MEMBANGUN KEMBALI KEPERCAYAAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGAPLIKASIKAN
TEORI PIRAMIDA HUKUM
OLEH :
H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
BAB I PENDAHULUAN
Perkembangan
dinamika kehidupan masyarakat menuntut pula perkembangan Hukum yang dinamis,
baik itu dari segi system Hukum, aparat Hukum nya maupun peraturan
perundang-undangannya. Hukum yang dinamis akan mampu
“mengobati” apabila terjadi pergesekan-pergesekan diantara warga masyarakat.
Semakin dinamis Hukum yang ada dalam masyarakat, maka Hukum akan semakin
dipercaya sebagai “obat” untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul
dalam hidup bermasyarakat.
Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA
PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum ),
menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang semestinya,
fungsi Hukum dalam arti materiil yang
berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan
tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Bahwa selama ini masyarakat hanya
melihat Hukum hanya dari
peraturan-peraturan yang tertulis saja, semisal Undang-Undang dan sejenisnya,
akan tetapi masyarakat sering lupa bahwa tatanan kehidupan manusia diatur dan
dibatasi oleh norma-norma, yaitu norma sosial, norma Hukum , norma kesusialaan,
norma agama, sehingga Hukum hanyalah
menjadi salah satu bagian dari norma-norma tersebut.
Norma, sebagaimana ARIEF SIDARTA[3],
menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan
suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan
satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan
dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya
mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia
mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal
tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang
tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma
mempunyai sifat umum, jika apa yang
dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku
yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada
anaknya”.[4]
Secara sepintas, dalam kehidupan
bermasyarakat, seseorang akan dapat mengetahui bahwa dirinya memiliki
persamaan-persamaan dengan orang lain tetapi disisi lain juga memiliki
perbedaan-perbedaan, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesadaran dalam diri
manusia bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu
aturan yang oleh bagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh
kaarena merupakan pegangaan baginya.[5]
Hukum senantiasa harus dikaitkan
dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja. Bidang pengetahuan hukum pada
umumnya memusatkan perhatian pada atura-aturan yang dianggap oleh Pemerintah
dan masyarakat sebagai aturan-aturan yang sah berlaku dan oleh sebab itu harus
ditaati, dan pengetahuan sosiologi sebagai keseluruhan yang memusatkan perhatian
pada tindakan-tindakan yang dalam kenyataan diwujudkan oleh anggota dalam
hubungan mereka satu sama lain, maka untuk pengembangan hukum dan pengetahuan
hukum dalam kehidupan masyarakat agar tidak terpisah satu sama lain harus
memperhatikan hukum dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat.[6]
Dari rangkaian Norma-norma yang hidup
dalam masyarakat tersebut, akan menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak bagi
warga masyarakat yang bukan tidak mungkin akan menimbulkan
pertentangan-pertentangan bagi tiap-tiap warga masyarakat yang apabila tidak bisa
menimbulkan bentrokan yang bisa mengakibatkan kerugian bagi warga masyarakat
itu sendiri. Sehingga dengan demikian, menjadi tugas dari HUKUM untuk
menyelesaikan konflik dan memberikan keadilan bagi warga masyarakat.
BAB II RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah tersebut,
maka timbul suatu permasalahan yaitu “Bagaimana Membangun Kembali Kepercayaan
Mahkamah Konstitusi Dalam Mengaplikasikan Teori Piramida Hukum?” ;
BAB III PEMBAHASAN
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai
Hukum dan Keadilan, maka haruslah kita mengetahui lebih dahulu apa bagaimana
bentuk dari Piramida Hukum sebagaimana dimaksud dalam teori.
A. TEORI HUKUM
Banyak doktrin yang membahas mengenai
Apa itu HUKUM, apa manfaat atau tujuan dari adanya HUKUM dan lain sebagainya. Secara garis besar, HUKUM dapat diartikan
dari 2 (dua) sisi yang berbeda, yaitu :
1.
Hukum sebagai kumpulan kaidah (das Sollen);
2.
Hukum sebagai gejala masyarakat (das Sein) ;
Kedua sisi dari HUKUM tersebut
dikarenakan tiada HUKUM tanpa masyarakat dan tiada masyarakat tanpa HUKUM.[7]
Sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles, bahwa “Manusia adalah zoon
politicon”, maka dengan adanya pergaulan dalam masyarakat tersebut yang
akhirnya menimbulkan adanya HUKUM.
Sangat tidak mudah untuk mengartikan HUKUM,
karena banyak aspek, ragam, jenis maupun jumlahnya. Kata HUKUM yang berasal
dari istilah asing yaitu RECHT (Inggris), recht (Belanda), Recht (Jerman),
Diritto (Italia) maupun Droit (Perancis), yang masing-masing memiliki arti dan
pengertian tersendiri, tergantung pada masing-masing masyarakatnya. Dan hal
yang penting ialah bahwa SUBYEK dari HUKUM adalah manusia, anggota dari suatu
masyarakat. Bahwa kesukaran dalam membuat definisi hukum disebabkan :[8]
1.
karena luasnya lapangan hukum
itu ;
2.
kemungkinan untuk meninjau
hukum dari berbagai sudut (filsafat, politik, sosiologi, sejarah dan
sebagainya) sehingga hasilnya akan berlainan dan masing-masing definisi hanya
memuat salah satu paket dari hukum saja ;
3.
objek (sasaran) dari hukum
adalah masyarakat, padahal mesyarakat senantiasa berubah dan berkembang,
sehingga definisi dari hukum juga akan berubah-ubah juga.
Sudikno Mertokusumo mengatakan, “Hukum
meliputi seluruh kehidupan manusia dan adanya Hukum untuk menata masyarakat.[9]
Sedangkan IImmanuel Kisch menyebutkaan bahwa, “Hukum tidak bisa ditangkap oleh
Panca Indera sehingga tidak akan ada definisi yang memuaskan tentang Hukum.”[10]
John Austin menyatakan bahwa, “Hukum adalah perintah dari Kekuasaan Politik
yang berdaulat dalam suatu Negara’”[11]
Dari berbagai pengertian mengenai HUKUM
tersebut akhirnya menimbulkan berbagai Sistem Hukum, yaitu “Suatu susunan atau
tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya dari bagian-bagian
yang berkaitan satu sama lain.”[12]
Dari
berbagai pengertian mengenai HUKUM tersebut, menimbulkan berbagai Teori-Teori
Hukum, diantaranya yaitu :
1. Teori-Teori Yunani, dipandang sebagai
sumber pemikiran tentang hukum dan filsafat, karena pada zaman ini orang
memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide atau pendapatnya.[13]
Beberapa tokoh diantaranya adalah Socrates, yang menuntut
supaya penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang melebihi manusia.
Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa hukum harus dibagi dalam 2 (dua)
kelompok, yaitu :
a.
Hukum alam atau kodrat yang
mencerminkan aturan alam. Hukum alam itu merupakan suatu hukum yang selalu
berlaku dan tidak pernah berubah karena kaitannya dengan aturan alam ;
b.
Hukum Positif yang dibuat
manusia. Pembentukan hukum ini selalu dibimbing oleh suatu rasa keadilan dengan
prinsip equity (kesamaan), yang kemudian
melahirkan keadilan distributive dan keadilan korektif (remedial).[14]
2.
Teori-Teori Romawi, pemikiran
hukum alam mulai dikembangkan oleh CICERO yang menartikan Hukum Alam sebagai
prinsip yang meresapi alam semesta yaitu akal yang menjadi dasar bagi hukum dan
keadilan serta Hukum Positif harus berdasarkan asas-asas Hukum Alam karena jika
bertentangan dengan Hukum Alam, maka Hukum Positif tidak mempunyai kekuatan
Undang-Undang.[15]
3.
Teori Hukum Alam, pada dasarnya
teori ini timbul dalam upaya untuk menemukan apa yang dinamakan absolute justice (keadilan yang mutlak)
di samping sejarah tentang kegagalan manusia dalam mencari keadilan tersebut.[16]
Salah satu tokohnya adalah Thomas Aquinas yang
menyatakan bahwa dunia ini daitur oleh akal Ketuhanan, Hukum Ketuhanan adalah
yang tertinggi, dan membagi Hukum menjadi 4 (golongan), yaitu :
a.
Lex Aeterna, yaitu rasio Tuhan
sendiri yang mengatur segala sesuatu dan merupakan sumber dari segala hukum dan
rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia ;
b.
Lex Divina, bagian dari rasio
Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya ;
c. Lex Naturalis, yaitu penjelmaan dari lex
aeterna di dalam rasio manusia ;
d. Lex Positivis, hukum yang berlaku
merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berkaitan dengan syarat
khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia.
4. Teori Teokrasi, bahwa Hukum berasal dari
Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk
pada hukum.
5. Teori Kedaulatan Negara, kekuasaan tidak
dapat didasarkan atas kemauan bersama seluruh masyarakat, tetapi hukum
merupakan penjelmaan daripada kemauan Negara.
6. Teori Kedaulatan Hukum, teori ini timbul
dari reaksi penyangkalan terhadap teori kedaulatan Negara, teori ini mengatakan
bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah Hukum.
7. Aliran Hukum Positivisme (Ulitarinisme),
menyatakan bahwa kaedah hukum hanya bersumber dari kekuasaan Negara yang
tertinggi dan sumber itu hanyalah hukum positif yang terpisah dari kaedah
sosial, bebas dari pengaruh politik, ekonomi, sosial dan budaya.
8. Teori Hukum Murni, teori ini dikemukakan
oleh Hans Kelsen yang menghendaki hukum harus dibersihkan dari unsur-unsur yang
tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sejarah.
9.
Teori Sosiologis, yang
menyatakan bahwa Hukum adalah apa yang sebenarnya menjadi kenyataan dalam
masyarakat, bagaimana secara fakta hukum diterima, tumbuh dan berlaku dalam
msyarakat.
10.
Teori Antropologis, yaitu Hukum
adalah norma yang tidak tertulis yang hidup dan tumbuh secara nyata dalam
masyarakat seiring dengan perkembangan kebudayaan.
11.
Teori Realis, yang menyatakan
bahwa Hakim lebih layak disebut sebagai hukum daripada menemukan hukum.
B. STUFENBAU
THEORIE
Dari
berbagai Teori tersebut, Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian
adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie).
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen,
yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau
der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah
1. Norma fundamental negara
2. Aturan dasar negara
3.
Undang-undang
formal. dan
Hans Kelsen pernah menjelaskan dalam
teorinya menyebutkan sebagai berikut :
Dasar berlakunya
dan legalitas suatu kaedah terletak pada kaedah yang lebih tinggi. Ini berarti
bahwa yang menjadi dasar berlakunya suatu ketetapan adalah peraturan, dasar
berlakunya suatu peraturan adalah Undang-Undang, dasar berlakunya Undang-Undang
adalah Undang-Undang Dasar dan akhirnya dasar berlakunya Undang-Undang Dasar
adalah kaedah dasar (grund norm).[18]
Secara sederhana, Stufenubau theorie Hans Kelsen tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut :
Staatsfundamentalnorm
adalah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung)
dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah
sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada
terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Menurut Nawiasky, norma tertinggi
yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu
negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm,
atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak
berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta
atau revolusi.
Berdasarkan
teori Nawiasky tersebut, kita dapat membandingkannya dengan teori Kelsen dan
menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan
struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky.
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1) Staatsfundamentalnorm:
Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2) Staatsgrundgesetz:
Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3) Formell
gesetz: Undang-Undang.
4) Verordnung
en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah
hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota.
Peraturan
hukum keseluruhannya diturunkan dari Norma Dasar yang berada di puncak piramid
kemudian semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma Dasar teratas adalah abstrak dan makin ke bawah semakin
konkret.[19]
Menurut Curzon, persamaan antara
ajaran hukum murni Kelsen dengan ajaran perintah Austin adalah :
1.
Keduanya ingin memisahkan hukum
dari moral dan sebagainya ;
2.
Keduanya juga menggunakan
analisis formal dan hanya mengakui hukum positif sebagaisatu-satunya hukum ;
3.
Keduanya melihat esensi hukum “in term of an ultimate concept” ;
Dari uraian
teori-teori tersebut di atas, dapatlah kita menjabarkannya sebagai berikut :
Grundnormen merupakan norma dasar yang menjadi payung
bagi seluruh peraturan di bawahnya.
Grundgesetzes merupakan hukum atau peraturan dasar yang menjadi dasar hukum bagi
peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, yang dimaksud dengan Grundgesetzes ini adalah Tap MPR.
Formele
Gesetzes, yaitu
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu Negara.
Verordnungen
atau Autonome
Satzungen, merupakan
peraturan pelaksanaan dari peraturan tingkat atasnya.
C.
TATA URUTAN PERUNDANGAN DI INDONESIA
Setelah mencermati dan mempelajari
mengenai Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang kemudian
dikembangkan oleh Nawiasky, maka selanjutnya kita perlu pula memperhatikan
keterkaitan antara Stufenbau Theorie dengan Tata Urutan Perundangan di
Indonesia.
Untuk melihat tata urutan perundangan
di Indonesia,
maka kita perlu melihat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam Bab III tentang Jenis, Hierarki
dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan, pada Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, menyebutkan, “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia
Tahun 1945 ;
b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat ;
c. Undang-Undang / Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ;
d. Peraturan Pemerintah ;
e. Peraturan Presiden ;
f.
Peraturan Daerah Provinsi dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota ;”
Tata Urutan Perundang-Undangan
sebagaimana tercantum dalam Bab III Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011, apabila dikaitkan dengan Stufenbau Theorie dari Hans Kelsen, dapat
kita jabarkan sebagaimana diuraikan di bawah ini ;
1.
Staatsfundamentalnorm/Grundnorme
Saat ini kajian hukum tidak bisa hanya dipahami sebagai kajian
yuridis normatif semata, tetapi perlu pengkajian yang multidisiplin, mengapa
demikian, karena tidak dapat dipungkiri, bahwa hukum itu pada dasarnya tidak
begitu saja jatuh dari langit, tetapi ia dibuat oleh manusia dan selalu berada
dalam lingkusp sosial tertentu. Itu artinya, hukum itu tidak hadir dan bergerak
diruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan selalu
berada dalam sebuah tatanan sosial tertentu dalam lingkup manusia-manusia
hidup. Pemahaman yang demikian itulah yang menggugah sebagian pemikir dan
penstudi hukum untuk melihat hukum tidak dalam sebuah tatanan norma an sich.
Para penganut perspektif ini berpendirian,
bahwa hanya dengan cara itulah kita dapat melihat “wajah” hukum secara
sempurna. Demikian pernyataan Esmi Warassih salah satu penggiat hukum dari
Universitas Diponegoro, dalam catatan pengantar buku Pranata Hukum sebuah
telaah Sosiologis.[21]
Norma Dasar ini di Indonesia
adalah PANCASILA sebagai pandangan hidup bangsa yang perumusannya terdapat
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak dapat digolongkan ke dalam
jenis peraturan. Pancasila
lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam
pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische
grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya
akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan
istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar
atau lima asas.[22]
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm
pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. Pancasila dilihat sebagai cita hukum
(rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan
pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta
dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila
sebagai Staatsfundamentalnorm maka
pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari
nilai-nilai Pancasila. Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai
Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang
Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi,
karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat
dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut
Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan
antara Pancasila dan UUD 1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma
hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada
konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat
menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga
konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis.
Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final,
di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang
merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma
mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid.Presuposisi inilah
yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.
Semua norma hukum adalah milik satu tata
aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara
langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah
norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi
preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini. Kalimat
terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi
atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur
hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara
tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan
dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia
dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.
Logika Kelsen tersebut sering dipahami
secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan
konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah
yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm
dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm
pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat
berubah seperti melalui kudeta atau revolusi. Pendapat Nawiasky tersebut
sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa
konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi
berbeda dengan norma hukum biasa. Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu
tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau
revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain
dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi
menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan
dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum
baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama.[23]
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara
diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam
Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat
Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum
DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan
MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum
di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara
(philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang
terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai
dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai
penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.[24]
2.
GRUNDGESETZES
Merupakan
hukum atau peraturan dasar yang menjadi sumber hukum bagi peraturan
perundang-undangan. Aturan ini masih bersifat mendasar, akan tetapi belumb isa
langsung dioperasionalkan. Tingkatan aturan ini pada sebagian besar Negara
terletak pada tingkatan konstitusional.
Bentuk
Ketentuan Hukum itu dirumuskan dalam suatu kalimat berupa kalimat berita,
kalimat bersyarat (hipotesis), kalimat mengharuskan dan kalimat larangan.[25]
Konstitusi memuat aturan-aturan pokok
(fundamental) yang menopang berdirinya suatu negara. Terdapat dua jenis
kontitusi, yaitu konstitusi tertulis (Written Constitution) dan konstitusi
tidak tertulis (Unwritten Constitution). Ini diartikan seperti halnya “Hukum
Tertulis” (geschreven Recht) yang termuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak
Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan.[26]
Dalam karangan “Constitution of
Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai
konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.[27]
Di
Indonesia, Grundgesetzes ini, adalah dalam bentuk Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
Meskipun
di dalam prakteknya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah mengalami 4 (empat) kali perubahan (amandemen), akan tetapi karena Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia ini merupakan penjabaran dari Grundnorm yaitu
PANCASILA, maka setiap perubahannya tidak boleh dan tidak akan pernah
bertentangan dengan isi dari PANCASILA sebagai Norma Dasar Negara Indonesia.
Demikian
pula dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pasti akan
mengalami perubahan di setiap pembentukannya. Akan tetapi karena Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini juga merupakan penjabaran dari
PANCASILA, maka perubahannyapun tidak akan dan tidak bisa bertentangan dengan
PANCASILA sebagai Norma Dasar Negara Indonesia.
3.
Formele Gesetzes
Penjabaran dari Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) adalah dalam bentuk Undang-Undang yang merupakan kaedah hukum.
Ishaq, menyatakan bahwa KAEDAH HUKUM
adalah Kaedah atau peraturan yang dibuat
oleh penguasa Negara, yang isinya mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan
oleh aparat Negara dan pelaksanaannya dapat dipertahankan.[28]
Jika kita memandang Hukum sebagai
kaidah, maka tidak boleh tidak, kita harus mengakui, sanksi sebagai salah satu
unsur esensialnya. Lalu, apa yang dimaksud dengan sanksi ?
Achmad Ali, menyatakan bahwa sanksi
mengandung unsur-unsur sebagai berikt :[29]
1.
Sanksi merupakan reaksi, akibat
atau konsekuensi dari pelanggaran atau penyimpangan kaidah sosial (baik kaidah
hukum maupun kaidah non hukum) ;
2.
Sanksi merupakan kekuasaan atau
alat kekuasaan untuk memaksakan ditaatinya kaidah sosial tertentu ;
3.
Khusus mengenai sanksi hukum,
pada garis besanya dapat dibedakan atas sanksi privat dan sanksi publik.
Di Indonesia, produk
perundang-undangan ini dibuat dan ditetapkan oleh Presiden bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Mahfud MD bukunya Politik Hukum di
Indonesia, menyatakan bahwa “Politik
kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga
menucul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam
kenyataannya lebih suprematif.”[30]
Pernyataan dari Mahfud MD tersebut
secara tidak langsung menafikan / membantah Teori Hukum Murni, baik Teori Hukum
Murni Hans Kelsen maupun Teori Hukum Murni dari John Austin, yang pada intinya
memisahkan hukum dari moral dan sebagainya. Akan tetapi hal tersebut menjadi
kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri bahwa dalam setiap pembuatan peraturan
perundang-undangan, selalu ada unsur kepentingan dari pembuatnya dari itu dari
unsur Eksekutif yaitu Pemerintah (Presiden) maupun dari unsur Legislatif (DPR).
Lebih lanjut, Mahfud MD, menyatakan
bahwa perkembangan karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan
oleh perkembangan kongigurasi politik, yaitu konfigurasi politik tertentu
ternyata selalu melahirkan karakter produk hukum tertentu pula.[31]
Oleh karena itu perlu pemahaman dan
cara berpikir yang komprehensif (menyeluruh) dari para pembuat peraturan
perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah dalam membuat ssebuah
peraturan perundang-undangan, sehingga tidak menjadi mubazir / tidak
bermanfaaat, baik karena isinya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi maupun karena isinya bertentangan dengan
kehendak dari warga msayarakat, sebagai user / pengguna dari peraturan
perundang-undangan tersebut.
Dengan adanya peraturan
perundang-undangan yang baik, yang memperhatikan unsur kemanfaatan dan
keadilan, maka bukan mustahil, bahwa HUKUM bisa menjadi “obat” bagi para pencari
keadilan, apabila terjadi pergesekaan-pergesekan dalam pergaulan masyarakat.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa :
(1)
Materi muatan yang harus diatur
dengan Undang-Undang berisi :
a.
Pengaturan lebih lanjut
mengenai ketentuaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;
b.Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang ;
c.
Pengesahan perjanjian
internasional ;
d.
Tindak lanjut atas putusan
Mahkamah Konstitusi dan/atau
e.
Pemenuhan kebutuhaan hukum
dalam masyarakat ;
(2)
Tindak lanjut atas putusan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh
DPR atau Presiden ;
4.
Verordnungen atau Autonome Satzungen
Merupakan
peraturan pelaksanaan dari peraturan tingkat atasnya. Peraturan ini bersifat
semakin konkrit dibandingkan peraturan yang ada di atasnya.
Di
Indonesia, dijabarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota hingga Peraturan Desa.
a.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Pasal
11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa :
“Materi muatan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muataan
Undang-Undang.”
b.
Peraturan Pemerintah
Pasal
12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa :
“Materi muatan
Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya.”
c.
Peraturan Presiden
Pasal
13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa :
“Materi muatan
Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi
untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.”
d. Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Derah
Kabupaten/Kota
Pasal
14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyebutkan bahwa :
“Materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menaampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundangan yang lebih tinggi.”
Dari
penjabaran-penjabaran tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, juga memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memberikan masukan-masukan di dalam
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam BAB XI
Pasal 96 yang menyatakan sebagai berikut :
(1) Masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan ;
(2) Masukan secara lisan dan/atau
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui :
a. rapat dengar pendapat umum ;
b. kunjungan kerja ;
c. sosialisasi dan/atau
d. seminar. Lokakarya dan/atau
diskusi ;
(3)
Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan ;
(4)
Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan
Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
D.
MAHKAMAH KONSTITUSI
Sebagai
salah satu institusi baru di dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, Mahkamah
Konstitusi sebenarnya telah mendapatkan apresiasi yang postif dari masyarakat. Keberadaan
Mahkamah Kontitusi sebagai Lembaga yang berwenang menilai terhadap keberadaan
Undang-Undang dan peraturan lain di bawah Undang-Undang agar tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar, memberikan kepercayaan kepada masyarakat yang
merasa aspirasinya tidak terakomodir dai dalam penyusunan suatu peraturan
perundang-undangan.
Masyarakat
dapat setiap saat mengajukan gugatan Judicial Review terhadap setiap peraturan
perundang-undangan yang dirasakan merugikan bagi dirinya maupun kelompoknya.
Meski demikian, penilaian akhir terhadap keberadaan suatu peraturan
perundang-undangan tetap berada di tangan Mahkamah Konstitusi, yang menjatuhkan
putusan berdasarkan alat bukti yang diajukan oleh pemohon maupun termohoan
Judial Review.
Prestasi yang sangat membanggakan
dari Mahkamah Konstitusi, pada akhirnya tidak dapat dijaga oleh Hakim-Hakim
Konstitusi yang berada di dalamnya, hal ini terbukti dengan ditangkaptangannya
Ketua Mahkamah Konstitusi, AKIL MOCHTAR, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan dugaan suap dalam kasus pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan
Selatan. Juru bicara KPK, Johan Budi, mengatakan AM ditangkap setelah menerima
uang dari CHN dan CN terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah di Gunung Mas,
Kalimantan Tengah. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menyita sejumlah uang
berbentuk dolar Singapura senilai Rp2 sampai Rp3 miliar dalam operasi
penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, di Komplek Widya Chandra
III, Nomor 7, Jakarta Selatan.[32]
Menjadi hal yang ironis, ketika
Mahkamah Konstitusi, yang ditugaskan untuk mengawal Konstitusi (Undang-Undang
Dasar), sebagaimana pendapat dari Hans Kelsen dalam teorinya Stufenbau Theorie,
kemudian menjadi “Penghianat” Konstitusi. Hal inilah yang menjadikan merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi.
Pakar Hukum Tata Negara dari
Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf mengatakan
penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh KPK yang diduga
sedang menerima suap di rumah dinasnya menyempurnakan
perkara-perkara korupsi yang saat ini sudah sangat akut menghinggapi lembaga-lembaga
negara dan partai politik dari pusat sampai daerah. Menurut Asep dengan
kewenangannya yang tidak terbatas dan tidak adanya keputusan MK yang bisa
dibatalkan dan satu-satunya lembaga yang tidak bisa diawasi serta satu-satunya
lembaga yang memutuskan perkara untuk dirinya sendiri, membuat MK sebagai
satu-satunya lembaga yang paling empuk dan nyaman untuk melakukan tindak pidana
korupsi.[33]
Pendapat senada dikemukakan oleh
Katorius Sinaga, yang mengatakan "Kita patut mengapresiasi kinerja KPK di
dalam memberantas korupsi kelas kakap seperti kasus operasi tangkap tangan
(OTT) Ketua MK demi penyelamatan bangsa dan negara," kata Sosiolog
Universitas Indonesia (UI) Kastorius Sinaga dalam rilisnya, Jumat (4/10/2013).
Menurut dia OTT Ketua MK tersebut harus dapat dijadikan sebagai "momentum
besar" untuk memberantas tuntas praktik "money politics" di
dalam kehidupan demokrasi kita khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada, Pemilu
legislatif, Pilpres dan sengketa-sengketa Pemilu.[34]
Sebagai pengawal dari Undang-Undang
Dasar, sebagaimana Stefenbau Theorie dari Hans Kelsen, seharusnya Mahkamah
Konstitusi terbebas dari segala macam pengaruh di dalam pelaksanaan tugasnya.
Hakim-Hakim Konstitusi harus dapat bekerja dengan mengabaikan dan menjauhkan
diri dari praktek korupsi, kolusi maupun nepotisme di setiap persidangannya.
Hal ini dilakukan agar masyarakat semakin percaya terhadap keberadaan Mahakamah
Konstitusi dan masyarakat semakin sadar terhadap hak-hak konstitusinya.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
pelaksanaan dari GrundNorm bangsa Indonesiaa, yaitu Pancasila, telah mengatur
secara terperinci terhadap segala hak dan kewajiban masing-masing warga Negara,
sehingga dengan demikian, pembentukan dan penyusunan peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
termasuk di dalamnya pelaksanaan dari Undang-Undang Pemilihan Umum dan
Pemilihan Kepala Daerah.
Meski demikian, dengan semakin
banyaknya proses Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia yang penyelesaian
sengketanya diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, membuat tugas Mahkamah
Konstitusi bertambah, tidak hanya melakukan Judicial Review terhadap
Undang-Undang tetapi juga menyelesaikan sengketa Pemilihan Kepala Daerah.
Penambahan tugas dari Mahkamah Konstitusi, seharusnya disertai juga dengan
peningkatan integritas dari Hakim-Hakim Konstitusi, sehingga Hakim-Hakim
Konstitusi bisa membentengi diri terhadap pengaruh negatif dari persidangan
perkara sengketa Pemilihan Kepala Daerah.
Lebih lanjut Kastorius SInaga
mengatakan bahwa Operasi Tangkap Tangan Ketua MK tersebut harus dapat dijadikan
sebagai "momentum besar" untuk memberantas tuntas praktik "money
politics" di dalam kehidupan demokrasi kita khususnya dalam
penyelenggaraan Pilkada, Pemilu legislatif, Pilpres dan sengketa-sengketa Pemilu. "Praktik
politik uang sangat marak, beragam dan sangat luas dilakukan, mulai dari
pencalonan, percaloan suara, jual beli suara, serangan fajar, kecurangan
penghitungan suara dengan imbal uang serta hingga pada proses sengketa
pemilu," ujar Caleg dari Demokrat untuk DPR RI ini dan penangkapan
tersebut akan memiliki efek jera dan manfaat lebih luas bila penangkapan ketua
MK tersebut dijadikan sebagai "tonggak gerakan politik
masyarakat" untuk bersama-sama menolak, memberantas secara tuntas praktik money
politics di dalam kegiatan pemilu kita yang penyelenggaraannya sudah
diambang pintu.[35]
Dengan tertangkap tangannya Ketua
Mahkamah Konstitusi, membuat Lembaga ini kemudian berbenah diri, salah satunya
adalah mengadakan pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi yang baru. Pemilihan dan
pengangkatan Ketua Mahkamah Konstitusi yang baaru diharapkan dapat memperbaiki
citra Mahkamah Konstitusi yang sudah terpuruk.
Asep Warlan Yusuf mengatakan
penangkapan ini harus dijadikan bahan evaluasi terhadap MK. Kasus penangkapan
ini jelasnya tidak bisa mengubah apapun terkait keputusan MK karena
memang sistem hukum kita demikian dan oleh karena itu harus ada upaya hukum
luar biasa kalau keputusan dibuat oleh hakim MK karena dipengaruhi faktor
korupsi.Keputusan MK yang sangat kebal dan tidak dapat ditinjau ulang dapat
merugikan bagi seorang yang tidak mendapatkan keadilan karena hakim yang
korup.[36]
Setelah terpilihnya Ketua Mahkamah
Konstitusi yang baru yaitu Hamdan Zoelva, masyarakat berharap bahwa Mahkamah
Konstitusi dapat berbenah diri dan memperbaiki kinerjanya. Bahkan dari Istana
Kepresidenan juga memiliki harapan yang sama, sebagaimana disampaikan oleh Juru
bicara presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pun mengikuti proses tersebut. Presiden menerima hasil dari pemilihan dan pelantikan Ketua MK yang baru. “Presiden
menerima bahwa Hamdan Zoelva telah terpilih sebagai ketua MK yang baru.
Mudah-mudahan bisa bekerja dengan baik dan menuntaskan apa yang jadi amanat dan
harapan masyarakat Indonesia,” katanya, Rabu (6/11) dan Julian Pasha menegaskan,
MK sepenuhnya memiliki kewenangan untuk mencari ketua yang baru dari delapan
hakim konstitusi yang tersisa. Karena itu, istana menghormati proses tersebut
dan menerima hasilnya.[37]
Begitu
beratnya beban dari Mahkamah Agung untuk berbenah diri, akan tetapi suatu hal
yang sangat mungkin terjadi bahwa masyarakat akan kembali memiliki kepercayaan
yang tinggi kepada Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dari Undang-Undang
Dasar. Peran masyarakat juga diperlukan di dalam mengawasi perilaku dan tindak
tanduk Hakim-Hakim maupun staf dari Mahkamah Konstitusi, sehingga di kemudian
hari tidak lagi terjadi penyimpangan-penyimpangan dari pelaksanaan tugas
Mahkamah Konstitusi.
BAB IV. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di
atas, maka dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Bahwa Negara Indonesia
telah menganut Stufenbau Theorie sebagaimana yang diuraikan oleh Hans Kelsen,
pada tata urutan perundang-undangan ;
2.
Bahwa Negara Indonesia tidak secara murni menerapkan Teori Hukum Murni,
dimana memisahkan Hukum dari moral dan sebagainya, karena di dalam setiap
pembuatan peraturan perundangan, selalu ada kepentingan politik yang
menyertainya baik itu dari unsur Eksekutif (Pemerintah) maupun dari unsur
Legislatif (DPR) ;
3.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk
memberikan masukan baik secara lisan maupun tulisan pada setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan, di setiap tingkatannya ;
4.
Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dari Undang-Undang Dasar, harus
mendapatkan pengawasan yang ketat dari seluruh warga Negara Indonesia,
supaya tidak terjadi lagi penyimpangan di dalam pelaksaan tugasnya.
BAB V SARAN
Berdasarkan
uraian yang telah kami uraikan tersebut di atas, dapat kami berikan saran-saran
sebagai berikut :
1.
Sedapat mungkin menimalisir adanya kepentingan politik dalam setiap
pembentukan perundang-undangan ;
2.
Memperluas peran serta masyarakat dalam pembuatan perundang-undangan,
sehingga peraturan perundangan yang dihasilkan akan bersifat responsif dan dapat
bermanfaat bagi masyarakat ;
3.
Kesadaran berkonstitusi dari seluruh warga masyarakat, akan dapat
mengawasi pelaksanaan tugas Mahkamah Konstitusi dalam rangka mengawal pelaksanaan
Undang-Undang Dasar.
BAB VI PENUTUP
Demikian,
dapat kami uraikan sedikit mengenai MEMBANGUN KEMBALI
KEPERCAYAAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGAPLIKASIKAN TEORI PIRAMIDA HUKUM , yang tentu saja masih banyak kekurangaan
di dalam penyampaiannya. Untuk itu kritik dan saran tetaap kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
I. Daftar Buku Bacaan
1.
H.M. Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang.
2.
ARIEF SIDARTA, HUKUM DAN LOGIKA, 1992, Penerbit ALUMNI – BANDUNG.
3.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit
Rajawali Pers – Jakarta.
4.
Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2012, Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru, Palu.
5.
Indrati Rini, Pengantar Ilmu Hukum – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU
HUKUM Universitas Islam Sultan Agung,
Tahun 2012.
6.
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum , 2007. Penerbit SInar Grafika
– Jakarta.
7.
Indrati Rini, Teori Hukum – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU
HUKUM Universitas Islam Sultan Agung,
Tahun 2012.
8.
Wahyono, Pengantar Hukum Indonesia –
Matrikulasi Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
9.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, 2011, Penerbit
Ghalia, Bogor.
10.
Curzon L.B, Jurisprudence, M & E Handbook.
11.
H.Abdul Latif dan H.hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta.
12.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 2009,
Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
II. Daftar Link
Internet
[1] Wakil Ketua pada
Pengadilan Negeri Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Mahasiswa S3 pada Program
Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
(UNISSULA) Semarang ;
[2] Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM
(Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit
Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang, h. 148.
[3] ARIEF SIDARTA, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[4] Ibid, hal 19-20.
[5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit
Rajawali Pers, Jakarta,
h. 9.
[7] Indrati Rini, Pengantar Ilmu Hukum, 2012,
Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM
Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
[8] Ishaq, SH.MH, Dasar-Dasar Ilmu Hukum ,
2007, Penerbit SInar Grafika – Jakarta, h. 1.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Indrati Rini, Teori Hukum, 2012, Program
Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM
Universitas Islam Sultan Agung, Semarang. .
[12]Wahyono, Pengantar Hukum Indonesia, 2012, Matrikulasi Program Pasca
Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM Universitas
Islam Sultan Agung, Semarang.
[13] Ishaq, loc.cit.hml.195.
[14] Ibid, hlm.197.
[15] Ibid, hlm.197.
[16] Ibid,hlm.198.
[17]ttp://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hans-kalsenhans-nawiaski-di.html
[18] Ishaq,op.cit.hlm.98.
[19] Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum, 2011, Penerbit Ghalia, Bogor, h.208.
[20] Curzon L.B, Jurisprudence, M & E Handbook, h.126.
[21]http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2011/06/memahami-ilmu-hukum-dari-perspektif.html
[25] H.Abdul Latif,dan H.hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta,
h. 58.
[28] Ishaq,SH.MH, loc.cit.hlm.32.
[29] Prof.DR.Achmad Ali,SH.MH, loc.cit.hlm. 42.
[30] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, 2009,
Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 9.
[31] Ibid, h.363.
[33]http://m.poskotanews.com/2013/10/10/pakar-penangkapan-ketua-kpk-korupsi-yang-sempurna/,11
Nopember 2013
[34]http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/04/penangkapan-ketua-mk-diharapkan-berikan-efek-jera,
11 Nopember 2013
[35]http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/04/penangkapan-ketua-mk-diharapkan-berikan-efek-jera,
11 Nopember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar