qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
|
KEADILAN BAGI KORBAN KEJAHATAN
DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
HAKIM YUSTISIAL PADA MAHKAMAH AGUNG RI
|
KEADILAN BAGI KORBAN KEJAHATAN
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A.
PENDAHULUAN
Dalam
dinamika kehidupan bermasyarakat, membuka kemungkinan dan kepastian bahwa akan
terjadi interaksi diantara anggota masyarakat. Setiap orang pasti membutuhkan
orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan keterikatan antara
satu orang dengan orang yang lain, tidak hanya terjadi di dunia yang nyata akan
tetapi juga sudah merambah di dunia maya, misalkan di dalam transaksi yang
menggunakan sarana informasi eletronik (online). Oleh karenanya, segala
kebutuhan hidup setia manusia pada saat ini tidak hanya dipenuhi dari interaksi
di dunia yang nyata akan tetapi juga dapat dipenuhi dari interaksi di dunia
maya (online).
Keberadaan
interaksi setiap anggota masyarakat, tentu saja bisa berakibat adanya
gesekan-gesekan kepentingan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.
Gesekan kepentingan tersebut, kadang kala dapat diselesaikan secara damai
melalui musyararah mufakat, akan tetapi kadang kala harus diselesaikan melalui
jalur hukum. Banyak orang lebih memilih menyelesaikan perselisihan dengan orang
lain melalui jalan damai yaitu dengan musyawarah, yang tentunya hasilnya bisa
memuaskan setiap pihak yang bersengketa, namun ada pula yang lebih memilih
menyelesaikan sengketa melalui jalur hukum. Dalam hal terjadi gesekan
kepentingan yang masuk dalam ranah hukum pidana, maka mau tidak mau harus
diselesaikan melalui jalur hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, persidangan dan penjatuhan putusan berupa pemidanaan bagi pelaku
tindak pidana.
B.
PERMASALAHAN
Dari
seluruh proses penegakan hukum, utamanya dalam bidang penegakan hukum pidana,
maka dapat diperoleh suatu permasalahan yaitu, Apakah pemidanaan dapat
memberikan kepuasan dalam hal keadilan bagi korban ?
C.
PEMBAHASAN
Dari
permasalahan tersebut di atas, kiranya akan dapat dibahas secara singkat dalam
beberapa aspek, yaitu dilihat dari masalah pemidanaan, dari masalah keadilan
dan dari aspek keadilan bagi korban, yang ketiganya memiliki karakteristik yang
berbeda akan tetapi akan saling berkaitan di dalam proses penegakan hukum di
Indonesia.
1.
PEMIDANAAN
Ketika terjadi suatu tindak pidana, maka
secara otomatis organ negaara yang bertugas untuk menegakan hukum yang
bertindak. Dimulai dari adanya Laporan Kepolisian atas terjadi suatu tindak
pidana, kemudian dilakukan Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Persidangan
dan Penjatuhan Putusan.
Suatu kebanggaan tentunya bagi bangsa
Indonesia bahwa pada saat ini telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur
pelaksanaan PRO JUSTITIA (penegakan hukum), sehingga terdapat keseragaman
penanganan atas terjadinya suatu tindak pidana di Indonesia, selain untuk
melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) dari setiap orang meskipun orang tersebut
adalah pelaku tindak pidana.
Landasan filosofis dari KUHAP adalah
sebagaimana yang dapat dibaca pada huruf a Konsideran, tiada lain adalah
Pancasila, terutama yang berhubungan erat dengan sila Ketuhanan dan
Kemanusiaan. Yahya Harahap menyebutkan,[2] “Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat
penegak hukum maupun Tersangka / Terdakwa adalah :
· Sama-sama manusia yang dependen kepada
Tuhan. Sama makhluk manusia yang tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua
makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan yang kelahirannya di
permukaan bumi semata-mata atas kehendak dan berkat rahmat Tuhan ;
· Oleh karena semua manusia merupakan
hasil ciptaan Tuhan dan tergantung kepada kehendak Tuhan, hal ini mengandung
makna bahwa :
Ø Tidak ada perbedaan asasi di antara
sesama manusia ;
Ø Sama-sama mempunyai tugas sebagai
manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabatnya
sebagai manusia ciptaan Tuhan ;
Ø Setiap manusia mempunyai hak kemanusiaan
yang harus dilindungi tanpa kecuali ;
Ø Fungsi dan tugas apapun yang diemban
oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan AMANAT
Tuhan Yang Maha Esa.
Dari
landasan filosofis tersebut, kiranya telah tersirat bahwa Hukum Acara Pidana
Indonesia mensyaratkan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik
terhadap pelaku tindak pidana maupun terhadap korban kejahatan. Sehingga dengan
demikian hal yang sama juga berlaku pada pemidanaan pelaku tindak pidana, yaitu
pemidanaan juga harus memperhatikan kepentingan dan perlindungan atas hak asasi
manusia baagi korban kejahatan tersebut.
2.
KEADILAN
Berbicara mengenai keadilan, maka akan
terdapat banyak pendapat sarjana yang berbeda-beda dalam menafsirkan arti
keadilan. Secara terjemahan bebas, keadilan dapat diartikan kondisi kebenaran
ideal secara moral
mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang.[3]
John Rawls, filsuf
Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20,
menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari
institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran."[4] Sedangkan Aristoteles
mengemukakan bahwa ada 5 jenis perbuatan yang tergolong dengan adil. Lima jenis
keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles ini adalah sebagai berikut :[5]
·
Keadilan Komutatif, yaitu suatu
perlakuan kepada seseorang dengan tanpa melihat jasa-jasa yang telah diberikan.
·
Keadilan Distributif, yaitu suatu perlakuan terhadap seseorang yang sesuai dengan jasa-jasa yang telah
diberikan.
·
Keadilan Kodrat Alam, yaitu memberi sesuatu sesuai dengan apa yang diberikan oleh orang lain kepada
kita sendiri.
·
Keadilan Konvensional, yaitu suatu kondisi dimana jika seorang warga negara telah menaati segala
peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
·
Keadilan Perbaikan, yaitu jika
seseorang telah berusaha memulihkan nama baik seseorang yang telah tercemar.
Pendapat lain tentang keadilan adalah
sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana berikut, yaitu pengertian
keadilan menurut Frans Magnis Suseno
yang mengatakan pendapatnya tentang pengertian keadilan adalah keadaan
antarmanusia yang diperlakukan dengan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya
masing-masing. Pengertian keadilan menurut Notonegoro yang berpendapat bahwa keadilan adalah suatu keadaan
dikatakan adil jika sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengertian
keadilan menurut Thomas Hubbes
yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah sesuatu perbuatan dikatakan
adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Pengertian
keadilan menurut Plato yang
menyatakan bahwa pengertian keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa
dimana keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang
dibuat oleh para ahli yang khususnya memikirkan hal itu. Pengertian keadilan
menurut W.J.S Poerwadarminto
yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah tidak berat sebelah,
sepatutnya tidak sewenang-wenang. Pengertian keadilan menurut definisi Imam Al-Khasim adalah mengambil hak
dari orang yang wajib memberikannya dan memberikannya kepada orang yang berhak
menerimanya.[6]
Arif Gostia mengatakan bahwa Keadilan adalah suatu kondisi di mana setiap
orang dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara rasional, bertanggung
jawab dan bermanfaat.[7]
3.
KEADILAN
BAGI KORBAN
Harus
selalu dipahami bahwa setiap orang akan selalu mengusung hak yang bernama Hak
Asasi Manusia yang merupakan hak dasar yang dimiliki setiap manusia sejak dari
lahir, bahkan sejak dalam kandungan dan akan terus dibawanya sampai seseorang
menghembuskan napas terakhirnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa Hak asasi
Manusia adalah hak-hak yang
telah dipunyai seseorang sejak ia
dalam kandungan, HAM berlaku secara universal sedangkan Dasar-dasar HAM
tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik
Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
dan Dalam
kaitannya dengan itu, HAM adalah hak fundamental yang tak dapat dicabut yang
mana karena ia adalah seorang manusia.[8]
Keberadaan
Hak Asasi Manusia tersebut kiranya yang menjadikan dasar terbitnya
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang bertujuan untuk
melindungi keselamatan diri dan kepentingan saksi maupun korban dari suatu
tindak pidana. Pada pasal 1 angka 3 menyebutkan Korban adalah
orang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu
tindak pidana. Ketentuan pasal tersebut dijabarkan pada
penjelasan bahwa perlunya perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
dikarenakan perlunya adanya perluasan subyek perlindungan dan perluasan
pelayanan perlindungan terhadap Korban. Hal tersebut tidak lain untuk demi
kepentingan saksi maupun korban dari suatu tindak pidana yang seringkali
mengalami tekanan baik secara fisik maupun psikis.
Yang
dimaksud dengan perlindungan adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal
1 angka 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, yaitu Perlindungan adalah segala
upaya pemenuhan hak dan pemberian
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi
dan/atau Korban yang wajib
dilaksanakan oleh LPSK
atau lembaga lainnya sesuai
dengan ketentuan UndangUndang ini.
Dengan
adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini diharapkan Implementasi
atas perlindungan korban harusnya sudah dapat diraih oleh para korban kejahatan
di Indonesia. Karena dengan UU baru tersebut, maka kelemahan dalam UU N0
13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban dapat memperbaiki.[9]
Dalam pasal
5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan mengenai hak dari saksi dan
korban yaitu :
(1) Saksi
dan Korban berhak :
a. memperoleh perlindungan
atas keamanan pribadi, Keluarga,
dan harta bendanya, serta bebas
dari Ancaman yang
berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya ;
b. ikut serta
dalam proses memilih
dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan ;
c. memberikan
keterangan tanpa tekanan ;
d. mendapat
penerjemah ;
e. bebas
dari pertanyaan yang menjerat ;
f. mendapat informasi
mengenai perkembangan kasus ;
g. mendapat informasi
mengenai putusan pengadilan ;
h. mendapat informasi
dalam hal terpidana dibebaskan ;
i. dirahasiakan
identitasnya ;
j. mendapat
identitas baru ;
k. mendapat
tempat kediaman sementara ;
l. mendapat
tempat kediaman baru ;
m. memperoleh penggantian
biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan ;
n. mendapat
nasihat hukum ;
o. memperoleh bantuan
biaya hidup sementara sampai
batas waktu Perlindungan berakhir;
dan/atau
p. mendapat
pendampingan.
(2) Hak sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada Saksi
dan/atau Korban tindak pidana
dalam kasus tertentu
sesuai dengan Keputusan LPSK ;
(3) Selain kepada
Saksi dan/atau Korban,
hak yang diberikan dalam
kasus tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2),
dapat diberikan kepada Saksi
Pelaku, Pelapor, dan ahli,
termasuk pula orang
yang dapat memberikan keterangan
yang berhubungan dengan suatu
perkara pidana meskipun tidak ia dengar
sendiri, tidak ia
lihat sendiri, dan
tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan
dengan tindak pidana.
Lebih
lanjut pengaturan mengenai hak korban suatu tindak pidana adalah sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 7 A dan Pasal 7 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2014, yang menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 7 A :
(1) Korban tindak
pidana berhak memperoleh Restitusi berupa :
a. ganti kerugian
atas kehilangan kekayaan atau penghasilan ;
b. ganti kerugian
yang ditimbulkan akibat
penderitaan yang berkaitan
langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. penggantian biaya
perawatan medis dan/atau
psikologis.
(2) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
LPSK ;
(3) Pengajuan
permohonan Restitusi
dapat dilakukan sebelum atau
setelah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK ;
(4) Dalam hal
permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, LPSK dapat
mengajukan Restitusi kepada
penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya ;
(5) Dalam
hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, LPSK dapat
mengajukan Restitusi kepada
pengadilan untuk mendapat penetapan ;
(6) Dalam hal
Korban tindak pidana
meninggal dunia, Restitusi diberikan
kepada Keluarga Korban yang
merupakan ahli waris Korban.
Pasal 7B
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata
cara permohonan dan pemberian
Kompensasi dan Restitusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
7 dan Pasal 7A diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Meski
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang bertujuan untuk
melindungi saksi dan/atau korban dari suatu tindak pidana, akan tetapi menarik
pula dicermati pendapat dari Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum
dan HAM, Prof Dr. Harkristuti Harkrisnowo yang menyatakan belum adanya
mekanisme yang jelas mengenai perlindungan saksi dan korban khususnya untuk
kasus kejahatan yang terorganisir ini sebagai akibat belum adanya pembagian
tugas dan wewenang yang jelas antar lembaga, apalagi selama ini kasus yang
dihadapi lembaga perlindungan saksi dan korban di Indonesia merupakan kasus
kejahatan kelas rendah seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).[10] Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 dijabarkan lebih lanjut dalam pelaksanaannya di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 sedangkan mengenai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sampai saat ini belum memiliki
peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya.
Terhadap
kejahatan-kejahatan yang bersifat masif dan terorganisir, seperti genosida
maupun tindak pidana pencucian uang, masih jarang terjadi adanya peran aktif
dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menjadi garda terdepan
dari setiap perlindungan saksi maupun korban tindak pidana. Selama ini harus
diakui bahwa LPSK baru akan bekerja setelah adanya surat permohonan dari saksi
maupun korban tindak pidana, sehingga perlu adanya pengaturan yang mengatur
lebih aktifnya LPSK di dalam pelaksanaan tugasnya melakukan perlindungan saksi
dan korban.
4.
KENDALA
PEMBERIAN HAK BAGI KORBAN
Seringkali
terjadi bahwa seorang saksi juga akan menjadi korban dari suatu tindak pidana,
sehingga ketika dilakukan proses penegakan hukum (pro justisia), korban akan
dikonfrontir keterangannya dengan keterangan pelaku tindak pidana baik selaku
tersangka maupun terdakwa. Hal ini terkadang membuat korban menjadi tidak
nyaman di dalam memberikan keterangan mengingat korban juga akan mengalami
tekanan secara psikis yaitu korban merasa tidak terjamin keamanannya ketika
memberikan keterangan, disamping itu terdapat hak-hak korban yang dilanggar
oleh pelaku tindak pidana sehingga korban merasa dirugikan baik secara materiil
maupun immateriil.
Dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 mengatur bahwa terhadap saksi dan/atau korban
memiliki hak untuk mendapat perlindungan juga berhak mendapatkan ganti rugi
baik berupa kompensasi maupun restitusi, akan tetapi terhadap restitusi,
berdasarkan ketentuan Pasal 7 A ayat (3) yaitu pengajuan permohonan
Restitusi dapat dilakukan sebelum
atau setelah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK, maka harus
ada permohonan dari korban kepada LPSK untuk mendapatkan restitusi.
Permohonan
restitusi yang harus melalui LPSK tentunya menimbulkan keengganan bagi korban
untuk menuntut haknya, sebab harus disadari bahwa tidak semua korban memiliki
tingkat pendidikan yang cukup untuk memahami akan hak-haknya, juga dengan harus
melalui LPSK, juga menjadi hambatan mengingat kedudukan LPSK berdasarkan Pasal
111 ayat (2) menyebutkan LPSK berkedudukan
di Ibu Kota
Negara Republik Indonesia dan berdasarkan Pasal 11 ayat (3)
menyebutkan LPSK mempunyai
perwakilan di daerah
sesuai dengan keperluan, sehingga LPSK selama ini hanya menjangkau
ibukota propinsi dan kota-kota besar di Indoensia dan belum sepenuhnya
menjangkau seluruh wilayah di Indonesia. Perlu dipikirkan untuk di masa
mendatang, bahwa LPSK perlu memilki Kantor Perwakilan di setiap Kabupaten dan
Kota, sehingga dapat menjangkau dan melayani setiap permohonan perlindungan
terhadap saksi dan/atau korban.
Kendala
lain yang ditemui adalah ketika saksi dan/atau korban yang meminta perlindungan
adalah seorang ANAK, maka berdasarkan Pasal Pasal 29A ayat (1) menyebutkan Perlindungan
LPSK terhadap anak
yang menjadi Saksi dan/atau
Korban dapat diberikan setelah
mendapat izin dari
orang tua atau wali, maka
ketika seorang anak akan mendapatkan perlindungan dan orang tua dari anak
tersebut tidak memberikan izin, mengingat bahwa ketika seorang anak mendapatkan
perlindungan seringkali akan dipisahkan secara fisik dari orang tuannya,
sehingga akan menimbulkan keenggaanan dari orang tua untuk memberikan
perlindungan. Oleh karenanya ketika orng tua dari anak tersebut tidak
memberikan persetujuannya maka LPSK tidak dapat memberikan perlindungan
terhadap anak yang menjadi saksi dan/atau korban dari suatu tindak pidana.
Selain
itu, meskipun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 ini telah memberikan definisi
mengenai perlindungan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 angka 8, akan tetapi Undang-Undang ini tidak
memberikan penjelasan secara terperinci terhadap bagaimana bentuk dan cara
pemberian perlindungan terhadap saksi dan/atau korban sehingga diperlukan
penjelasan yang lebih terperinci sehingga saksi dan/atau korban tindak pidana
merasa lebih terlindungi selama memberikan kesaksian atas perkara pidana yang
menimpanya.
Selain
itu, pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana tidak secara otomatis memberikan kepuasan,
dalam hal keadilan kepada saksi dan/atau korban. Hal ini disebabkan sampai saat
ini pemidanaan lebih menitikberatkan pada tegaknya suatu peraturan perundang-undangan
dan kurang memberikan rasa keadilan kepada saksi dan/atau korban.
D.
KESIMPULAN
Dari
uraian mengenai hak-hak yang bisa didapatkan oleh saksi dan/atau korban tindak
pidana, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Saksi
dan/atau korban tindak pidana harus terlindungi hak asasinya ;
2. Saksi
dan/atau korban tindak pidana yang mengalami kerugian baaik secara fisik maupun
non fisik berhak atas penggantian baik berupa kompensasi maupun restitusi ;
3. Pemidanaan
harus lebih mengedepankan kepada rasa keadilan bagi saksi dan/atau korban ;
4. Kedudukan
LPSK sebaiknya juga ada di setiap Kabupaten atau Kota sehingga dapat lebih
optimal dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban tindak
pidana ;
5. Sosialisasi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 perlu lebih ditingkatkan sehingga memberikan
kesadaran bagi satiap warga negara akan hak-haknya ketika menjadi saksi
dan/atau korban dari suatu tindak pidana.
E.
SUMBER
BACAAN
1. Yahya
Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Penyidikan dan
Penuntutan), Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, Tahun 2000, h. 20 – 21 ;
4. http://www.habibullahurl.com/2015/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles.html,
diunduh tanggal 29 September 2015 ;
5. http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macam-keadilan.html, diunduh
tanggal 29 September 2015 ;
7. http://icjr.or.id/hak-para-korban-kejahatan-masih-menggantung/,
diunduh tanggal 06 Oktober 2015 ;
8. http://icjr.or.id/hak-para-korban-kejahatan-masih-menggantung/,
diunduh tanggal 06 Oktober 2015 ;
9. http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-belum-miliki-mekanisme-perlindungan-saksi-dan-korban-111085259/86761.html,
diunduh tanggal 06 Oktober 2015.
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH)
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] Yahya Harahap, PEMBAHASAN
PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta, Penerbit
Sinar Grafika, Tahun 2000, h. 20 – 21.
[5]
http://www.habibullahurl.com/2015/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles.html,
diunduh tanggal 29 September 2015 ;
[6] http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macam-keadilan.html, diunduh tanggal 29 September 2015.
[7] Agung Wahyono & Ny. Siti
Rahayu, Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
1993, h. 17 ;
[9]
http://icjr.or.id/hak-para-korban-kejahatan-masih-menggantung/,
diunduh tanggal 06 Oktober 2015 ;
[10]http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-belum-miliki-mekanisme-perlindungan-saksi-dan-korban-111085259/86761.html, diunduh tanggal 06 Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar