Rabu, 27 September 2017

PENCEGAHAN

Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, ada satu hal yang terlupakan, yaitu tindakan pencegahan. Saat ini kita baru berbicara mengenai penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, akan tetapi yang lebih efektif adalah tindakan pencegahan. Dengan adanya tindakan pencegahan, tentu akan membuat setiap orang berpikir ribuan kali ketika ada kesempatan untuk melakukan perilaku koruptif. Pencegahan berarti menyadarkan setiap orang bahwa perilaku koruptif tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga merugikan bangsa dan negaranya sendiri. Efek dari perilaku korupsi mungkin tidak seketika namun bisa terjadi beberapa tahun di kemudian hari, akan tetapi dari efek tersebut akan menyengsarakan banyak orang dan bisa menyebabkan terhentinya pembangunan negara.

Senin, 25 September 2017

BUDAYA KORUPTIF

Sebuah budaya yang dilakukan secara terus menerus suatu saat bisa menjadi suatu hal baku, yang harus dilakukan. Contohnya, budaya tertib berlalu lintas yang apabila dilakukan secara terus menerus tentu bisa menjadi sesuatu yang harus dilakukan dan bisa diundangkan. Akan tetapi sangat disayangkan apabila budaya yang dilakukan secara terus menerus tersebut adalah budaya KORUPSI. Dapat dibayangkan akan menjadi apa bangsa ini apabila budaya korupsi terus menerus dilakukan yang (mungkin) suatu saat menjadi sesuatu yang harus dilakukan. Saat kita memutus rantai budaya korupsi tersebut dengan mengambil tindakan nyata, setidaknya mengawal perilaku koruptif yang sudah masuk ranah penyidikan, penuntutan dan persidangan, supaya aparat penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi tersebut tidak ikut terbawa arus dalam perilaku koruptif.

Rabu, 20 September 2017

Penerapan Pidana Mati dalam perkara TIPIKOR

Penerapan Pidana Mati dalam perkara TIPIKOR

Membicarakan tindak pidana korupsi tentu akan pula membacara mengenai pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya. Salah satu  bentuk pemidanaan dalam hukum pidana adalah hukuman mati dan hukuman mati inipun telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun sampai saat ini tidak pernah diterapkan. Pertanyaannya adalah dapatkah pidana mati diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi ? Hal ini yang banyak dipertanyakan oleh masyarakat bahwa karena tindak pidana korupsi sudah sangat menjamur dan mengganggu perekonomian negara sekaligus mengganggu pembangunan. Apabila kita membaca kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka kita harus membaca ketentuan pasal 2 yang menyebutkan :
(1) Setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ;
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Penjelasan dari ketentuan pasal 2 ayat (2) menyebutkan "Yang dimaksud dengan KEADAAN TERTENTU dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pda waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Dalam praktek, ketentuan pasal 2 ayat (2) ini belum pernah diterapkan, walaupun pada kenyataannya pada saat ini, negara dalam keadaan membangun dan membutuhkan kekuatan keuangan yang besar sehingga kiranya sudah patut apabila terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat diterapkan ketentuan pasal 2 ayat (2) sebagai pemberian efek jera dan juga untuk mencegah orang lain melakukan tindak pidana korupsi.
            Fakta yang ada selama ini membuktikan bahwa dihukumnya seseorang karena melakukan tindak pidana korupsi ternyata tidak membuat orang lain melakukan perbuatan yang sama. Bahkan ada kecenderungan bahwa jumlah pelaku tindak pidana korupsi, dalam segala bentuknya, semakin merajalela dan menggurita. Tidak lagi mengenal tempat dimana tindak pidana korupsi tersebut dilakukan, orang yang melakukannya maupun obyek yang dikorupsi, seakan-akan sudah menjadi paradigma bahwa kalau tidak melakukan korupsi, tidak afdol menjadi pejabat atau penyelenggara negara.
            Adalah penilaian hanya dilakukan secara apa yang dilihat, contohnya seseorang akan dipandang sebagai sosok terpandang apabila mempunyai kedudukan atau jabatan yang tinggi, memiliki mobil berjejer, rumah mewah yang banyak jumlahnya, memakai jam tangan berharga puluhan atau ratusan juta rupiah dan masih banyak contoh lainnya. Sikap hedonisme inilah yang sebenarnya menjadi penyebab utama seseorang melakukan tindak pidana korupsi, disamping ada juga seseorang yang melakukan korupsi karena ketidakpahamannya akan tugas dan fungsinya sebagai pejabat atau penyelenggara negara. Selain ada pula penyebab seseorang melakukan tindak pidana korupsi karena merasa dirinya memiliki kekuasaan sehingga kekuasaan tersebut dapat digunakan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya,
            Secara historis atau sejarah, perilaku koruptif ini sudah ada sejak berdirinya negara ini, sejarah mencatat bahwa upaya pencegahan dan penindakan korupsi sudah dilakukan sejak Kabinet Djuanda, yaitu dalam Kabinet Djuanda, dikenal lembaga negara yang disebut PARAN atau Panitia Retooling Aparatur Negara. Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada PARAN inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada PARAN, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, PARAN berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
            Kegagalan ini diatasi dengan sebutan Operasi Budhi pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi. Namun usaha inipun mengalami kegagalan dikarenakan adanya upaya penolakan dari direksi-dierksi perusahaan negara maupu pejabat negara meskipun berhasil mengembalikan keuangan negara yang dikorupsi sebesar Rp 11.000.000.000,00 (sebelas miliar rupiah) yang merupakan nilai yang sangat besar pada masa itu dan sebenarnya merupakan suatu prestasi yang menakjubkan, di tengah praktek demokrasi terpimpin yang terpusat pada satu orang yaitu Presiden Ir. Soekarnno.
            Operasi Budhi ini kemudian dibubarkan dan diganti dengan Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Akan tetapi dalam perjalanannya, lembaga anti korupsi inipun tidak berdaya memberantas perilaku koruptif di Indonesia.
            Sejarahpun kemudian mencatat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 1999 sebagai lembaga antiu korupsi terbaru yang pada awalnya pembentukannya sebenarnya bertujuan sebagai pemicu (trigger) dalam upaya pemberantasan korupsi, sebagai akibat dari lemahnya upaya penegakan korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) maupun Kepolisia Indonesia (Polri). Namun dalam perkembangannya, KPK akhirnya menjadi lembaga super body dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dan sudah menunjukkan prestasi yang membanggakan, ditengah cibiran dan upaya pelemahan KPK.
            Harus dipahami bahwa sekuat apapun upaya KPK dalam memberantas korupsi tidak akan terlepas dari peran serta masyarakat di dalam upaya mencegah  dan mengantisipasi perilaku korupsif di lingkungannya. Masyarakat harus sadar bahwa efek dari perilaku koruptif tidak hanya merugikan dirinya sendiri namun juga merugikan masyarakat di sekitarnya bahkan merugikan bangsa dan negaranya. Terlebih saat ini Indonesia sedang giat-giatnya membangun, mengejar ketertinggalan dari negara lain yang tentu saja membutuhkan pembiayaan yang besar. Dapat dibayangkan, misalkan dana yang tersedia direncanakan untuk  digunakan untuk membangun 1000 (seribu) gedung sekolah beserta fasilitasnya, namun kemudian dikorupsi serta dinikmati hanya oleh segelintir orang, apa yang akan dihasilkan ? Tentunya target 100 (seribu) gedung sekolah tidak tercapai, gedung yang terbangun secara asal jadi, fasilitas seadanya, gedung yang mudah rusak bahkan roboh dan berbagai macam persoalan lainnya. Ini hanya sedikit contoh dari perilaku koruptif yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara.
Hal-hal seperti inilah seharusnya dapat dinyatakan sebagai KEADAAN TERTENTU, sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menjadi dasar penjatuhan pidana mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Sudah saatnya Indonesia menerapkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi mengingat dampak yang diakibatkan adanya perilaku koruptif yang dilakukan oleh segelintir orang tetapi memmbawa bencana bagi bangsa dan negara. Terlebih apabila perilaku koruptif tersebut dilakukan oleh orang-orang terhormat di jajaran Eksekutif, Legistlatif maupun Yudikatif, yang biasaya dilakukan secara berjamaah dan menyangkut jumlah uang yang sangat besar.
Pengertian KEADAAN TERTENTU sudah saatnya bergeser dari yang tercantum dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dan harus diterapkan pada perkara-perkara tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dalam jumlah besar. Aparat penegak hukum dalam hal ini adalah KPK harus sudah berubah cara berpikirnya (mind set) dengan menganggap bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang membutuhkan upaya pemberantasan yang bersifat menyeluruh dan dapat menghabisinya sampai ke akar-akarnya, tidak hanya terhadap pelaku tetapi juga terhadap keluarga maupun koleganya yang turut menikmati hasil perilaku koruptif tersebut.
Dibutuhkan keberanian dari KPK sebagai pemicu (trigger) upaya pemberantasan tindak pidana korupsi untuk mencantumkan ketentuan pasal 2 ayat (2)  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut. Penerapan pasal yang memuat ancaman pidana mati pada tindak pidana korupsi, kiranya akan lebih efektif memberikan shock terrapy bagi setiap orang untuk tidak melakukan tindak pidana serupa. Hal ini mengingat sifat dari orang Indonesia yang cenderung patuh pada hukum / peraturan apabila ada upaya paksa sehingga tidak akan memberikan peluang untuk memberikan argumentasi atau pembelaan yang cenderung membenarkan tindakannya meskipun sudah jelas bahwa tindakannya tersebut melanggar hukum.
Tentunya akhir dari upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak terlepas dari peran aktif dari Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dibutuhkan pula keberanian dari hakim-hakim yang menyidangkan perkara tindak pidana korupsi untuk menjatuhkan pidana maksimal bahkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Peningkatan kualitas serta kuantitas hakim-hakim yang menangani tindak pidana korupsi perlu dilakukan mengingat bahwa jumlah perkara tindak pidana korupsi yang begitu banyak dan tersebar hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, sehingga membutuhkan hakim tindak pidana korupsi yang memiliki kualitas yang baik dan dengan jumlah yang sebanding dengan jumlah perkaranya.
Meskipun saat ini banyak upaya penolakan terhadap penjatuhan pidana mati akan tetapi mengingat bahwa tindak pidana korupsi sudah merupakan ancaman yang serius bagi bangsa dan negara maka perlu ketegasan dari aparat penegak hukum untuk berani menerapkan pasal yang memuat penjatuhan pidana mati. Perilaku koruptif justru melanggar hak asasi orang banyak mengingat ada hak yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat dari hasil pembangunan akan tetapi dengan adanya perilaku koruptif ini, hasil pembangunan menjadi gagal dan pembiayaan pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang tidak pernah merasa berdosa telah melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah, baik melalui KPK maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi namun juga harus didukung oleh pihak Kejaksaan melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepolisian memlaui Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Kedua institusi ini harus segera berbenah dengan cara meningkatkan kualitas personilnya dalam upaya optimal pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan bahwa Kejagung dan Polri merupakan ujung tombak penegakan hukum di Indonesia, yang harus kuat pula komitmennya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Terakhir, peran serta media massa baik media online maupun media cetak, sebagai salah satu pilar pembangunan bangsa harus berperan aktif dalam mengawasi kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Aktif memberitakan sesuai dengan fakta yang ada dan turut pula mendorong timbulnya keberanian dari aparat penegakan hukum untuk dapat menjatuhkan pidana mati kepada pelaku tindak pidana korupsi. Peran aktif media massa juga merupakan perwujudan dari peran aktif masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Semoga pemaparan ini dapat menjadi pemicu (trigger) bagi aparat penegak hukum untuk dapat menerapkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Dengan penerapan pidana mati diharapkan akan mengurangi secara signifikan jumlah pelaku tindak pidana korupsi dan juga jumlah kerugian keuangan negara yang akan berimbas pula pada lancarnya roda pembangunan di negara yang kita cintai ini. Sebagai penutup, patut kiranya kita kutip semboyan dari KPK, BERANI JUJUR, HEBAT.





Selasa, 12 September 2017

KEJAHATAN YANG MEMBAHAYAKAN

Tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan narkotika menjadi kejahatan yang akan mematikan generasi penerus bangsa. Korupsi akan menghancurkan segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga negara tidak bisa meneruskan pembangunan di masa yang akan datang sedangkan penyalahgunaan narkotika menjadi kejahatan yang efektif menghancurkan nasib anak-anak muda di Indonesia. Perlu upaya yang masif untuk memberantasnya bila ingin Indonesia menjadi negara yang kuat. Bukan hanya mnjadi tanggung jawab pemerintah melalui Aparat Penegak Hukum (APH) tetapi juga perlu adanya peran serta masyarakat secara aktif, terutama dalam rangka mencegah sebelum tindak pidana tersebut terjadi.

HAKIM

Hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum haruslah orang yang mempunyai integritas yang tinggi, yang mampunyai tingkat keilmuan yang mumpuni dan tidak silau akan keduniawian.

HAKIM

Seorang hakim yang masih tergiur dengan kemegahan duniawi berarti dirinya belum selesai dengan urusan pribadinya. Setiap orang memang membutuhkan uang tetapi bekerja sesuai tupoksinya akan memberikan hasil yang halal dan lebih bermanfaat dibandingkan dengan melakukan tindakan-tindakan tercela.

KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak hanya dialami oleh pihak wanita (istri) saja tetapi terkadang dialami oleh pihak pria (suami) juga. Secara verbal, tindakan KDRT bisa terjadi karena ucapan sang istri yang meremehkan hasil kerja keras suaminya tetapi KDRT terjadi secara fisik, yaitu ketika sang istri melakukan tindakan fisik, seperti memukul, menendang, menjambak, kepada pihak suami. Bagaimanapun, suami istri harus bijak dalam membina hubungan rumah tangganya sehingga terhindar dari perilaku KDRT.

AKTIF MEMBERANTAS KORUPSI

Masyarakat harus pro aktif dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi. Mengingat tindak pidana korupsi sudah menjadi musuh bersama bangsa Indonesia yang menginginkan praktek ketatanegaraan yang bersih dari praktek-praktek Kolusi? Korupsi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana pernah digaungkan dari tahun 1998 sampai dengan sekarang. Kalau bukan kita yang aktif, siapa lagi? Ayo kita lawan korupsi, jadikan negeri ini bersih dari praktek ilegal yang merugikan tata kehidupan berbangsa dan bernegara.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...