Senin, 30 September 2024

PENANGKAPAN (Bagian 2)

 


 

            Pembahasan selantuan njutnya mengenai penangkapan, kita akan membahas ketentuan Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyebutkan sebagai berikut :

            “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana, berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”

Di dalam penjelasan Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini dijelaskan mengenai penangkapan ini sebagai berikut :

“Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.”

Pasal ini menunjukkan bahwa printah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Dari ketentuan Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :

1)  KUHAP ini mempunyai tujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga dapat menghindarkan dari kesewenang-wenangan Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya pihak Penyidik, baik dari unsur Kepolisian maupun dari unsur Kejaksaan, ketika melakukan penyidikan suatu perkara dan saat akan menangkap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana;

2)    Ketentuan Pasal 17 KUHAP ini kemudian juga diatur di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan;

3)    Dengan menghindarkan kesewang-wenangan Aparat Penegak Hukum (APH) pada saat melakukan penyidikan suatu tindak pidana termasuk ketika akan melakukan penangkapan, maka dapat dihindarkan adanya peradilan sesat dalam sistem hukum di Indonesia. (BERSAMBUNG).

Kamis, 26 September 2024

PENANGKAPAN (Bagian 1)

 


 


 

            Untuk pembahasan kali ini, kami akan mencoba membahas mengenai penangkapan terhadap pelaku tindak pidana. Mengenai penangkapan ini diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu di Pasal 16 sampai dengan Pasal 19.

Untuk itu, dalam pembahasan kali ini akan dibahas terlebih dahulu ketentuan Pasal 16 KUHAP, yang terdiri dari 2 (dua) ayat, yaitu :

(1)   Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan;

(2)   Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.

Dari ketentuan Pasal 16 KUHAP tersebut, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1.  Dalam penjelasan ayat (1) dari Pasal 16 KUHAP ini, dijelaskan sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan dengan atas perintah penyidik termasuk juga penyidik pembantu sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 11.

Perintah yang dimaksud berupa suatu surat perintah yang dibuat secara tersendiri, dikeluarkan sebelum penangkapan.

2.  Oleh karena dalam penjelasan Pasal 16 ini disebutkan tentang Penjelasan Pasal 11 KUHAP, maka kita perlu mengetahui terlebih dahulu Penjelasan Pasal 11. Berkaitan dengan Penjelasan Pasal 11 KUHAP, berkaitan dengan penahanan,   yang menyebutkan :

Pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu hanya diberikan apabila perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang sangat diperlukan atau di mana terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil atau di tempat yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran.

3.  Ketentuan dalam Penjelasan Pasal 11 KUHAP menitikberatkan pada bantuan kepada penyidik dalam hal keadaan geografis wilayah yang menyebabkan kesulitan bagi penyidik untuk melakukan penangkapan dan juga penahanan. Harus dipahami dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki ribuan pulau-pulau kecil dan keterbatasan sarana dan prasaran transportasi antar wilayah, menyebabkan ketika penyidik melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana, tidak bisa langsung dibawa ke Kantor Kepolisian terdekat (Polsek), sehingga akhirnya penyidik meminta bantuan kepada penyelidik atau penyelidik pembantu untuk bisa melakukan penahanan sementara sambil menunggu waktu pelaku tindak pidana tersebut dibawa ke Kantor Kepolisian terdekat untuk dilakukan proses pemeriksaan lebih lanjut;

4.  Sebagai contoh adalah di wilayah Sulawesi, banyak terdapat Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) yang membawahi wilayah yang berupa pulau-pulau kecil yang tidak memiliki sarana transportasi yang terjadwal secara rutin, sehingga ketika penyidik akan melakukan penangkapan sekaligus penahanan, harus dilakukan di pulau-pulau terpencil dengan melibatkan penyelidik atau penyelidik pembantu dan karena harus segera melakukan penahanan, maka penahanan dilakukan di tempat penyelidik atau penyelidik pembantu yang terdapat di pulau-pulau terpencil tersebut. (BERSAMBUNG).

 

Senin, 23 September 2024

KONEKSITAS (Bagian 5 / HABIS)



 

            Pembahasan berikutnya mengenai Peradilan Koneksitas, adalah membahas tentang Pasal 94 KUHAP yang terdiri dari 5 ayat yang merupakan Pasal penutup dalam ketentuan mengenai Peradilan Koneksitas. Pasal 94 KUHP tersebut menyebutkan sebagai berikut :

(1)  Dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim;

(2)  Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang;

(3)  Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan militer dan peradilan umum yang diberi pangkat tituler;

(4)  Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat banding;

(5)  Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dan hakim perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4);

Dari ketentuan Pasal 94 KUHAP tersebut, maka dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1)    Ketentuan Pasal 94 KUHAP mengatur mengenai susunan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara koneksitas yang terdiri setidaknya dari 3 (tiga) orang Hakim;

2)    Apabila suatu perkara koneksitas disidangkan di pengadilan umum yaitu di Pengadilan Negeri, maka yang menjadi Ketua Majelis adalah Hakim pada Pengadilan Negeri tersebut, sedangkan hakim anggotanya terdiri dari 2 (dua) orang Hakim yang terdiri dari masing-masing 1 (satu) orang dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Militer;

3)     Apabila suatu perkara koneksitas disidangkan di pengadilan militer, maka yang menjadi Ketua Majelis adalah Hakim pada Pengadilan Militer tersebut, sedangkan hakim anggotanya terdiri dari 2 (dua) orang Hakim yang terdiri dari masing-masing 1 (satu) orang dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Militer, dengan ketentuan Hakim dari Pengadilan Negeri diberikan pangkat tituler;

4)    Ketentuan mengenai Majelis Hakim ini juga berlaku pada pengadilan tingkat banding;

Dengan telah dibahasnya ketentuan Pasal 94 KUHAP, maka pembahasan mengenai Peradilan Koneksitas sudah selesai, semoga bisa menjadi bahan pembelajaran dan menambah wawasan kita semua. (SELESAI).

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...