PENGAMPUAN
HAKIM, SEBUAH TEROBOSAN MENGURANGI CALON PENGHUNI HOTEL PRODEO
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
A, Pendahuluan
Harus
diakui bahwa perkembangan tekhnologi informasi (Information Technology/IT)
sangat mempengaruhi meningkatnya jumlah dan kualitas kejahatan yang ada di
Indonesia. Dahulu seseorang yang akan melakukan tindak pidana, hanya
mengandalkan pada alat-alat yang bersifat konvensional, seperti sebilah pisau,
sepotong kayu dan sebagainya, akan tetapi saat ini, pelaku tindak pidana sudah
semakin mahir dan pintar ketika merencanakan dan melakukan tindak pidana.
Pelaku
tindak pidana ketika merencanakan suatu kejahatan seringkali menggunakan
kecanggihan tekhnologi informasi untuk mendapatkan data-data yang diperlukan.
Data-data tersebut bukan hanya mengenai
data calon korbannya akan tetapi juga informasi menganai cara-cara terbaru di
dalam melakukan suatu tindak pidana.
Sebagaimana
adigium dalam dunia hitam kejahatan, bahwa suatu kejahatan dapat terjadi bukan
hanya karena adanya niat dari pelaku tindak pidana akan tetapi juga karena
adanya kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana. Kesempatan dalam
hal ini tidak hanya mencakup kesempatan pelaku untuk melakukan tindak pidana
akan tetapi juga mencakup kesempatan pelaku untuk mengumpulkan informasi yang
diperlukannya, baik informasi mengenai calon korban tetapi juga informasi
mengenai cara-cara terbaru melakukan kejahatan yang saat ini sangat mudah
didapatkan dari saluran online yang mudah diakses oleh setiap orang.
Berdasarkan
data-data dari saluran online tersebut, maka pelaku kejahatan bisa mendapatkan
tekhnik-tekhnik terbaru di dalam melakukan tindak pidananya yang semakin lama
semakin sulit di dalam pembuktiannya ketika pelaku tertangkap dan dilakukan
proses penindakan secara hukum. Hal ini jugaa semakin diperparah dengan
peraturan hukum tertulis yang ada di Indonesia yang masih merupakan peninggalan
pemerintah kolonial Belanda, yang tentunya ketentuan yang ada dalam peraturan
perundang-undangan tersebut sudah sangat tertinggal dibandingkan dengan
perkembangan tindak pidana yang semakin maju dan berkembang, baik dari jenis,
jumlah maupun kualitasnya.
Terhadap
hal tersebut di atas untuk mengatasinya tentu membutuhkan proses penegakan
hukum yang menyeluruh yang dimulai dari adanya penelitian atas suatu laporan
tindak pidana, yang dilanjutkan dengan penyidikan suatu tindak pidana, proses
penuntutan, proses persidangan, putusan pengadilan dan proses eksekusi atas
putusan pengadilan. Ketika suatu tindak pidana terbukti di persidangan maka
konsekuensinya adalah pelaku tindak pidana akan mendapat hukuman berupa
pemidanaan, yang tentu saja akan meningkatkan jumlah penghuni “hotel prodeo”
atau Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).
B. Permasalahan
Bahwa
dari uraian sebagaimana tersebut diatas maka kiranya timbul suatu permaslahan,
yaitu “Mungkinkah metode Pengampunan Hakim menjadi salah satu cara untuk
mengurangi jumlah calon penghuni hotel prodeo ?” ;
C. Pembahasan
Terhadap
upaya penegakan hukum, .Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM
(Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam
suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM
seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang berusaha memberikan
perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Khususnya
mengenai penegakan hukum di pengadilan, maka berdasarkan Pasal 183
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang menyebutkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut
hanya menyebutkan “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran,
keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang”. Oleh karena itu diperlukan
kecermatan dari Hakim yang menyidangkannya, sehingga di dalam persidangan akan
didapatkan fakta hukum yang sebenarnya terjadi untuk membuktikan bersalah
tidaknya seseorang yang telah diduga telah melakukan tindak pidana.
Harus
dipahami bahwa Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila
perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan
hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi
beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum
pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau
hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum
agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut
masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada
keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[3]
Sebagaimana
telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
Amandemen keempat dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”[4],
maka sudah pada tempatnya apabila Negara memperlakukan setiap warga
negaranya secara sejajar di muka hukum. Sehingga tdak menimbulkan perilaku yang
membeda-bedakan berdasarkan alasan apapun di dalam upaya penegakan hukum.
Sampai saat ini masih sering
terjadi, pelaksanaan penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat.
Hal tersebut tidak hanya karena perilaku para aparat penegak hukum tetapi juga
karena ketidaktahuan masyarakat akan peraturan yang dilanggarnya. Penegakkan
hukum di Indonesia masih sangat tidak adil, karena masih melihat latar belakang
dan kedudukan seseorang. Hukum hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai
kekuasaan, sedangkan bagi yang tidak memiliki kekuasaan, mereka tetaplah
tertindas.[5]
Ketika
seseorang harus berhadapan dengan hukum baik sebagai tersangka / terdakwa
maupun sebagai saksi korban, maka tentu akan berhadapan dengan kesulitan di
dalam prosedur-prosedur dalam proses penegakan hukum. Terlebih pada saat ini
masih cukup banyak anggota masyarakat yang belum melek hukum dan merasa segan
untuk bersentuhan dengan hukum mengingat begitu rumit dan berbelitnya proses
penegakan hukum, belum lagi masih terdapat aparat-aparat penegak hukum yang
masih suka “bermain mata” demi keuntungan pribadi.
Seseorang
yang harus berhadapan dengan hukum tentu ingin mendapatkan keadilan, terutama
bagi orang menjadi korban dari suatu tindak pidana. Meskipun harus dipahami
bahwa masih terdapat multitafsir terhadap arti dari keadilan, yang tidak sama
antara pemahaman seseorang dengan orang lain.
C1. Arti Keadilan
Terdapat banyak penafsiran terhadap arti KEADILAN,
yang masing-masing memandang keadilan dari sudut pandangnya masing-masing dan
memilki karakteristik masing-masing.
Pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno yang mengatakan pendapatnya tentang pengertian
keadilan adalah keadaan antarmanusia yang diperlakukan dengan sama sesuai
dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Pengertian keadilan menurut Notonegoro yang berpendapat bahwa
keadilan adalah suatu keadaan dikatakan adil jika sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Pengertian keadilan menurut Thomas Hubbes yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah
sesuatu perbuatan dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang
telah disepakati. Pengertian keadilan menurut Plato yang menyatakan bahwa pengertian keadilan adalah diluar
kemampuan manusia biasa dimana keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan
perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khususnya memikirkan hal
itu. Pengertian keadilan menurut W.J.S
Poerwadarminto yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah tidak
berat sebelah, sepatutnya tidak sewenang-wenang. Pengertian keadilan menurut
definisi Imam Al-Khasim adalah
mengambil hak dari orang yang wajib memberikannya dan memberikannya kepada
orang yang berhak menerimanya.[6]
Pendapat lainnya mengatakan, Keadilan
adalah kondisi kebenaran ideal secara moral
mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori,
keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf
Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20,
menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari
institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran"
Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita
tidak hidup di dunia yang adil." Kebanyakan orang percaya bahwa
ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis
di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan
variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut
dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu
sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada
tempatnya.[7]
Sedangkan Aristoteles
mengatakan, bahwa ada 5 jenis perbuatan yang tergolong dengan adil. Lima jenis keadilan
yang dikemukakan oleh Aristoteles ini adalah sebagai berikut :[8]
- Keadilan Komutatif, yaitu Keadilan komutatif ini adalah suatu
perlakuan kepada seseorang dengan tanpa melihat jasa-jasa yang telah
diberikan.
- Keadilan Distributif, yaitu
Keadilan
distributif adalah suatu perlakuan terhadap seseorang yang sesuai dengan
jasa-jasa yang telah diberikan.
- Keadilan Kodrat Alam, yaitu
Keadilan
kodrat alam ialah memberi sesuatu sesuai dengan apa yang diberikan oleh orang
lain kepada kita sendiri.
- Keadilan Konvensional, yaitu
Keadilan
konvensional adalah suatu kondisi dimana jika seorang warga negara telah
menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
- Keadilan Perbaikan, yaitu
Keadilan
perbaikan adalah jika seseorang telah berusaha memulihkan nama baik
seseorang yang telah tercemar.
Dalam Keadilan Pancasila, maka akan
terdapat konsekwensi
nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama meliputi :[9]
1. Keadilan
distributif : Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana
hal-hal yang sama diperlukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlukan
tidak sama ( just ice is done when equelz are treated equally ). Keadilan
distributive sendiri yaitu suatu hubungan keadilan antara Negara terhadap
warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk
keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan
dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban ;
2. Keadilan
Legal ( Keadilan Bertaat ) : Yaitu suatu hubungan keadilan antara warga Negara
terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi
keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
Negara. Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan subtansi rohani
umum dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam masyarakat
yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling
cocok baginya ( the man behind the gun ). Pendapat Plato itu disebut keadilan
moral, sedangkan untuk yang lainnya disebut keadilan legal ;
3. Keadilan
Komulatif : Yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan yang lainnya
secara timbal balik. Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat
dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan ases
pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung
ekstrem menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurakn
pertalian dalam masyarakat.
Nilai-nilai keadilan tersebut
haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama
kenegaraan untuk mewujudkan tujuan Negara yaitu mewujudkan kesejahteraan
seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan wilayahnya, mencerdaskan
seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar
dalam pergaulan antara Negara sesama bangsa didunia dan prinsip ingin
menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antar bangsa didunia
dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian
abadi serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).[10]
Dari berbagai pengertian mengenai
KEADILAN, maka kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keadilan tumbuh dan
berkembang berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga
keadilan yang ada pada suatu daerah dan pada suatu waktu tertentu akan berbeda
dengan keadilan pada masyarakat yang lain dan pada waktu yang berbeda. Meski g
laidemikian, semua pendapat tersebut mempunyai satu tujuan yaitu setiap orang
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan setiap orang harus menghormati hak
dari orang lain.
Sekalipun seseorang yang dijadikan
tersangka maupun terdakwa, tetap memiliki hak untuk diperlakukan secara
manusiawi, sebab tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya
dilakukan dengan kesengajaan akan tetapi ada tindak pidana yang dilakukan
dikarenakan oleh kealpaan atau ketidaksengajaan oleh pelakunya.
Selama proses penegakan hukum, mulai
dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan menjalankan eksekusi
atas putusan Hakim, seseorang yang menjadi pelaku tindak pidana tetap untuk
mendapatkan hak-haknya.
C.1.1. Tahap
Penyelidikan dan Penyidikan
Dalam tahap
penyelidikan, Penyelidik atas perintah Penyidik berwenang melakukan penangkapan
(pasal 16 ayat (1) KUHAP) kemudian, untuk kepentingan penyidikan, Pemyidik dan
Penyidik Pembantu berwenang melakukan penangkapan (pasal 16 ayat (2) KUHAP) dan
perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 17 KUHAP). Atas
penangkapan seorang pelaku tindak pidana, terdapat hak dari orang yang
ditangkap yaitu petugas yang melakukan penangkapan baik itu Penyelidik maupun
Penyidik harus memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada orang yang
ditangkap (tersangka) surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas
tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang disangkakan serta tempat ia diperiksa (pasal 18 ayat (1) KUHAP)
dan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera
setelah dilakukan penangkapan (pasal 18 ayat (3) KUHAP).
Selain
penangkapan, penyidik mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dan tehadap yang bersangkutan
telah dilakukan penangkapan (pasal 20 ayat (1) KUHAP). Terhadap penahanan ini,
terdapat hak dari orang yang ditahan, yaitu harus ada surat perintah penahanan
/ penahanan lanjutan yang tembusannya diberikan kepada keluarga tersangka
(pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP). Di
tingkat penyidikan, penyidik mempunyai kewenangan untuk mengalihkan jenis
penahanan dan surat perintah pengalihan penahanan, tembusannya diberikan kepada
tersangka atau keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan (pasal 23
KUHAP) dan penyerahan tembusan surat perintah pengalihan penahanan kepada
tersangka atau keluarganya merupakan hak dari tersangka.
Hal lain
mengenai hak tersangka dalam proses peyidikan adalah tersangka berhak untuk
segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan
kepada penuntut umum (pasal 50 ayat (1) KUHAP). Kemudian, tersangka berhak
untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya apa yang
disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (pasal 51 ayat (1) KUHAP),
dan tersangka dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan, tersangka berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (pasal 52 KUHAP).
Hal-hal lain
sebagai hak dari tersangka dalam tingkat penyidikan adalah, hak untuk
mendapatkan juru bahasa (pasal 53 ayat (1) KUHAP), hak untuk mendapat bantuan
hukum dari penasihat hukum baik yang dipilih sendiri maupun yang ditunjuk serta
berhak untuk dikunjungi oleh penasihat hukumnya (pasal 54, pasal 55, pasal 56
dan pasal 57 KUHAP), tersangka juga memiliki hak untuk menghubungi dan menerima
kunjungan dokter pribadinya (pasal 58 KUHAP). Tersangka juga berhak untuk
diberitahukan mengenai penahanannya kepada keluarganya (pasal 59 KUHAP) dan
tersangka berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai
hubungan kekeluargaan atau lainnya guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan
penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum (pasal 60 KUHAP),
tersangka juga mempunyai hak untuk menghubungi baik secara langsung maupun
melalui penasihat hukumnya, sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada
hubungannya dengan perkara tersangka (pasal 61 KUHAP), tersangka juga berhak
melakukan aktivitas surat menyurat (pasal 62 KUHAP), tersangka juga berhak
menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan (pasal 63 KUHAP), tersangka
juga memilki hak untuk mengajukan saksi yang menguntungkan bagi dirinya (pasal
65 KUHAP dan tersangka berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (pasal
68 KUHAP).
Terhadap
tersangka juga berlaku ketentuan mengenai bantuan hukum sebagaimana tercantum
dalam pasal 69 sampai dengan pasal 74 KUHAP.
C.1.2. Tahap
Penuntutan
Pada tahap
penuntutan, Jaksa Penuntut Umum memilki kewenangan untuk melakukan penahanan
lanjutan dari proses penyidikan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat
(2) KUHAP dan sebagaimana dalam proses penyidikan, maka dalam hal penahanan
oleh Penuntut Umum terdapat hak dari terdakwa yang harus dipenuhi yaitu tembusan
surat perintah penahanan harus diserahkan kepada terdakwa atau keluarganya
(pasal 21 ayat (3) KUHAP). Selain itu terdakwa juga mempunyai hak untuk
mendapatkan tembusan surat perintah pengalihan penahanan (pasal 23 ayat (2)
KUHAP), tersangka juga memilki hak untuk berkasnya segera dimajukan ke
pengadilan (pasal 50 ayat (2) KUHAP), terdakwa memilki hak untuk diberitahukan
dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan
kepadanya (pasal 51 ayat (2) KUHAP). Terdakwa juga memilki hak sebagaimana
diatur di dalam pasal 54 sampai dengan pasal 65 KUHAP dan Terdakwa juga
mempunyai hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 69
sampai dengan pasal 74 KUHAP.
C.1.3. Tahap
Persidangan
Pada tahap
persidangan, Terdakwa juga memilki hak sebagaimana diatur dalam proses
penyelidikan / penyidikan maupun dalam proses penuntutan. Selain itu Terdakwa
juga mempunyai hak untuk mengajukan gugatan pra peradilan terhadap hal
sebagaimana yang diatur dalam pasal 77 KUHAP yang berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, obyek pra peradilan diperluas dengan
memasukkan penetapan tersangka sebagai salah satu obyek pra peradilan.
Ketentuan-ketentuan sebagaimana yang berlaku di dalam tahap penyelidikan /
penyidikan maupun penuntutan juga berlaku dalam proses persidangan.
Setelah
menjalani proses persidanan, Terdakwa memilki hak untuk mengajukan upaya hukum
atas putusan Hakim, baik atas putusan Hakim tingkat pertama, tingkat banding
maupun tingkat kasasi, sehingga ketentuan di dalam pasal 233 sampai dengan 269
KUHAP diterapkan yang juga merupakan hak dari Terdakwa.
C2.
Pengampunan Hakim
Ketika persidangan, Terdakwa juga
diberikan kesempatan untuk menyampaikan pembelaan setelah adanya Surat Tuntutan
dari Penuntut Umum dan pada umumnya Terdakwa mengakui perbuatannya dan memohon
keringanan hukuman atas tindak pidana yang dilakukannya, meskipun dalam
beberapa kasus, Terdakwa tetap menyangkal perbuatannya dan menolak untuk
dihukum atau minta dibebaskan. Dalam hal ini, diperlukan kejelian Hakim yang
menyidangkannya apakah yang disampaikan oleh Terdakwa tersebut benar-benar
telah sesuai dengan fakta di persidangan atau tidak.
Apabila kita menilik kepada Hukum
Islam, ada 2 tujuan dijatuhkannya hukuman atas suatu kesalahan, yaitu :[11]
1. Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan
orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Atau
agar ia tidak terus menerus melakukan jarimah tersebut.Disamping mencegah
pelaku , pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar
tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman
yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain.
2.
Pendidikan dan Perbaikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman ini adalah mendidik pelaku
jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya.
Dari kedua
tujuan pemberian hukuman tersebut, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi,
yaitu :[12]
1. Hukuman harus ada dasarnya dari syara’ (Asas Legalitas) :
Hukum dianggap punya dasar
(Syari’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara seperti Algur’an,
As-Sunah, Ijma, atau undang-undang yang diterapkan oleh lembaga yang berwenang
(ulil amri) seperti dalam hukuman ta’jir (Hukuman yang bersifat pendidikan) ;
2.
Hukuman harus Bersifat Pribadi (Asas
Personalitas) :
Dalam hal ini berarti hukuman
harus bersifat perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan
kepada orang yang telah melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain
yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar prinsip yang
ditegakkan oleh syariat islam dan ini telah dibicarakan berkaitan dengan
masalah pertanggungjawaban.
3.
Hukuman harus Berlaku Umum (Asas Aquality Before
The Law) :
Ini berarti
hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, apapun
pangkat dan jabatannya dan kedudukanya. Didalam hukum pidana Islam,
persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam hukuman Had dan qishash,
karena kesuanya merupakan merupakan hukuman yang telah ditetukan oleh syara.
Setiap orang yang melakukan jarimah Hudud seperti Zina, pencurian dan
sebagainya, akan dihukum sesuai dengan hukuman yang sesuai dengan jarimah yang
dilakukannya. Untuk hukuman ta’jir untuk kadar persamaan hukuman tentu tidak
dipersamakan keran hakim memiliki kewenangan luas untuk memilih hukuman yang
tepat yang sifatnya mendidik.
Kiranya apa yang tercantum dalam syarat-syarat
penghukuman di daam Hukum Islam juga berlaku di dalam Hukum Nasional yang berlaku
saat ini, tentunya dalam sudut pandang yang berbeda, terutama mengenai Asas
Legalitas, yaitu Hukum Islam bersumber pada ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an
dan Al Hadist sedangkan Hukum Nasional bersumber pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sedangkan mengenai syarat bahwa hukuman
bersifat personal maupun persamaan kedudukan di muka hukum, keduanya merupakan
hal yang berlaku sama baik di dalam Hukum Islam maupun Hukum Nasional.
Pada saat ini sedang digodok pembaharuan Hukum
Nasional terutama di bidang Hukum Pidana. Pembaharuan ini sebenarnya sudah
berlangsung sejak akhir tahun 1970an, akan tetapi proses tersebut tidak pernah
terselesaikan mengingat berbagai hambatan dan juga masih terdapat
penambahan-penambahan materi di dalam Rancangan Undang-Undang. Akan tetapi
setidaknya terdapat keinginan yang kuat untuk memiliki Hukum Nasional yang
mandiri yang bukan merupakan duplikasi dari hukum asing. Hal ini juga
dipengaruhi oleh perkembangan dunia hukum pidana secara global, terutama
setelah dilakukannya beberapa kali Kongres PBB tentang The Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders, wacana mengenai hukum pidana
mengalami perombakan yang signifikan. Salah satu perkembangnnya adalah
orientasi pemidanaan yang lebih “memanusiakan” pelaku tindak pidana (offenders)
dalam bentuk pembinaan (treatment). Berdasarkan perkembangan ini,
maka pada saat usaha pembaharuan hukum pidana (materiel) digalakkan, Indonesia
memperbaharui sistem pemidanannya yang kaku dan imperatif tersebut menjadi
sistem pemidanaan yang mengedepankan aspek kemanusiaan dengan mengambil ide-ide
individualisasi pidana.[13]
Selain mengenai pengaturan jenis-jenis tindak pidana
yang dapat dipidana, di dalam pembaharuan hukum pidana nasional juga terdapat
sebuah pembaharuan yaitu dicantumkannya mengenai PENGAMPUNAN OLEH HAKIM
(rechtelijk pardon). Pedoman
pengampunan hakim merupakan implementasi dari ide individualisasi
pidana.Pedoman pengampunan hakim disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) sebagai
berikut :[14]
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku atau keadaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Dengan dasar ini maka hakim masa mendatang
diperbolehkan memaafkan orang yang nyata-nyata melakukan tindak pidana dengan
alasan keadaan pribadi si pembuat dan pertimbangan kemanusiaan. Aturan
pengampunan hakim tersebut tidak ada dalam KUHP.
Perihal
pengampunan hakim ini, sejatinya terdapat juga di dalam Hukum Islam, dimana
dalam perkara pembunuhan, meskipun Hakim telah
menjatuhkan putusan berupa qisas, akan
tetapi hukuman
tersebut boleh digugurkan dengan sebab-sebab berikut :[15]
a. Kematian
Pembunuh ;
b. Pengampunan
;
c. Pendamaian ;
d. Pewarisan
Tuntutan Qisas (irth al-dam) ;
Sedangkan khusus mengenai pengampunan, di dalam Hukum
Islam dikenai syarat-syarat sebagai berikut :[16]
(a) adamya maaf
dari keluarga korban dan orang yang memberi maaf itu adalah orang yang baligh dan waras akal fikirannya. Ertinya jika dia masih kanan-kanak maka tidak boleh diterima
kemaafannya. Begitu juga jika dia
seorang yang gila tidak boleh diterima
kemaafannya ;
(b) Orang yang
memaafkan itu memberikannya dengan
kerelaannya sendiri dan bukan
kerana dipaksa, sama ada paksaan itu dibuat dengan cara mengugut, memukul atau merampas hartanya dan sebagainya, asalkan orang yang
dipaksa itu tidak dapat melawannya ;
(c) Kemaafan itu
diberi oleh orang yang mempunyai hak, ertinya jika ianya diberi oleh orang yang tidak berhak memaafkan maka tidak ada apa-apa kesan dari pengampunannya kerana memberi kemaafan ertinya menggugurkan haknya dan tidak ada siapa yang boleh menggugurkan haknya
melainkan orang yang mempunyai hak. Orang yang berhak dalam kes kecederaan
anggota tubuh badan ialah orang yang dicederakan tubuh badannya. Tetapi orang yang berhak memaafkan dalam kes
pembunuhan tidak disepakati oleh ulamak (yang akan dibincang kemudian) ;
(d) Pengampunan
itu diberi oleh semua wali ad-dam.
Oleh itu jika hanya sebahagian wali sahaja yang memaafkan penjenayah
maka hukuman qisasi tidak boleh
digugurkan daripadanya menurut pendapat Imam Malik. Akan tetapi mengikut pendapat majoriti ulamak
pengampunan oleh salah seorang wali al-dam boleh menggugurkan qisas berdasarkan
kepada riwayat yang mengatakan bahawa
seorang pembunuh telah dibawa ke hadapan Sayyidina Umar. Kemudian
anak-anak mangsa bunuh datang, sebahagiannya mengampunkan penjenayah tersebut. Lalu Umar bertanya pendapat Ibn Mas’ud,
beliau menjawab, “pembunuh itu terlepas daripada hukuman bunuh”.
Mengenai
tujuan dari
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2005 dapat
dijelaskan secara ringkas sebagai berikut :[17]
Tujuannya adalah
untuk menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia ; Untuk menyesuaikan
dengan politik hukum dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa
Indonesia. Landasan dari Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tahun 2005 yaitu Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945. RUU KUHP
tahun 2005 terdiri dari 2 ( dua) Buku, yaitu Buku I ada 6 Bab
terdiri dari 211 Pasal, dan Buku II. Ada 35 Bab Terdiri dari 741 Pasal.
Lembaga Permaafan di RUU KUHP tahun 2005 telah dirumuskan di dalam
beberapa bab dan beberapa pasal diantaranya yaitu :
A. Bab. I.
Ruang lingkup berlakunya ketentuan Peraturan Perundang-undangan Pidana ;
Bagian kesatu menurut Waktu : Pasal 1 ayat (3) dan
ayat (4). Pasal 1 ayat (3) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. (4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/ atau prinsip-prinsip hukum umum, yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. (4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/ atau prinsip-prinsip hukum umum, yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
B. Bab. III
Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan, bagian kesatu Pemidanaan paragraf 1 Tujuan
Pemidaan Pasal 54 ayat (1) dan (2) , dan Pasal 55. ayat (1( huruf (j) dan (k),
dan ayat (2) ;
1. Pasal
54. (1) Pemidanaan bertujuan : a. mencegah dilakukanya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat b.
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna ; (c).menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat. Ayat (2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
manusia.
2. Pasal
55 ayat (1) huruf (j). ( k) yaitu masalah Pedoman Pemidanaan; Dalam
Pemidanaan wajib dipertimbangkan : (j). Pemaafan dari korban dan atau
keluarganya. (k). Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana
yang dilakukan.
C. Bab.
III Bagian Kedua Pidana Paragraf I Jenis Pidana. Pasal 67 ayat (1). Huruf
(d) dan (e) ;
Pasal 67
(1). Pidana tambahan terdiri atas ; (d). Pembayaran ganti kerugian. (e).
Pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang
hidup.
D. Bab. III
Bagian Kedua Paragraf 2 Pidana Penjara, Pasal 71.
Pasal 71 menyebutkan : Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 56 pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut : (d). terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban ;
Pasal 71 menyebutkan : Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 56 pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut : (d). terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban ;
E. Bab. III
Paragraf 12 Pidana Tambahan Pasal 99 ayat (1) dan (2),
Pasal 99 Ayat (2). jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti pidana denda ;
Pasal 99 Ayat (2). jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti pidana denda ;
F. Bab. III
Paragraf 12 Pidana Tambahan Pasal 100 ayat (1), (2),(3) dan (4).
Pasal 100 ayat (1) ; Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup :
Pasal 100 ayat (1) ; Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup :
Ayat
(2). Pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum
yang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang
diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pasal 1 ayat (3);
Ayat (3). Kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat dan / kewajiban menurut hukum yang hidup itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana ;
Ayat (4). Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.
Ayat (3). Kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat dan / kewajiban menurut hukum yang hidup itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana ;
Ayat (4). Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.
G. Bab.
III Bagian keempat Pasal 116 ayat (2) huruf (b) dan (c) ;
Pasal
116 angka (2) Pidana tambahan terdiri atas : (b). Pembayaran ganti kerugian.
(c). Pemenuhan kewajiban adat
H. Bab. III
Bagian kelima, Faktor-faktor yang memperingan dan memperberat Pidana, Pasal 132
huruf (e) dan (h) ;
Pasal 132
Faktor-faktor yang memperingan pidana meliputi : (e). Pembertian ganti kerugian
yang layak atau perbaikan keruksakan secara sukarela sebagai akibat tindak
pidana yang dilakukan. (i). Faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang
hidup dalam masyarakat.
I. Bab. IV.
Gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana Pasl 145 huruf (d).
Kewenangan penuntutan gugur, jika : penyelesaian diluar proses.
Berkenaan dengan pengampunan hakim, di Belanda ada apa yang dinamakan
“rechterlijk pardon” (pengampunan hakim sejak 1 Mei 1983). Dengan adanya
“rechterlijk pardon” bertalian dengan kesulitan keuangan dari si terdakwa, maka
tidak dibutuhkan grasi lagi.[18]
Adaptasi mengenai pengampunan hakim tersebut (rechterlijk pardon) inilah yang
dicoba dilakukan dan diterapkan di dalam pembaharuan hukum pidana nasional,
apalagi bangsa Indonesia telah dikenal sebagai bangsa yang mudah memberi maaf
terhadap seseorang yang melakukan kesalahan, tentunya dalam batas-batas
kejahatan tertentu dan dalam agama apapun selalu dijunjung tinggi nilai-nilai
untuk selalu memberi maaf kepada orang yang melakukan kesalahan.
Pemberian pengampunan dari hakim juga tentunya harus diberikan batasan-batasannya
sehingga terdapat suatu kriteria bahwa terhadap suatu tindak pidana dapat
diberikan pengampunan oleh hakim. Hal ini penting mengingat pada saat ini
terdapat hal yang mendesak di dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia yaitu
kelebihan penghuni dari tiap Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia, yang
membuat sistem pembinaan di dalamnya menjadi tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Dengan adanya sistem pemberian pengampunan dari hakim terhadap
Terdakwa dalam tindak pidana tertentu akan membawa efek mengurangi “calon”
penghuni LAPAS, sehingga pihak LAPAS dapat memberikan pelayanan secara optimal.
Dalam pandangan penulis, syarat-syarat yang dapat diberikan terhadap tindak
pidana yang bisa mendapatkan pengampunan dari hakim terhadap pelakunya antara
lain :
1. Tindak
pidana yang dilakukan oleh anak yang tidak mengakibatkan korban jiwa maupun
materi dalam jumlah yang besar maupun yang dilakukan dengan pemberatan ;
2. Tindak
pidana pencurian dalam keluarga, yang juga tidak dilakukan dengan pemberatan ;
3. Tindak
pidana yang jumlah kerugiannya tidak melebihi dari Rp 500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) ;
4. Terhadap
terdakwa tindak pidana narkotika yang terbukti sebagai pecandu dan baru pertama
kali tertangkap dan disidangkan, cukup dibebani untuk menjalani rehabilitasi
atas biaya negara ;
5. Terdakwa
bersedia memberikan ganti rugi berupa restitusi maupun rehabilitasi terhadap
korban ;
Apabila kita melihat Pasal 9a KUHP
Belanda, menyebutkan :“The Judge may determine in the judgement that no
punishment or Measures shall be imposed, where he deems this advisable, by
reason of the lack of gravity of the offense, the character of the offender, or
the circumstances attendant kupon the Commission of the offense or thereafter”
Pasal 9a ini merupakan ketentuan
bagi hakim untuk tidak memidana suatu perbuatan atau yang lebih dikenal dengan
istilah permaafan/ pengampunan oleh hakim(rechterlijikpardon). Jadi
sekalipun pelaku telah memenuhi unsur kesalahan sebagaimana yang dirumuskan
dalam ketentuan tindak pidana tapi hakim dapat memberikan permaafan pada
pelaku. Dalam memberikan permaafan, hakim mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut :[19]
i.
ringannya tindak pidana yang
dilakukan ;
ii.
karakter pribadi si pembuat ;
iii. keadaan-keadaan pada waktu atau setelah delik dilakukan ;
Ketentuan
pasal 9 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda tersebut kiranya dapat
digunakan sebagai perbandingan di dalam menerapkan sistem pengampunan oleh
hakim sehingga diharapkan dengan diterapkan pengampunan oleh hakim terhadap
perkara-perkara tertentu, dapat mengurangi calon penghuni hotel prodeo (LAPAS),
sehingga tujuan dari pemidanaan di era modern ini, yaitu sebagai pembelajaran
terhadap pelaku tindak pidana dan pencegahan dilakukannya tindak pidana oleh
orang lain dapat tercapai.
Yang menjadi
permasalahan adalah sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pengampunan hakim. Baik KUHP maupun KUHAP tidak memberi ruang
sedikitpun untuk memperluas kewenangan hakim untuk memberikan pengampunan terhadap
pelaku tindak pidana. Khusus bagi para hakim, setidaknya Mahkamah Agung memberi
sedikit ruang, baik melalui Surat Edaran Mahkamah Agung maupun Peraturan Mahkamah
Agung yang dapat menjadi payung hukum bagi hakim yang akan memberikan pengampunan
kepada pelaku tindak pidana, hal ini perlu dilakukan mengingat dengan hakim memberikan
pengampunan kepada pelaku tindak pidana, maka pelaku tindak pidana atau terdakwa
di persidangan tidak perlu menjalani pemindaan di Lembaga Pemasayarakatan (LAPAS)
atau yang dikenal juga sebagai Hotel Prodeo, sehingga secara otomatis akan mengurangi
pula jumlah calon penghuni Hotel Prodeo tersebut.
Meski demikian, dalam pelaksanaannya mengenai pemberian pengampuan oleh hakim,
diperlukan kesamaan pendapat, baik dari pihak Kepolisian selaku penyelidik
dan/atau penyidik, pihak Kejaksanaan selaku penuntut umum dan juga eksekutor
dari putusan hakim, dari pihak Mahkamah Agung yang melakukan pembinaan terhadap
hakim-hakim di Indonesia serta dari pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkumham) selaku pembina dari Lembaga Pemasyarakatan serta juga dari
unsur Advokat yang mempunyai hak untuk mendampingi pelaku tindak pidana selama
menjalani proses penegakan hukum. Tanpa adanya kesepamahaman diantara para penegak
hukum, sulit kiranya untuk memberlakukan sistem pemberian pengampunan terhadap pelaku
tindak pidana, sehingga tujuan akhir yaitu mengurangi jumlah calon penghuni Lembaga
Pemasayarakatan (LAPAS) tidak akan tercapai.
D. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat kita mengambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Tidak semua
tindak pidana harus dijatuhi pidana ;
2. Perlu
ditentukan tindak pidana yang bisa mendapatkan pengampunan hakim terhadap
pelakunya ;
3. Adanya
syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum diberikannya pengaampunan oleh hakim
;
4. Perlu adanya
kesamaan pendapat dari seluruh Aparat Penegak Hukum, termasuk di dalamnya
adalah dari unsur Advokat ;
E. DAFTAR
BACAAN
1. Ali
Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah
Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama
dengan Penerbit Teras, Semarang ; .
3. http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macam-keadilan.html, diunduh
tanggal 29 September 2015 ;
5. http://www.habibullahurl.com/2015/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles.html,
diunduh tanggal 29 September 2015 ;
6. http://www.pusakaindonesia.org/nilai-dasar-sila-kelima-dalam-pancasila/,
diunduh 8 Agustus 2014 ;
7. http://www.pusakaindonesia.org/nilai-dasar-sila-kelima-dalam-pancasila/,
diunduh 8 Agustus 2014 ;
8. http://pembelajaranhukumindonesia.blogspot.co.id/2011/10/hukuman-dalam-hukum-pidana-islam.html, diunduh
tanggal 08 Oktober 2015 ;
9. http://ahmadbahiej.blogspot.co.id/2003/08/prinsip-individualisasi-pidana-dalam.html,
diunduh tanggal 08 Oktober 2015 ;
12. http://wawasanhukum.blogspot.co.id/2007/06/mekanisme-pengawasan-atas-hak-hak.html,
diunduh tanggal 15 Oktober 2015 ;
13. http://ridwan-design.blogspot.co.id/2012/09/kajian-perbandingan.html,
diunduh tanggal 15 Oktober 2015.
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung
RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang ;
[2]
Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN
HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras,
Semarang, h. 148.
[4] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Amandemen Keempat ;
[5]http://1ia17meiliawati.blogspot.com/2012/04/kasus-penegakan-hukum-di-indonesia.html
[6] http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macam-keadilan.html, diunduh tanggal 29 September 2015 ;
[8]
http://www.habibullahurl.com/2015/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles.html,
diunduh tanggal 29 September 2015
[9]
http://www.pusakaindonesia.org/nilai-dasar-sila-kelima-dalam-pancasila/,
diunduh 8 Agustus 2014 ;
[10] http://www.pusakaindonesia.org/nilai-dasar-sila-kelima-dalam-pancasila/,
diunduh 8 Agustus 2014 ;
[11]http://pembelajaranhukumindonesia.blogspot.co.id/2011/10/hukuman-dalam-hukum-pidana-islam.html, diunduh tanggal 08 Oktober 2015 ;
[12] http://pembelajaranhukumindonesia.blogspot.co.id/2011/10/hukuman-dalam-hukum-pidana-islam.html, diunduh tanggal 08 Oktober 2015 ;
[13] http://ahmadbahiej.blogspot.co.id/2003/08/prinsip-individualisasi-pidana-dalam.html,
diunduh tanggal 08 Oktober 2015 ;
[14]
http://ahmadbahiej.blogspot.co.id/2003/08/prinsip-individualisasi-pidana-dalam.html, diunduh tanggal 08 Oktober 2015
[18] http://wawasanhukum.blogspot.co.id/2007/06/mekanisme-pengawasan-atas-hak-hak.html,
diunduh tanggal 15 Oktober 2015 ;
[19] http://ridwan-design.blogspot.co.id/2012/09/kajian-perbandingan.html, diunduh tanggal 15 Oktober
2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar