Selasa, 13 Oktober 2015

SAKSI dan/atau KORBAN




qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm

KEADILAN BAGI KORBAN KEJAHATAN

DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

HAKIM YUSTISIAL PADA MAHKAMAH AGUNG RI





KEADILAN BAGI KORBAN KEJAHATAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.     PENDAHULUAN
Dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, membuka kemungkinan dan kepastian bahwa akan terjadi interaksi diantara anggota masyarakat. Setiap orang pasti membutuhkan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan keterikatan antara satu orang dengan orang yang lain, tidak hanya terjadi di dunia yang nyata akan tetapi juga sudah merambah di dunia maya, misalkan di dalam transaksi yang menggunakan sarana informasi eletronik (online). Oleh karenanya, segala kebutuhan hidup setia manusia pada saat ini tidak hanya dipenuhi dari interaksi di dunia yang nyata akan tetapi juga dapat dipenuhi dari interaksi di dunia maya (online).
Keberadaan interaksi setiap anggota masyarakat, tentu saja bisa berakibat adanya gesekan-gesekan kepentingan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Gesekan kepentingan tersebut, kadang kala dapat diselesaikan secara damai melalui musyararah mufakat, akan tetapi kadang kala harus diselesaikan melalui jalur hukum. Banyak orang lebih memilih menyelesaikan perselisihan dengan orang lain melalui jalan damai yaitu dengan musyawarah, yang tentunya hasilnya bisa memuaskan setiap pihak yang bersengketa, namun ada pula yang lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui jalur hukum. Dalam hal terjadi gesekan kepentingan yang masuk dalam ranah hukum pidana, maka mau tidak mau harus diselesaikan melalui jalur hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan penjatuhan putusan berupa pemidanaan bagi pelaku tindak pidana.
B.    PERMASALAHAN
Dari seluruh proses penegakan hukum, utamanya dalam bidang penegakan hukum pidana, maka dapat diperoleh suatu permasalahan yaitu, Apakah pemidanaan dapat memberikan kepuasan dalam hal keadilan bagi korban ?

C.    PEMBAHASAN
Dari permasalahan tersebut di atas, kiranya akan dapat dibahas secara singkat dalam beberapa aspek, yaitu dilihat dari masalah pemidanaan, dari masalah keadilan dan dari aspek keadilan bagi korban, yang ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda akan tetapi akan saling berkaitan di dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
1.    PEMIDANAAN
Ketika terjadi suatu tindak pidana, maka secara otomatis organ negaara yang bertugas untuk menegakan hukum yang bertindak. Dimulai dari adanya Laporan Kepolisian atas terjadi suatu tindak pidana, kemudian dilakukan Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Persidangan dan Penjatuhan Putusan.
Suatu kebanggaan tentunya bagi bangsa Indonesia bahwa pada saat ini telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur pelaksanaan PRO JUSTITIA (penegakan hukum), sehingga terdapat keseragaman penanganan atas terjadinya suatu tindak pidana di Indonesia, selain untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) dari setiap orang meskipun orang tersebut adalah pelaku tindak pidana.
Landasan filosofis dari KUHAP adalah sebagaimana yang dapat dibaca pada huruf a Konsideran, tiada lain adalah Pancasila, terutama yang berhubungan erat dengan sila Ketuhanan dan Kemanusiaan. Yahya Harahap menyebutkan,[2] “Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun Tersangka / Terdakwa adalah :
·      Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan. Sama makhluk manusia yang tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata atas kehendak dan berkat rahmat Tuhan ;
·      Oleh karena semua manusia merupakan hasil ciptaan Tuhan dan tergantung kepada kehendak Tuhan, hal ini mengandung makna bahwa :
Ø Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia ;
Ø Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan ;
Ø Setiap manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali ;
Ø Fungsi dan tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan AMANAT Tuhan Yang Maha Esa.
Dari landasan filosofis tersebut, kiranya telah tersirat bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia mensyaratkan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik terhadap pelaku tindak pidana maupun terhadap korban kejahatan. Sehingga dengan demikian hal yang sama juga berlaku pada pemidanaan pelaku tindak pidana, yaitu pemidanaan juga harus memperhatikan kepentingan dan perlindungan atas hak asasi manusia baagi korban kejahatan tersebut.
2.    KEADILAN
Berbicara mengenai keadilan, maka akan terdapat banyak pendapat sarjana yang berbeda-beda dalam menafsirkan arti keadilan. Secara terjemahan bebas, keadilan dapat diartikan kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang.[3]
John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran."[4] Sedangkan Aristoteles mengemukakan bahwa ada 5 jenis perbuatan yang tergolong dengan adil. Lima jenis keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles ini adalah sebagai berikut :[5]
·       Keadilan Komutatif, yaitu suatu perlakuan kepada seseorang dengan tanpa melihat jasa-jasa yang telah diberikan.
·       Keadilan Distributif, yaitu suatu perlakuan terhadap seseorang yang sesuai dengan jasa-jasa yang telah diberikan.
·       Keadilan Kodrat Alam, yaitu memberi sesuatu sesuai dengan apa yang diberikan oleh orang lain kepada kita sendiri.
·       Keadilan Konvensional, yaitu suatu kondisi dimana jika seorang warga negara telah menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
·       Keadilan Perbaikan, yaitu jika seseorang telah berusaha memulihkan nama baik seseorang yang telah tercemar.
Pendapat lain tentang keadilan adalah sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana berikut, yaitu pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno yang mengatakan pendapatnya tentang pengertian keadilan adalah keadaan antarmanusia yang diperlakukan dengan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Pengertian keadilan menurut Notonegoro yang berpendapat bahwa keadilan adalah suatu keadaan dikatakan adil jika sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengertian keadilan menurut Thomas Hubbes yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah sesuatu perbuatan dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Pengertian keadilan menurut Plato yang menyatakan bahwa pengertian keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa dimana keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khususnya memikirkan hal itu. Pengertian keadilan menurut W.J.S Poerwadarminto yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah tidak berat sebelah, sepatutnya tidak sewenang-wenang. Pengertian keadilan menurut definisi Imam Al-Khasim adalah mengambil hak dari orang yang wajib memberikannya dan memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya.[6]
Arif Gostia mengatakan bahwa Keadilan adalah suatu kondisi di mana setiap orang dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat.[7]
3.    KEADILAN BAGI KORBAN
Harus selalu dipahami bahwa setiap orang akan selalu mengusung hak yang bernama Hak Asasi Manusia yang merupakan hak dasar yang dimiliki setiap manusia sejak dari lahir, bahkan sejak dalam kandungan dan akan terus dibawanya sampai seseorang menghembuskan napas terakhirnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan, HAM berlaku secara universal sedangkan Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1 dan Dalam kaitannya dengan itu, HAM adalah hak fundamental yang tak dapat dicabut yang mana karena ia adalah seorang manusia.[8]
Keberadaan Hak Asasi Manusia tersebut kiranya yang menjadikan dasar terbitnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang bertujuan untuk melindungi keselamatan diri dan kepentingan saksi maupun korban dari suatu tindak pidana. Pada pasal 1 angka 3 menyebutkan Korban  adalah  orang  yang  mengalami penderitaan  fisik,  mental,  dan/atau  kerugian ekonomi  yang  diakibatkan  oleh  suatu  tindak pidana. Ketentuan pasal tersebut dijabarkan pada penjelasan bahwa perlunya perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dikarenakan perlunya adanya perluasan subyek perlindungan dan perluasan pelayanan perlindungan terhadap Korban. Hal tersebut tidak lain untuk demi kepentingan saksi maupun korban dari suatu tindak pidana yang seringkali mengalami tekanan baik secara fisik maupun psikis.
Yang dimaksud dengan perlindungan adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, yaitu Perlindungan  adalah  segala  upaya  pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi  dan/atau  Korban  yang wajib  dilaksanakan  oleh  LPSK  atau  lembaga lainnya  sesuai  dengan  ketentuan  UndangUndang ini.
Dengan adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini diharapkan Implementasi atas perlindungan korban harusnya sudah dapat diraih oleh para korban kejahatan di Indonesia. Karena dengan UU baru tersebut, maka  kelemahan dalam UU N0 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban dapat memperbaiki.[9]
Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan mengenai hak dari saksi dan korban yaitu :
(1)   Saksi dan Korban berhak :
a.  memperoleh  perlindungan  atas  keamanan pribadi,  Keluarga,  dan  harta  bendanya, serta  bebas  dari  Ancaman  yang  berkenaan dengan  kesaksian  yang  akan,  sedang,  atau telah diberikannya ;
b.  ikut  serta  dalam  proses  memilih  dan menentukan  bentuk  perlindungan  dan dukungan keamanan ;
c.   memberikan keterangan tanpa tekanan ;
d.  mendapat penerjemah ;
e.  bebas dari pertanyaan yang menjerat ;
f.    mendapat  informasi  mengenai perkembangan kasus ;
g.  mendapat  informasi  mengenai  putusan pengadilan ;
h.  mendapat  informasi  dalam  hal  terpidana dibebaskan ;
i.    dirahasiakan identitasnya ;
j.    mendapat identitas baru ;
k.   mendapat tempat kediaman sementara ;
l.    mendapat tempat kediaman baru ;
m. memperoleh  penggantian  biaya  transportasi sesuai dengan kebutuhan ;
n.  mendapat nasihat hukum ;
o.  memperoleh  bantuan  biaya  hidup sementara  sampai  batas  waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
p.  mendapat pendampingan.
(2)   Hak  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) diberikan  kepada  Saksi  dan/atau  Korban tindak  pidana  dalam  kasus  tertentu  sesuai dengan Keputusan LPSK ;
(3)   Selain  kepada  Saksi  dan/atau  Korban,  hak yang  diberikan  dalam  kasus  tertentu sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2),  dapat diberikan  kepada  Saksi  Pelaku,  Pelapor,  dan ahli,  termasuk  pula  orang  yang  dapat memberikan  keterangan  yang  berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar  sendiri,  tidak  ia  lihat  sendiri,  dan  tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
Lebih lanjut pengaturan mengenai hak korban suatu tindak pidana adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 A dan Pasal 7 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, yang menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 7 A :
(1)   Korban  tindak  pidana  berhak  memperoleh Restitusi berupa :
a.  ganti  kerugian  atas  kehilangan  kekayaan atau penghasilan ;
b.  ganti  kerugian  yang  ditimbulkan  akibat  penderitaan  yang  berkaitan  langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c.   penggantian  biaya  perawatan  medis dan/atau psikologis.
(2)   Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK ;
(3)   Pengajuan  permohonan  Restitusi  dapat dilakukan  sebelum  atau  setelah  putusan pengadilan  yang  telah  memperoleh  kekuatan hukum tetap melalui LPSK ;
(4)   Dalam  hal  permohonan  Restitusi  diajukan sebelum  putusan  pengadilan  yang  telah memperoleh  kekuatan  hukum  tetap,  LPSK dapat  mengajukan  Restitusi  kepada  penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya ;
(5)   Dalam hal permohonan  Restitusi  diajukan setelah  putusan  pengadilan  yang  telah memperoleh  kekuatan  hukum  tetap,  LPSK dapat  mengajukan  Restitusi  kepada  pengadilan untuk mendapat penetapan ;
(6)   Dalam  hal  Korban  tindak  pidana  meninggal dunia,  Restitusi  diberikan  kepada  Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban.
Pasal 7B
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  tata  cara permohonan  dan  pemberian  Kompensasi  dan Restitusi  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  7 dan Pasal 7A diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang bertujuan untuk melindungi saksi dan/atau korban dari suatu tindak pidana, akan tetapi menarik pula dicermati pendapat dari Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM, Prof Dr. Harkristuti Harkrisnowo yang menyatakan belum adanya mekanisme yang jelas mengenai perlindungan saksi dan korban khususnya untuk kasus kejahatan yang terorganisir ini sebagai akibat belum adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas antar lembaga, apalagi selama ini kasus yang dihadapi lembaga perlindungan saksi dan korban di Indonesia merupakan kasus kejahatan kelas rendah seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).[10] Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dijabarkan lebih lanjut dalam pelaksanaannya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 sedangkan mengenai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sampai saat ini belum memiliki peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya.
Terhadap kejahatan-kejahatan yang bersifat masif dan terorganisir, seperti genosida maupun tindak pidana pencucian uang, masih jarang terjadi adanya peran aktif dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menjadi garda terdepan dari setiap perlindungan saksi maupun korban tindak pidana. Selama ini harus diakui bahwa LPSK baru akan bekerja setelah adanya surat permohonan dari saksi maupun korban tindak pidana, sehingga perlu adanya pengaturan yang mengatur lebih aktifnya LPSK di dalam pelaksanaan tugasnya melakukan perlindungan saksi dan korban.
4.    KENDALA PEMBERIAN HAK BAGI KORBAN
Seringkali terjadi bahwa seorang saksi juga akan menjadi korban dari suatu tindak pidana, sehingga ketika dilakukan proses penegakan hukum (pro justisia), korban akan dikonfrontir keterangannya dengan keterangan pelaku tindak pidana baik selaku tersangka maupun terdakwa. Hal ini terkadang membuat korban menjadi tidak nyaman di dalam memberikan keterangan mengingat korban juga akan mengalami tekanan secara psikis yaitu korban merasa tidak terjamin keamanannya ketika memberikan keterangan, disamping itu terdapat hak-hak korban yang dilanggar oleh pelaku tindak pidana sehingga korban merasa dirugikan baik secara materiil maupun immateriil.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 mengatur bahwa terhadap saksi dan/atau korban memiliki hak untuk mendapat perlindungan juga berhak mendapatkan ganti rugi baik berupa kompensasi maupun restitusi, akan tetapi terhadap restitusi, berdasarkan ketentuan Pasal 7 A ayat (3) yaitu pengajuan  permohonan  Restitusi  dapat dilakukan  sebelum  atau  setelah  putusan pengadilan  yang  telah  memperoleh  kekuatan hukum tetap melalui LPSK, maka harus ada permohonan dari korban kepada LPSK untuk mendapatkan restitusi.
Permohonan restitusi yang harus melalui LPSK tentunya menimbulkan keengganan bagi korban untuk menuntut haknya, sebab harus disadari bahwa tidak semua korban memiliki tingkat pendidikan yang cukup untuk memahami akan hak-haknya, juga dengan harus melalui LPSK, juga menjadi hambatan mengingat kedudukan LPSK berdasarkan Pasal 111 ayat (2) menyebutkan LPSK  berkedudukan  di  Ibu  Kota  Negara Republik Indonesia dan berdasarkan Pasal 11 ayat (3) menyebutkan LPSK  mempunyai  perwakilan  di  daerah  sesuai dengan keperluan, sehingga LPSK selama ini hanya menjangkau ibukota propinsi dan kota-kota besar di Indoensia dan belum sepenuhnya menjangkau seluruh wilayah di Indonesia. Perlu dipikirkan untuk di masa mendatang, bahwa LPSK perlu memilki Kantor Perwakilan di setiap Kabupaten dan Kota, sehingga dapat menjangkau dan melayani setiap permohonan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban.
Kendala lain yang ditemui adalah ketika saksi dan/atau korban yang meminta perlindungan adalah seorang ANAK, maka berdasarkan Pasal Pasal 29A ayat (1) menyebutkan Perlindungan  LPSK  terhadap  anak  yang menjadi  Saksi  dan/atau  Korban  dapat diberikan  setelah  mendapat  izin  dari  orang  tua atau wali, maka ketika seorang anak akan mendapatkan perlindungan dan orang tua dari anak tersebut tidak memberikan izin, mengingat bahwa ketika seorang anak mendapatkan perlindungan seringkali akan dipisahkan secara fisik dari orang tuannya, sehingga akan menimbulkan keenggaanan dari orang tua untuk memberikan perlindungan. Oleh karenanya ketika orng tua dari anak tersebut tidak memberikan persetujuannya maka LPSK tidak dapat memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi saksi dan/atau korban dari suatu tindak pidana.
Selain itu, meskipun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 ini telah memberikan definisi mengenai perlindungan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 8, akan tetapi Undang-Undang ini tidak memberikan penjelasan secara terperinci terhadap bagaimana bentuk dan cara pemberian perlindungan terhadap saksi dan/atau korban sehingga diperlukan penjelasan yang lebih terperinci sehingga saksi dan/atau korban tindak pidana merasa lebih terlindungi selama memberikan kesaksian atas perkara pidana yang menimpanya.
Selain itu, pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana tidak secara otomatis memberikan kepuasan, dalam hal keadilan kepada saksi dan/atau korban. Hal ini disebabkan sampai saat ini pemidanaan lebih menitikberatkan pada tegaknya suatu peraturan perundang-undangan dan kurang memberikan rasa keadilan kepada saksi dan/atau korban.
D.    KESIMPULAN
Dari uraian mengenai hak-hak yang bisa didapatkan oleh saksi dan/atau korban tindak pidana, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.      Saksi dan/atau korban tindak pidana harus terlindungi hak asasinya ;
2.      Saksi dan/atau korban tindak pidana yang mengalami kerugian baaik secara fisik maupun non fisik berhak atas penggantian baik berupa kompensasi maupun restitusi ;
3.      Pemidanaan harus lebih mengedepankan kepada rasa keadilan bagi saksi dan/atau korban ;
4.      Kedudukan LPSK sebaiknya juga ada di setiap Kabupaten atau Kota sehingga dapat lebih optimal dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana ;
5.      Sosialisasi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 perlu lebih ditingkatkan sehingga memberikan kesadaran bagi satiap warga negara akan hak-haknya ketika menjadi saksi dan/atau korban dari suatu tindak pidana.

E.     SUMBER BACAAN
1.  Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, Tahun 2000, h. 20 – 21 ;
2.  https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diunduh tanggal 29 September 2015 ;
3.  https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diunduh tanggal 29 September 2015 ;
6.  http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia, diunduh tanggal 25 Maret 2015 ;



[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, Tahun 2000, h. 20 – 21.
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diunduh tanggal 29 September 2015.
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diunduh tanggal 29 September 2015.
[7] Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, h. 17 ;
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia, diunduh tanggal 25 Maret 2015 ;                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...