Kembali
ramai pemberiataan mengenai sebuah film singkat dengan judul Iced Cool yang membahas kembali mengenai
perkara kopi sianida yang melibatkan seorang Terdakwa bernama Jessica Kumala Wongso
yang sudah diputus dengan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yaitu dengan
putusan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun penjara. Apapun putusan yang
dijatuhkan tersebut, harus kita hormati, mengingat negara kita menjujung tinggi
supremasi hukum sebagai salah satu sarana pengatur tata kehidupan masyarakat.
Catatan
ini bukan bermaksud membahas mengenai putusan yang sudah dijatuhkan, hanya
sekedar membahas hal-hal kecil yang mungkin terlewatkan selama persidangan
kasus tersebut, baik di tingkat pertama (di Pengadilan Negeri), di tingkat
banding (di Pengadilan Tinggi), di tingkat kasasi (di Mahkamah Agung) maupun di
tingkat peninjauan kembali (di Mahkamah Agung). Hal ini hanya sebagai pengingat
bagi kita semua, bahwa jalannya persidangan harus dilakukan secara detail dan
teliti sehingga bisa menghasilkan putusan yang berdasarkan fakta hukum yang
terungkap dalam persidangan.
Perkara
kopi sianida terjadi di tahun 2016 dan putusan atas perkara tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde) pada tahun 2017. Dari jalannya persidangan perkara tersebut,
dapat diberikan beberapa catatan singkat :
1)
Belum diterapkannya Scientific Evidence sebagai alat bukti dalam persidangan, yaitu:
- Pada
tahun-tahun tersebut prsedur persidangan perkara pidana, khususnya dalam hal pembuktian, masih mengacu kepada
ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan alat bukti yang sah adalah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan Terdakwa;
- Untuk
keterangan saksi, sangat mungkin terjadi tidak ada saksi yang melihat langsung
kejadian tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa;
- Untuk
keterangan ahli, hanya didsarkan pada keilmuan yang dimilki oleh ahli yang
diperiksa di persidangan yang tidak akan menjelaskan fakta yang terjadi pada
tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa maupun kondisi korban;
- Untuk
bukti surat, masih didasarkan pada surat-surat yang dibuat atas sumpah atau
surat yang dikuatkan dengan sumpah yang hanya tertuju pada surat berupa akta
resmi maupun akta di bawah tangan yang dikuatkan oleh sumpah;
- Untuk
petunjuk, masih didasarkan pada kesesuaian antara bukti keterangan saksi,
keterangan ahli, bukti surat maupun keterangan Terdakwa;
- Untuk
keterangan Terdakwa, sangat mungkin Terdakwa akan menyangkal segala dakwaan
terhadap dirinya dengan berbagai alibi;
- Pada
perkara a quo hanya terdapat bukti
surat Visum et Repertum yang kekuatan pembuktiannya cukup lemah mengingat dalam
perkara pembunuhan atau menghilangkan nyawa seseorang, seharusnya dilakukan Otopsi yang kemudian dituangkan dalam
Berita Acara Otopsi yang dapat digunakan sebagai bukti berdasarkan keilmuan
atau Scientific Evidence;
- Ketika
putusan Hakim didasarkan pada Scientific
Evidence maka putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dan bukan putusan yang berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah;
- Sebenarnya
penggunaan Scientific Evidence sebagai
alat pembuktian di persidangan, baru muncul
dan digunakan pada pertengahan tahun 2016 akan tetapi belum digunakan secara
merata, bahkan di pengadilan negeri yang berada di Jakarta sekalipun;
- Selain
Berita Acara Otopsi, yang juga termasuk dalam Scientific Evidence adalah Berita Acara Digital Forensic yang akan dijelaskan di bawah;
-
Scientific
Evidence seharusnya sudah masuk di dalam ketentuan bukti
surat sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagaimana telah penuis
jelaskan dalam tulisan sebelumnya di https://santhoshakim.blogspot.com/search?q=alat+bukti+ilmiah;
2)
Tidak dilakukannya Otopsi, yaitu :
-
Dalam berbagai kasus pembunuhan atau
penghilangan nyawa seseorang, pihak Penyidik selalu meminta dilakukannya otopsi
kepada pihak yang berwenang, yaitu pihak Kedokteran Forensik yang ada di Rumah
Sakit;
-
Alasan harus dilakukannya otopsi adalah
supaya dapat diketahui secara tepat penyebab kematian seseorang dalam suatu
perkara pidana;
-
Sangat mungkin terjadi seseorang
meninggal bukan karena sabetan senjata tajam atau terkena peluru senjata api
tetapi karena keracunan minuman atau makanan, meskipun di tubuh orang tersebut
terdapat bekas tebasan senjata tajam atau lubang peluru dari senjata api;
-
Keakuratan dari penyebab kematian korban
dari hasil otopsi ini yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Otopsi yang
akan digunakan sebagai bukti berdasarkan keilmuan atau Scientific Evidence;
-
Dengan adanya Scientific Evidence, maka apapun putusan Hakim dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dapat menjadi rujukan bagi putusan sejenis
selanjutnya atau (jurisprudence);
3)
Tidak dilakukannya Digital Forensic, yaitu :
-
Pada persidangan kasus kopi sianida juga
dimunculkan bukti rekaman CCTV yang bisa menggambarkan keadaan pada saat
kejadian;
-
Dalam tulisan penulis sebelumnya di https://santhoshakim.blogspot.com/search?q=digital+forensic,
telah dijelaskan bagaimana tahapan sebuah dokumen elektronik, baik itu berupa
email maupun gambar atau film bisa dijadikan alat bukti di persidangan;
-
Dalam kasus a quo, baik Penyidik maupun Penuntut Umum tidak melakukan Digital Forensic terhadap bukti dalam
CCTV, bahkan Majelis Hakimpun tidak pula menanyakan apakah terhadap barang
bukti CCTV sudah dilakukan Digital
Forensic atau belum;
-
Dalam persidangan modern, ketiadaan Digital Forensic atas suatu bukti
digital, maka bukti digital tersebut harus dinyatakan tidak dapat digunakan
sebagai alat bukti di persidangan;
- Apabila
terhadap suatu bukti digital sudah dilakukan Digital Forensic, maka bukti digital tersebut sudah dikategorikan
sebagai bukti berdasarkan keilmuan atau Scientific
Evidence;
Kiranya, hal tersebut di atas yang
menjadi catatan dari perkara kopi sianida yang saat ini putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht
van gewijsde). Semoga hal ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua
dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar