Membicarakan mengenai fungsi
sosial dari tanah, maka pertanyaan adalah apakah Pemerintah sebagai pemegang
amanat rakyat dalam mewujudkan keadilan bagi rakyat bisa dengan seenaknya
mengambil tanah yang dikuasai masyarakat yang memiliki alas hak yang sah,
seperti Serifikat Hak Milik (SHM)? Jawabannya tentu tidak. Pemerintah tetap
harus menghargai kepemilikan tanah oleh masyarakat dengan cara memberikan
penggantian kepada warga masyarakat yang tanahnya akan diambil oleh Pemerintah
yang akan digunakan untuk membangun sarana umum atau fasilitas sosial.
bagaimana bentuk penggantian
tersebut? Penggantian tersebut bisa dalam bentuk uang atau bentuk lainnya
seperti pengganti lahan yang disebut dengan relokasi atau bentuk lainnya
seperti setelah memberikan penggantian dalam bentuk uang, Pemerintah dapat juga
memberikan hak kepada masyarakat yang tanahnya digunakan untuk kepentingan
sosial, untuk bisa beraktifiktas di lahan yang sudah dibangun tersebut.
Kepentingan umum sebagai
fungsi sosial tidak terbatas pada pembangunan lahan pemakaman atau pembangunan
jalan, tetapi juga bisa dalam bentuk pembangunan pabrik yang memproduksi
kebutuhan masyarakat. Apabila lahan yang dibangun tersebut benar dibangunkan
gedung pabrik, maka bisa juga Pemerintah memberikan prioritas kepada masyarakat
yang lahannyaa digunakan untuk bekerja pada pabrik yang dibangun tersebut
dengan berbagai posisi kerja sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota
masyarakat tersebut.
Apabila penggantian tersebut
dalam bentuk pemberian uang, maka saat ini sudah tidak dikenal istilah GANTI
RUGI namun sudah menjadi GANTI UNTUNG, yaitu dengan memberikan penggantian
sesuai dengan harga pasaran suatu lahan, termasuk bangunan yang berdiri di
atasnya dan bukan lagi harga didasarkan pada perhitungan sepihak dari
Pemerintah saja namun juga penetapan harga tersebut juga melibatkan masyarakat
yang tanahnya akan digunakan.
Bagamana apabila tanah yang
akan digunakan merupakan hutan? Pada dasarnya hutan dikuasai oleh Pemerintah
yang harus digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Apabila pada hutan
tersebut terletak alas hak berdasarkan Hukum Adat, maka setidaknya masyarakat
di sekitar hutan tersebut mengajukan permohonan secara tertulis kepada Badan
Pertanahan Nasional untuk dibuatkan Penetapan suatu kawasan hutan sebagai hutan
yang mempunyai alas hak berdasarkan Hukum Adat. Hal ini disebabkan Hukum Adat
memang diakui keberadaannya dalam sistem hukum nasional Indonesia, akan tetapi
seringkali belum ada kesadaran dari masyarakat yang mengakui Hukum Adat sebagai
hukum yang mengatur kehidupan sosialnya yang menyatakan hak tersebut, yang
harus dlakukan dengan mengajukan permohonan sebagaimana disebutkan di atas.
Yang banyak terjadi adalah
ketika Pemerintah akan menggunakan sebuah kawasan hutan sebagai sarana untuk
membangun atau menggunakannya dengan tujuan demi kesejahteraan masyarakat,
kemudian muncul penolakan dari masyarakat di sekitar kawasan hutan tersebut
namun penolakan tersebut tanpa didasari oleh alasan yan dapat
dipertanggungjawabkan. Meskipun Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tertulis
namundemi keteraturan pengaturan terhadap kepemilikan Hukum Adat atas sesuatu
benda berwujud, tetap harus didasarkan pada suatu penetapan sebagai bukti
tertulis. Hal i ini juga untuk mengantisipasi apabila nantinya harus
bersengketa di pengadilan, maka bukti yang digunakan adalah bukti tertulis
sebagai alat bukti yang dapat dipertimbangkan oleh Hakim dalam menjatuhkan
putusan.
Tulisan ini hanya sekedar
memberikan sedikit pemaahaman kepada kita semua, bahwa sebidang tanah tetap
mempunyai fungsi sosial, namun dalam penerapan dalam kehidupan sehari-hari
tetap ada aturan main yang harus dipahami dan dilakasanakan. (SELESAI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar