Senin, 21 September 2015

Selasa, 08 September 2015

HAKIM OEMAR BAKRI



HAKIM OEMAR BAKRI
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Bagi generasi yang tumbuh berkembang di tahun 1990an, tentu sangat mengenal seniman senior IWAN FALS yang terkenal dengan karya seninya berupa lagu-lagu yang banyak berisi sindiran dan satirisme keadaan pada masa itu, masa dimana kebebasan berekspresi belum sebebas dan seluas sekarang. Sekedar review ke belakang, adanya kontrol yang ketat terhadap kritik kepada pemerintah, dalam segala bentuknya, sedikit banyak “mengekang” para seniman maupun pekerja seni lainnya, termasuk di dalamnya adalah setiap individu sebagai anggota masyarakat di dalam mengekspresikan dirinya maupun melakukan kritik sosial terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang terjadi pada masa itu.
Kehadiran Iwan Fals mungkin menjadi salah satu sosok yang berani tampil beda., yang selalu dengan berani mengekspresikan kritik-kritik sosial dalam lagu-lagunya. Tentunya masih banyak yang mengingat lagu BENTO, yang jelas-jelas mengkritisi kelakuan pejabat-pejabat pemerintahan yang korup namun salah satu lagu yang menarik adalah lagu OEMAR BAKRI, yang begitu melegenda.
Sosok Oemar Bakri sebagai pegawai negeri sipil yang bekerja sebagai seorang guru, mengisahkan kebersahajaan dan kesederhaan yang dijalani oleh tokoh dalam lagu tersebut, seorang tokoh yang tidak pernah mengeluh akan tugas-tugasnya sebagai tenaga pendidik dan juga tidak pernah mengeluh akan gaji serta fasilitas yang didapatkannya. Mungkin soosk Oemar Bakri menjadi sosok yang langka di era saat ini.
HAKIM OEMAR BAKRI
Mendapat predikat sebagai Wakil Tuhan, menjadikan kedudukan seorang Hakim menjadi begitu tinggi, dalam arti selain tingkat penghasilan dan fasilitas yang diterima (diharapkan) akan menjadi tinggi tetapi juga tinggi dalam arti harapan masyarakat akan keadilan. Harapan yang tentunya akan membuat para Hakim harus bekerja keras untuk mewujudkannya. Pada tataran tertentu, Hakim juga terkadang mengeluhkan tidak seimbangnya antara penghasilannya dengan beban kerja yang harus diselesaikannya. Bolehkan seorang Hakim mengeluh terhadap hal demikian ? Sebagai seorang manusia, sangatlah manusiawi apabila seseorang mengeluhkan beban pekerjaannya yang harus dikerjaannya setiap hari, belum lagi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin besar yang sering kali tidak sebanding dengan penghasilannya. Namun sekiranya kita mau melakukan introspeksi diri dengan berkaca kepada lagu Oemar Bakri, maka seharusnya dapat membuka mata batin kita bahwa masih banyak “oemar bakri-oemar bakri” lain yang tidak mengeluhkan keadaannya, yang selalu ikhlas dalm menjalankan tugas kedinasannya, meskipun harus bekerja tanpa penhasilan yang cukup.
Kiranya juga perlu diperl\timbangkan bagi para pengambil kebijakan atas kesejahteraan Hakim (termasuk di dalamnya apartur pengadilan), bahwa bukan hanya tingkat kejeahteraan yang berkaitan dengan kebutuhan hidup yang juga harus mencukupi tetapi seorang Hakim juga dituntut untuk selalu menambah ilmu pengetahuannya, yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, baik dalam bentuk biaya pendidikan maupun biaya untuk membeli buku-buku yang berkualitas yang dapat meningkatkan pengetahuan seorang Hakim.
Ketika seorang guru merasa gaji yang diterimanya tidak mencukupi, yang bersangkutan bisa menutupnya dengan melakukan pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang ojek atau membuka kios kecil-kecilan yang menjual sembako, namun akan lain ceritanya apabila seorang Hakim yang merasa penghasilannya tidak cukup kemudian melakukan pekerjaan sampingan menjadi tukang ojek atau membuka toko sembako. Jika seorang hakim “nekad” melakukannya, bukan tidak mungkin terdapat konsekuensi akan diperiksa baik oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial serta mendapatkan “cap” sebagai Hakim yang tidak profesional (unprofessional conduct). Namun kiranya lebih terhormat apabila seorang Hakim yang masih merasa kurang dalam hal penghasilan, dalam hal Hakim tersebut masih dalam proses pendidikan untuk meningkatkan pengetahuannya, melakukan kerja sampingan sebagai tukang ojek ataupun membuka toko sembako, jika dibandingkan Hakim tersebut melakukan “DAGANG PERKARA” atas suatu perkara yang diadilinya. Meski demikian, harus ditanamkan dalam diri seorang Hakim bahwa pengabdiannya sebagai Wakil Tuhan di dunia yang dijalankan secara ikhlas akan menjadikan suatu kebanggaan tersendiri bagi Hakim tersebut dan juga bagi keluarganya serta harus beryakinan bahwa pengabdiannya tentu saja akan mendapatkan ganjarannya berupa reward, yang tidak harus berupa materi, namun juga berupa kesempatan untuk menambah ilmu dan pengetahuannya.
Akhir kata, tentu saja bagi Mahkamah Agung juga harus selalu memperhatikan tingkat kesejahteraan Hakim (juga pegawai pengadilan lainnya) sebagai salah satu upaya terciptanya visi peradilan yang agung. Wallahualam.










[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;

Kamis, 03 September 2015

PERADILAN YANG AGUNG


PERADILAN YANG AGUNG
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Dalam peringatan hari jadi Mahkamah Agung ke – 70, Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agung kembali mengingatkan akan visi dari Mahkamah Agung yaitu menjadikan Peradilan Indonesia sebagai peradilan yang agung. Suatu visi yang melihat jauh ke masa depan dimana bangsa Indonesia sangat membutuhkan suatu badan peradilan yang mampu mengayomi dan memberi rasa keadilan sesuai dengan perkembangan peradaban dan kehidupan masyarakat.
Peradilan yang agung membutuhkan suatu konsekuensi bahwa aparat yang berada di setiap badan peradilan di Indonesia yang bernaung di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia harus bekerja keras menegakkan hukum dan keadilan sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sebagaimana tujuan dari adanya hukum. Harus diakui bahwa menegakkan hukum dan menegakkan keadilan adalah bagaikan dua sisi mata uang yang sering tidak bisa seiring dan sejalan, yaitu ketika lebih memilih menegakkan hukum maka ada rasa keadilan yang tercederai, demikian pula sebaliknya, ketika lebih mengedepankan keadilan, maka ada norma hukum yang dikorbankan. Akan tetapi dari keduanya, yang utama adalah adanya manfaat dari hukum itu sendiri, yaitu adanya hukum akan memberi kemanfaatan bagi masyarakat sehingga timbul rasa membutuhkan hukum dalam masyarakat.
Di sisi lain, visi peradilan yang agung tidak hanya berbentuk bangunan kantor pengadilan yang megah di setiap kota, sebab bangunan yang megah tersebut tidak secara otomatis memberi jaminan bahwa pelayanan yang diberikan juga sebanding dengan megahnya bangunan kantor tersebut. Meski demikian, jika kita melihat di daerah-daerah, utamanya di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan, masih banyak gedung kantor pengadilan yang masih kurang layak untuk disebut sebagai kantor pengadilan dan masih banyak gedung kantor pengadilan yang memiliki bentuk yang berlainan, sehingga mengesankan tidak adanya keseragaman. Ketika masyarakat melihat dari sisi fisik gedung kantor pengadilan yang tidak sama antara kota yang satu dengan kota yang lain, maka akan timbul pemikiran bahwa pelayanan yang diberikanpun pasti tidak sama, apalagi ketika masyarakat akan menuntut keadilan, hal tersebut semakin membuat masyarakat meragukan keadilan yang akan diberikan oleh aparat penegak hukum di kantor pengadilan.
Selain itu, dengan kemajuan tekhnologi informasi, harus dapat menjadi pendukung terciptanya peradilan yang agung dengan cara memberikan informasi-informasi terbaru (update) perihal segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan di kantor pengadilan, baik itu informasi persidangan, informasi tata cara beracara di pengadilan, informasi putusan-putusan, meskipun dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam Pasal 17 mengatur mengenai informasi yang dikecualikan bagi publik, namun setidaknya tersedianya informasi yang aktual dari kantor pengadilan, akan memberikan akses kepada masyarakat yang membutuhkannya.
Jaman semakin berubah, tidak bisa lagi kita sebagai aparat pengadilan berkilah bahwa suatu informasi adalah dirahasiakan bagi publik kecuali sebagaimana telah diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008, bahkan apabila ada anggota masyarakat yang tidak mengerti mengenai teknologi informasi sehingga tidak bisa membuka informasi dari pengadilan secara online, dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada ketua pengadilan setempat mengenai informasi yang diinginkannya. Keterbukaan informasi akan semakin mendorong tercapainya visi peradilan yang agung di Indonesia.
Dari sisi yang lain, peradilan yang agung juga menuntut para aparatur pengadilan bertindak sebagai pelayan masyarakat yang membutuhkan keadilan dengan disiplin kerja dan disiplin waktu. Mengingat beban kerja persidangan, utamanya yang banyak terjadi di kota-kota besar, membuat aparatur pengadilan sering melupakan penyelesaian penanganan berkas perkara (minutasi) atau sering terjadi terlambatnya pemberitahuan putusan kepada pihak-pihak yang bersengketa di pengadilan. Hal-hal demikian tentunya membuat masyarakat bersikap skeptis terhadap aparatur pengadilan, apalagi apabila dalam penanganan perkara muncul adanya biaya-biaya siluman dengan berbagai macam dalih dan alasan. Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agungpun sudah mewanti-wanti bahkan mengancam perilaku demikian dengan tidak akan memberi ampun terhadap siapapun aparatur pengadilan yang bertindak demikian dan ancaman tersebut ada 2 (dua) macam yaitu ancaman administratif berupa pemecatan tidak dengan hormat dan ancaman pemidanaan. Sebuah peringatan yang tidak bisa dianggap remeh bagi seluruh aparatur pengadilan, namun dengan satu tujuan yaitu terciptanya peradilan Indonesia yang agung. Walahualam.









[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;

PUTUSAN BAGAIKAN PEDANG BERMATA DUA


PUTUSAN BAGAIKAN PEDANG BERMATA DUA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Semakin maju tingkat peradaban manusia, maka tentunya akan semakin maju pula pemahaman dan ketaatan masyarakat pada hukum. Akan tetapi sebagaimana ilmu sosial yang lain, perubahan masyarakat pada satu sisi belum tentu merubah perilaku masyarakat pada sisi yang lain, bahkan seringkali semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang bahkan semakin berani orang tersebut melanggar hukum, dengan berbagai dalih yang pada intinya meminta “previlege” atau hak diberi prioritas dibandingkan orang lain.
Perilaku seseorang yang juga merupakan bagian dari suatu lingkungan masyarakat tentunya diharapkan dapat menjadi contoh bagi orang lain, setidaknya bagi anggota dalam masyarakat tersebut. Terlebih apabila seseorang telah mengenyam pendidikan yang tinggi, yang seharusnya ilmu yang didapatkannya dapat diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Civil sosiaty akan terlihat beradab salah satunya dari perilaku anggotanya, sehingga tingkah laku atau perilaku yang negatif tentunya akan sangat merugikan bagi kelompok masyarakat tersebut,
Contoh faktual yang masih hangat diperbincangkan adalah perilaku arogan para pengendara sepeda motor berkapasitas mesin besar (MOGE / Motor Gedhe) yang dalam setiap perjalanannya selalu mendapatkan pengawalan dari petugas Kepolisian. Pengawalan dari pihak Kepolisian tentunya agar pengendara MOGE tersebut menjadi tertib dan juga menghindari adanya gesekan dengan masyarakat umum pengguna jalur lalu lintas dalam hal mengingat penunggang MOGE selalu dalam jumlah rombongan yang banyak. Dalam hal tertentu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, terdapat beberapa pengecualian yaitu para pengguna jalan raya dapat meminta pengawalan dari petugas Kepolisian, misalnya, kendaraan Ambulance, Pemadam Kebakaran, Kendaraan Dinas Pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan yang seluruhnya meskipun mendapatkan pengawalan dari petugas Kepolisian, tetap harus mentaati peraturan lalu lintas dan menghormati pengguna jalan raya yang lainnya. Namun yang terjadi adalah bahwa para penunggang MOGE yang telah mendapatkan pengawalan dari petugas Kepolisian seringkali bersikap arogan dan bersikap mau menang sendiri.
Sekelumit contoh dari pengendara MOGE tersebut, terlihat jelas bahwa seseorang baru dapat memiliki MOGE apabila sudah mencapai tingkat perekonomian yang tinggi, kecuali di kemudian hari ada tempat penyewaan MOGE, namun untuk saat ini hanya orang-orang yang memilki uang berlebih saja yang dapat membeli dan memilki MOGE, namun tingkat kesadaran berlalu lintasnya masih jauh di bawah seorang pengendara sepeda onthel.
Dalam dunia peradilanpun setali tiga uang, masih banyak orang yang merasa lebih kaya dibandingkan orang lain, meminta pelayanan lebih baik di persidangan, baik itu dengan dalil merupakan hak seseorang untuk mendapatkan keadilan atau hak seorang Terdakwa untuk bisa mendapatkan pengecekan kesehatan yang lebih baik daripada yang disediakan oleh pihak Rumah Tahanan Negara (RUTAN)  atau dengan dalil-dalil yang lain. Segala upaya diusahakan agar seseorang yang berhadapan dengan hukum bisa diperlakukan istimewa, bahkan tidak segan-segan dengan upaya-upaya negatif seperti melakukan suap kepada aparat penegak hukum, demi untuk mendapatkan perlakuan istimewa.
Harus diakui bahwa pengaruh seseorang yang berhadapan hukum, terutama ketika orang tersebut dalam kedudukan ekonomi maupun pendidikan yang tinggi juga akan sampai pada tingkat    musyawarah Majelis Hakim. Tidak bisa dipungkiri bahwa kedudukan seseorang, misalkan mantan Kepala Daerah, akan menimbulkan rasa segan dan sungkan bagi aparat hukum yang berhadapan dengannya, sehingga dalam hal ini, Majelis Hakim dalam perkara-perkara hukum yang pihaknya merupakan orang-orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi harus memakai “kaca mata kuda” sehingga putusan yang diambil adalah putusan yang benar-benar berdasarkan fakta hukum yang terbukti di persidangan dan bukan karena adanya faktor-faktor tertentu. Meski demikian, Hakim juga harus mempertimbangkan bahwa setiap putusannya tentunya akan mempunyai dua sisi yang berbeda bagaikan pedang bermata dua, yang salah satunya tajam dan sisi lainnya tumpul, adil baik pihak yang satu namun belum tentu adil bagi pihak lain.
Saatnya kita sebagai Hakim mulai memperbaiki diri dengan selalu melakukan analisa yang mendalam terhadap setiap perkara yang kita sidangkan sehingga putusan menjadi pedang bermata dua yang sama tajamnya bukan tajam ke bawah tapi tumpul ke bawah. Para Hakim harus dapat membuktikan bahwa keadilan itu ada dan merata bagi setiap orang sesuai dengan porsinya masing-masing dan keadilan itu dibutuhkan oleh setiap orang. Walahualam.








[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;

COPY PASTE, HAL MUDAH NAMUN MENYULITKAN


COPY PASTE, HAL MUDAH NAMUN MENYULITKAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap pengetikan,  baik dalam bentuk makalah, jurnal, buku, karya tulis bahkan dalam bentuk suatu putusan badan peradilan, seringkali menggunakan metode penulisan “copy-paste”, sebagai sarana memudahkan untuk memudahkan pengetikan. Hal ini disebabkan karena sang penulis tidak harus mengetik ulang dari apa yang dianggap penting dari hasil karya penulisan orang lain yang akan dicantumkan atau bahkan mengulang pengetikan identitas seseorang, sebagaimana kita sering temui dalam setiap putusan badan peradilan. Sedemikan mudahnya metode pengetikan “copy-paste” menyebabkan sering terjadi kesalahan yang kadangkala tidak disadari oleh sang penulis atau orang yang melakukan pengetikan. Kesalahan tersebut akan terlihat ketika hasil pengetikan tersebut dibaca oleh orang lain, yang dalam hal inipun kadangkala sang pembaca juga tidak menghiraukannya akan tetapi beberapa orang pembaca yang teliti tentunya akan mengkritisi kesalahan penulisan tersebut. Dalam beberapa hal, kesalahan penulisan akibat metode “copy-paste” ini tidak menimbulkan akibat serius, akan tetapi lain halnya apabila kesalahan akibat “copy-paste” ini terjadi pada sebuah putusan badan peradilan. Sebagai contoh adalah dalam sebuah putusan pidana yang berisi pemidanaan terhadap seseorang, akan fatal akibatnya apabila nama orang yang akan dipidana berbeda antara yang tercantum di dalam kolom identitas dalam putusan dengan nama yang tercantum di dalam amar putusan..Kesalahan kecil namun memilki efek yang sangat besar, sehingga tentunya metode “copy-paste” harus dibarengi dengan kejelian dan ketelitian serta kehati-hatian dari penulis maupun orang yang melakukan pengetikan, meskipun harus dipahami pula bahwa metode “copy-paste” sengatlah mempermudah pengetikan dan sangat sering digunakan oleh setiap orang yang melakukan pengetikan.
MUDAH NAMUN MENYULITKAN
Perangkat komputer mulai dipergunakan di Indonesia sudah sejak awal 1980-an, dalam bentuk perangkat CPU sebesar lemari pakaian dan layar monitor yang masih hitam putih. Metode pengetikan pada awalnya adalah menggunakan system DOS yang harus menggunakan dot command yang pada saat itu sudah cukup memudahkan pengetikan dibandingkan apabila menggunakan mesin ketik, yang bentuknya masih kita jumpai di kantor-kantor pemerintah. Sistem DOS dengan dot command-nya belum ada penggunaan metode pengetikan “copy-paste”, karena sistem pengetikannya harus selalu diawali dengan mengetik perintah titik (dot-command) sehingga operator pengetikan akan selalu mengetik ulang apabila terdapat penulisan yang sama, hal ini menjamin hasil pengetikan lebih teliti dalam hal isi ketikan, baik itu mengenai identitas, lokasi, maupun lain sebagainya. Tahun 1990-an mucul sistem pengetikan yang dinamakan Wordstar (WS) namun belum menggunakan metode “copy-paste” untuk memudahkan pengetikan, meski pengetikan dengan menggunakan WS jauh lebih mudah penggunaanya dibandingkan sistem sebelumnya, namun ada kesamaan pada hasilnya yaitu hasil pengetikan terjaga di dalam pengetikannya karena operator akan selalu mengetik ulang meskipun terhadap hal yang sama. WS kemudian berkembang menjadi  MS-Word yang semakin memberikan kemudahan bagi setiap operator untuk mengoperasikannya. MS-Word, mulai diperkenalkan adanya metode pengetikan “copy-paste” yang bertujuan untuk memudahkan penggunanya melakukan pengetikan terhadap hal yang sama, sehingga tidak perlu berulangkali melakukan pengetikan hal yang sama tetapi cukup menggunakan metode “copy-paste” dan dalam sekejap sudah terketik dengan rapi. Pada masa MS-Word ini metode “copy-paste” hanya terbatas pada pengetikan huruf dan kata saja dan belum dapat dipergunakan terhadap gambar. Dengan semakin berkembangnya teknologi komputer, maka MS-Word sudah berkembang menjadi seperti yang kita kenal saat ini yaitu Words 2003 atau Words 2007 yang akan terus berkembang di masa mendatang. Kemudahan “copy-paste” juga semakin berkembang sehinga terhadap segala bentuk informasi elektronik dapat diterapkan metode “copy-paste”.
Sekali lagi, “copy-paste” hanyalah sarana yang akan memudahkan tugas-tugas kita di dalam melakukan pengetikan, akan tetapi hasil akhir tetaplah tergantung kepada operatornya yaitu diri kita sebagai user yang harus tetap teliti dan membaca ulang setiap hasil ketikan yang kita buat, sehingga tidak menjadikan metode “copy-paste” sebagai hal yang mudah namun menyulitkan hanya karena ketidaktelitian kita ketika melakukan pengetikan. Setidaknya, bagi kita aparatur peradilan harus lebih teliti dalam setiap pengetikan, dan hal ini harus diawali oleh Mahkamah Agung sebagai induk dari semua badan peradilan sehingga dapat menjadi contoh bagi badan peradilan di bawahnya. Wallahualam.







[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...