronik. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik
adalah satu atau sekumpulan data eletktronik, termasuk, tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronic data interchange
(EDJ), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angak, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Sebelum
mengetahui mengenai arti dari Dokumen Elektronik, kita perlu memahami
pengertian dari COMPUTER CRIME dan COMPUTER RELATED CRIME. Keduanya merupakan
istilah yang serupa namun tak sama, Computer Crime (Kejahatan Komputer) adalah
kejahatan yang menggunakan komputer sebagai alat utama untuk melakukan aksi
kejahatannya, misalnya defacement (pengubahan
halaman-halaman suatu situs secara ilegal),
denial distributed of service (membuat suatu sistem tidak berjalan atau
tidak berfungsi sebagaimana mestinya setelah dibanjiri data oleh sekian banyak
komputer yang telah terinfeksi dan menjadi reboot
network), keylogging (merekam setiap aktivitas pengetikan di keyboard dan
aplikasi yang tertampil di layar), identity
theft (pencurian data-data penting dari orang-orang yang menjadi target), intrusion (masuk secara ilegal ke dalam
suatu sistem) dan masih banyak lainnya, sedangkan Computer Related Crime
(Kejahatan Terkait Komputer) adalah segala macam kejahatan tradisional seperti
pencurian, pornografi, perampokan, pembunuhan, korupsi, narkotika dan lain
sebagainya yang dalam kejahatan tersebut terdapat barang bukti berupa alat
elektronik seperti handphone dan komputer yang digunakan oleh pelaku untuk
saling berkomunikasi atau menyimpan data yang berkaitan dengan perencanaan,
proses dan hasil kejahatannya.[9]
II. ARTI DOKUMEN ELEKTRONIK
Setelah
mengetahui pengertian dari Informasi Elektronik, maka perlu pula kita
mengetahui arti dari Dokumen Elektronik. Yang dimaksud dengan Dokumen
Elektronik adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 yang menyebutkan,
“Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Eletktronik termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau
sejenisnya, hurug, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Meskipun
merupakan hal yang baru akan tetapi di ranah hukum pidana, penggunaan informasi
elektronik sudah diterapkan khususnya di dalam ketentuan Pasal 26 A
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang menyebutkan “Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh
dari : 1. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan 2. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna. Lebih lanjut dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud dengan
“disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film,
Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM).
Sedangkan yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam
ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data
interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.”[10]
Dari hal-hal yang sering mencuat dalam penanganan tidank pidana korupsi yang
sering melibatkan informasi elektronik, kemudian penggunaan informasi
elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan di dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 yang meyebutkan :
(1) Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat
bukti yang sah ;
(2) Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia
;
(3) Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini ;
(4) Ketentuan
mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. Surat
yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis ;
b. Surat
beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk Akta
Notaris atau Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta.
Perkembangan tekhnologi pada saat ini
telah memberikan nuansa baru di bidang pembuktian di persidangan. Alat bukti
yang diajukan di persidangan, pada saat ini, tidak hanya terbatas pada alat
bukti surat, bukti saksi, namun juga telah merambah kepada penggunaan alat bukti
berupa dokumen digital, baik berupa cakram (CD, VCD, DVD) maupun dalam bukti
lain berupa tulisan-tulisan di media sosial dan alat elektronik lainnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika
sendiri telah menggolongkan bukti digital yang mengacu kepada Scientific
Working Group on Digital Evidence, Tahun 1999, yaitu antara lain :[11]
· E-mail,
alamat E-mail (surat elektronik) ;
· File
Word Processor / Spreedsheet ;
· Source
Code perangkat lunak ;
· File
berbentuk Image (jpeg, tip, dll) ;
· Web
Browser Bookmarks, Cookies ;
· Kalender,
to – do list.
III.
SYARAT
DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
Muhammad
Neil El Himam menyebutkan bahwa Alat Bukti Digital dapat bersumber pada :[12]
1) Komputer,
yang terdiri dari :
a) Email
;
b) Gambar
Digital ;
c) Dokumen
Elektronik ;
d) Spreadsheets
;
e) Log
chat ;
f) Software
ilegal dan materi Haki lainnya ;
2) Hard
Disk, yang terdiri dari :
a) Files,
baik yang aktif, dihapus maupun berupa fragmen ;
b) Metadata
File ;
c) Slack
File ;
d) Swap
File ;
e) Informasi
Sistem, yang terdiri dari Registry, Log dan Data Konfigurasi ;
3) Sumber
lain, yang terdiri dari :
a) Telepon
Seluler, yaitu berupa SMS, Nomor yang dipanggil, Panggilan Masuk, Nomor Kartu
Kredit / Debit, Alamat Email, Nomor Call Forwarding ;
b) PDAs
/ Smart Phones, yang terdiri dari semua yang tercantum dalam Telepon Seluler
ditambar kontak, eta, gambar, password, dokumen dan lain-lain ;
4) Video
Game ;
5) GPS
Device yang berisikan Rutes / Rute ;
6) Kamera
Digital, yang berisikan Foto, Video dan Informasi lain yang mungkin tersimpan
dalam memory card (SD, CF dll).
Walau
demikian, karena menurut sifatnya alamiahnya bukti digital sangat tidak
konsisten, maka bukti digital tidak dapat langsung dijadikan alat bukti untuk
proses persidangan, sehingga dibutuhkan standar agar bukti digital dapat
digunakan sebagai aat bukti di persidangang, yaitu :[13]
1.
Dapat diterima, yaitu data harus mampu
diterima dan digunakan demi hukum mulai dari kepentingan penyelidikan sampai
dengan kepentingan pengadilan ;
2.
Asli, yaitu bukti tersebut harus
berhubungan dengan kejdian / kasus yang terjadi dan bukan rekayasa ;
3.
Lengkap, yaitu bukti dapat dikatakan
bagus dan lengkap jika di dalamnya terdapat banyak petunjuk yang dapat membantu
investigasi ;
4.
Dapat dipercaya, yaitu bukti dapat
mengatakan hal yang terjadi di belakangnya, jika bukti tersebut dapat
dipercaya, maka proses investigasi akan lebih mudah, dan syarat ini merupakan
suatu KEHARUSAN.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sendiri
mensyaratkan persyaratan minimum sebagai berikut :[14]
1.
Dapat menampilkan kembali informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan ;
2.
Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut ;
3.
Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk
dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut ;
4.
Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak
yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
5.
Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Kemudian, di
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, disebutkan dalam Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4)
UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen
atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis.
Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU
ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin
keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya
persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital
forensik. (Sitompul, 2012).[15]
Berkaitan dengan
Digital Forensic, merupakan SYARAT MUTLAK yang harus dilakukan supaya Dokumen
Elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti dari mulai penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan persidangan, maupun dalam proses persidangan
perdata. Tanpa melalui Digital Forensic, maka suatu Dokumen Elektronik tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti karena tidak dapat dijamin kesahihan dari
Dokumen Elektronik tersebut.
IV.
DIGITAL
FORENSIC
Walaupun
sebagai Hakim kita tidak harus menguasai secara mendalam mengenai Digital Forensic,
namun setidaknya kita mengetahui pengertian, fungsi dan cara kerja dari Digital
Forensic. Harus dipahami pula, bahwa sebagaimana manusia, sistem komputerisasi
di dunia juga tidak ada yang sempurna (NO SYSTEM IS PERFECT), yang dapat
diartikan bahwa semakin tinggi tingkat pemahaman ilmu pengetahuan dan
tekhnologi di bidang komputer, maka akan semakin mudah pelaku kejahatan mencari
kelemahan-kelemahan dari suatu sistem elektronik maupun non elektronik.[16]
Digital
Forensic dapat diartikan sebagai satu bidang spesialisasi ilmu pengetahuan dan
tekhnologi komputer yang memiliki posisi signifikan untuk melakukan
inverstigasi kasus-kasus computer crime dan
/ atau computer related crime.[17]
Oleh karena itu Digital Forensic diperlukan sebagai sarana mengaplikasikan
ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang menyebutkan, “Dalam
hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang
mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli,
Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan”. Dalam penjelasan Pasal 6 menyebutkan, “Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan / atau dokumen
yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan /
atau dokumen dapat ituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik.
Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak
relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi
dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat
dibedakan lagi dengan aslinya”. Oleh sebab itu perlu pemahaman mengenai
dasar-dasar di dalam melakukan Digital Forensic sehingga dapat diperoleh
keyakinan bahwa suatu Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik
benar-benar dapat dipercaya sebagai alat bukti, utamanya sebagai alat bukti di
persidangan.
V. TAHAPAN SINGKAT DIGITAL FORENSIC
Salah satu
tugas dari Hakim adalah menilai alat bukti yang diajukan di persidangan, baik
itu persidangan perkara pidana maupun perkara perdata. Diperlukan kecermatan
dan kehati-hatian di dalam menilai alat bukti yang diajukan di persidangan,
terutama alat bukti yang berupa Informasi Elektronik dan / atau Dokumen
Elektronik, sehingga kita mendapatkan keyakinan bahwa alat bukti berupa
Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang diajukan di persidangan
merupakan alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membuktikan suatu keadaan
dari suatu perkara.
Pada
dasarnya untuk melakukan Digital Forensic dibutuhkan suatu pendidikan dan
pelatihan khusus yang menghasilkan SERTIFIKASI dari setiap orang yang mengikuti
pendidikan dan pelatihan Digital Forensic tersebut. Tidak setiap orang yang
mengerti dan ahli di bidang komputer dapat diandalkan datau dapat melakukan
Digital Forensic dan di dalam persidanganpun, apabila diajukan AHLI yang akan
menerangkan menegani Digital Forensic, harus terlebih dahulu ditanyakan
mengenai catatan akademiknya yang harus berkaitan dengan Ilmu Komputer dan SERTIFIKASI
dari AHLI yang bersangkutan, apabila AHLI tersebut tidak memiliki catatan
akademik yang berkaitan dengan Ilmu Komputer dan memiliki SERTIFIKASI tentang
Digital Forensic, maka pendapat yang disampaikan di persidangan, patut
dikesampingkan.
Harus pula
dipahami, meskipun APLIKASI TOOLS mengenai Digital Forensic dapat diperoleh
dengan melakukan DOWNLOAD dari situs-situs di Internet, akan terhadap seseorang
yang akan dijadikan AHLI di persidangan, tetap haruslah orang yang memiliki
SERTIFIKASI tentang Digital Forensic. Mengenai SERTIFIKASI tentang Digital
Forensic sendiri, untuk di Indoensia, sampai saat ini baru dapat diperoleh dari
pelatihan Digital Forensic yang dilakukan oleh Mebes Polri, selain itu hanya
bisa didapatkan dari pelatihan yang diadakan di luar negeri seperti di Inggris
atau Amerika Serikat.
Di dalam
Digital Forensic, terdapat 3 (tiga) tahap dasar yang harus dilakukan oleh orang
yang melakukan Digital Forensic. 3 (tiga) tahap tersebut adalah :
1)
WRITE PROTECT, yang dapat diartikan sebagai MENGUNCI
DATA ASAL dari Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik sebelum
melakukan Digital Forensic. Write Protect dilakukan agar DATA ASAL yang akan
dilakukan Digital Forensic tidak mengalami perubahan, baik itu penambahan,
pengurangan maupun penghapusan data ;
2)
FORENSIC IMAGING, yang dapat diartikan sebagai
tindakan untuk mendapatkan data yang serupa dari DATA ASAL atau dikenal dengan
istilah CLONNING. Forensic Imaging ini dilakukan terhadapp DATA ASAL yang sudah
di – WRITE PROTECT, dari Forensic Imaging ini akan didapatkan DATA YANG IDENTIK
dengan DATA ASAL yang disebut IMAGE FILE. Di Kepolisian RI sendiri terdapat Peraturan Kapuslabfor
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Operating Proceedur (SOP) dalam melakukan
Forensic Imaging. ;
3)
VERIFIYING, yang dapat diartikan sebagai tahapan untuk
menilai hasil dari Forensic Imaging, yaitu data yang di – CLONNING harus
IDENTIK dengan DATA ASAL. Untuk mengetahui IDENTIK atau TIDAK IDENTIK, dapat
dilihat dari nilai HASH dari IMAGE FILE.
Dari ketiga
tahapan tersebut, maka di dalam persidangan, Hakim dapat menanyakan kepada AHLI
mengenai TAHAPAN dari DIGITAL FORENSIC yang dilakukan selama proses
penyelidikan dan penyidikan. Apabila
AHLI yang dihadirkan di dalam menjalankan Digital Forensic tidak melalui
ketiga tahapan tersebut, maka ketenrangan AHLI tersebut harus dikesampingkan
karena pelaksanaan Digital Forensic tidak sesuai dengan tahapan yang seharusnya
karena apabila Digital Forensic tidak dilakukan dengan mengikuti ketiga tahapan
tersebut di atas, hasil DATA IMAGE FILE yang TIDAK IDENTIK dengan DATA ASAL
karena dimungkinkan terjadi penambahan, pengurangan atau penghapusan DATA ASAL.
Apabila dalam persidangan terngkap fakta bahwa DATA ASLI sudah terhapus, maka
pelru dipertanyakan pula apakah AHLI Digital Forensic telah melakukan tahapan
mencarai DATA ASAL yang sudah terhapus tersebut atau dikenal dengan istilah
DATA FILE RECOVERY, sebelum melakukan 3 tahapan Digital Forensic sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya.
Ketika di
dalam persidangan terdapat alat bukti berupa Informasi Elektronik dan / atau
Dokumen Elektronik yang didalilkan telah melalui tahapan Digital Forensic namun
ternyata DATA IMAGE FILE yang diajukan TIDAK IDENTIK dengan DATA ASAL, maka
Hakim HARUS MENGESAMPINGKAN alat
bukti tersebut.
D. KESIMPULAN
Apabila
Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang diajukan di persidangan
merupakan DATA IMAGE FILE yang IDENTIK dengan DATA ASAL, maka Informasi
Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik tersebut dapat digunakan sebagai ALAT
BUKTI yang SAH untuk membuktikan suatu perkara, baik pidana maupun perdata. Di
persidangan perkara pidana, alat bukti berupa Informasi Elektronik dan / atau
Dokumen Elektronik, bisa berdiri sendiri sebagai ALAT BUKTI sebagaimana
tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 atau bisa juga
merupakan alat bukti SURAT ataupun PETUNJUK sebagaimana diatur dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP. Demikian juga dalam persidangan perkara perdata, alat bukti
berupa Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik, bisa berdiri sendiri
sebagai ALAT BUKTI atau bisa sebagai alat bukti PETUNJUK untuk memperkuat alat
bukti SURAT dan KETERANGAN SAKSI.
E.
PENUTUP
Tulisan
singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam memahami penggunaan Informasi
Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dalam suatu
perkara, akan tetapi setidaknya dapat memberikan sedikit pencerahan bahwa
sesungguhnya terdapat hal-hal baru di dalam pembuktian suatu perkara dan
pemahaman mengenai bagaimana penanganan suatu Informasi Elektronik dan / atau
Dokumen Elektronik sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti atas suatu
perkara.
F.
DAFTAR
BACAAN
1. Muhammad
Neil el Himam, Makalah tentang Pemeriksaan Alat Bukti Digital dalam Proses
Pembuktian, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Digital Forensik, Semarang,
24 Oktober 2012 Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali), Tahun
2000, Sinar Grafika, Jakarta ;
2. Muhammad
Nuh Al-Azhar, DIGITAL FORENSIK (Panduan Praktis Investigasi Komputer, Penerbit
Salemba Infotek, Tahun 2012 ;
3. Tutorial
Interaktif Instalasi Komputer Forensik (Menggunakan Aplikasi Open Source),
Direktorat Keamanan Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi,
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Tahun 2012 ;
4. Yahya
Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika,
Jakarta ;
5. Yahya
Harahap, HUKUM ACARA PERDATA tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Tahun 2005, Sinar Grafika, Jakarta ;
G. LINK INTERNET
1. https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/05/17/informasi-elektronik-dan-dokumen-elektronik-sebagai-perluasan-alat-bukti-dalam-perkara-pidana/,
diunduh tanggal 16 Pebruari 2015 ;
2. http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html, diunduh :
24 Pebruari 2015 ;
3. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik,
diunduh tanggal 24 Pebruari 2015 ;
[1] Wakil Ketua pada Pengadilan
Negeri Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara, Mahasiswa Program Doktoral pada
Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan
Agung, Semarang ;
[2]
Yahya Harahap, PEMBAHASAN
PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi
dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika, Jakarta, h. 273 ;
[3] Loc cit, h.280 ;
[4] Loc.cit, h.310 – 312 ;
[5] Loc.cit, h.317 ;
[6]
Yahya Harahap, HUKUM ACARA
PERDATA tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, Tahun 2005, Sinar Grafika, Jakarta, h. 496 ;
[7] Loc.cit, h.498.
[8] Loc. Cit, h.539 ;
[9]
Muhammad Nuh Al-Azhar,
DIGITAL FORENSIK (Panduan Praktis Investigasi Komputer, Penerbit Salemba
Infotek, Tahun 2012 h.7 ;
[10] https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/05/17/informasi-elektronik-dan-dokumen-elektronik-sebagai-perluasan-alat-bukti-dalam-perkara-pidana/, diunduh tanggal 16 Pebruari
2015 ;
[11] Tutorial Interaktif Instalasi
Komputer Forensik (Menggunakan Aplikasi Open Source), Direktorat Keamanan
Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi, Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Tahun 2012, h.3 ;
[12] Muhammad Neil el Himam, Makalah
tentang Pemeriksaan Alat Bukti Digital dalam Proses Pembuktian, Makalah
disampaikan pada Seminar tentang Digital Forensik, Semarang, 24 Oktober 2012 ;
[13]
Loc.cit, hal.3 ;
[14] http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html, diunduh : 24 Pebruari 2015 ;
[15]http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik,
diunduh tanggal 24 Pebruari 2015 ;
[16] Muhammad Nuh Al-Azhar, Op.Cit.
h.17 ;
[17] Loc.Cit., h.12 ;
|
PENGGUNAAN INFORMASI
ELEKTRONIK & DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
DISUSUN OLEH : H.
SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
WAKIL KETUA PN KUTACANE
|
PENGGUNAAN INFORMASI
ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A. PENDAHULUAN
Sebagai
bagian dari warga negara yang sadar dan taat kepada hukum, tentunya akan
membuat setiap individu di dalam masyarakat akan mengedepankan penyelesaian
setiap sengketa atau perkara dengan cara yang damai dengan selalu mengutamakan
asas musyawarah untuk mufakat. Meski demikian, akan selalu terdapat suatu
perkara atau sengketa yang tidak bisa diselesaikan dengan cara musyawarah untuk
mufakat, sehingga harus diselesaikan di muka persidangan.
Penyelesaian
suatu perkara melalui persidangan tentunya membutuhkan teknik pembuktian yang
jitu sehingga apa yang diinginkan dapat dikabulkan oleh Pengadilan. Bagi para
pencari keadilan, segala macam cara pembuktian tentu akan dilakukan, dengan
tujuan apa yang didalilkan menjadi terbukti dan bisa mendapatkan apa yang
diminta atau dituntutnya. Oleh karenanya, kecermatan di dalam pembuktian dalil
dalam suatu perkara, mutlak diperlukan, sehingga tidak membuang waktu dan
tenaga dengan sia-sia.
Proses hukum secara garis besar dapat
dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan
hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang
adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat
dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan
kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri
B. PEMBUKTIAN DI
PERSIDANGAN
Di
dalam hukum acara baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, ketika seseorang akan membuktikan suatu dalil baik
itu Jaksa Penuntut Umum yang akan membuktikan dalil dakwaannya, maupun Terdakwa
yang akan membantah dalil dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum atau Penggugat yang
akan membuktikan dalil gugatannya maupun Tergugat yang akan membantah dalil
gugatan dari Penggugat, akan berusaha melakukannya dengan cara pembuktian di
persidangan. Yahya Harahap mengatakan bahwa, “Pembuktian merupakan titik
sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan”[2]
1.
PEMBUKTIAN
DALAM HUKUM PIDANA
Di
dalam Hukum Acara Pidana, telah diatur bagaimana cara pembuktian dapat
dilakukan di persidangan dan bagaimana hakim bersikap di dalam putusannya terhadapp
suatu perkara. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menyebutkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut hanya
menyebutkan “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan
dan kepastian hukum bagi seseorang”,
sehingga untuk memahami ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut. Kiranya
ketentuan Pasal 183 KUHAP ini mengadopsi dari ketentuan Pasal 294 HIR, yang
dianggap sebagai pembuktian menurut undang-undang secara negatif.[3]
Dari
ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut tersurat bahwa dibutuhkan minimal 2 (dua)
alat bukti yang dapat menjadi pegangan hakim sebelum menjatuhkan putusan,
sehingga kemudian perlu dipahami pula ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
mengenai alat bukti yang sah yaitu :
a. Keterangan
saksi ;
b. Keterangan
ahli ;
c. Surat
;
d. Petunjuk
;
e. Keterangan
Terdakwa ;
Tulisan ini hanya akan membatasi pembahasan pada
alat bukti berupa SURAT maupun PETUNJUK,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c dan huruf d KUHAP.
Mengenai surat, telah diatur di dalam Pasal 187 KUHAP
yang menyebutkan, “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c,
dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :
a. Berita
Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu ;
b. Surat
yang dibuat menurut ketentuan peraturn perundanga-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawab dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atas ssesuatu
keadaan ;
c. Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari
padanya ;
d. Surat
lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubunganna dengan isi dari alat
pembuktian yang lain ;
Di dalam penjelasan Pasal 187 KUHAP, hanya pada
huruf b saja yang mendapatkan penjelasan sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan
surat yang dibuat oleh pejabat termasuk surat yang dikeluarkan oleh suatu
majelis yang berwenang untuk itu”.
Mengenai kekuatan pembuktian surat, Yahya Harahap
membagi ke dalam 2 segi yaitu dari segi formil dan dari segi materiil.[4]
Dari segi formil, bukti surat mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna,
dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut :
a. Sudah
benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain ;
b. Semua
pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya ;
c. Juga
tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat berwenang
di dalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan
alat bukti yang lain ;
d. Isi
keterangan yang tertuang di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti
yang lain baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau
keterangan Terdakwa.
Dari
segi materiil, nilai kekuatan pembuktin alat bukti surat sama halnya dengan
nilai embuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, yaitu
sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, sehingga hakim
bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya dengan alasan :
a. Asas
proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau
kebenaran sejati (materiil waarheid) bukan kebenaran formal, sehingga hakim bebas menilai
kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat ;
b. Asas
keyakinan hakim, yaitu hakim hanya dapat menjatuhkan pemidanaan kepada Terdakwa
apabila telah diperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah ;
c. Asas
batas minimum pembuktian, dalam arti meskipun melekt sifat kesempurnaan secara
formal atas bukti surat, akan tetapi alat bukti surat tidak cukup sebagai alat
bukti yang berdiri sendiri dan tetap memerlukan dukungan dari alat bukti
lainnya ;
Mengenai
alat bukti petunjuk adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 188 KUHAP yang
menyebutkan :
(1) Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya ;
(2) Petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
a. Keterangan
saksi ;
b. Surat
;
c. Keterangan
Terdakwa ;
(3) Penilaian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan
dengan kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Penjelasan
dalam pasal 188 KUHAP inipun hanya menyebutkan cukup jelas, sehingga di dalam
praktek diperlukan kehati-hatian yang sangat mendalam dan kecermatan dari
setiap hakim terhadapp alat bukti berupa petunjuk. Dan terhadapp nilai kekuatan
pembuktian alat bukti petunjuk, juga bersifat bebas dalam arti :[5]
a. Hakim
tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk ;
b. Petunjuk
sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan Terdakwa
dan tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian ;
2.
PEMBUKTIAN
DALAM PERKARA PERDATA
Di dalam proses persidangan perkara
perdata, dalam hal pembuktian terdapat hal yang bersifat lebih rumit dan
kompleks dibandingkan dengan proses persidangan perkara pidana, karena
berkaitan dengan menggali kebenaran yang tempus (waktunya) bisa tidak terhingga
lamanya, bukan hanya dalam hitungan hari atau bulan tetapi bahkan dalam
hitungan tahun. Hal lain yang memperngaruhi rumitnya pembuktian perkara perdata
adalah sebagaimana disampaikan oleh Yahya Harahap, yaitu :[6]
1. Faktor
Sistem Adversarial (Adversarial System), yaitu sistem yang mengharuskan
memberikan hak yang sama kepada para pihak yang berperkara untuk saling
mengajukan kebenaran masing-masing serta mempunyai hak untuk saling membantah
kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial
(adversarial proceeding) ;
2. Pada
prinsipnya kedudukan hakim dalam proses pembuktian sesuai dengan sistem
adversarial adalah lemah dan pasif, dalam arti tidak aktif mencari dan
menemukan kebenaran di luar aa yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan.
Dalam
perkara perdata, yang diutamakan adalah mencari kebenaran formil (formeel
waarheid), sehingga terbuka kemungkinan bahwa para pihak akan mengajukan
pembuktian yang tidak sebenarnya dan terdapat unsur kebohongan di dalam
pembuktian yang diajuakan ke persidangan. Meski demikian, perlu pula dicermati
Putusan Mahkamah Agung RI No.3136 K/Pdt/1983 yang mengatakan, “Tidak dilarang
pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil, namun apabila
kebenaran materiil tidak ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan
hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.”[7]
Pedoman
umum di dalam pembuktian perkara perdata adalah sebagaimana digariskan dalam
Pasal 163 HIR yang berbunyi, “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak
atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk
membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau
adanya kejadian itu.” Ketentuan ini sama dengan ketentuan Pasal 263 RBg atau
Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sehingga tentang
pembuktiaan dalam perkara perdata dapat disimpulkan sebagai berikut :
· Siapa
yang mendalil sesuatu hak, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan
hak yang didalilkannya dan
· Siapa
yang mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang didalilkan
pihak lain, kepadanya dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil
bantahan tersebut ;
Lebih
lanjut mengenai pembuktian di perkara perdata, dikenal adanya istilah
Pengertian Batas Minimal yang dapat diartikan :[8]
· Suatu
jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi agar alat bukti
itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang
didalilkan atau dikemukakan ;
· Apabila
alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai batas minimal, alat
bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk
membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.
Patokan
menentukan batas minimal, tidak ditentukan pada faktor kuantitas akan tetapi
ditentukan pada faktor kualitas, sebagai contoh adalah dalam suatu perkara
perdata, pihak Penggugat menghadirkan saksi sejumlah 100 (seratus) orang, akan
tetapi selama persidangan, saksi yang benar-benar mengetahui mengenai sengketa
perkara antara Penggugat dengan Tergugat hanya 1 (satu) orang saksi, maka hakim
dapat mengabaikan keterangan dari 99 (sembilan puluh sembilan) orang saksi
lainnya. Sehingga, dalam perkara perdata di dalam hal pembuktian, peranan hakim
justru mengemuka dalam arti hakim yang akan menilai kualitas dari pembuktian
yang dilakukan oleh para pihak, apakah pembuktian yang diberikan benar-benar
memiliki kualitas sebagai alat bukti atau tidak.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam perkara perdata akan lebih banyak melibatkan alat
bukti berupa surat, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Akta
Otentik ;
b. Akta
Bawah tangan dan ;
c. Akta
Sepihak atau pengakuan sepihak ;
C. INFORMASI ELEKTRONIK
DAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
Sebelum
membahas mengenai Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik, maka terlebih
dahulu perlu diketahui Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang khusus mengatur mengenai
pelaksanaan informasi dan dokumen secara elektronik, termasuk di dalamnya
mengatur mengenai pengelolaan alat bukti yang bersifat elektronik.
I.
PENGERTIAN
INFORMASI ELEKTRONIK
Mengenai
Informasi Elektronik. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa “Informasi Elektronik
adalah satu atau sekumpulan data eletktronik, termasuk, tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronic data interchange
(EDJ), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angak, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Sebelum
mengetahui mengenai arti dari Dokumen Elektronik, kita perlu memahami
pengertian dari COMPUTER CRIME dan COMPUTER RELATED CRIME. Keduanya merupakan
istilah yang serupa namun tak sama, Computer Crime (Kejahatan Komputer) adalah
kejahatan yang menggunakan komputer sebagai alat utama untuk melakukan aksi
kejahatannya, misalnya defacement (pengubahan
halaman-halaman suatu situs secara ilegal),
denial distributed of service (membuat suatu sistem tidak berjalan atau
tidak berfungsi sebagaimana mestinya setelah dibanjiri data oleh sekian banyak
komputer yang telah terinfeksi dan menjadi reboot
network), keylogging (merekam setiap aktivitas pengetikan di keyboard dan
aplikasi yang tertampil di layar), identity
theft (pencurian data-data penting dari orang-orang yang menjadi target), intrusion (masuk secara ilegal ke dalam
suatu sistem) dan masih banyak lainnya, sedangkan Computer Related Crime
(Kejahatan Terkait Komputer) adalah segala macam kejahatan tradisional seperti
pencurian, pornografi, perampokan, pembunuhan, korupsi, narkotika dan lain
sebagainya yang dalam kejahatan tersebut terdapat barang bukti berupa alat
elektronik seperti handphone dan komputer yang digunakan oleh pelaku untuk
saling berkomunikasi atau menyimpan data yang berkaitan dengan perencanaan,
proses dan hasil kejahatannya.[9]
II. ARTI DOKUMEN ELEKTRONIK
Setelah
mengetahui pengertian dari Informasi Elektronik, maka perlu pula kita
mengetahui arti dari Dokumen Elektronik. Yang dimaksud dengan Dokumen
Elektronik adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 yang menyebutkan,
“Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Eletktronik termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau
sejenisnya, hurug, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Meskipun
merupakan hal yang baru akan tetapi di ranah hukum pidana, penggunaan informasi
elektronik sudah diterapkan khususnya di dalam ketentuan Pasal 26 A
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang menyebutkan “Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh
dari : 1. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan 2. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna. Lebih lanjut dalam penjelasan disebutkan yang dimaksud dengan
“disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film,
Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM).
Sedangkan yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam
ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data
interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.”[10]
Dari hal-hal yang sering mencuat dalam penanganan tidank pidana korupsi yang
sering melibatkan informasi elektronik, kemudian penggunaan informasi
elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan di dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 yang meyebutkan :
(1) Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat
bukti yang sah ;
(2) Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia
;
(3) Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini ;
(4) Ketentuan
mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. Surat
yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis ;
b. Surat
beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk Akta
Notaris atau Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta.
Perkembangan tekhnologi pada saat ini
telah memberikan nuansa baru di bidang pembuktian di persidangan. Alat bukti
yang diajukan di persidangan, pada saat ini, tidak hanya terbatas pada alat
bukti surat, bukti saksi, namun juga telah merambah kepada penggunaan alat bukti
berupa dokumen digital, baik berupa cakram (CD, VCD, DVD) maupun dalam bukti
lain berupa tulisan-tulisan di media sosial dan alat elektronik lainnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika
sendiri telah menggolongkan bukti digital yang mengacu kepada Scientific
Working Group on Digital Evidence, Tahun 1999, yaitu antara lain :[11]
· E-mail,
alamat E-mail (surat elektronik) ;
· File
Word Processor / Spreedsheet ;
· Source
Code perangkat lunak ;
· File
berbentuk Image (jpeg, tip, dll) ;
· Web
Browser Bookmarks, Cookies ;
· Kalender,
to – do list.
III.
SYARAT
DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI
Muhammad
Neil El Himam menyebutkan bahwa Alat Bukti Digital dapat bersumber pada :[12]
1) Komputer,
yang terdiri dari :
a) Email
;
b) Gambar
Digital ;
c) Dokumen
Elektronik ;
d) Spreadsheets
;
e) Log
chat ;
f) Software
ilegal dan materi Haki lainnya ;
2) Hard
Disk, yang terdiri dari :
a) Files,
baik yang aktif, dihapus maupun berupa fragmen ;
b) Metadata
File ;
c) Slack
File ;
d) Swap
File ;
e) Informasi
Sistem, yang terdiri dari Registry, Log dan Data Konfigurasi ;
3) Sumber
lain, yang terdiri dari :
a) Telepon
Seluler, yaitu berupa SMS, Nomor yang dipanggil, Panggilan Masuk, Nomor Kartu
Kredit / Debit, Alamat Email, Nomor Call Forwarding ;
b) PDAs
/ Smart Phones, yang terdiri dari semua yang tercantum dalam Telepon Seluler
ditambar kontak, eta, gambar, password, dokumen dan lain-lain ;
4) Video
Game ;
5) GPS
Device yang berisikan Rutes / Rute ;
6) Kamera
Digital, yang berisikan Foto, Video dan Informasi lain yang mungkin tersimpan
dalam memory card (SD, CF dll).
Walau
demikian, karena menurut sifatnya alamiahnya bukti digital sangat tidak
konsisten, maka bukti digital tidak dapat langsung dijadikan alat bukti untuk
proses persidangan, sehingga dibutuhkan standar agar bukti digital dapat
digunakan sebagai aat bukti di persidangang, yaitu :[13]
1.
Dapat diterima, yaitu data harus mampu
diterima dan digunakan demi hukum mulai dari kepentingan penyelidikan sampai
dengan kepentingan pengadilan ;
2.
Asli, yaitu bukti tersebut harus
berhubungan dengan kejdian / kasus yang terjadi dan bukan rekayasa ;
3.
Lengkap, yaitu bukti dapat dikatakan
bagus dan lengkap jika di dalamnya terdapat banyak petunjuk yang dapat membantu
investigasi ;
4.
Dapat dipercaya, yaitu bukti dapat
mengatakan hal yang terjadi di belakangnya, jika bukti tersebut dapat
dipercaya, maka proses investigasi akan lebih mudah, dan syarat ini merupakan
suatu KEHARUSAN.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sendiri
mensyaratkan persyaratan minimum sebagai berikut :[14]
1.
Dapat menampilkan kembali informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan ;
2.
Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut ;
3.
Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk
dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut ;
4.
Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak
yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
5.
Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Kemudian, di
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, disebutkan dalam Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4)
UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen
atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis.
Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU
ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin
keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya
persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital
forensik. (Sitompul, 2012).[15]
Berkaitan dengan
Digital Forensic, merupakan SYARAT MUTLAK yang harus dilakukan supaya Dokumen
Elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti dari mulai penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan persidangan, maupun dalam proses persidangan
perdata. Tanpa melalui Digital Forensic, maka suatu Dokumen Elektronik tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti karena tidak dapat dijamin kesahihan dari
Dokumen Elektronik tersebut.
IV.
DIGITAL
FORENSIC
Walaupun
sebagai Hakim kita tidak harus menguasai secara mendalam mengenai Digital Forensic,
namun setidaknya kita mengetahui pengertian, fungsi dan cara kerja dari Digital
Forensic. Harus dipahami pula, bahwa sebagaimana manusia, sistem komputerisasi
di dunia juga tidak ada yang sempurna (NO SYSTEM IS PERFECT), yang dapat
diartikan bahwa semakin tinggi tingkat pemahaman ilmu pengetahuan dan
tekhnologi di bidang komputer, maka akan semakin mudah pelaku kejahatan mencari
kelemahan-kelemahan dari suatu sistem elektronik maupun non elektronik.[16]
Digital
Forensic dapat diartikan sebagai satu bidang spesialisasi ilmu pengetahuan dan
tekhnologi komputer yang memiliki posisi signifikan untuk melakukan
inverstigasi kasus-kasus computer crime dan
/ atau computer related crime.[17]
Oleh karena itu Digital Forensic diperlukan sebagai sarana mengaplikasikan
ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang menyebutkan, “Dalam
hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang
mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli,
Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan”. Dalam penjelasan Pasal 6 menyebutkan, “Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan / atau dokumen
yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan /
atau dokumen dapat ituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik.
Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak
relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi
dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat
dibedakan lagi dengan aslinya”. Oleh sebab itu perlu pemahaman mengenai
dasar-dasar di dalam melakukan Digital Forensic sehingga dapat diperoleh
keyakinan bahwa suatu Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik
benar-benar dapat dipercaya sebagai alat bukti, utamanya sebagai alat bukti di
persidangan.
V. TAHAPAN SINGKAT DIGITAL FORENSIC
Salah satu
tugas dari Hakim adalah menilai alat bukti yang diajukan di persidangan, baik
itu persidangan perkara pidana maupun perkara perdata. Diperlukan kecermatan
dan kehati-hatian di dalam menilai alat bukti yang diajukan di persidangan,
terutama alat bukti yang berupa Informasi Elektronik dan / atau Dokumen
Elektronik, sehingga kita mendapatkan keyakinan bahwa alat bukti berupa
Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang diajukan di persidangan
merupakan alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membuktikan suatu keadaan
dari suatu perkara.
Pada
dasarnya untuk melakukan Digital Forensic dibutuhkan suatu pendidikan dan
pelatihan khusus yang menghasilkan SERTIFIKASI dari setiap orang yang mengikuti
pendidikan dan pelatihan Digital Forensic tersebut. Tidak setiap orang yang
mengerti dan ahli di bidang komputer dapat diandalkan datau dapat melakukan
Digital Forensic dan di dalam persidanganpun, apabila diajukan AHLI yang akan
menerangkan menegani Digital Forensic, harus terlebih dahulu ditanyakan
mengenai catatan akademiknya yang harus berkaitan dengan Ilmu Komputer dan SERTIFIKASI
dari AHLI yang bersangkutan, apabila AHLI tersebut tidak memiliki catatan
akademik yang berkaitan dengan Ilmu Komputer dan memiliki SERTIFIKASI tentang
Digital Forensic, maka pendapat yang disampaikan di persidangan, patut
dikesampingkan.
Harus pula
dipahami, meskipun APLIKASI TOOLS mengenai Digital Forensic dapat diperoleh
dengan melakukan DOWNLOAD dari situs-situs di Internet, akan terhadap seseorang
yang akan dijadikan AHLI di persidangan, tetap haruslah orang yang memiliki
SERTIFIKASI tentang Digital Forensic. Mengenai SERTIFIKASI tentang Digital
Forensic sendiri, untuk di Indoensia, sampai saat ini baru dapat diperoleh dari
pelatihan Digital Forensic yang dilakukan oleh Mebes Polri, selain itu hanya
bisa didapatkan dari pelatihan yang diadakan di luar negeri seperti di Inggris
atau Amerika Serikat.
Di dalam
Digital Forensic, terdapat 3 (tiga) tahap dasar yang harus dilakukan oleh orang
yang melakukan Digital Forensic. 3 (tiga) tahap tersebut adalah :
1)
WRITE PROTECT, yang dapat diartikan sebagai MENGUNCI
DATA ASAL dari Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik sebelum
melakukan Digital Forensic. Write Protect dilakukan agar DATA ASAL yang akan
dilakukan Digital Forensic tidak mengalami perubahan, baik itu penambahan,
pengurangan maupun penghapusan data ;
2)
FORENSIC IMAGING, yang dapat diartikan sebagai
tindakan untuk mendapatkan data yang serupa dari DATA ASAL atau dikenal dengan
istilah CLONNING. Forensic Imaging ini dilakukan terhadapp DATA ASAL yang sudah
di – WRITE PROTECT, dari Forensic Imaging ini akan didapatkan DATA YANG IDENTIK
dengan DATA ASAL yang disebut IMAGE FILE. Di Kepolisian RI sendiri terdapat Peraturan Kapuslabfor
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Operating Proceedur (SOP) dalam melakukan
Forensic Imaging. ;
3)
VERIFIYING, yang dapat diartikan sebagai tahapan untuk
menilai hasil dari Forensic Imaging, yaitu data yang di – CLONNING harus
IDENTIK dengan DATA ASAL. Untuk mengetahui IDENTIK atau TIDAK IDENTIK, dapat
dilihat dari nilai HASH dari IMAGE FILE.
Dari ketiga
tahapan tersebut, maka di dalam persidangan, Hakim dapat menanyakan kepada AHLI
mengenai TAHAPAN dari DIGITAL FORENSIC yang dilakukan selama proses
penyelidikan dan penyidikan. Apabila
AHLI yang dihadirkan di dalam menjalankan Digital Forensic tidak melalui
ketiga tahapan tersebut, maka ketenrangan AHLI tersebut harus dikesampingkan
karena pelaksanaan Digital Forensic tidak sesuai dengan tahapan yang seharusnya
karena apabila Digital Forensic tidak dilakukan dengan mengikuti ketiga tahapan
tersebut di atas, hasil DATA IMAGE FILE yang TIDAK IDENTIK dengan DATA ASAL
karena dimungkinkan terjadi penambahan, pengurangan atau penghapusan DATA ASAL.
Apabila dalam persidangan terngkap fakta bahwa DATA ASLI sudah terhapus, maka
pelru dipertanyakan pula apakah AHLI Digital Forensic telah melakukan tahapan
mencarai DATA ASAL yang sudah terhapus tersebut atau dikenal dengan istilah
DATA FILE RECOVERY, sebelum melakukan 3 tahapan Digital Forensic sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya.
Ketika di
dalam persidangan terdapat alat bukti berupa Informasi Elektronik dan / atau
Dokumen Elektronik yang didalilkan telah melalui tahapan Digital Forensic namun
ternyata DATA IMAGE FILE yang diajukan TIDAK IDENTIK dengan DATA ASAL, maka
Hakim HARUS MENGESAMPINGKAN alat
bukti tersebut.
D. KESIMPULAN
Apabila
Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang diajukan di persidangan
merupakan DATA IMAGE FILE yang IDENTIK dengan DATA ASAL, maka Informasi
Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik tersebut dapat digunakan sebagai ALAT
BUKTI yang SAH untuk membuktikan suatu perkara, baik pidana maupun perdata. Di
persidangan perkara pidana, alat bukti berupa Informasi Elektronik dan / atau
Dokumen Elektronik, bisa berdiri sendiri sebagai ALAT BUKTI sebagaimana
tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 atau bisa juga
merupakan alat bukti SURAT ataupun PETUNJUK sebagaimana diatur dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP. Demikian juga dalam persidangan perkara perdata, alat bukti
berupa Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik, bisa berdiri sendiri
sebagai ALAT BUKTI atau bisa sebagai alat bukti PETUNJUK untuk memperkuat alat
bukti SURAT dan KETERANGAN SAKSI.
E.
PENUTUP
Tulisan
singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam memahami penggunaan Informasi
Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti dalam suatu
perkara, akan tetapi setidaknya dapat memberikan sedikit pencerahan bahwa
sesungguhnya terdapat hal-hal baru di dalam pembuktian suatu perkara dan
pemahaman mengenai bagaimana penanganan suatu Informasi Elektronik dan / atau
Dokumen Elektronik sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti atas suatu
perkara.
F.
DAFTAR
BACAAN
1. Muhammad
Neil el Himam, Makalah tentang Pemeriksaan Alat Bukti Digital dalam Proses
Pembuktian, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Digital Forensik, Semarang,
24 Oktober 2012 Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali), Tahun
2000, Sinar Grafika, Jakarta ;
2. Muhammad
Nuh Al-Azhar, DIGITAL FORENSIK (Panduan Praktis Investigasi Komputer, Penerbit
Salemba Infotek, Tahun 2012 ;
3. Tutorial
Interaktif Instalasi Komputer Forensik (Menggunakan Aplikasi Open Source),
Direktorat Keamanan Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi,
Kementerian Komunikasi dan Informatika, Tahun 2012 ;
4. Yahya
Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika,
Jakarta ;
5. Yahya
Harahap, HUKUM ACARA PERDATA tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Tahun 2005, Sinar Grafika, Jakarta ;
G. LINK INTERNET
1. https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/05/17/informasi-elektronik-dan-dokumen-elektronik-sebagai-perluasan-alat-bukti-dalam-perkara-pidana/,
diunduh tanggal 16 Pebruari 2015 ;
2. http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html, diunduh :
24 Pebruari 2015 ;
3. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik,
diunduh tanggal 24 Pebruari 2015 ;
[1] Wakil Ketua pada Pengadilan
Negeri Kutacane Kabupaten Aceh Tenggara, Mahasiswa Program Doktoral pada
Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan
Agung, Semarang ;
[2]
Yahya Harahap, PEMBAHASAN
PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi
dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika, Jakarta, h. 273 ;
[3] Loc cit, h.280 ;
[4] Loc.cit, h.310 – 312 ;
[5] Loc.cit, h.317 ;
[6]
Yahya Harahap, HUKUM ACARA
PERDATA tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, Tahun 2005, Sinar Grafika, Jakarta, h. 496 ;
[7] Loc.cit, h.498.
[8] Loc. Cit, h.539 ;
[9]
Muhammad Nuh Al-Azhar,
DIGITAL FORENSIK (Panduan Praktis Investigasi Komputer, Penerbit Salemba
Infotek, Tahun 2012 h.7 ;
[10] https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/05/17/informasi-elektronik-dan-dokumen-elektronik-sebagai-perluasan-alat-bukti-dalam-perkara-pidana/, diunduh tanggal 16 Pebruari
2015 ;
[11] Tutorial Interaktif Instalasi
Komputer Forensik (Menggunakan Aplikasi Open Source), Direktorat Keamanan
Informasi, Direktorat Jenderal Aplikasi Informasi, Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Tahun 2012, h.3 ;
[12] Muhammad Neil el Himam, Makalah
tentang Pemeriksaan Alat Bukti Digital dalam Proses Pembuktian, Makalah
disampaikan pada Seminar tentang Digital Forensik, Semarang, 24 Oktober 2012 ;
[13]
Loc.cit, hal.3 ;
[14] http://arijuliano.blogspot.com/2008/04/apakah-dokumen-elektronik-dapat-menjadi.html, diunduh : 24 Pebruari 2015 ;
[15]http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5461/syarat-dan-kekuatan-hukum-alat-bukti-elektronik,
diunduh tanggal 24 Pebruari 2015 ;
[16] Muhammad Nuh Al-Azhar, Op.Cit.
h.17 ;
[17] Loc.Cit., h.12 ;