Senin, 20 April 2015

ESENSI SEBUAH PUTUSAN

Renungan Awal Pekan (20042015)
       MENGADILI
Sebesit kata yang selalu tercantum di dalam setiap putusan Hakim, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Kata yang singkat namun mengandung konsekwensi yang besar, terutama terhadap nasib seseorang yang mencari keadilan. Seuah kata terakhir yang berisikan amar putusan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraiakan sebelumnya.
Bila kita membaca kembali ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP, akan jelas terbaca apa yang harus tercantum di dalam sebuah putusan (khususnya perkara pidana) yang pada intinya akan tercantum di dalam pertimbangan-pertimbangan yang dibuat oleh Hakim / Majelis Hakim.
Tentunya sebuah putusan ada karena ada Surat Dakwaan dari Penuntut Umum yang berisi Dakwaan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang / beberapa orang Terdakwa. Pertimbangan dalam sebuah putusan akan didasarkan kepada proses pembuktian yang dilakukan selama persidangan dengan mengahdirkan saksi-saksi maupun alat bukti, termasuk di dalamnya adalah saksi yang meringankan dan alat bukti yang dapat meringankan sifat dari tindak pidana yang dilakukan olehTerdakwa, yang kemudian dari fakta hukum yang diperoleh selama proses pembuktian disandingkan dengan ketentuan pasal perundang-undangan yang dilanggar oleh Terdakwa atau fakta hukum dalam sidang perkara perdata yang akan disandingkan dengan ketentuan perundang-undangan yang sesuai dengan perkara tersebut.
Sebelum sampai pada kata MENGADILI, dalam perkara pidana, tentunya akan juga dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan dari tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
Di dalam kata MENGADILI berarti Hakim / Majelis Hakim telah mempunyai keyakinan akan terbukti atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa atau benar tidaknya suatu gugatan perkara perdata dan merupakan tempat di mana HATI NURANI seorang Hakim berperan. Kejujuran dan keikhlasan di dalam setiap persidangan tentunya akan membuat HATI NURANI mampu membisikan kebenaran yang sejati, tanpa adanya suatu pamrih apapun. Hal ini sangat penting mengingat bahwa HAKIM adalah benteng terakhir dari keadilan.

Kamis, 16 April 2015

INTROSPEKSI DIRI

Renungan Akhir Pekan (16042015)
INTROSPEKSI DIRI
Sejatinya seorang Hakim mengemban tugas mulia, banyak disebut sebagai Wakil Tuhan di muka bumi, untuk menegakkan keadilan. Tugas yang sangat berat ditinjau dari segala segi, terutama di Indonesia, mengigat di Indonesia masih terlalu banyak peraturan perundang-undangan yang merupakan peninggalanPemerintah Kolonial Belanda yang sampai saat ini belum juga ada penggantinya.
Meski demikian, keadaan yang ada tidak harus membuat Hakim berpasrah diri dengan argumen peraturan yang ada adalah peninggalan masa lampau, akan tetapi Hakim juga harus selalu mengikut perkembangan kehidupan masyarakat di sekitarnya sehingga bisa merefleksikan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dalam bentuk putusan-putusannya.
Seorang Hakim yang berikap acuh tak acuh terhadap keadaan masyarakat di sekitarnya, tentunya bisa menjauhkan Hakim tersebut dari pergaulan masyarakat dan tentunya akan sulit bagi Hakim tersebut untuk mengetahui dan menyerap perkembangan keadilan yang ada dalam masyarakat.
Oleh sebab itu dalam Undang-Undangpun disebutkan bahwa yang utama dari sebuah putusan Hakim adalah putusan tersebut didasarkan atas hati nurani Hakim tersebut, karena sesungguhnya hati nurani tidak akan pernah berkata tidak jujur, sehingga putusan yang didasarkan pada hati nuranilah yang kiranya dapat mendekatkan kepada nilai keadilan yang ada dalam masyarakat.
Begitu berperannyaa hati nurani dalam setiap putusan mengharuskan seorang Hakim memiliki sikap yang selalu melakukan instrospeksi diri, dalam arti bahwa nilailah diri kita sendiri sebelum kita menilai orang lain dalam setiap putusan kita.
Sekiranya setiap Hakim selalu melakukan introspeksi diri, maka akan timbul keyakinan dalam masyarakat bahwa Hakim benar-benar sosok yang merupakan pengejawantahan dari Tuhan Yang Maha Kuasa di dalam menjatuhkan putusan karena setiap putusan Hakim sejatinya dipertanggunjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sebab keadilan dari Tuhan lah yang merupakan keadilan yang sejati.

Senin, 13 April 2015

HAKIM JUGA MANUSIA

Renungan Awal Pekan (13042015)
    HAKIM JUGA MANUSIA
Menjadi Hakim adalah suatu pilihan hati dan tentunya akan menjadi kebangsaan apabila tugas-tugasnya dilaksanakan penuh dengan amahan dan tanggung jawab. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan Hakim adalah sangat mulia, karena kata Hakim sendiri berasal dari kata Al-Hakim yang berarti Maha Adil, yang tidak lain merupakan pengejawantahan dari salah satu sifat Allah SWT, sehingga tentunya seorang Hakim dituntut untuk selalu memberikan keadilan kepada setiap pencari keadilan.
Bila di tinjau dari segi bahasa, Hakim mempunyai dua arti, yaitu :
Pertama : Pembuat Hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber Hukum dan Kedua : Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.
Dari pengertian tersebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa menjadi seorang Hakim harus menjadi seseorang yang bisa berfungsi sebagai pembuat hukum dan menetapkan hukum serta bisa menjalaskan, memperkenalkan dan menyingkapkan, dalam hal ini adalah menafsirkan pengertian yang ada dalam suatu undang-undang sebagai suatu produk hukum yang dituangkan dalam setiap putusannya.
Meski demikian, harus disadari pula bahwa seorang Hakim juga adalah seorang manusia yang tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.Walaupun bukan menjadi suatu alasan pembenar apabila seorang Hakim menjatuhkan putusan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat, namun setidaknya memberikan suatu pemahaman bahwa menjadi Hakim  haruslah tetap melakukan instrospeksi diri dan menjaga diri dari hal-hal yang dilarang dilakukan.
Buku Pedoman Perilaku Hakimpun  telah mengatur 10 (sepuluh) perilaku Hakim yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat diibaratkan bahwa menjadi Hakim bagaikan sebuah kereta api yang harus berjalan di atas rel yang ada, yang apabila kereta api tersebut berjalan di luar rel yang ada dapat mengakibatkan kerugian bagi penumpangnya.
Namun, sebagai manusia, Hakim juga tidak terlepas dari masalah kemanusiaan. Seorang Hakim juga memiliki emosi, yang apabila tidak diredam ataupun dikelola dengan baik, justru akan merugikan diri sendiri.
Meskipun Hakim disebut juga sebagai WAKIL TUHAN, tetapi seorang Hakim juga masih membutuhkan makan, tempat berteduh dan membutuhkan keluarga, sehingga kadang kala kebutuhan manusiawi tersebut dilakukan melebihi dari tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Perlunya seorang Hakim mengatur diri sendiri dengan selalu menjalankan tugas sebagaimana mestinya tetapi juga tidak melupakan kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Oleh karena itu kiranya akan lebih baik apabila sebelum melaksanakan tugas, seorang Hakim agar selalu mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, karena kiranya Yang Maha Kuasa tersebut yang memiliki keadilan yang sebenarnya dan kiranya kita dapat diberikan perlindungan dan petunjuk di dalam setiap putusan yang yang buat.

Kamis, 09 April 2015

MAHKAMAH KONSTITUSI

MEMBANGUN KEMBALI KEPERCAYAAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGAPLIKASIKAN TEORI PIRAMIDA HUKUM
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

BAB I PENDAHULUAN
Perkembangan dinamika kehidupan masyarakat menuntut pula perkembangan Hukum yang dinamis, baik itu dari segi system Hukum, aparat Hukum nya maupun peraturan perundang-undangannya. Hukum yang dinamis akan mampu “mengobati” apabila terjadi pergesekan-pergesekan diantara warga masyarakat. Semakin dinamis Hukum yang ada dalam masyarakat, maka Hukum akan semakin dipercaya sebagai “obat” untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam hidup bermasyarakat.
Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum ), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM  seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum  dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Bahwa selama ini masyarakat hanya melihat Hukum  hanya dari peraturan-peraturan yang tertulis saja, semisal Undang-Undang dan sejenisnya, akan tetapi masyarakat sering lupa bahwa tatanan kehidupan manusia diatur dan dibatasi oleh norma-norma, yaitu norma sosial, norma Hukum , norma kesusialaan, norma agama, sehingga Hukum  hanyalah menjadi salah satu bagian dari norma-norma tersebut.
Norma, sebagaimana ARIEF SIDARTA[3], menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma mempunyai sifat umum, jika  apa yang dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.[4]
Secara sepintas, dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan dapat mengetahui bahwa dirinya memiliki persamaan-persamaan dengan orang lain tetapi disisi lain juga memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh bagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh kaarena merupakan pegangaan baginya.[5]
Hukum senantiasa harus dikaitkan dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja. Bidang pengetahuan hukum pada umumnya memusatkan perhatian pada atura-aturan yang dianggap oleh Pemerintah dan masyarakat sebagai aturan-aturan yang sah berlaku dan oleh sebab itu harus ditaati, dan pengetahuan sosiologi sebagai keseluruhan yang memusatkan perhatian pada tindakan-tindakan yang dalam kenyataan diwujudkan oleh anggota dalam hubungan mereka satu sama lain, maka untuk pengembangan hukum dan pengetahuan hukum dalam kehidupan masyarakat agar tidak terpisah satu sama lain harus memperhatikan hukum dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat.[6]
Dari rangkaian Norma-norma yang hidup dalam masyarakat tersebut, akan menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak bagi warga masyarakat yang bukan tidak mungkin akan menimbulkan pertentangan-pertentangan bagi tiap-tiap warga masyarakat yang apabila tidak bisa menimbulkan bentrokan yang bisa mengakibatkan kerugian bagi warga masyarakat itu sendiri. Sehingga dengan demikian, menjadi tugas dari HUKUM untuk menyelesaikan konflik dan memberikan keadilan bagi warga masyarakat.

BAB II RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah tersebut, maka timbul suatu permasalahan yaitu “Bagaimana Membangun Kembali Kepercayaan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengaplikasikan Teori Piramida Hukum?” ;

BAB III PEMBAHASAN
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai Hukum dan Keadilan, maka haruslah kita mengetahui lebih dahulu apa bagaimana bentuk dari Piramida Hukum sebagaimana dimaksud dalam teori.     
A. TEORI HUKUM
Banyak doktrin yang membahas mengenai Apa itu HUKUM, apa manfaat atau tujuan dari adanya HUKUM dan lain sebagainya. Secara garis besar, HUKUM dapat diartikan dari 2 (dua) sisi yang berbeda, yaitu :
1.      Hukum  sebagai kumpulan kaidah (das Sollen);
2.      Hukum  sebagai gejala masyarakat (das Sein) ;
Kedua sisi dari HUKUM tersebut dikarenakan tiada HUKUM tanpa masyarakat dan tiada masyarakat tanpa HUKUM.[7] Sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa “Manusia adalah zoon politicon”, maka dengan adanya pergaulan dalam masyarakat tersebut yang akhirnya menimbulkan adanya HUKUM.
Sangat tidak mudah untuk mengartikan HUKUM, karena banyak aspek, ragam, jenis maupun jumlahnya. Kata HUKUM yang berasal dari istilah asing yaitu RECHT (Inggris), recht (Belanda), Recht (Jerman), Diritto (Italia) maupun Droit (Perancis), yang masing-masing memiliki arti dan pengertian tersendiri, tergantung pada masing-masing masyarakatnya. Dan hal yang penting ialah bahwa SUBYEK dari HUKUM adalah manusia, anggota dari suatu masyarakat. Bahwa kesukaran dalam membuat definisi hukum disebabkan :[8]
1.      karena luasnya lapangan hukum itu ;
2.      kemungkinan untuk meninjau hukum dari berbagai sudut (filsafat, politik, sosiologi, sejarah dan sebagainya) sehingga hasilnya akan berlainan dan masing-masing definisi hanya memuat salah satu paket dari hukum saja ;
3.      objek (sasaran) dari hukum adalah masyarakat, padahal mesyarakat senantiasa berubah dan berkembang, sehingga definisi dari hukum juga akan berubah-ubah juga.
Sudikno Mertokusumo mengatakan, “Hukum meliputi seluruh kehidupan manusia dan adanya Hukum untuk menata masyarakat.[9] Sedangkan IImmanuel Kisch menyebutkaan bahwa, “Hukum tidak bisa ditangkap oleh Panca Indera sehingga tidak akan ada definisi yang memuaskan tentang Hukum.”[10] John Austin menyatakan bahwa, “Hukum adalah perintah dari Kekuasaan Politik yang berdaulat dalam suatu Negara’”[11]
Dari berbagai pengertian mengenai HUKUM tersebut akhirnya menimbulkan berbagai Sistem Hukum, yaitu “Suatu susunan atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.”[12]
Dari berbagai pengertian mengenai HUKUM tersebut, menimbulkan berbagai Teori-Teori Hukum, diantaranya yaitu :
1.      Teori-Teori Yunani, dipandang sebagai sumber pemikiran tentang hukum dan filsafat, karena pada zaman ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide atau pendapatnya.[13]
Beberapa tokoh diantaranya adalah Socrates, yang menuntut supaya penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia. Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa hukum harus dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu :
a.       Hukum alam atau kodrat yang mencerminkan aturan alam. Hukum alam itu merupakan suatu hukum yang selalu berlaku dan tidak pernah berubah karena kaitannya dengan aturan alam ;
b.      Hukum Positif yang dibuat manusia. Pembentukan hukum ini selalu dibimbing oleh suatu rasa keadilan dengan prinsip equity (kesamaan), yang kemudian melahirkan keadilan distributive dan keadilan korektif (remedial).[14]
2.      Teori-Teori Romawi, pemikiran hukum alam mulai dikembangkan oleh CICERO yang menartikan Hukum Alam sebagai prinsip yang meresapi alam semesta yaitu akal yang menjadi dasar bagi hukum dan keadilan serta Hukum Positif harus berdasarkan asas-asas Hukum Alam karena jika bertentangan dengan Hukum Alam, maka Hukum Positif tidak mempunyai kekuatan Undang-Undang.[15]
3.      Teori Hukum Alam, pada dasarnya teori ini timbul dalam upaya untuk menemukan apa yang dinamakan absolute justice (keadilan yang mutlak) di samping sejarah tentang kegagalan manusia dalam mencari keadilan tersebut.[16]
Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa dunia ini daitur oleh akal Ketuhanan, Hukum Ketuhanan adalah yang tertinggi, dan membagi Hukum menjadi 4 (golongan), yaitu :
a.       Lex Aeterna, yaitu rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala sesuatu dan merupakan sumber dari segala hukum dan rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia ;
b.      Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya ;
c.       Lex Naturalis, yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia ;
d.      Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berkaitan dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia.
4.      Teori Teokrasi, bahwa Hukum berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada hukum.
5.      Teori Kedaulatan Negara, kekuasaan tidak dapat didasarkan atas kemauan bersama seluruh masyarakat, tetapi hukum merupakan penjelmaan daripada kemauan Negara.
6.      Teori Kedaulatan Hukum, teori ini timbul dari reaksi penyangkalan terhadap teori kedaulatan Negara, teori ini mengatakan bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah Hukum.
7.      Aliran Hukum Positivisme (Ulitarinisme), menyatakan bahwa kaedah hukum hanya bersumber dari kekuasaan Negara yang tertinggi dan sumber itu hanyalah hukum positif yang terpisah dari kaedah sosial, bebas dari pengaruh politik, ekonomi, sosial dan budaya.
8.      Teori Hukum Murni, teori ini dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menghendaki hukum harus dibersihkan dari unsur-unsur yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sejarah.
9.      Teori Sosiologis, yang menyatakan bahwa Hukum adalah apa yang sebenarnya menjadi kenyataan dalam masyarakat, bagaimana secara fakta hukum diterima, tumbuh dan berlaku dalam msyarakat.
10.  Teori Antropologis, yaitu Hukum adalah norma yang tidak tertulis yang hidup dan tumbuh secara nyata dalam masyarakat seiring dengan perkembangan kebudayaan.
11.  Teori Realis, yang menyatakan bahwa Hakim lebih layak disebut sebagai hukum daripada menemukan hukum.

B. STUFENBAU THEORIE
Dari berbagai Teori tersebut, Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah
1.      Norma fundamental negara
2.      Aturan dasar negara
3.      Undang-undang formal. dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.[17]
            Hans Kelsen pernah menjelaskan dalam teorinya menyebutkan sebagai berikut :
Dasar berlakunya dan legalitas suatu kaedah terletak pada kaedah yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa yang menjadi dasar berlakunya suatu ketetapan adalah peraturan, dasar berlakunya suatu peraturan adalah Undang-Undang, dasar berlakunya Undang-Undang adalah Undang-Undang Dasar dan akhirnya dasar berlakunya Undang-Undang Dasar adalah kaedah dasar (grund norm).[18]
Secara sederhana, Stufenubau theorie Hans Kelsen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, kita dapat memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1)  Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)  Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)  Formell gesetz: Undang-Undang.
4)  Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota.
Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari Norma Dasar yang berada di puncak piramid kemudian semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma Dasar teratas adalah abstrak dan makin ke bawah semakin konkret.[19]
Menurut Curzon, persamaan antara ajaran hukum murni Kelsen dengan ajaran perintah Austin adalah :
1.      Keduanya ingin memisahkan hukum dari moral dan sebagainya ;
2.      Keduanya juga menggunakan analisis formal dan hanya mengakui hukum positif sebagaisatu-satunya hukum ;
3.      Keduanya melihat esensi hukum “in term of an ultimate concept” ;
4.      Keduanya menitikberatkan perhatiannya pada struktur dan fungsi Negara ;[20]
Dari uraian teori-teori tersebut di atas, dapatlah kita menjabarkannya  sebagai berikut :      
Grundnormen merupakan norma dasar yang menjadi payung bagi seluruh peraturan di bawahnya.
Grundgesetzes merupakan hukum atau peraturan dasar yang menjadi dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, yang dimaksud dengan Grundgesetzes ini adalah Tap MPR.
Formele Gesetzes, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu Negara.
Verordnungen atau Autonome Satzungen, merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan tingkat atasnya.

C.    TATA URUTAN PERUNDANGAN DI INDONESIA
Setelah mencermati dan mempelajari mengenai Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang kemudian dikembangkan oleh Nawiasky, maka selanjutnya kita perlu pula memperhatikan keterkaitan antara Stufenbau Theorie dengan Tata Urutan Perundangan di Indonesia.
Untuk melihat tata urutan perundangan di Indonesia, maka kita perlu melihat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Bab III tentang Jenis, Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan, pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, menyebutkan, “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas :
a.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ;
c.       Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ;
d.      Peraturan Pemerintah ;
e.       Peraturan Presiden ;
f.        Peraturan Daerah Provinsi dan
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota ;”
Tata Urutan Perundang-Undangan sebagaimana tercantum dalam Bab III Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, apabila dikaitkan dengan Stufenbau Theorie dari Hans Kelsen, dapat kita jabarkan sebagaimana diuraikan di bawah ini ;
1.      Staatsfundamentalnorm/Grundnorme
Saat ini kajian hukum tidak bisa hanya dipahami sebagai kajian yuridis normatif semata, tetapi perlu pengkajian yang multidisiplin, mengapa demikian, karena tidak dapat dipungkiri, bahwa hukum itu pada dasarnya tidak begitu saja jatuh dari langit, tetapi ia dibuat oleh manusia dan selalu berada dalam lingkusp sosial tertentu. Itu artinya, hukum itu tidak hadir dan bergerak diruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan selalu berada dalam sebuah tatanan sosial tertentu dalam lingkup manusia-manusia hidup. Pemahaman yang demikian itulah yang menggugah sebagian pemikir dan penstudi hukum untuk melihat hukum tidak dalam sebuah tatanan norma an sich. Para penganut perspektif ini berpendirian, bahwa hanya dengan cara itulah kita dapat melihat “wajah” hukum secara sempurna. Demikian pernyataan Esmi Warassih salah satu penggiat hukum dari Universitas Diponegoro, dalam catatan pengantar buku Pranata Hukum sebuah telaah Sosiologis.[21]
Norma Dasar ini di Indonesia adalah PANCASILA sebagai pandangan hidup bangsa yang perumusannya terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak dapat digolongkan ke dalam jenis peraturan. Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[22]
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid.Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini. Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamen­talnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi. Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa. Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama.[23]
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia. Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.[24]
2.      GRUNDGESETZES
Merupakan hukum atau peraturan dasar yang menjadi sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan. Aturan ini masih bersifat mendasar, akan tetapi belumb isa langsung dioperasionalkan. Tingkatan aturan ini pada sebagian besar Negara terletak pada tingkatan konstitusional.
Bentuk Ketentuan Hukum itu dirumuskan dalam suatu kalimat berupa kalimat berita, kalimat bersyarat (hipotesis), kalimat mengharuskan dan kalimat larangan.[25]
Konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) yang menopang berdirinya suatu negara. Terdapat dua jenis kontitusi, yaitu konstitusi tertulis (Written Constitution) dan konstitusi tidak tertulis (Unwritten Constitution). Ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan.[26]
Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.[27]
Di Indonesia, Grundgesetzes ini, adalah dalam bentuk Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Meskipun di dalam prakteknya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami 4 (empat) kali perubahan (amandemen), akan tetapi karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ini merupakan penjabaran dari Grundnorm yaitu PANCASILA, maka setiap perubahannya tidak boleh dan tidak akan pernah bertentangan dengan isi dari PANCASILA sebagai Norma Dasar Negara Indonesia.
Demikian pula dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pasti akan mengalami perubahan di setiap pembentukannya. Akan tetapi karena Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini juga merupakan penjabaran dari PANCASILA, maka perubahannyapun tidak akan dan tidak bisa bertentangan dengan PANCASILA sebagai Norma Dasar Negara Indonesia.
3.      Formele Gesetzes
Penjabaran dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah dalam bentuk Undang-Undang yang merupakan kaedah hukum.
Ishaq, menyatakan bahwa KAEDAH HUKUM adalah Kaedah atau peraturan yang dibuat oleh penguasa Negara, yang isinya mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat Negara dan pelaksanaannya dapat dipertahankan.[28]
Jika kita memandang Hukum sebagai kaidah, maka tidak boleh tidak, kita harus mengakui, sanksi sebagai salah satu unsur esensialnya. Lalu, apa yang dimaksud dengan sanksi ?
Achmad Ali, menyatakan bahwa sanksi mengandung unsur-unsur sebagai berikt :[29]
1.      Sanksi merupakan reaksi, akibat atau konsekuensi dari pelanggaran atau penyimpangan kaidah sosial (baik kaidah hukum maupun kaidah non hukum) ;
2.      Sanksi merupakan kekuasaan atau alat kekuasaan untuk memaksakan ditaatinya kaidah sosial tertentu ;
3.      Khusus mengenai sanksi hukum, pada garis besanya dapat dibedakan atas sanksi privat dan sanksi publik.
Di Indonesia, produk perundang-undangan ini dibuat dan ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Mahfud MD bukunya Politik Hukum di Indonesia, menyatakan bahwa “Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga menucul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif.”[30]
Pernyataan dari Mahfud MD tersebut secara tidak langsung menafikan / membantah Teori Hukum Murni, baik Teori Hukum Murni Hans Kelsen maupun Teori Hukum Murni dari John Austin, yang pada intinya memisahkan hukum dari moral dan sebagainya. Akan tetapi hal tersebut menjadi kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri bahwa dalam setiap pembuatan peraturan perundang-undangan, selalu ada unsur kepentingan dari pembuatnya dari itu dari unsur Eksekutif yaitu Pemerintah (Presiden) maupun dari unsur Legislatif (DPR).
Lebih lanjut, Mahfud MD, menyatakan bahwa perkembangan karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan kongigurasi politik, yaitu konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan karakter produk hukum tertentu pula.[31]
Oleh karena itu perlu pemahaman dan cara berpikir yang komprehensif (menyeluruh) dari para pembuat peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah dalam membuat ssebuah peraturan perundang-undangan, sehingga tidak menjadi mubazir / tidak bermanfaaat, baik karena isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun karena isinya bertentangan dengan kehendak dari warga msayarakat, sebagai user / pengguna dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang baik, yang memperhatikan unsur kemanfaatan dan keadilan, maka bukan mustahil, bahwa HUKUM  bisa menjadi “obat” bagi para pencari keadilan, apabila terjadi pergesekaan-pergesekan dalam pergaulan masyarakat.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa :
(1)         Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi :
a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;
b.Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang ;
c. Pengesahan perjanjian internasional ;
d.                  Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan/atau
e. Pemenuhan kebutuhaan hukum dalam masyarakat ;
(2)         Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden ;
4.      Verordnungen atau Autonome Satzungen
Merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan tingkat atasnya. Peraturan ini bersifat semakin konkrit dibandingkan peraturan yang ada di atasnya.
Di Indonesia, dijabarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota hingga Peraturan Desa.
a.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa :
“Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muataan Undang-Undang.”
b.      Peraturan Pemerintah
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa :
“Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.”
c.       Peraturan Presiden
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa :
“Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.”
d.      Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Derah Kabupaten/Kota
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa :
“Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menaampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangan yang lebih tinggi.”
Dari penjabaran-penjabaran tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, juga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memberikan masukan-masukan di dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam BAB XI Pasal 96 yang menyatakan sebagai berikut :
(1)   Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ;
(2)   Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui :
a.       rapat dengar pendapat umum ;
b.      kunjungan kerja ;
c.       sosialisasi dan/atau
d.      seminar. Lokakarya dan/atau diskusi ;
(3)         Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan ;
(4)         Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

D.    MAHKAMAH KONSTITUSI
Sebagai salah satu institusi baru di dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah mendapatkan apresiasi yang postif dari masyarakat. Keberadaan Mahkamah Kontitusi sebagai Lembaga yang berwenang menilai terhadap keberadaan Undang-Undang dan peraturan lain di bawah Undang-Undang agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, memberikan kepercayaan kepada masyarakat yang merasa aspirasinya tidak terakomodir dai dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan.
Masyarakat dapat setiap saat mengajukan gugatan Judicial Review terhadap setiap peraturan perundang-undangan yang dirasakan merugikan bagi dirinya maupun kelompoknya. Meski demikian, penilaian akhir terhadap keberadaan suatu peraturan perundang-undangan tetap berada di tangan Mahkamah Konstitusi, yang menjatuhkan putusan berdasarkan alat bukti yang diajukan oleh pemohon maupun termohoan Judial Review.
Prestasi yang sangat membanggakan dari Mahkamah Konstitusi, pada akhirnya tidak dapat dijaga oleh Hakim-Hakim Konstitusi yang berada di dalamnya, hal ini terbukti dengan ditangkaptangannya Ketua Mahkamah Konstitusi, AKIL MOCHTAR, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan suap dalam kasus pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Selatan. Juru bicara KPK, Johan Budi, mengatakan AM ditangkap setelah menerima uang dari CHN dan CN terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menyita sejumlah uang berbentuk dolar Singapura senilai Rp2 sampai Rp3 miliar dalam operasi penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, di Komplek Widya Chandra III, Nomor 7, Jakarta Selatan.[32]
Menjadi hal yang ironis, ketika Mahkamah Konstitusi, yang ditugaskan untuk mengawal Konstitusi (Undang-Undang Dasar), sebagaimana pendapat dari Hans Kelsen dalam teorinya Stufenbau Theorie, kemudian menjadi “Penghianat” Konstitusi. Hal inilah yang menjadikan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf mengatakan penangkapan Ketua Mahkamah  Konstitusi Akil Mochtar oleh KPK yang diduga sedang menerima suap di rumah  dinasnya  menyempurnakan perkara-perkara korupsi yang saat ini sudah sangat akut menghinggapi lembaga-lembaga negara dan partai politik dari pusat sampai daerah. Menurut Asep dengan kewenangannya yang tidak terbatas dan tidak adanya keputusan MK yang bisa dibatalkan dan satu-satunya lembaga yang tidak bisa diawasi serta satu-satunya lembaga yang memutuskan perkara untuk dirinya sendiri, membuat MK sebagai satu-satunya lembaga yang paling empuk dan nyaman untuk melakukan tindak pidana korupsi.[33]
Pendapat senada dikemukakan oleh Katorius Sinaga, yang mengatakan "Kita patut mengapresiasi kinerja KPK di dalam memberantas korupsi kelas kakap seperti kasus operasi tangkap tangan (OTT) Ketua MK demi penyelamatan bangsa dan negara," kata Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Kastorius Sinaga dalam rilisnya, Jumat (4/10/2013). Menurut dia OTT Ketua MK tersebut harus dapat dijadikan sebagai "momentum besar" untuk memberantas tuntas praktik "money politics" di dalam kehidupan demokrasi kita khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada, Pemilu legislatif, Pilpres dan sengketa-sengketa Pemilu.[34] 
Sebagai pengawal dari Undang-Undang Dasar, sebagaimana Stefenbau Theorie dari Hans Kelsen, seharusnya Mahkamah Konstitusi terbebas dari segala macam pengaruh di dalam pelaksanaan tugasnya. Hakim-Hakim Konstitusi harus dapat bekerja dengan mengabaikan dan menjauhkan diri dari praktek korupsi, kolusi maupun nepotisme di setiap persidangannya. Hal ini dilakukan agar masyarakat semakin percaya terhadap keberadaan Mahakamah Konstitusi dan masyarakat semakin sadar terhadap hak-hak konstitusinya.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pelaksanaan dari GrundNorm bangsa Indonesiaa, yaitu Pancasila, telah mengatur secara terperinci terhadap segala hak dan kewajiban masing-masing warga Negara, sehingga dengan demikian, pembentukan dan penyusunan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, termasuk di dalamnya pelaksanaan dari Undang-Undang Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah.
Meski demikian, dengan semakin banyaknya proses Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia yang penyelesaian sengketanya diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, membuat tugas Mahkamah Konstitusi bertambah, tidak hanya melakukan Judicial Review terhadap Undang-Undang tetapi juga menyelesaikan sengketa Pemilihan Kepala Daerah. Penambahan tugas dari Mahkamah Konstitusi, seharusnya disertai juga dengan peningkatan integritas dari Hakim-Hakim Konstitusi, sehingga Hakim-Hakim Konstitusi bisa membentengi diri terhadap pengaruh negatif dari persidangan perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah.
Lebih lanjut Kastorius SInaga mengatakan bahwa Operasi Tangkap Tangan Ketua MK tersebut harus dapat dijadikan sebagai "momentum besar" untuk memberantas tuntas praktik "money politics" di dalam kehidupan demokrasi kita khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada, Pemilu legislatif, Pilpres dan sengketa-sengketa Pemilu. "Praktik politik uang sangat marak, beragam dan sangat luas dilakukan, mulai dari pencalonan, percaloan suara, jual beli suara, serangan fajar, kecurangan penghitungan suara dengan imbal uang serta hingga pada proses sengketa pemilu," ujar Caleg dari Demokrat untuk DPR RI ini dan penangkapan tersebut akan memiliki efek jera dan manfaat lebih luas bila penangkapan ketua MK tersebut dijadikan sebagai  "tonggak gerakan politik masyarakat" untuk bersama-sama menolak, memberantas secara tuntas praktik money politics di dalam kegiatan pemilu kita yang penyelenggaraannya sudah diambang pintu.[35] 
Dengan tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi, membuat Lembaga ini kemudian berbenah diri, salah satunya adalah mengadakan pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru. Pemilihan dan pengangkatan Ketua Mahkamah Konstitusi yang baaru diharapkan dapat memperbaiki citra Mahkamah Konstitusi yang sudah terpuruk.
Asep Warlan Yusuf mengatakan penangkapan ini harus dijadikan bahan evaluasi terhadap MK. Kasus penangkapan ini jelasnya tidak bisa mengubah  apapun terkait keputusan MK karena memang sistem hukum kita demikian dan oleh karena itu harus ada upaya hukum luar biasa kalau keputusan  dibuat oleh hakim MK karena dipengaruhi faktor korupsi.Keputusan MK yang sangat kebal dan tidak dapat ditinjau ulang dapat merugikan bagi seorang yang tidak mendapatkan keadilan karena hakim yang korup.[36]
Setelah terpilihnya Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru yaitu Hamdan Zoelva, masyarakat berharap bahwa Mahkamah Konstitusi dapat berbenah diri dan memperbaiki kinerjanya. Bahkan dari Istana Kepresidenan juga memiliki harapan yang sama, sebagaimana disampaikan oleh Juru bicara presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengikuti proses tersebut. Presiden menerima hasil dari pemilihan dan pelantikan Ketua MK yang baru. “Presiden menerima bahwa Hamdan Zoelva telah terpilih sebagai ketua MK yang baru. Mudah-mudahan bisa bekerja dengan baik dan menuntaskan apa yang jadi amanat dan harapan masyarakat Indonesia,” katanya, Rabu (6/11) dan Julian Pasha menegaskan, MK sepenuhnya memiliki kewenangan untuk mencari ketua yang baru dari delapan hakim konstitusi yang tersisa. Karena itu, istana menghormati proses tersebut dan menerima hasilnya.[37]
Begitu beratnya beban dari Mahkamah Agung untuk berbenah diri, akan tetapi suatu hal yang sangat mungkin terjadi bahwa masyarakat akan kembali memiliki kepercayaan yang tinggi kepada Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dari Undang-Undang Dasar. Peran masyarakat juga diperlukan di dalam mengawasi perilaku dan tindak tanduk Hakim-Hakim maupun staf dari Mahkamah Konstitusi, sehingga di kemudian hari tidak lagi terjadi penyimpangan-penyimpangan dari pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi.

BAB IV. KESIMPULAN
                  Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
1.            Bahwa Negara Indonesia telah menganut Stufenbau Theorie sebagaimana yang diuraikan oleh Hans Kelsen, pada tata urutan perundang-undangan ;
2.            Bahwa Negara Indonesia tidak secara murni menerapkan Teori Hukum Murni, dimana memisahkan Hukum dari moral dan sebagainya, karena di dalam setiap pembuatan peraturan perundangan, selalu ada kepentingan politik yang menyertainya baik itu dari unsur Eksekutif (Pemerintah) maupun dari unsur Legislatif (DPR) ;
3.            Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk memberikan masukan baik secara lisan maupun tulisan pada setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, di setiap tingkatannya ;
4.            Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dari Undang-Undang Dasar, harus mendapatkan pengawasan yang ketat dari seluruh warga Negara Indonesia, supaya tidak terjadi lagi penyimpangan di dalam pelaksaan tugasnya.

BAB V SARAN
            Berdasarkan uraian yang telah kami uraikan tersebut di atas, dapat kami berikan saran-saran sebagai berikut :
1.           Sedapat mungkin menimalisir adanya kepentingan politik dalam setiap pembentukan perundang-undangan ;
2.           Memperluas peran serta masyarakat dalam pembuatan perundang-undangan, sehingga peraturan perundangan yang dihasilkan akan bersifat responsif dan dapat bermanfaat bagi masyarakat ;
3.           Kesadaran berkonstitusi dari seluruh warga masyarakat, akan dapat mengawasi pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi dalam rangka mengawal pelaksanaan Undang-Undang Dasar.

BAB VI PENUTUP
            Demikian, dapat kami uraikan sedikit mengenai MEMBANGUN KEMBALI KEPERCAYAAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGAPLIKASIKAN TEORI PIRAMIDA HUKUM , yang tentu saja masih banyak kekurangaan di dalam penyampaiannya. Untuk itu kritik dan saran tetaap kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA



I. Daftar Buku Bacaan

1.      H.M. Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang.  
2.      ARIEF SIDARTA, HUKUM DAN LOGIKA, 1992, Penerbit ALUMNI – BANDUNG.
3.      Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers – Jakarta.
4.      Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2012, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu.
5.      Indrati Rini, Pengantar Ilmu Hukum  – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM  Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
6.      Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum , 2007. Penerbit SInar Grafika – Jakarta.
7.      Indrati Rini, Teori Hukum   – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM  Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
8.      Wahyono, Pengantar Hukum  Indonesia –  Matrikulasi Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM  Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
9.      Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, 2011, Penerbit Ghalia, Bogor.
10.        Curzon L.B, Jurisprudence, M & E Handbook.
11.        H.Abdul Latif dan H.hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
12.        Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 2009, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

II. Daftar Link Internet






[1] Wakil Ketua pada Pengadilan Negeri Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Mahasiswa S3 pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang ;
[2] Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang, h. 148.
[3] ARIEF SIDARTA, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[4] Ibid, hal 19-20.
[5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, h. 9.
[6]Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2003, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu h. 2.


[7] Indrati Rini, Pengantar Ilmu Hukum, 2012, Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM  Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
[8] Ishaq, SH.MH, Dasar-Dasar Ilmu Hukum , 2007, Penerbit SInar Grafika – Jakarta, h. 1.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Indrati Rini, Teori Hukum, 2012, Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM  Universitas Islam Sultan Agung, Semarang. .
[12]Wahyono, Pengantar Hukum  Indonesia, 2012, Matrikulasi Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM  Universitas Islam Sultan Agung, Semarang. 
[13] Ishaq, loc.cit.hml.195.
[14] Ibid, hlm.197.
[15] Ibid, hlm.197.
[16] Ibid,hlm.198.
[17]ttp://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hans-kalsenhans-nawiaski-di.html

[18] Ishaq,op.cit.hlm.98.
[19] Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum, 2011, Penerbit Ghalia, Bogor, h.208.
[20] Curzon L.B, Jurisprudence, M & E Handbook, h.126.
[21]http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2011/06/memahami-ilmu-hukum-dari-perspektif.html

[22] http://suhendarabas.blogspot.com/2011/05/stufenbau-teori-hans-kelsen-dan.html

[23] http://suhendarabas.blogspot.com/2011/05/stufenbau-teori-hans-kelsen-dan.html,ibid.

[25] H.Abdul Latif,dan H.hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h. 58.
[26] http://tugasdanmakalah.blogspot.com/2010/02/bab-i-pendahuluan-1.html

[27] http://tugasdanmakalah.blogspot.com/2010/02/bab-i-pendahuluan-1.html, ibid.

[28] Ishaq,SH.MH, loc.cit.hlm.32.
[29] Prof.DR.Achmad Ali,SH.MH, loc.cit.hlm. 42.
[30] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 2009, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 9.
[31] Ibid, h.363.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...