BURUH, ANTARA DUNIA MIMPI
DAN KENYATAAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO,
SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Riuh
rendah demonstrasi buruh pada hari Selasa tanggal 01 September 2015di seluruh
pelosok Indonesia yang berpusat di Jakarta, mengingatkan kita kembali bahwa
adalah suatu kenyataan bahwa setiap kegiatan perekonomian pasti membutuhkan
tenaga kerja, baik tenaga kerja terdidik maupun tenaga kerja non terdidik.
Konsekuensinya adalah setiap pelaku perekonomian harus menyiapkan dana yang
digunakan untuk membiayai tenaga kerja yang mereka pekerjakan, baik itu dalam
bentuk upah (gaji), tunjangan, uang makan, uang transportasi dan masih banyak
bentuk lainnya.
Pemerintah,
dalam hal ini adalah Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia, menjadi tulang
punggung dari kebijakan pemerintah yang khusus bagi kesejahteraan tenaga kerja
di Indonesia. Berbagai macam kebijakan telah diambil pemerintah dengan tujuan
agar tenaga kerja di Indonesia semakin sejahtera, namun bukan hanya
kesejahteraan yang dituntut oleh tenaga kerja di Indonesia (yang bisa kita
sebut buruh) tetapi juga jaminan bahwa buruh di Indonesia dapat terus bekerja
tanpa adanya ketakutan adanya ancaman pemutusan hubungan kerja dari perusahaan
yang mengerjakannya. Disinilah peran dari Pengadilan Hubungan Industrial akan
mendapat porsi sebagai penyeimbang antara kebijakan perusahaan, dengan
kebutuhan hidup buruh dan regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
ANTARA DUNIA MIMPI DAN KENYATAAN
Setiap
orang menginginkan bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan
yang dimilkinya, atau dalam tataran yang lebih rendah, setiap orang berharap
bisa mendapat pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan yang terpenting
pekerjaan yang dimilikinya mampu menghidupi diri dan keluarganya, serta
berharap ada kelebihan dari penghasilan yang diterima setiap bulannya yang
dapat digunakan untuk membeli rumah, meskipun secara angsuran dan untuk
kebutuhan tersier lainnya demi bertambahnya kesejahteraan keluarga buruh
tersebut. Pihak perusahaan juga tidak bisa berlepas tangan atas kesejahteraan
buruh, mengingat bahwa hubungan antara buruh dengan perusahaan seharusnya
merupakan hubungan yang bersifat “simbiosis mutualis” atau hubungan yang saling
menguntungkan, yaitu perusahaan bisa mendapatkan keuntungan dari hasil kerja
buruh dan buruh mendapatkan keuntungan berupa penghasilan yang diterima setiap
bulan.
Ketika
seseorang telah menyelesaikan pendidikannya atau ia harus menyelesaikan
pendidikannya dengan alasan ekonomi, tentunya orang tersebut akan berusaha
mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan tingkat pendidikan yang
dimilikinya. Tidak setiap orang mampu bersaing dan mendapatkan pekerjaan
sebagaimana yang ia inginkan dan seringkali menjadi buruh (kasar) menjadi
pilihan terakhir, daripada tidak mempunyai pekerjaan yang dapat menyambung
kehidupannya. Dari sudut pandang perusahaan, tentunya menginginkan mendapatkan
buruh yang dapat dibayar dengan harga yang murah, yang tentunya dapat menekan
biaya produksi dan meningkatkan keuntungan, mengingat saat ini masih banyak
ditemui praktek biaya siluman dalam biaya produksi di Indonesia, disamping
masih tumpang tindihnya peraturan. Harus diakui bahwa peraturan ketenagakerjaan selalu
bersinggungan dengan peraturan bidang lain, misalnya peraturan perpajakan maupun
peraturan-peraturan lainnya, sehingga tentu saja hal ini membuat
ketidakharmonisan hubungan industrial di Indonesia sebab perusahaan yang selalu
dibebani dengan berbagai macam biaya produksi, juga dibebani untuk memberikan
kesejahteraan yang baik kepada setiap tenaga kerjanya sedangkan buruh juga
selalu menuntut perbaikan kesejahteraan yang semakin baik sebagaimana diimpikannya
sehingga bisa membahagiakan diri dan keluarganya, namun seringkali pula
melupakan bahwa kesejahteraan yang didapatnya sangat ergantung dari hasil
kerjanya pada perusahaan dimana buruh tersebut bekerja. Buruh selalu memimpikan
gajinya mampu mencukupi kebutuhannya, tidak hanya kebutuhan primer namun juga
kebutuhan sekunder dan tersier, namun hal tersebut selalu terganjal dengan
kebijakan perusahaan dan juga berbagai peraturan ketenagakerjaan serta
kebutuhan hidup yang semakin mahal yang semakin tidak terjangkau oleh
penghasilan buruh tersebut.
Hal
inilah yang menimbulkan dunia buruh bagaikan dunia mimpi dan kenyataan. Buruh
bermimpi bisa hidup berkecukupan dari penghasilannya namun mimpi tersebut hanya
tinggal mimpi menginggat begitu tingginya biaya hidup maupun ketatnya kebijakan
perusahaan dan tumpang tindihnya peraturan yang ada yang membuat kehidupan
buruh semakin tertekan, yang pada akhirnya berujung pada pemutusan hubungan
kerja dan berakhir pada gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Peran
dari PHI yang merupakan ultimum remedium, diharapkan bisa menjadi penyeimbang
antara buruh, pengusaha dan pemerintah.Wallahualam.
[1]
Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar