TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY
LAUNDERING)
(Catatan Singkat tentang UU No. 8
Tahun 2010)
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH.[1]
A. Pendahuluan
Perkembangan dinamika kehidupan masyarakat menuntut pula
perkembangan Hukum yang dinamis, baik itu dari segi system Hukum, aparat Hukum nya
maupun peraturan perundang-undangannya. Hukum yang dinamis akan
mampu “mengobati” apabila terjadi pergesekan-pergesekan diantara warga
masyarakat. Semakin dinamis Hukum yang ada dalam masyarakat, maka Hukum akan
semakin dipercaya sebagai “obat” untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
timbul dalam hidup bermasyarakat.
Tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia, sempat
mengalami “DEGRADASI” yang sangat tajam. Banyaknya persoalan hukum yang mencuat
di tengah-tengah masyarakat, belum dapat diimbangi dengan peningkatan kinerja
dari aparat penegak hukum, bahkan tidak jarang pula terdapat “OKNUM” Penegak
Hukum, yang sejatinya hanya segelintir orang, yang turut pula melakiukan
perbuatan-perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah hukum di Indonesia.
Ali
Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM
seharusnya memperoleh tempat yang
semestinya, fungsi Hukum dalam arti
materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan
memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Bahwa
selama ini masyarakat hanya melihat Hukum hanya dari peraturan-peraturan yang
tertulis saja, semisal Undang-Undang dan sejenisnya, akan tetapi masyarakat
sering lupa bahwa tatanan kehidupan manusia diatur dan dibatasi oleh
norma-norma, yaitu norma sosial, norma Hukum, norma kesusialaan, norma agama,
sehingga Hukum hanyalah menjadi salah
satu bagian dari norma-norma tersebut.
Pemahaman
masyarakat yang hanya memahami norma hukum, tidak sepenuhnya dapat disalahkan,
mengingat selama ini sistem pendidikan di Indonesia, hanya menekankan pada
keberadaan hukum yang tertulis saja yang tidak boleh dilanggar, sedangkan
sesungguhnya masih terlalu banyak norma kehidupan dalam masyarakat yang apabila
dilanggar dapat menjadikan ketidakharmonisan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “NORMA” ?
Norma,
sebagaimana ARIEF SIDARTA[3],
menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan
suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan
satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan
dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya
mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia
mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal
tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang
tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma
mempunyai sifat umum, jika apa yang
dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku
yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada
anaknya”.[4]
Secara
sepintas, dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan dapat mengetahui bahwa
dirinya memiliki persamaan-persamaan dengan orang lain tetapi disisi lain juga
memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesadaran
dalam diri manusia bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman
pada suatu aturan yang oleh bagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan
ditaati oleh kaarena merupakan pegangaan baginya.[5]
Hukum
senantiasa harus dikaitkan dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja.
Bidang pengetahuan hukum pada umumnya memusatkan perhatian pada atura-aturan
yang dianggap oleh Pemerintah dan masyarakat sebagai aturan-aturan yang sah
berlaku dan oleh sebab itu harus ditaati, dan pengetahuan sosiologi sebagai
keseluruhan yang memusatkan perhatian pada tindakan-tindakan yang dalam
kenyataan diwujudkan oleh anggota dalam hubungan mereka satu sama lain, maka
untuk pengembangan hukum dan pengetahuan hukum dalam kehidupan masyarakat agar
tidak terpisah satu sama lain harus memperhatikan hukum dan kenyataan-kenyataan
dalam masyarakat.[6]
Dari
rangkaian Norma-norma yang hidup dalam masyarakat tersebut, akan menimbulkan
kewajiban-kewajiban dan hak bagi warga masyarakat yang bukan tidak mungkin akan
menimbulkan pertentangan-pertentangan bagi tiap-tiap warga masyarakat yang
apabila tidak bisa menimbulkan bentrokan yang bisa mengakibatkan kerugian bagi
warga masyarakat itu sendiri. Sehingga dengan demikian, menjadi tugas dari HUKUM
untuk menyelesaikan konflik dan memberikan keadilan bagi warga masyarakat.
B. Tindak Pidana Pencucian Uang
Sebagai Negara yang berdaulat,
Indonesia tentunya memiliki pemerintahan yang berdaulat pula, yang mempunyai kekuasaan
dan kewajiban untuk mengatur peri kehidupan warga negaranya. Kedaulatan
pemerintahan diperlukan sebagai dasar bagi terlaksananya jalannya pemerintahan
baik itu di bidang ekonomi, hukum, politik, soial, budaya dan berbagai segi
kehidupan lainnya.
Dengan berjalannya tata pemerintahan
yang baik, maka secara otomatis akan berjalan pula tata perekonomian dari suatu
negara. Indonesia sebagai salah satu negara yang masuk ke dalam kategori negara
berkembang, tentu saja sangat membutuhkan dasar-dasar perekonomian yang kuat,
oleh karenanya jalannya perekonomian tidak terlepas dari kuatnya penegakan
hukum dari negara, sebagai penyokong berjalannya roda perekonomian masyarakat.
Dengan kuatnya penegakan hukum, maka
dunia usaha juga akan mengapresiasi dalam bentuk masuknya modal segar ke dalam
perekonomian negara. Meski demikian, harus diakui bahwa masih banyak masalah
hukum, utamanya di bidang perekonomian, atau setidaknya yang dapat mengganggu
perekonomian di Indonesia yang masih belum diatur dalam peraturan perundang-undangan,
atau masi perlu pembenahan dari hukum di bidang yang mengatur perekonomian
negara.
Salah satu diantaranya adalah mengenai
Tindak Pidana Pencucian Uang (disingkat TPPU) yang di Indonesia diatur dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Meskipun merupakan tindak pidana
yang sifatnya masih baru di Indonesia, akan tetapi sadar maupun tidak sadar,
tindak pidana ini semakin lama semakin merajalela dan menggurita di dalam
kehidupan sosial masyarakat, sehingga oleh karenanya para Aparat Penegak Hukum
perlu lebih memahami keberadaan tentang tindak pidana ini.
Dalam pemaparan ini, hanya akan
dikemukakan beberapa hal saja yang mendasar dari Tindak Pidana Pencucian Uang,
yang banyak menjadi pokok bahasan dari par ahli hukum.
C. Sejarah Tindak Pidana Pencucian
Uang
Sebelum
membahas lebih lanjut mengenai tindak pidana pencucian uang ini, perlu kiranya
kita mengetahui sejarah asal usul dari tindak pidana ini dan kenapa tindak
pidana ini diberi nama dengan tindak pidana pencucian uang.
Dalam
sejarah, diketahui salah satunya adalah bahwa beberapa dekade lampau (utamanya)
di Amerika Serikat, tingkat kejahatan merajalela bahkan bisa dikatakan bahwa
Aparat Penegak Hukumpun menjadi (salah satu) pemeran di dalamnya. Kota-kota di
seantero Amerika dikuasi oleh mafia-mafia yang terdiri dari banyak klan maupun
bentuknya, namun keseluruhannya memiliki satu tujuan yaitu menguasai perekonomian
dengan cara tidak halal, salah satu yang terkenal adalah Al Capone.
Kejahatan
tersebut mencapai puncaknya pada sekitar tahun 1920an, ketika pecah perang
mafia antar geng yang mengakibatkan kerugian yang demikian besar, disamping
tindak kejahatan yang makin menggurita, praktek suap terjadi di seantaero
Amerika, perdagangan Narkotika, pelacuran dan masih banyak lagi macamnya, yang
seluruhnya sangat merugikan perekonomian Amerika. Para pelaku tindak kejahatan
inipun akhirnya mampu mengumpulkan dolar demi dolar yang semakin menumpuk, yang
kemudian menyebabkan mereka menjadi kebingungan untuk menyimpan harta kekayaannya
tersebut.
Ketika
uang tersebut akan disimpan di Bank, akan menimbulkan permasalahan perpajakan,
karena pemilik uang harus menjelaskan asal usul dari uang tersebut, apabila
disimpan di rumah, tentu akan membahayakan bagi pemilik uang tersebut. Dari hal
tersebut, akhirnya timbul suatu pemikiran, bahwa akan lebih aman apabila uang
tersebut digunakan sebagai investasi suatu kegiatan perekonomian, oleh
karenanya kemudian para pemilik uang tersebut, yang nota bene adalah para
pelaku kejahatan, kemudian memilih investasi dengan memberi ratusan mesin cuci
baju dan membuka usaha laundry (Laundrymart) di beberapa kota di Amerika.
Mererka beranggapan bahwa langkah yang mereka tempuh tersebut benar-benar telah
“mengamankan” harta mereka dan mereka juga mendapatkan keuntungan.
Akan
tetapi pada kenyataannya, Para Aparat Penegak Hukum (yang bersih tentunya)
dapat mengetahui prkatek kotor dari pelaku kejahatan tersebut, sehingga dengan
keterbatasan peraturan perundangan yang ada pada saat itu, mereka mampu
membongkar praktek CUCI UANG yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut,
akan tetapi pada saat itu pelaku (Al Capone) hanya dijerat dengan Undang-Undang
Perpajakan yaitu penggelapan pajak.
D. Arti Tindak Pidana Pencucian Uang
Secara
singkat, pencucian uang dapat diartikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. [7]
E. Tindak Pidana Pencucian Uang di
Indonesia
Masih
banyak anggota masyarakat, termasuk di antaranya adalah Para Aparat Penegak
Hukum yang belum memahami apa yang dimaksud dengan PENCUCIAN UANG. Suatu
pengertian baru di bidang hukum akan tetapi sudah lama menjadi praktek kotor
dari para pelaku kejahatan, terutama di luar Indonesia.
Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan
bahwa Pencucian uang adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini. Dari ketentuan
ini tentu akan membuat bingung bagi yang membacanya, sehingga perlu kiranya kita
membaca secara keseluruhan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang merupakan
perubahan dari Undang-Undnag Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang.
Sebelum membahas mengenai tindak
pidananya, maka perlu dicermati pula ketentuan Pasal 2 yang menyebutkan sebagai
berikut :
(1) Hasil
tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana :
a. Korupsi
;
b. Penyuapan
;
c. Narkotika
;
d. Psikotropika
;
e. Penyelundupan
tenaga kerja ;
f. Penyelundupan
imigran ;
g. Di
bidang perbankan ;
h. Di
bidang pasar modal ;
i.
Di bidang perasuransian ;
j.
Kepabeanan ;
k. Cukai
;
l.
Perdagangan orang ;
m. Perdagangan
senjata gelap ;
n. Terorisme
;
o. Penculikan
;
p. Pencurian
;
q. Penggelapan
;
r.
Penipuan ;
s. Pemalsuan
uang ;
t.
Perjudian ;
u. Prostitusi
;
v. Di
bidang perpajakan ;
w. Di
bidang kehutanan ;
x. Di
bidang lingkungan hidup ;
y. Di
bidang kelautan dan perikanan, atau ;
z. Tindak
pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat tahun atau lebih ;
yang dilakukan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
menurut hukum Indonesia ;
(2) Harta
Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan
secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi
teroris atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n ;
Dari ketentuan
Pasal 2 tersebut, di dalam penjelasannya ada beberapa hal yang perlu mendapat
penjelasan lebih lanjut, yaitu,
1. Yang
dimaksud dengan PENYUAPAN adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Suap ;
Sampai dengan saat ini
belum ada Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai tindak pidana suap, yang
ada adalah tindak pidana suap dipersamakan dengan gratifikasi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ;
2. Yang
dimaksud dengan penyelundupan tenaga kerja adalah penyelundupan tenaga kerja
adalah penyelundupan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai penempatan dan perlindungan tenaga Indonesia di luar negeri.
Untuk ketenagakerjaan,
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan, akan tetapi di dalam Undang-Undang tersebut sama sekali tidak
ditemukan adanya pengertian dan penjelasan dari kata penyelundupan tenaga kerja
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU juga tidak meberi penjelasan
seacara lengkap dari pengertian kata penyelundupan tenaga kerja ;
3. Yang
dimaksud dengan penyelundupan migran adalah penyelundupan migran sebagiamana
dimaksud dalam Undang-Undang mengeni Kemigrasian ;
Dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011, tidak dikenal istilah penyelundupan migran, tetapi
menggunakan istilah Penyelundupan Manusia, yaitu perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung
maupun tidak langsung, untuk diri
sendiri atau untuk orang lain
yang membawa seseorang
atau kelompok orang, baik secara
terorganisasi maupun tidak
terorganisasi, atau memerintahkan orang
lain untuk membawa seseorang
atau kelompok orang, baik secara
terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang
tidak memiliki hak secara
sah untuk memasuki Wilayah Indonesia atau
keluar Wilayah Indonesia dan/atau
masuk wilayah negara
lain yang orang tersebut tidak memiliki hak untuk
memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan menggunakan dokumen sah maupun dokumen palsu, atau tanpa menggunakan Dokumen
Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomo 6 Tahun 2011 ;
4. Yang
dimaksud dengan perdagangan orang adalah perdagangan orang sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang mengenai Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang ;
Di dalam KUHP, mengenai
perdagangan orang sebagaimana diatur dalam Pasal 324 sampai dengan Pasal 327
tetapi masih menggunakan istilah perbudakan, sedangkan dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan
di dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan, Perdagangan
Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi” ;
5. Yang
dimaksud dengan perdagangan senjata gelap adalah perdagangan senjata gelap
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang
mengubah Prdonantietijdelijke Bizondere Strafbepalingen (Staatsblad 1948 : 17)
dan Undang-Undnag Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 tentang
Pendaftaran dan Pemberian Ijin Senjata Api ;
Dalam Undang-Undang
Darurat Nomor 12 Tahun 1951 mengenai perdagangan senjata gelap diatur di dalam
Pasal 1 ayat (1) yang hingga saat ini belum ada penggantinya terhadap
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 ;
6. Yang
dimaksud dengan penculikan dalah penculikan sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana ;
Dalam KUHP diatur di
dalam Pasal 328 KUHP yang
dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Penculikan sedangkan dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 ;
7. Yang
dimaksud dengan prostitusi adalah prostitusi sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang mengenai Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang ;
Di dalam KUHP,
prostitusi diatur sebagaimana tercantum dalam Pasal 296 sampai dengan Pasal 298
dengan kualifikasi adalah Tindak Pidana Pelacuran, sedangkan di dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak
disebutkan secara khusus mengenai prostitusi hanya mengatur mengenai ancaman
pidana terhadap orang yang melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang
menyebabkan korban menjadi tereksploitasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 8
sampai dengan Pasal 2 sampai dengan Pasal 7 ;
8. Sedangkan
mengenai tindak pidana lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 seperti tindak pidana yang berkaitan dengan perbankan,
pasar modal, kepabeanan, cukai, terorisme, pemalsuan uang, perpajakanm
kehutanan, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan serta tindak pidana lain
yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, tidak diberikan
penjelasan sama sekali di dalam Penjelasan Pasal demi Pasal dalam Undang-Undang
ini.
F.
Subyek
atau Pelaku Tindak Pidana
Dalam Undang-Undnag Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, disebutka ada 2
(dua) pelaku atau subyek tindak pidana pencucian uang, yaitu Orang dan
Korporasi. Dalam hal pelaku tindak pidana pencucian uang adalah ORANG, telah
diatur di dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, sedangkan mengenai pelaku adalah
KORPORASI, diatur di dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 10.
Namun
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ini, secara tersirat, dikenal adanya istilah PELAKU AKTIF dan PELAKU
PASIF, meskipun tidak dijelaskan atau tercantum di dalam ketentuan
Undang-Undang ini. Terhadap kedua istilah pelaku tersebut, dapat kiranya
dijelaskan secara singkat sebagaimana urain tersebut di bawah ini.
Pelaku
Aktif adalah orang atau korporasi yang bertindak secara aktif melakukan perbuatan
atau tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang,
sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana dalam Undang-Undang ini, misalkan
mentransfer, menempatkan dan lain sebagainya harta kekayaan yang diduga
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2, sedangkan
Pelaku Pasif adalah orang atau korporasi yang menerima atau menguasai
penempatan harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 2. Mengenai ketentuan pidana dari Undang-Undang ini akan
dibahas dalam uraian selanjutnya.
Dari
uraian tersebut di atas, dalam bahasa awam, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang
ini bagaikan menebar pukat harimau di lautan, apapun yang ada di lautan akan
terangkat ke permukaan, sehingga seakan-akan tidak memberikan keadilan bagi
masyarakat yang sama sekali tidak tahu menahu mengenai keberadaan suatu harta
kekayaan (misalkan uang) dalam jumlah yang sangat besar yang secara tiba-tiba
masuk / ditransferkan ke dalam rekeningnya, terlebih sebagian besar masyarakat
Indonesia hidup di pedesaan yang masih belum paham benar mengenai praktek
perbankan.
Sehingga
apabila terdapat kejadian tersebut, perlu kiranya bagi para pemilik rekening
bank untuk secepatnya melakukan konfirmasi kepada bank yang bersangkutan untuk
meminta kejelasan terhadap adanya transfer masuk ataupun (mungkin) transfer
keluar dalam jumlah yang besar, sekaligus untuk menjelaskan apabila memang
pemilik rekening tersebut tidak pernah berhubungan ataupun kenal dengan orang
atau korporasi yang melakukan illegal transfer tersebut.
G. Modus Pencucian Uang
Pada dasarnya proses pencucian uang
dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) tahap kegiatan yang meliputi : [8]
·
Penempatan (Placement), adalah upaya menempatkan uang
tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial
system), atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat
deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem
perbankan ;
·
Transfer (Layering), adalah upaya untuk mentransfer
harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah
berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil
upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa keuangan yang lain. Sebagai
contoh adalah dengan melakukan beberapa kali transaksi atau transfer dana ;
·
Penggunaan harta kekayaan (Integration), adalah upaya
menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil
masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis
yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Sebagai contoh
adalah dengan pembelian aset dan membuka/melakukan kegiatan usaha ;
H. Aturan Pidana :
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
telah mengatur mengani ketentuan pidana bagi orang ataupun korposai yang
melanggarnya, yaitu diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 10. Di dalam
praktek, para Aparat Penegak Hukum lebih sering menerapkan ketentuan Pasal 3
sampai dengan 5 ketika menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana
pencucian uang.
Secara singkat akan diuraikan satu
persatu ketentuan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, mengenai orang yang melakukan
tindak pidana pencucian uang, sedangkan terhadap korporasi diatur di dalam
Pasal 6 sampai dengan Pasal 10.
Dalam Pasal 3 menyebutkan, Setiap orang yang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diketahuinya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat(1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah). Pada penjelasan Pasal 3 ini, hanya disebutkan CUKUP JELAS,
meskipun sebenarnya ada hal yang belum jelas dan membutuhkan penjelasan lebih
lanjut.
Pasal 4 menyebutkan, Setiap orang yang menyebunyikan atau
menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau
kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dipidanan karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) . Dalam penjelasan Pasal 4 inipun ditulis CUKUP JELAS, tidak
dijelaskan sama sekali mengenai pengertian tentang MENYEMBUNYIKAN atau
MENYAMARKAN, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 tersebut.
Dalam Pasal 5 menyebutkan, (1) Setiap orang yang menerima atau
menguasai pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam
penjelasan Pasal 5 ini hanya menjelaskan mengenai pengertian dari kata patut
diduganya yang dairtikan sebagai suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya
pengetahuan, keinginan atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang
diketahuinya mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.
I.
PPATK
(Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
Di dalam Tindak
Pidana Pencucian Uang, melibatkan instansi baru yang bernama PPATK (Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) . Lembaga ini merupakan lembaga
independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan
pencegahan dan pemberantasaan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian
uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. [9]
Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Pencucian Uang yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
PPATK ini yang
memiliki peranan yang vital di dalam membantu penyelidikan, penyidikan ,
penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana pencucian uang, yaitu dengan
memeriksa apa yang disebut dengan TRANSAKSI MENCURIGAKAN, yaitu :
a. Transaksi
Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik atau kebiasaan pola
transaksi dari pengguna jasa keuangan ;
b. Transaksi
Keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan pihak
pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini ;
c. Transaksi
Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena
melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Laporan dari
PPATK inilah yang seharusnya menjadi bukti awal dari adanya TPPU dan tanpa
adanya laporan dari PPATK, tentunya Aparat Penegak Hukum akan kesulitan
membuktikan adanya TPPU.
J.
Dualisme
TPPU sebagai Tindak Pidana yang berdiri sendiri atau Tindak Pidana Turunan
Sampai
dengan saat ini, masih terjadi dualisme pandangan dari para ahli hukum terhadap
keberadaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yaitu apakah TPPU merupakan
tindak pidana yang berdiri sendiri atau tindak pidana yang merupkan turunan
(ikutan) dari tindak pidana lainnya yang merupakan tindak pidana pokok.
Apabila
kita membaca ketentuan Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Penceegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka dapat
disimpulkan bahwa apa yang tercantum dalam Pasal 2 tersebut merupakan tindak
pidana pokok dari TPPU karena Harta Kekayaan yang menjadi obyek TTPU adalah
berasal dari tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 2
tersebut, akan tetapi apabila kta membaca pada ketentuan Pasal 69 meyebutkan
bahwa Untuk dapat dilakukan penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Ketentuan
Pasal 69 inipun di dalam Penjelasannya hanya menyebutkan CUKUP JELAS, sehingga
tentunya agak membingungkan bagi kita sebagai Aparat Penegak Hukum di dalam
bersikap atas 2 (dua) pasal tersebut.
Akan
tetapi apabila kita melihat kepada alasan logis dari adanya ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, tentunya kita akan mengatakan bahwa
TPPU ada karena adanya tindak pidana asal sebagaimana ketentuan Pasal 2, karena
dalam ketentuan pidana dalam Pasal 3 samapai dengan 10, khususnya dalam Pasal 3
sampai dengan 5, kesemuanya pada intinya menyebutkan adanya Harta Kekayaan yang
diduga didapat dari tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 2. Atas
dasar itulah sudah seharusnya apabila di dalam penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan persidangan terhadap TPPU ini harus pula dibuktikan terlebih dahulu
adanya tindak pidana asalnya (pokoknya), terutama apabila subyek hukumyang
melakukan TPPU ini berbeda dari subyek hukum yang melakukan tindak pidana asal,
meski demikian, sekalipun subyek hukumnya antara pelaku TPPU dan tindak pidana
asal adalah sama, tentunya harus dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya untuk membuktikan DUGAAN asal usul Harta Kekayaan yang digunakan dalam
TPPU.
Dengan
telah jelasnya asal usul Harta Kekayaan yang digunakan dalam TPPU, tentunya
akan lebih mudah membuktikan TPPU di persidangan, karena seluruh data mengenai
asal usul Harta Kekayaan tersebut telah terbukti kebenarannya, meskipun harus
diakui bahwa pembuktian Harta Kekayaan tersebut tentunya menyita lebih banyak
waktu dan perhatian selama proses pembuktiannya.
K. PENUTUP
Sebagai
suatu hal yang baru, TPPU tentunya lebih membutuhkan kecermatan dan ketelitian
di dalam setiap proses pemeriksaannya. Hal ini bukan hanya mengenai subyek dan
obyek dari TPPU itu sendiri, akan tetapi di dalam pembuktiaannya juga
melibatkan adanya DOKUMEN ELEKTRONIK berupa rekam jejak transaksi keuangan,
baik melalui jasa perbankan maupun jasa keuangan non bank.
Meskipun data yang digunakan sebagai
alat bukti di persidangan lebih banyak didapatkan dari Laporan PPATK, namun
perlu adanya kecermatan dari Hakim yang mengadilinya karena Hakim harus yakin
bahwa dokumen elektronik yang dijadikan alat bukti adalah dokumen yang otentik
dan bukan dokumen yang dibuat berdasarkan rekayasa. Dengan penilaian secara
teliti dan cermat tentunya Hakim yang mengadili akan dapat mempertimbangkan
apakah benar telah terjadi TPPU.
L. DAFTAR PUSTAKA
A.
DAFTAR
BACAAN
1. Ali
Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah
Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama
dengan Penerbit Teras, Semarang ;
2. ARIEF
SIDARTA, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung ;
3. Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2003, Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, Palu ;
4. Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta ;
LINK
INTERNET :
1. http://info-ful.blogspot.com/2013/05/memahami-pengertian-tahap-tahap-dan.html,
diunduh : 14 Januari 2015 ;
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Pelaporan_dan_Analisis_Transaksi_Keuangan,
diunduh : 14 Januari 2015
[1] Wakil
Ketua pada Pengadilan Negeri Kutacane, Aceh.
[2] Ali
Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah
Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama
dengan Penerbit Teras, Semarang, h. 148.
[3] ARIEF
SIDARTA, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[4] Ibid,
hal 19-20.
[5] Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, h. 9.
[7]http://info-ful.blogspot.com/2013/05/memahami-pengertian-tahap-tahap-dan.html,
diunduh : 14 Januari 2015 ;
.
[8]http://info-ful.blogspot.com/2013/05/memahami-pengertian-tahap-tahap-dan.html,
diunduh : 14 Januari 2015.
.
[9]http://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Pelaporan_dan_Analisis_Transaksi_Keuangan,
diunduh : 14 Januari 2015
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar