PERANAN HAKIM DALAM MELAKSANAKAN UNDANG-UNDANG SISITEM PERADILAN PIDANA ANAK
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
I.
Latar Belakang
Hukum dalam suatu
Negara merupakan instrumen yang sangat penting demi menjaga terjaminnya
ketertiban dan keteraturan di Negara tersebut, sehingga di dalam suatu Negara
yang merdeka dibutuhkan adanya ketegasan di dalam penerapan hukum sehingga
tercipta adanya kepastian hukum.
Sebagai
Negara yang menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia
telah menyatakan sebagai Negara Hukum, maka Indonesia memliki politik hukum
yang akan membentuk sistem hukum yang akan diberlakukan. Sebagaiamana
dikemukakan oleh Padmo Wahjono yang dikutip oleh Abdul Latif, menyatakan bahwa,
“Polittik Hukum sebagai kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang berlaku”.[2]
Pendapat
dari Padmo Wahjono ini tentu masih bersifat abstrak, sehingga kemudian Padmo
Wahjono melengkapinya dalam sebuah Majalah Forum
Keadilan yang berjudul Menyelisik
Proses Terbentuknya Undang-Undang, mengatakan, “Politik Hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu”.[3]
Sehingga dengan demikian dari pendapat padmo Wahjono tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa “Politik Hukum adalah
kebijakan yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari
hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu”.[4]
Dari
politik hukum itulah yang kemudian akan menentukan sistem hukum yang akan
berlaaku di Indonesia, termasuk pula produk perundang-undangan yang akan
dibentuk.
Dalam
perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak, tentunya memiliki spesialisasi
tertentu di dalam penanganannya. Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat adalah permasalahan yang terkait anak, dimana
dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut
kita dihadapkan lagi dengan permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan
tindak pidana. Anak adalah merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, Negara,
masyarakat, ataupun keluarga, oleh karena kondisinya sebagai anak, maka
diperlukan perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik
fisik mental dan rohaninya. Bertolak dari hal tersebut, pada hakekatnya pengaturan
mengenai anak telah diatur secara tegas dalam konstitusi Indonesia yaitu
berkaitan dengan pengaturan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 28B angka
2 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai hak tumbuh kembang anak serta
mendapatkan perlindungan.
Sementara itu dari perspektif ilmu
pemidanaan, Paulus Hadisuprapto (2003) meyakini bahwa penjatuhan pidana
terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa
anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan
pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat). Dikemukakan
juga oleh Barda Nawawi Arief (1994, pidana penjara dapat memberikan
stigma yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak melakukan
kejahatan lagi. Akibat penerapan stigma bagi anak akan membuat mereka sulit
untuk kembali menjadi anak ”baik”.[5]
Oleh sebab itu,
peranan Hakim di dalam penanganan perkara pidana Anak sangat penting .
Dibutuhkan Hakim yang memiliki dedikasi, pengetahuan dan kemampuan untuk
mengaplikasikan peraturan perundangan tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, dengan mengutamakan kepentingan dan
kesejahteraan Anak dalam rangka tumbuh kembang Anak.
II. Permasalahan
Dari uraian tersebut di atas, maka akan timbul suatu permasalahan yaitu, “Bagaimana peranan Hakim dalam melaksanaan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak?”.
III. Pembahasan
Istilah tindak pidana sebagai
terjemahan strafbaar feit adalah
diperkenalkan oleh pihak pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak
dipergunakan dalam Undang-undang tindak pidana khusus misalnya Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Narkotika dan Undang-undang
mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi.
Istilah tindak pidana
menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani
seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat akan
tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.
Pembentuk Undang-undang sudah
tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai
istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk Undang-undan.
Pendapat Prof. Sudarto tersebut diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk
Undang-undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak pidana sehingga
istilah tindak pidana itu sudah mempunyai pengertian yang dipahami oleh
masyarakat.
Oleh karena itu, setelah
melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang
disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang
dan diancam dengan pidana di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan
yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)
juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya
diharuskan oleh hukum).
Moeljatno menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan istilah
perbuatan pidana. Alasan karena perkataan perbuatan merupakan suatu pengertian
abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit, yaitu :
a. Adanya kejadian
yang tertentu.
b. Adanya orang yang
berbuat yang menimbulkan kejadian itu.[6]
Istilah peristiwa pidana dipakai oleh Utrecht
dalam bukunya ‘Sari Kuliah Hukum Pidana I’ dan juga digunakan dalam pasal
14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.[7]
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa suatu tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam
tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan dan hukum
tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan
suatu hukum pidana.[8]
Simons mengartikan starbaarfeit
adalah kelakuan (handeling) yang
diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan
kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.[9]
Van Hamel merumuskan
starbaarfeit sebagai kelakuan orang (menselijk gadraging) yang dirumuskan di
dalam wet, yang bersifat melawan
hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.[10]
Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam
hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan
istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime
atau verbrechen atau misdaad) yang biasa diartikan secara
sosiologis atau kriminologis.[11]
Menurut D. Simons, unsur-unsur dari starftbaarfeit adalah adalah sebagai berikut :
a.
Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan);
b.
Diancam dengan pidana (straftbaar gesteld);
c.
Melawan hukum (onrechtmatig);
d.
Dilakukan dengan kesalahan (metschuld in veerband stand);
e.
Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon).
Jadi dalam mempergunakan istilah tindak pidana haruslah
pasti bagi orang lain apakah yang dimaksudkan adalah menurut pandangan monistis
atau dualisme. Bagi orang yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan
tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualisme
sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai
syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.
Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional,
dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah ini dapat
berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering
digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang
pendidikan, moral, agama dan sebagainya.[12]
Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus,
maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan
ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.
Menurut Alf Ross, ‘concept
of punishment’ bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu
a.
Pidana ditujukan pada pengenaan
penderitaan terhadap orang yang bersangkutan (Punishment is aimed at inflecting suffering upon the person upon whom
it is imposed)
b.
Pidana itu merupakan suatu
pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku (the punishment is an expression disapproval of the action for which it
is impossed)
Dengan demikian, menurut Alf Ross tidaklah dapat
dipandang sebagai ‘punishment’
hal-hal sebagai berikut[13]
:
a.
Tindakan-tindakan yang
bertujuan pengenaan penderitaan tetapi tidak merupakan pernyataan pencelaan,
misalnya pemberian electric shock,
pada binatang dalam suatu penelitian agar tingkah lakunya dapat diamati atau
dikontrol
b.
Tindakan-tindakan yang
merupakan pernyataan pencelaan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengenakan
penderitaan. Misalnya teguran, peringatan atau penyingkiran oleh masyarakat
c.
Tindakan-tindakan yang
disamping tidak dimaksudkan untuk mengenakan penderitaan, juga tidak merupakan
pernyataan pencelaan. Misalnya langkah-langkah yang diambil untuk mendidik atau
merawat/mengobati seseorang untuk
membuatnya tidak berbahaya bagi masyarakat atau tindakan dokter gigi
yang mencabut gigi seorang pasien
Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam
memberikan atau menjatuhkan pidana maka di dalam Konsep Rancangan Buku I KUHP
Nasional yang disusun oleh LPHN pada tahun 1972 dirumuskan dalam Pasal 2
sebagai berikut [14]:
a.
Maksud tujuan pemidanaan ialah
1)
Untuk mencegah dilakukannya
tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk
2)
Untuk membimbing agar terpidana
insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna
3)
Untuk menghilangkan noda-noda
yang diakibatkan oleh tindak pidana
b.
Pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia
1)
Pemidanaan bertujuan untuk
a)
Mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat
b)
Mengadakan koreksi terhadap
terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta
mampu untuk hidup bermasyarakat
c)
Membebaskan rasa bersalah pada
terpidana
2)
Pemidanaan tidak dimaksudkan
untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia
Di dalam hukum pidana dikenal adanya putusan di mana di
dalam memuat penghukuman terdakwa yang oleh sebagian pakar yang menyebutkan
Putusan Pemidanaan. Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan
persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut
identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru dipergunakan
istilah penghukuman.[15]
Mengenai penjatuhan hukuman/pidana tersebut dirumuskan
pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : Jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana.
Rumusan Pasal 193 ayat (1) KUHAP sesungguhnya didasari
ilmu hukum pidana karena rumusan tersebut seolah-olah menonjolkan bersalah.
Dalam ilmu hukum pidana bersalah atau tidaknya seseorang ditentukan oleh unsur
subyektif, sedangkan suatu tindak pidana terdiri atas unsur subjektif dan unsur
obyektif.
Salah satu instrumen penting di dalam
penegakan hukum adalah adanya Hakim yang memiliki tugas mengaplikasikan
peraturan perundang-undangan yang ada terhadap suatu perkara yang timbul di
dalam masyarakat, termasuk di dalamnya adalah menjatuhkan pidana terhadap
Terdakwa.
Penjatuhan pidana terhadap seorang
Terdakwa tentunya hanya dapat dilakukan oleh Hakim yang menyidangkan perkara
atas nama Terdakwa tersebut. Peranan Hakim menjadi sangat vital mengingat di
pundak Hakimlah keadilan disandarkan demi terwujudnya keteraturan dan
ketertiban.
Terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak,
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak, yang selama ini masih dipergunakan sebagai dasar di dalam pelaksanaan
persidangan terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini kemudian
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Hakim memegang peranan sangat
penting karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak lebih mengedepankan pada Restoraive Justice dan meminalisasi
pemidanaan dalam bentuk pidana penjara terhadap Anak yang Berkonflik dengan
Hukum.
A.
PENGERTIAN HAKIM
Pengertian Hakim bila di tinjau dari segi bahasa, Hakim mempunyai
dua arti, yaitu : Pertama : Pembuat Hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber Hukum dan Kedua : Yang menemukan, menjelaskan,
memperkenalkan, dan menyingkapkan.[16] Dalam pengertian pertama
dimaksudkan bahwa Hakim sebagai orang yang mempunyai kewenangan menjatuhkan
suatu Putusan atas suatu perkara, dapat disebut sebagai Pembuat Hukum dan dalam
pengertian kedua, dimaksudkan bahwa Hakim mempunyai tugas untuk menafsirkan,
menjelaskan suatu peraturan perundang-undangan dikaitkan pada suatu perkara
yang ditanganinya dan apabila suatu perkara yang ditanganinya tidak ditemukan
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya maka Hakim harus menemukan
hukumnya dari nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 angka 8 menyebutkan, “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili.”
Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai Hakim di
dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 48. Untuk perkara Anak yang diperiksa dan
disidangkan pada tingkat pertama yaitu di Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan
di sidang pengadilan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri
yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi (pasal 43 ayat (1) UU Nomor
11 Tahun 2012). Terhadap perkara Anak yang disidangkan di tingkat Banding, maka
disidangkan oleh Hakim Banding yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan (pasal 45 UU
Nomor 11 tahun 2012) dan terhadap perkara Anak yang disidangkan pada tingkat
Kasasi, maka disidangkan oleh Hakim Kasasi yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung (pasal 48 UU Nomor 11 Tahun 2012).
Di dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga
mengatur mengenai syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Anak, baik
di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi (Hakim Banding) maupun di
tingkat Mahkamah Agung (Hakim Kasasi). Pengaturan tersebut tercantum di dalam
pasal 43 ayat (2) yang menyebutkan : “Syarat
untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a.
Telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan
peradilan umum ;
b.
Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami
masalah Anak ; dan
c.
Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan
Anak.
Meski demikian di
dalam Pasal 43 ayat (3) mengatur dalam hal belum terdapat Hakim dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas pemeriksaan di sidang
Anak dilaksanakan oleh hakim yang melakukan tugas pemeriksaan bagi tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.
B.
PERANAN HAKIM DAN MELAKSANAKAN UNDANG-UNDANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Setiap perkara anak
diperiksa di persidangan dilakukan secara tertutup sebagaimana diatur dalam
pasal 54, yang menyebutkan, “Hakim
memeriksa perkara Anak dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan
putusan.” Ketentuan pasal ini sesuai dengan ketentuan pasal 53 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang menyebutkan, “Untuk keperluan pemeriksaan Hakim Ketua
Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Ketika suatu
perkara tindak pidana yang dilakukan oleh Anak masuk di Pengadilan Negeri, maka
Ketua Pengadilan harus segara menetapkan Hakim
atau Majelis Hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara tersebut.
Ketentuan pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menyebutkan, “Ketua
Pengadilan wajib menetapkan Hakim atau Majelis Hakim untuk menangani perkara
Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut
Umum.”
Setelah Hakim atau
Majelis Hakim menerima berkas, maka Hakim atau Majelis Hakim tersebut wajib
mengupayakan DIVERSI paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri sebagai Hakim Anak (pasal 52 ayat (2) UU Nomor 11 tahun 2012)
dan DIVERSI dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari sebagaimana tercantum
dalam pasal 52 ayat (3).
Proses DIVERSI
dapat dilaksanakan di ruang MEDIASI Pengadilan Negeri sebagaimana tercantum
dalam ketentuan pasal 52 ayat (4) dan proses DIVERSI dilakukan dengan
melibatkan Anak dan orang tua / walinya, korban dan / atau orang tua / walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif (pasal 8 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012) dan sesuai
ketentuan pasal 8 ayat (2) disebutkan bahwa, “Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial dan / atau masyarakat,” yang
di dalam penjelasannya disebutkan bahwa MASYARAKAT antara lain tokoh agama,
guru dan tokoh masyarakat. Namun yang
terpenting dalam proses DIVERSI, sebagaimana ketentuan pasal 8 ayat (3) harus
memperhatikan :
a. Kepentingan korban ;
b. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak ;
c. Penghindaran stigma negatif ;
d. Penghindaran pembalasan ;
e. Keharmonisan masyarakat ; dan
f. Kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Hakim, ketika melakukan
proses DIVERSI, sebagaimana ketentuan pasal 9 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2012,
harus mempertimbangkan :
a. Kategori tindak pidana ;
b. Umur anak ;
c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS ; dan
d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam hal DIVERSI
berhasil mencapai kesepakatan, maka berdasarkan pasal 52 ayat (5), Hakim
menyampaikan Berita Acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan. Oleh karena itu Hakim harus berperan
secara aktif selama proses Diversi dengan mengupayakan semaksimal mungkin
tercapainya kesepakatan.
Aplikasi Diversi
dan pendekatan Keadilan Restoratif dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari
proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang Berkonflik
dengan hukum serta diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial
secara wajar.[17] Hasil kesepakatan Diversi
sesuai pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, dapat berbentuk, antara lain :
a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian ;
b. Penyerahan kembali kepada orang tua / wali ;
c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di
lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan ; atau
d. Pelayanan masyarakat ;
Pasal 13
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 menyebutkan, “Proses peradilan Anak dilanjutkan dalam hal :
a.
Proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan ;
atau
b.
Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan ;
C.
PENGERTIAN ANAK
Seorang anak bahkan telah mempunyai
hak sejak masih dalam kandungan, sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia. Namun
dalam perkembangannya dalam kehidupan sosial sehari-hari, sering kali hak anak
terlupakan sehingga seringkali seorang anak mencari Pelampiasan di luar
lingkungan keluarganya. Pada akhirnya seorang anak ikut pula memikul beban
hidup orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulyana W. Kusumah dalam
bukunya Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis, menyatakan bahwa “Secara luas, kebutuhan-kebutuhan hidup manusia mencakup aspek-aspek
eksistensi yang diperlukan untuk menjamin perkembangan dasar seseorang, yaitu
makanan, pakaian, perumahan, pelayanan kesehatan dan pendidikan”.[18]
Dalam kegiatannya untuk membantu
kebutuhan hidup keluarganya, seringkali terjadi seorang anak melakukan
kenakalan-kenakalan. Dalam tahap tertentu, kenakalan-kenakalan seorang anak,
apalagi yang sedang beranjak dewasa menjadi seorang remaja, dapat diterima di
dalam lingkungan masyarakatnya, tetapi sering pula kenakalan remaja tersebut
menjadi suatu tindak pidana.
Sampai saat ini masih belum ada
kesepakatan mengenai pengertian dan batas usia seorang anak. Akan tetapi
penegertian ANAK adalah sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8
(delapan) Tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) dan belum
pernah kawin”. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Anak dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan, “Bahwa anak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut ANAK
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun tetapi belum berumur 18
(delapan belas) Tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.
M. Nasir Djamil, pimpinan Panja RUU
Sistem Peradilan Pidana Anak Komisi III DPR-RI, mempunyai pendapat mengenai anak
yaitu, “Anak bukanlah untuk dihukum
melainkan harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan
berkembang sebagai anak normal yang sehat dan cerdas seutuhnya”.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), anak adalag keturunan kedua, sedangkan dalam konsideran
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa
anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.[19]
D.
KEWAJIBAN DAN HAK ANAK
I.
KEWAJIBAN ANAK
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan :
“Yang dimaksud di
dalam Undang-Undang ini dengan :
1.a. Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan
anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik
secara rohani, jasmani, maupun sosial ;
b. Usaha Kesejahteraan Anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang
ditunjukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya
kebutuhan pokok anak.
Berdasarkan Undang-Undang
Perlindungan Anak, ada 5 (lima) hal kewajiban
anak di Indonesia,
yaitu :[20]
1. Kewajiban menghormati orang tua, wali dan
guru ;
2.
Kewajiban mencintai keluarga,
masyarakat dan menyayangi teman ;
3.
Kewajiban mencintai tanah air,
bangsa dan Negara ;
4.
Kewajiban menunaikan ibadah
sesuai dengan ajaran agamanya dan ;
5.
Kewajiban melaksanakan etika
dan akhlak mulia ;
Kewajiban-kewajiban sebagaimana
tersebut diatas, sesuai pula dengan yang tercantum di dalam Surat An-Nisa : 36
yang menyatakan “Dan berbuat baiklah
kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
dekat dan tetangga yang jauh”.[21]
II.
HAK ANAK
Selain
kewajiban, anak juga memiliki hak yang sangat dilindungi oleh
Undang-Undang..Berdasarkan Kovensi Hak-Hak Anak Tahun 1989 (Resolusi PBB Nomor
44/25 tanggal 5 Desember 1989), hak anak dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat)
kategori, yaitu :[22]
1.
Hak untuk kelangsungan hidup
(the right to survival) ;
2.
Hak untuk tumbuh kembang (the
right to develop) ;
3.
Hak untuk perlindungan (the
right to protection) ;
4.
Hak untuk partisipasi (the
right to participation).
Di Indonsesia, hak
anak telah terakomodir di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.[23]
Sedangkan Mukhoirudin, membagi hak-hak anak menurut Islam antara lain :
a)
Pemeliharaan atas hak beragama
(hifzud dien) ;
b)
Pemeliharaan hak atas jiwa
(hifzun nafz) ;
c)
Pemeliharaan atas akal (hifzun
aql) ;
d)
Pemeliharaan atas harta (hifzul
mal) ;
e)
Pemeliharaan atas
keturunan/nasab (hifzun nasl) dan kehormatan (hifzul’ird) ;[24]
Pasal 2
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan :
(1)
Anak berhak atas kesejahteraan,
perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya
maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar ;
(2)
Anak berhak atas pelayanan
untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan negara
yang baik dan berguna ;
(3)
Anak berhak atas pemeliharaan
dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan ;
(4)
Anak berhak atas perlindungan
terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan
dan perkembangannya dengan wajar.
Dari ketentuan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tersebut, telah nyata bahwa Pemerintah
Republik Indonesia
sangat memperhatikan kesejahteraan anak, sebab anak adalah masa depan bagi
suatu bangsa, sebagaimana Kalifah Umar RA pernah berkata, “Barangsiapa ingin menggengam nasib suatu bangsa, maka genggamlah para
pemudanya”.[25]
Dan sesuai dengan
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
maka usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh Pemerintah dan atau masyarakat.
E.
PROSES PERSIDANGAN PERKARA PIDANA ANAK
Sebelum membahas
tentang proses persidangan perkara pidana anak, maka perlu dibahas terlebih
dahulu mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang seringkali
dilakukan karena KENAKALAN Anak.
Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan
KENAKALAN ? Dalam penjelasan Pasal
489 KUHP sebagaimana diutarakan oleh R. SOESILO, bahwa KENAKALAN (BALDADIGHEID) adalah “Semua
perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum, ditujukan pada orang,
binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan yang
tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus dalam KUHP”.[26]
Secara tradisonal, para ahli sosiologi di Amerika memasukkan KENAKALAN (ANAK)
ke dalam Konsepsi Perilaku Menyimpang, selain perbuatan kriminal, prostitusi,
penggunaan dan ketergantungan obat dan lain sebagainya.[27]
Masalah Kenakalan Anak (Junevile
Justice) ini telah mendapat perhatian tidak hanya di Indonesia, kan tetapi juga
menjadi perhatian Internasional yaitu dengan keluarnya Deklarasi Hak Asasi Anak
pada Konggres II PBB Tahun 1965 yang dilanjutkan dalam Konggres ke – IV PBB di
Caracas, Venezuela tahun 1980 yang menghasilkan suatu Resolusi No. 4 mengenai
DEVELOPMENT OF MINIMUM STANDARDS OF JUVENILE JUSTICE, yang pada pokoknya
meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk penyelenggaraan PERADILAN ANAK.[28]
Sebelum dikeluarkannya Undnag-Undang
Peradilan Anak, telah pula dikeluarkan Undang-Undang Kesejahteraan Anak (UU
Nomor 4 Tahun 1979) dengan tujuan dan dasar pemikiran untuk mengutamakan
kesejahteraan anak, yaitu
a.
memajukan kesejahteraan anak
(the promotion of the well being of the juvenile) ;
b.
prinsip proposionalitas.[29]
M. Nasir Djamil memandang, bahwa ada
2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus Berkonflik dengan
hukum, yaitu :[30]
1)
Status Offence, adalah perilaku
kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai
kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah ;
2)
Juveile Deliquency, adalah
perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap
kejahatan atau pelanggaran hukum.
Ketika seorang anak melakukan tindak
pidana, maka yang diperlukan adalah penanganan yang mengutamakan kepentingan
anak tersebut. Yang terpenting adalah adalah usaha pencegahan, agar seorang
anak tidak melakukan tindak pidana. Bonger, seorang ahli kriminoligi,
sebagaimana dikutip oleh Drs. B. Simanjuntak, SH, mengatakan “Mencegah kejahatan adalah lebih baik
daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik kembali”[31].
Lebih lanjut, M. Nasir Djamil
mengatakan bahwa, “Permasalahan-permasalahan
yang sebelumnya mengemuka mengenai anak-anak nakal yang kemudian bermasalah secara hukum, maka harus
diselesaikan secara komprehensif dalam rangka melindungi hak anak agar mampu
juga menjadi sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas”.[32]Dan,
pemidanaan (Anak) seharusnya merupakan pilihan terakhir bagi anak yang Berkonflik
dengan hukum.[33]
Sebagaimana Rasulullah
SAW pernah bersabda, “Dihapuskan
ketentuan hukum dari tiga orang yang tidur sampai ia bangun dan dari orang gila
sampai ia sembuh serta dari anak kecil samapi ia dewasa”.[34]
Selanjutnya B. Simanjuntak,
mengatakan bahwa untuk mencegah terjadinya KENAKALAN ANAK, membagi menjadi 2
(dua) usaha, yaitu :
1.
Usaha Pemerintah, yaitu
Pemerintah lebih banyak turun tangan dalam penanggulangan anak-anak nakal
melalui Lembaga-Lembaga Pemerintahan seperti sekolah, mendirikan Panti Asuhan
bagi anak-anak yatim piatu yang tidak mampu dan lain sebagainya ;
2.
Usaha Swasta, yaitu badan atau
lembaga yang didirikan oleh swasta dan mendapat bantuan dari Pemerintah yang
bergerak mengangani kenakalan anak-anak, misalnya pembentukan Karang Taruna,
Badan Kontak Organisasi Wanita (BKOW) dan lain sebagainya.[35]
Akan tetapi, bagaimana bila anak-anak
telah menjadi Terdakwa dalam proses persidangan ? Prof. Dr. Muladi dan Dr.
Barda Nawawi mengatakan bahwa tujuan dan dasar pemikiran mengenai Peradilan
Anak adalah masalah kesejahteraan atau kepentingan anak. Diperlukan pendekatan
khusus dalam menangani masalah hukum dan Peradilan Anak, yaitu :
1.
Anak yang melakukan tindak
pidana / kejahatan (juvenile offender) janganlah dipandang sebagai seorang
penjahat (kriminal) tetapi harus dipandang sebagai orang yang memerlukan
bantuan, pengertian dan kasih sayang ;
2.
Pendekatan Yuridis terhadap
anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasive – edukatif yang berarti
sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum,
yang bersifat degradasi mental dan penurunan semangat (discouragement) serta
menghindari proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan,
kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang wajar.[36]
Terhadap ancaman pidana, pidana
kurungan dan pidana denda sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, maka untuk Terdakwa anak hanya dapat diterapkan ½ (seperdua) dari
ancaman pidana kepada pelaku kriminal dewasa (Pasal 26 s/d 28 UU Nomor 3 Tahun
1997), sedang pengawasan dapat dijatuhkan paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 30 UU Nomor 3 Tahun 1997). Terdakwa Anak juga
bisa dijatuhi pidana bersyarat dengan paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 29 UU
Nomor 3 Tahun 1997) ;
Beberapa faktor yang dapat
memperngaruhi seorang anak melakukan kejahatan (tindak pidana anak), yaitu :[37]
i.
Faktor Lingkungan ;
ii.
Faktor ekonomi / sosial ;
iii.
Faktor psikologis.
Dengan dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang diberlakukan
pada bulan Juli 2014 maka terjadi pergeseran paradigma di dalam pemidanaan
terhadap anak terutama dalam hal umur
Anak dan jenis pemidanaan terhadap Anak.
Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 menyebutkan, “Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah Anak yang berkonflik dengan
hukum, Anak yang menjadi korban tindak pidana dan Anak yang menjadi saksi tindak
pidana.” Selanjutnya pada pasal 1 angka 3 menyebutkan, “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah
Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” Sedangkan dalam pasal 1
angka 4 menyebutkan, “Anak yang menjadi
korban tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah Anak yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental
dan / atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana, “ dan dalam
pasal 1 angka 5 menyebutkan, “Anak yang
menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak
yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat dan / atau dialaminya sendiri.”
Setiap perkara anak
diperiksa di persidangan dilakukan secara tertutup sebagaimana diatur dalam
pasal 54, yang menyebutkan, “Hakim
memeriksa perkara Anak dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan.”
Ketentuan pasal ini sesuai dengan ketentuan pasal 53 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyebutkan, “Anak disidangkan dalam
ruang sidang khusus Anak.” Meskipun
dalam pasal 230 KUHAP menyebutkan, ”Dalam
ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan
pakaian sidang dan aribut masing-masing,” dan dalam Undang-Undang Nomor 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak mengatur mengenai
pemakaian pakaian sidang dan atribut masing-masing penegak hukum selama
persidangan, akan tetapi dalam persidangan perkara pidana anak, masih mempergunakan
ketentuan pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang
meyebutkan, “Hakim, Penuntut Umum,
Penyidik dan Penasihat Hukum serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak
memakai toga dan pakaian dinas.”
Dalam persidangan, sebagaimana
ketentuan pasal 57, setelah surat Dakwaan dibacakan, Hakim memerintahkan
Pembimbing Kemasyarakatan membacakan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan
mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat
lain dan Laporan hasil Penelitian Kemasyaratan tersebut berisi :
a. Data pribadi Anak, keluarga, pendidikan dan
kehidupan sosial ;
b. Latar belakang dilakukannya tindak pidana ;
c. Keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak
pidana terhadap tubuh dan nyawa ;
d. Hal lain yang dianggap perlu ;
e. Berita Acara Diversi ; dan
f. Kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
Pada tahap
pemeriksaan korban maupun saksi, Hakim dapat memeritahkan agar Anak keluar
ruang sidang, akan tetapi orang tua / wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir di ruang sidang (pasal 58)
dan sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua /
wali dan / atau pendamping Anak untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi
Anak, dalam hal tertentu Hakim dapat meminta pendapat dari Anak korban untuk
menyampaikan pendapatnya serta Hakim wajib mempertimbangkan Laporan Hasil
Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan dan apabila Laporan
Hasil Penelitian Kemasyarakatan tidak dipertimbangkan oleh Hakim, maka putusan
batal demi hukum (pasal 60).
Pembacaan putusan
pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak
dihadiri oleh Anak serta identitas Anak, Anak Korban dan / atau Anak Saksi
tetap harus dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam pasal 19
dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar (pasal 61) dan Pengadilan wajib
memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat
atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan dan Penuntut Umum
serta Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima) hari
sejak putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan dan Penuntut Umum (pasal 62).
F.
JENIS PEMIDANAAN TERHADAP TERDAKWA ANAK
M. Nasir Djamil mengatakan, “Tindakan hukuman bagi remaja delinkuen
antara lain berupa menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya sehingga
dianggap adil dan bisa menggugah berfungsinya hati nurani sendiri terhadap
susila dan mandiri”.[38]
Oleh karena itu, menurut M. Nasir Djamil, “Yang dipentingkan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak adalah penekanan
pada permasalahan yang dihadapi pelaku bukan pada perbuatan / kerugiatan yang
diakubatkan.”.[39]
Lebih lanjut, M. Nasir Djamil
mengatakan, “Putusan ditekankan pada
perintah pemberian program untuk terapi dan pelayanan dan focus utama untuk
mengidentifikasi pelaku dan pengembangan pendekatan positifis untuk mengoreksi
masalah.”[40]
Hal yang terkait dengan perlindungan
khusus bagi anak yang Berkonflik dengan hukum dilaksanakan melalui perlakuan
secara manusiawi sesuai hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus
sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang
tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus
menerus terhadap perkembangan anak yang Berkonflik dengan hukum, jaminan untuk
mempertahankan hubungan dengan orang taua atau keluarga dan perlindungan dari
pemberitaan media / labelisasi.[41]
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya
Nomor I/PUU-VIII/2010, dalam salah satu pertimbangannya menyebutkan :[42]
1. “MK menerima keterangan
ahli Pemerintah bahwa proses penjatuhan dan pilihan mengenai pidana bagi anak
sepenuhnya merupakan kewenangan bagi hakim untuk memutuskan setiap perkara. Hal
ini dikarenakan setiap perkara dan kasus memiliki pertimbangan dan tindakan
hukum yang berbeda pula sehingga alasan pemohon tidak tepat menurut hukum dan
harus dikesampingkan” ;
2. “Mahkamah berpendapat bahwa
Pasal 33 ayat (2) huruf a UU Pengadilan Anak telah memberikan seejumlah
alternative pidana bagi anak nakal selain pidana penjara yaikni pidana
kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan. Dalam hal ini keberadaan pidana
penjara bukan merupakan satu-satunya pilihan bagi anak sehingga tidak secara
mutlak dapat merugikan hak konstitusional anak”.
Anak hanya dapat
dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang
ini dan Anak yang belum berusia 14 (empat) belas tahun hanya dapat dikenai
tindakan (pasal 69).
Pada Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan :
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas :
a. Pidana peringatan ;
b. Pidana dengan syarat :
1) pembinaan di luar lembaga ;
2) pelayanan masyarakat atau ;
3) pengawasan ;
c. Pelatihan kerja ;
d. Pembinaan dalam lembaga dan ;
e. Penjara.
Anak yang dijatuhi
pidana penjara ditempatkan di LPKA (Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak) dan
Anak yang ditempatkan di LKPA berhak memperoleh pembinaan, pendidikan dan
pelatihan serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang wajib diselenggarakan oleh LPKA dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan
penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan
dan pembinaan yang pelaksanaannya juga diawasi oleh Pembimbing Kemasyarakatan (
pasal 85).
IV. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di
atas, maka kiranya dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Perlunya pembahasan lebih lanjut dan
penyamaan persepsi di antara Aparat Penegak Hukum dan pihak terkait di dalam penanganan terhadap anak
yang Berkonflik dengan hukum sehingga tidak mengurangi hak tumbuh dan
berkembang seorang anak ;
2. Perlu segera dikeluarkan Peraturan
Pemerintah sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak terutama dalam hal penjatuhan Pidana ;
3. Perlunya koordinasi antara Aparat Penegak Hukum
dengan pihak lain dalam rangka pengawasan terhadap Terpidana Anak, khususnya
Anak yang ditempatkan di LPKA (Lembaga Pemayarakatan Khusus Anak).
V. BAHAN
BACAAN
- Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Jakarta, Sinar Grafika ;
- http://manunggalkusumawardaya.wordpress.com/2010/07/07/perlindungan-terhadap-anak-yang-melakukan-tindak-pidana/ ;
- Moeljatno, 1983, Asas-asas hukum Pidana, Jakarta: PT. Bina Aksara
- Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, Bandung: Eresco
- Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung
- Leden Marpaung. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika
7. R.
Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor,
Politeia, h.320 ;
- Saparinah Sadli, 1976, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta, Bulan Bintang
- Angger Sigit Pramukti & Fuady Primaharsya, SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015
- Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta
- Departemen Agama Republik Indonesia, 1998, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris), Semarang, CV.Asy-Syifa
- M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika
[2] Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Jakarta, Sinar
Grafika, h. 25.
[3] Ibid, h. 25.
[4] Ibid, h. 25.
[5]http://manunggalkusumawardaya.wordpress.com/2010/07/07/perlindungan-terhadap-anak-yang-melakukan-tindak-pidana/
[7] Moeljatno, Ibid. H.54.
[8] Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia,
Bandung: Eresco, h. 86
[9] Moeljatno Op. Cit. H.56
[11] Sudarto, Op Cit. H.25
[12] Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung, h. 2
[13] Ibid. h. 5
[14] Ibid. h. 25
[16] http://www.andyonline.net/2010/10/pengertian-tentang-hakim-dan-sesuatu.html,
diunduh tanggal 12 Maret 2015.
[17] Angger Sigit Pramukti
& Fuady Primaharsya, SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2015, h. 69.
[18] Mulyatna W. Kusumah, 1981, Hukum
dan Hak-Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis,Bandung, Penerbit Alumni, h.70 ;
[19] M. Nasir Djamil, M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan
Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.,h.8.
[20] Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak
di Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta,h.26.
[21] Departemen Agama Republik Indonesia,
1998, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat
Pojok Bergaris), Semarang,
CV.Asy-Syifa, h.186.
[22] Setya Wahyudi, 2011, Loc.Cit.,h.22.
[23] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.12.
[24] Ibid, h.20.
[25] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.4.
[26]R. Soesilo, 1996, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, Bogor,
Politeia, h.320 ;
[27]Saparinah Sadli, 1976, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang,
Jakarta, Bulan Bintang, h.33.
[28]Muladi, dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung,
Alumni, h.109.
[29]Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., h.112-113 ;
[30] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.33.
[31]B.Simanjuntak, 1979, Latar Belakang Kenakalan Remaja, Bandung, Alumni, h.167.
[32] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.3.
[33] Ibid. h.6.
[34] Ibid, h.4.
[35] Ibid, h.169-170.
[36]Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., h.114-115.
[37] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.34
[38] Ibid, h.39.
[39] Ibid, h.45.
[40] Ibid.
[41] Ibid, h. 73.
[42] Ibid, h.81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar