PUTUSAN BAGAIKAN PEDANG
BERMATA DUA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO,
SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Semakin
maju tingkat peradaban manusia, maka tentunya akan semakin maju pula pemahaman
dan ketaatan masyarakat pada hukum. Akan tetapi sebagaimana ilmu sosial yang
lain, perubahan masyarakat pada satu sisi belum tentu merubah perilaku
masyarakat pada sisi yang lain, bahkan seringkali semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang bahkan semakin berani orang tersebut melanggar hukum,
dengan berbagai dalih yang pada intinya meminta “previlege” atau hak diberi
prioritas dibandingkan orang lain.
Perilaku
seseorang yang juga merupakan bagian dari suatu lingkungan masyarakat tentunya
diharapkan dapat menjadi contoh bagi orang lain, setidaknya bagi anggota dalam
masyarakat tersebut. Terlebih apabila seseorang telah mengenyam pendidikan yang
tinggi, yang seharusnya ilmu yang didapatkannya dapat diaplikasikan di dalam
kehidupan sehari-hari. Civil sosiaty akan terlihat beradab salah satunya dari
perilaku anggotanya, sehingga tingkah laku atau perilaku yang negatif tentunya
akan sangat merugikan bagi kelompok masyarakat tersebut,
Contoh
faktual yang masih hangat diperbincangkan adalah perilaku arogan para
pengendara sepeda motor berkapasitas mesin besar (MOGE / Motor Gedhe) yang
dalam setiap perjalanannya selalu mendapatkan pengawalan dari petugas
Kepolisian. Pengawalan dari pihak Kepolisian tentunya agar pengendara MOGE
tersebut menjadi tertib dan juga menghindari adanya gesekan dengan masyarakat
umum pengguna jalur lalu lintas dalam hal mengingat penunggang MOGE selalu
dalam jumlah rombongan yang banyak. Dalam hal tertentu sebagaimana diatur dalam
UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, terdapat
beberapa pengecualian yaitu para pengguna jalan raya dapat meminta pengawalan
dari petugas Kepolisian, misalnya, kendaraan Ambulance, Pemadam Kebakaran,
Kendaraan Dinas Pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas kedinasan yang
seluruhnya meskipun mendapatkan pengawalan dari petugas Kepolisian, tetap harus
mentaati peraturan lalu lintas dan menghormati pengguna jalan raya yang
lainnya. Namun yang terjadi adalah bahwa para penunggang MOGE yang telah
mendapatkan pengawalan dari petugas Kepolisian seringkali bersikap arogan dan
bersikap mau menang sendiri.
Sekelumit
contoh dari pengendara MOGE tersebut, terlihat jelas bahwa seseorang baru dapat
memiliki MOGE apabila sudah mencapai tingkat perekonomian yang tinggi, kecuali
di kemudian hari ada tempat penyewaan MOGE, namun untuk saat ini hanya
orang-orang yang memilki uang berlebih saja yang dapat membeli dan memilki MOGE,
namun tingkat kesadaran berlalu lintasnya masih jauh di bawah seorang
pengendara sepeda onthel.
Dalam
dunia peradilanpun setali tiga uang, masih banyak orang yang merasa lebih kaya
dibandingkan orang lain, meminta pelayanan lebih baik di persidangan, baik itu
dengan dalil merupakan hak seseorang untuk mendapatkan keadilan atau hak
seorang Terdakwa untuk bisa mendapatkan pengecekan kesehatan yang lebih baik
daripada yang disediakan oleh pihak Rumah Tahanan Negara (RUTAN) atau dengan dalil-dalil yang lain. Segala
upaya diusahakan agar seseorang yang berhadapan dengan hukum bisa diperlakukan
istimewa, bahkan tidak segan-segan dengan upaya-upaya negatif seperti melakukan
suap kepada aparat penegak hukum, demi untuk mendapatkan perlakuan istimewa.
Harus
diakui bahwa pengaruh seseorang yang berhadapan hukum, terutama ketika orang
tersebut dalam kedudukan ekonomi maupun pendidikan yang tinggi juga akan sampai
pada tingkat musyawarah Majelis Hakim.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kedudukan seseorang, misalkan mantan Kepala Daerah,
akan menimbulkan rasa segan dan sungkan bagi aparat hukum yang berhadapan
dengannya, sehingga dalam hal ini, Majelis Hakim dalam perkara-perkara hukum
yang pihaknya merupakan orang-orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi harus
memakai “kaca mata kuda” sehingga putusan yang diambil adalah putusan yang
benar-benar berdasarkan fakta hukum yang terbukti di persidangan dan bukan
karena adanya faktor-faktor tertentu. Meski demikian, Hakim juga harus
mempertimbangkan bahwa setiap putusannya tentunya akan mempunyai dua sisi yang
berbeda bagaikan pedang bermata dua, yang salah satunya tajam dan sisi lainnya
tumpul, adil baik pihak yang satu namun belum tentu adil bagi pihak lain.
Saatnya
kita sebagai Hakim mulai memperbaiki diri dengan selalu melakukan analisa yang
mendalam terhadap setiap perkara yang kita sidangkan sehingga putusan menjadi
pedang bermata dua yang sama tajamnya bukan tajam ke bawah tapi tumpul ke
bawah. Para Hakim harus dapat membuktikan bahwa keadilan itu ada dan merata
bagi setiap orang sesuai dengan porsinya masing-masing dan keadilan itu
dibutuhkan oleh setiap orang. Walahualam.
[1]
Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar