Kamis, 29 Oktober 2015

PEDOFILIA




qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm

HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU PEDOFILIA, SUATU TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS

DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

HAKIM YUSTISIAL PADA MAHKAMAH AGUNG RI





HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU PEDOFILIA, SUATU TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS

OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.     PENDAHULUAN
Setiap manusia pasti akan membutuhkan orang lain di dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menyebabkan manusia disebut sebagai MAKHLUK SOSIAL, yaitu selalu berhubungan dengan orang lain dan tidak akan bisa hidup tanpa adanya keberadaan orang lain. Interaksi secara sosial ini menjadikan hubungan antar individu dalam masyarakat menjadi suatu keharusan dan keterikatan seseorang dengan orang lain menjadikan suatu masyarakat mampu memenuhi kebutuhan setiap individu di dalamnya.
Interaksi sosial ini tidak hanya membawa dampak positif akan tetapi juga membawa dampak negatif. Hal ini karena sifat ketergantungan seseorang terhadap orang lain menjadikan orang tersebut menjadi percaya dn yakin bahwa orang lain yang ia percaya akan selalu membantu atau menolongnya untuk memenuhi hajat hidupnya dan seringkali orang tersebut akan lalai akan latar belakang orang yang ia percayai tersebut.
Nilai-nilai kepercayaan inilah yang seringkali menjadi pintu masuk bagi seseorang untuk berbuat jahat kepada orang lain hanya untuk keuntungan sesaat saja tanpa memikirkan timbulnya kerugian bagi orang lain, yang tidak hanya bersifat materiil yang dapat dinilai dengan secara ekonomis namun juga kerugian immateriil.
Salah satu tindak pidana yang sering terjadi di dalam interaksi sosial dalam masyarakat adalah PEDOFILIA, yang saat ini sedang menjadi pembicaraan setiap orang di setiap sudut kota. Berbagai kalangan memberikan pendapatnya mengenai perilaku PEDOFILIA dan juga hukuman yang pantas bagi pelaku pedofilia.

B.    PERMASALAHAN
Dari seluruh proses penegakan hukum, utamanya dalam bidang penegakan hukum pidana, maka dapat diperoleh suatu permasalahan yaitu :
1.  Apakah penyebab terjadinya perilaku PEDOFILIA ?
2.  Apakah hukuman yang pantas bagi pelaku PEDOFILIA ?
3.  Bagaimana membangun kesadaran masyarakat akan bahaya PEDOFILIA ?

C.    PEMBAHASAN
Dari permasalahan tersebut di atas, kiranya akan dapat dibahas secara singkat dalam beberapa aspek, yaitu dilihat dari masalah mengenai pengertian dan penyebab seseorang mempunyai perilaku sebagai seorang PEDOFILIA, juga mengenai penanganan dan hukuman yang pantas bagi pelaku PEDOFILIA dan mengenai perlindungan anak terhadap perilaku PEDOFILIA.
1.    PENGERTIAN PEDOFILIA dan PENYEBABNYA
Secara bahasa, kata pedofilia berasal dari bahasa Yunani: paidophilia (παιδοφιλια)—pais (παις, "anak-anak") dan philia (φιλια, "cinta yang bersahabat" atau "persahabatan", meskipun ini arti harfiah telah diubah terhadap daya tarik seksual di zaman modern, berdasarkan gelar "cinta anak" atau "kekasih anak," oleh pedofil yang menggunakan simbol dan kode untuk mengidentifikasi preferensi mereka.[2]
Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai pedofilia.[3] Atau bisa disebutkan bahwa PEDOFILIA adalah yaitu kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak di bawah umur dan orang dengan pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun,sedangkan anak-anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas) sehingga dikatakan pedofilia jika seseorang memiliki kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi maupun kelainan seks tersebut mengganggu si anak.[4] Meski demikian tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku pedofilia adalah anak-anak yang pernah menjadi korban pedofilia.
Secara internasional, menyebutkan Klasifikasi Penyakit Internasional mendefinisikan pedofilia sebagai "gangguan kepribadian dewasa dan perilaku" di mana ada pilihan seksual untuk anak-anak pada usia pubertas atau pada masa prapubertas awal.[5] Dalam The American Heritage Stedman's Medical Dictionary menyatakan, "Pedofilia adalah tindakan atau fantasi pada dari pihak orang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak atau anak-anak."[6]
Pedofilia adalah gangguan psikoseksual di mana orang dewasa memiliki keinginan untuk terlibat dalam tindakan seksual dengan anak dibawah umur yang sama atau lawan jenis. Tiga puluh persen dari anak-anak korban kejahatan pedofilia dilecehkan oleh anggota keluarga dan 60 persen oleh orang dewasa yang mereka kenal dan bukan anggota keluarga. Itu berarti hanya 10 persen anak-anak yang mengalami kejahatan seksual menjadi sasaran orang asing.[7]
Seringkali pelaku pedofilia adalah orang yang pernah menjadi korban pedofilia ketika pelaku masih berusia anak-anak, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak yang sekarang menjadi korban pedofilia, di kemudian hari bisa berubah menjadi pelaku pedofilia.
Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa perilaku pedofilia berkaitan erat dengan mental dan pengaruh lingkungan yang menyebabkan seseorang memiliki perilaku sebagai seorang pedofilia. Kenangan buruk di masa kanak-kanak, terutama dalam hal yang bersifat seksualitas, akan sangat berpengaruh kepada sikap mental dan perilaku dari pelaku seseorang di kemudian hari, yang semakin mendorong seseorang menjadi seorang pedofilia.
Kedua orangtua yang terlibat aktif dalam masyarakat industri, misalnya sebagai pekerja yang seringkali meninggalkan rumah, dapat berdampak pada melalaikan kewajiban mendidik anak, sehingga anak telantar. Ketidakmampuan orangtua melaksanakan kewajiban terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi. Misalnya anaknya banyak sementara penghasilan minim, sehingga perhatian terhadap anak tidak penuh.[8] Ketiadaan orang tua sebagai panutan di dalam kehidupan anak-anak, menjadikan anak-anak tersebut mencari pehatian di luar rumah, yang tentu saja sangat rawan mengingat sang anak akan berhadapan dengan berbagai macam perilaku yang mungkin saja perilaku tersebut tidak akan ditemui di lingkungan keluarganya.
Kehidupan dan perilaku di luar rumah yang banyak menyimpang tersebut, misalkan adalah merokok, minum minuman keras, perilaku sex bebas termasuk di dalamnya adalah penyimpangan perilaku seksual yaitu praktek hubungan sejenis dan perilaku pedofilia. Hal-hal tersebut yang seringkali luput dari perhatian dan pemahaman dari orang tua, bahwa apabila seorang anak tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari keluarganya, akan mencoba selalu mencari perhatian di luar lingkungan keluargnya.
Khusus terhadap perilaku pedofilia, seringkali diberitakan terjadi pada masyarakat golongan ekonomi bawah namun tidak menutup kemungkinan terjadi pula pada masyarakat yang perekonomiannya telah mapan, sebab fenomena perilaku pedofilia ini ditakutkan hanyalah sebagai puncak gunung es, yang hanya kita ketahui puncaknya, namun ternyata menyimpan begitu banyak fakta yang belum terungkap. Hal inilah yang kiranya perlu mendapatkan perhatian, bukan hanya dari setiap keluarga namun juga dari pemerintah sebagai stake holder dari pengambil kebijakan bagi perlindungan anak di Indonesia.terlebih pada saat ini, perilaku seorang anak juga dipengaruhi dari berbagai informasi dari media eletronik maupun media online yang seringkali menyebarkan berita yang tidak mendidik bagi perkembangan anak.  
Berbagai hal tersebut, kiranya dapat menjelaskan mengapa seseorang dapat berperilaku sebagai pedofilia, akan tetapi pengalaman buruk merupakan faktor utama yang menjadi penyebab seseorang berperilaku menyimpang sebagai seorang pedofilia, hal ini disebabkan timbulnya rasa sakit hati dan dendam dalam diri seorang anak yang secara terpaksa pernah mengalami penyimpangan seksual, sehingga muncul keinginan untuk melakukaan hal yang sama di kemudian hari ketika anak tersebut telah dewasa. Bagi seorang anak yang menjadi korban pedofilia, tentunya akan sangat sulit untuk melupakan kejadian yang menimpanya dan kenangan buruk tersebut akan terus membekas sepanjang hidupnya sehingga diperlukan peranan keluarga di dalam mencegah terjadi praktek pedofilia. Kasih sayang dari orang tua merupakan hal yang mutlak yang harus terpenuhi demi menjaga seorang anak sehingga terhindar menjadi korban pedofilia.

2.    HUKUMAN BAGI PEDOFILIA
Saat ini pemberitaan sedang diramaikan dengan berita mengenai pelaku pedofilia yang semakin merajalela, meskipun fenomena perilaku pedofilia di Indonesia telah ada sejak lama. Mungkin belum lepas dari ingatan kita mengenai perilaku ROBOT GEDEK di tahun 1990an yang begitu membuat kita terpana bahwa di Indonesia ternyata ada perilaku pedofilia, yang juga berujung kematian bagi korban-korbannya. Belum lagi perilaku-perilaku pedofilia lainnya yang terungkap hingga meja hijau pengadilan, yang semakin membuat miris hati setiap orang tua, yang semakin sadar bahwa bahaya pedofilia begitu mudah mengancam kehidupan setiap anak-anaknya.
Apabila hanya berdasarkan sifat amarah, tentunya setiap orang menginginkan pelaku pedofilia dikenakan hukuman seberat-beratnya, bahkan hukuman mati, bahkan saat ini muncul wacana untuk melakukan pengebirian terhadap pelaku pedofilia.  Penerapan hukuman ini juga ditegaskan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)  yang menyatakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, hukuman berupa suntik antiandrogen adalah ganjaran yang tepat bagi paedofil atau pelaku kekerasan seksual pada anak. Dengan suntikan antiandrogen, mata rantai kejahatan seksual diharapkan terputus. "Harus ada pemberatan hukum untuk memberi efek jera. Di samping hukuman penjara sampai hukuman mati, ada hukuman sosial. Dihukum kebiri suntik antiandrogen," kata Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh pada Kompas.com, Sabtu (10/5/2014).[9] 
Sebelum mengulas mengenai penerapan pengebirian terhadap pelaku pedofilia, perlu kiranya kita ketahui terlebih dahulu mengenai proses pengebirian. Kebiri (disebut juga pengebirian atau kastrasi) adalah tindakan bedah dan atau menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina dan pengebirian dapat dilakukan baik pada hewan ataupun manusia.[10]Pada masa purba, pengebirian juga melibatkan pemotongan seluruh alat kelamin pria, baik testis sekaligus penis namun praktik ini sangat berbahaya dan kerap mengakibatkan kematian akibat pendarahan hebat atau infeksi, sehingga dalam beberapa kebudayaan seperti Kekaisaran Byzantium, pengebirian disamakan dengan hukuman mati. Pengebirian ini dikenal juga sebagai pengebirian secara fisik, namun dalam perkembangannya yang dilakukan adalah pemotongan hanya testisnya saja mengurangi risiko kematian. Pembedahan untuk mengangkat kedua testis atau pengebirian secara kimia secara medis mungkin dilakukan sebagai prosedur pengobatan kanker prostat. Pengobatan dengan mengurangi atau menghilangkan asupan hormon testosteron -baik secara kimia ataupun bedah dilakukan untuk memperlambat perkembangan kanker. Hilangnya testis yang berarti hilangnya pula hormon testosteron mengurangi hasrat seksual, obsesi, dan perilaku seksual. [11]
Selain pengebirian secara fisik, dikenal pula pengebirian secara kimiawi, yaitu secara teknis, kebiri kimia dilakukan dengan memasukkan bahan kimia antiandrogen, baik melalui pil atau suntikan ke tubuh seseorang untuk memperlemah hormon testosteron. Secara sederhana, zat kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh itu akan mengurangi bahkan menghilangkan libido atau hasrat seksual.[12] Dan kebiri kimia sering dianggap sebagai alternatif bagi hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati, karena pelaku kejahatan seksual bisa dibebaskan dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan kesempatan bagi mereka untuk melakukan kejahatan yang sama. [13]
Di Indonesia, mengingat bahwa korban dari perilaku pedofilia adalah anak-anak, maka kiranya perlu kita cermati mengenai hak-hak anak sebagaimana tercantum dala pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang menyebutkan :
(1)   Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar ;
(2)    Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna ;
(3)    Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan ;
(4)    Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Dari ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, khususnya dalam ayat (4) maka telah jelas bahwa setiap anak harus mendapatkan perlindungan selama masa tumbuh kembangnya. Hal ini terutama menjadi kewajiban setiap orang tua untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anaknya yang dalam penjelasan pasal 2 ayat (4) disebutkan yang dimaksudkan dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup fisik dan sosial. Sehingga dengan demikian, peranan masyarakat di sekitar lingkungan anak-anak juga tidak bisa bersikap acuh tak acuh terhadap proses tumbuh kembang anak.
Keluarga, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, adalah Perlindungan  Anak  adalah  unit  terkecil  dalam masyarakat  yang  terdiri  atas  suami  istri,  atau suami  istri  dan  anaknya,  atau  ayah  dan  anaknya, atau  ibu  dan  anaknya,  atau  keluarga  sedarah dalam  garis  lurus  ke  atas  atau  ke  bawah  sampai dengan derajat ketiga. Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan terhadap anak adalah sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Kesejahteraan Anak, yaitu segala  kegiatan  untuk menjamin  dan  melindungi  Anak  dan  hak-haknya agar  dapat  hidup,  tumbuh,  berkembang,  dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,  serta  mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Meski telah ada Undang-Undang yang melindungi anak akan tetapi akan menjadi miris apabila kita cermati Data YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia), sebanyak 2,4 juta anak terserap sebagai pekerja di sektor formal dan informal dan jumlah tersebut saat ini tentu lebih banyak lagi karena salah satu alasan 
mereka bekerja adalah membantu perekonomian keluarga yang akibatnya, pendidikan dan masa depan anak terbengkalai. [14] oleh karena itu harus kita tegaskan lagi bahwa setiap anak wajib mendapatkan perlindungan dalam proses tumbuh kembangnya dan Negara haruslah menjadi pelopor di dalam pemberian perlindungan kepada anak, sehingga anak akan terhindar dari setiap perilaku menyimpang termasuk perilaku pedofilia sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan Negara,  Pemerintah,  Pemerintah  Daerah,  Masyarakat, Keluarga,  dan  Orang  Tua  atau  Wali  berkewajiban  dan bertanggung  jawab  terhadap  penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Bagi pelaku pedofilia, kiranya juga harus kita pahami bahwa meskipun sebagai tersangka ataupun terdakwa, namun apabila kita pahami landasan filosofis dari KUHAP adalah sebagaimana yang dapat dibaca pada huruf a Konsideran, tiada lain adalah Pancasila, terutama yang berhubungan erat dengan sila Ketuhanan dan Kemanusiaan. Yahya Harahap menyebutkan,[15] “Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun Tersangka / Terdakwa adalah :
·      Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan. Sama makhluk manusia yang tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata atas kehendak dan berkat rahmat Tuhan ;
·      Oleh karena semua manusia merupakan hasil ciptaan Tuhan dan tergantung kepada kehendak Tuhan, hal ini mengandung makna bahwa :
Ø Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia ;
Ø Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan ;
Ø Setiap manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali ;
Ø Fungsi dan tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan AMANAT Tuhan Yang Maha Esa.
Dari landasan filosofis tersebut, kiranya telah tersirat bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia mensyaratkan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik terhadap pelaku tindak pidana maupun terhadap korban kejahatan. Sehingga dengan demikian hal yang sama juga berlaku pada pemidanaan pelaku tindak pidana, yaitu pemidanaan juga harus memperhatikan kepentingan dan perlindungan atas hak asasi manusia bagi korban kejahatan tersebut.
Wacana pengebirian bagi pelaku pedofilia, harus kita telaah kembali segi positif maupun negatifnya, mengingat, khususnya bagi seorang Hakim, tidak boleh menjatuhkan pidana hanya berdasarkan emosi sesaat saja atau berdasarkan tuntutan masyarakat namun tuntutan tersebut hanyalah berdasarkan rasa ingin membalas dendam atas perilaku pedofilia tersebut. Lebih lanjut, pernah dilakukan sebuah penelitian ilmiah, namun tentunya perlu lebih ditelaah lebih lanjut, bahwa tindak pidana pedofilia dalam hukum Islam, dari segi unsur-unsur perbuatannya, tindak pidana ini sekilas memang masuk dalam kategori zina, tapi bentuk tindak pidana pedofilia lebih menekankan pada korban yang masih anak-anak, sehingga apabila melihat dari sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku zina, maka sanksi bagi pelaku tidak pidana pedofilia haruslah lebih berat karena melihat pada aspek bahaya yang ditimbulkannya juga lebih besar, sedangkan dalam hukum positif Indonesia, sanksi penjatuhan pidana bagi pelaku pedofilia memang tidak diatur secara khusus, akan tetapi, dalam penjatuhan pidananya, sanksi tersebut merujuk pada penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan seksual, seperti pelecehan seksual atau pun pencabulan, yang terdapat KUHP maupun peraturan lainnya.[16]
Oleh karenanya, sebelum wacana pengebirian ditindaklanjuti lebih lanjut, perlu kiranya kita mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1.  Meskipun perilaku pedofilia merupakan perilaku yang melanggar hak asasi manusia dari korbannya akan tetapi pengebirian pada hakekatnya juga melanggar hak asasi dari pelakunya, utamanya hak untuk mendapatkan keturunan, karena dalam beberapa kasus, pelaku pedofilia adalah orang yang memiliki keluarga dalam arti memilki istri dan anak. Jika kita melihat praktek kebiri secara kimia di India, maka para aktivis hak asasi manusia menentang praktek kebiri kimia paksa, dan menyebut itu sebagai sebuah tindakan melawan kebebasan dan kemanusiaan.[17] Sehingga apabila praktek pengebirian, baik secara fosok maupun kimiawi dilakukan di Indonesia, bukan tidak mungkin akan menimbulkan pro dan kontra khususnya di kalngan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia ;
2.  Pelaku pedofilia adalah wanita, yang juga masih mengharapkan mendapatkan keturunan ;
3.  Pelaku pedofilia adalah anak-anak, maka pengebirian terhadap pelaku pedofilia tidak serta merta dapat dilakukan, mengingat terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tidak dapat diterapkan pidana orang dewasa ;
Wacana penjatuhan hukuman berupa pengebirian terhadap pelaku pedofilia harus melalui pertimbangan yang matang bahwa hukuman tersebut tidak menghapuskan hak dari pelaku untuk mendapatkan kehidupan yang normal. Hal ini mengingat bahwa sebenarnya perilaku pedofilia lebih pada rusaknya kesehatan mental dari pelaku yang menganggap perilaku pedofilia dalah perilaku yang wajar.
Pendekatan secara keagamaan dan secara personal kiranya lebih ampuh untuk menyembuhkan penyakit moral dari pelaku pedofilia. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan terapi-terapi secara keagamaan dengan melakukan “cuci otak” bahwa perilaku pedofilia adalah perilaku yang dilarang oleh agama dan perilaku pedofilia dapat disembuhkan dengan terapi secara terus-menerus, sehingga dapat memberikan kesadaran bagi pelaku pedofilia akan segala kesalahannya.
Ancaman hukuman sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebenarnya sudah sangat berat apabila diterapkan hukuman maksimal, yaitu sebagaimana tercantum dalam :
a)     Pasal 81
(1)   Setiap  orang  yang  melangggar  ketentuan sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  76D dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  5 (lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas) tahun  dan  denda  paling  banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)   Ketentuan  pidana  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  berlaku  pula  bagi  Setiap  Orang  yang dengan  sengaja  melakukan  tipu  muslihat, serangkaian  kebohongan,  atau  membujuk  Anak melakukan  persetubuhan  dengannya  atau dengan orang lain.
(3)   Dalam  hal  tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud pada  ayat  (1)  dilakukan  oleh  Orang  Tua,  Wali, pengasuh  Anak,  pendidik,  atau  tenaga kependidikan,  maka  pidananya  ditambah  1/3 (sepertiga)  dari  ancaman  pidana  sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
b)     Pasal 82
(1)   Setiap  orang  yang  melanggar  ketentuan sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  76E dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  5 (lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas) tahun  dan  denda  paling  banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)   Dalam  hal  tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud pada  ayat  (1)  dilakukan  oleh  Orang  Tua,  Wali, pengasuh  Anak,  pendidik,  atau  tenaga kependidikan,  maka  pidananya  ditambah  1/3 (sepertiga)  dari  ancaman  pidana  sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai ancaman terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 76 D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan : Setiap  Orang  dilarang  melakukan  Kekerasan  atau ancaman  Kekerasan  memaksa  Anak  melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Sedangkan pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai ancaman terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 76 E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan : Setiap  Orang  dilarang  melakukan  Kekerasan  atau ancaman  Kekerasan,  memaksa,  melakukan  tipu muslihat,  melakukan  serangkaian  kebohongan,  atau membujuk  Anak  untuk  melakukan  atau  membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga telah diatur mengenai pidana terhadap pelaku pedofilia, yang meskipun sejak adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pasal-pasal di dalam KUHP tidak diterapkan lagi.
Akan tetapi sebagaimana telah penulis sebutkan di atas bahwasanya perilaku pedofilia tidak semata-mata merupakan perilaku kriminal semata, akan tetapi juga merupakan gangguan psikologis atau mental dari pelakunya yang masih bisa disembuhkan, maka terhadap pelaku pedofilia dijatuhi pidana maksimal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pelaku pedofilia harus dijatuhi pidana tambahan berupa REHABILITASI MENTAL dalam jangka waktu tertentu. Hal ini kiranya sejalan dengan pemikiran psikolog seksual Zoya Amirin, yang menyatakan hukuman kebiri menurutnya tidak menyelesaikan masalah. Seharusnya masalah mental pada pelaku pedofil selain dipenjara juga ditangani dengan rehabilitasi. "Meski dikebiri mentalnya kan masih kacau, ia tetap memiliki gangguan mental. Masalah mental disembuhkan dengan rehabilitasi mental. Kalau dikebiri, masalah mental disembuhkan dengan medis kan tidak tepat," tutur Zoya saat berbincang dengan Health-Liputan6.com pada Selasa (27/10/2015). Rehabilitasi mental memang tak menyembuhkan hasrat seksualnya namun mampu mengontrol ketika hasrat tersebut datang.[18] Jangan sampai wacana pengebirian terhadap pelaku tindak pidana hanya didasarkan pada alasan membalas dendam dan karena emosi sesaat saja tanpa dipertimbangkan efek jangka panjang, termasuk juga harus dipikirkan pula hak bagi korban pedofilia yang dapat menjaga korban pedofilia tidak menjadi pelaku pedofilia di kemudian hari.
Dengan demikian wacana melakukan pengebirian terhadap pelaku pedofilia hendaknya dipertimbangkan kembali dalam arti bahwa perlu adanya suatu penelitian yang mendalam terhadap efektivitas dari tindakan pengebirian terhadap pelaku pedofilia. Perlu dilakukan survey-survey untuk mengetahui lebih mendalam penyebab seseorang menjadi pelaku pedofilia. Dalam pandangan penulis, penyebab seseorang bisa menjadi pelaku pedofilia adalah selain karena sakitnya mental dari sang pelaku tersebut akibat trauma pengalaman buruk ketika masih kanak-kanak menjadi korban pedofilia, namun juga bisa dikarenakan makin gencarnya informasi melalui media elektronik maupun media sosial mengenai perilaku seksual yaang menyimpang yang terjadi di seluruh dunia. Peranan media massa baik media elektronik maupun media online, sangat memberi peran bagi seseorang untuk melakukan perilaku seksual menyimpang.
Dalam hal ini diperlukan ketegasan dari pemerintah sebagai regulator dari adanya berita-berita dari media massa baik mediaa elektronik maupun media online, untuk setidaknya mempersempit ruang beredarnya berita-berita yang sifatnya negatif. Akan tetapi harus diakui pula bahwa sangat sulit untuk membendung beredarnya berita, utamanya melalui media online, penulis teringat seorang nara sumber dalam sebuah seminar tentang informasi elektronik yang diadakan di Semarang beberapa tahun yang lalu yang mengatakan bahwa ketika sebuah situs web akan diblokir, maka karena kecanggihan tekhnologi informasi, maka web yang diblokir tersebut akan memecahkan diri menjadi beberapa nama situs web baru dan ketika diblokir lagi, maka akan memecahkan diri lagi, demikian seterusnya. Sehingga dari pihak pemerintah, diperlukan penggunaan tekhnogi informasi yang lebih canggih lagi dalam rangka menyaring informasi-informasi yang bersifat negatif dari media online.

3.    MEMBANGUN KESADARAN MASYARAKAT AKAN BAHAYA  PEDOFILIA
Meskipun terlambat, namun tidak ada salahnya bagi masyarakat khususnya bagi setiap orang tua untuk memahami perilaku pedofilia yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam setiap kesempatan. Waspada orang tua dari pedofilia tentunya harus selalu dilakukan, karena yang kita tahu bahwa saat ini di Indonesia sedang marak terjadi kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak. Ketika kebanyakan orang membayangkan fisik penganiaya anak seperti monster atau berwajah bengis, itu merupakan kesalahpahaman yang telah mengakar pada kebanyakan orang. Penganiaya anak berasal dari semua lapisan masyarakat dan dari semua kelompok sosial ekonomi. Mereka bisa menjadi laki-laki atau perempuan, dari kalangan, agama, dan ras apapun.[19]
Seringkali keberaradaan seorang anak dalam keluarga sering diabaikan, atau bahkan anak sering menjadi obyek kekerasaan di dalam keluarga. Seorang dosen Fakulta Hukum Unversitas Jember mengatakan bahwa fenomena kekerasan keluarga (family violence) sering menggayuti kehidupan anak kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras, terutama pada era industrialisasi, akan banyak orang mengalami stres dan depresi yang dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak.[20] Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat 2 (dua) upaya untuk melakukan upaya perlindungan terhadap anak dari kekerasan keluarga, adalah: [21]
1)        Harus ada perhatian penuh dari keluarga terdekat lainnya 
terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orangtuanya, dan kekuasaan orangtua atas anaknya dicabut. Pencabutan kekuasaan orangtua terhadap anaknya dapat dilakukan berdasarkan permintaan orangtua lainnya atau keluarga terdekat
;
2)        Diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak yang menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial agar anak dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Disamping itu, perlu ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi kesejahteraan anak terhadap nasib anak malang yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga. 
Kehangatan dari orang tua sangat penting dalam proses tumbuh kembang seorang anak. Kehadiran kedua orang tua akan memberikan rasa aman, nyaman dan tenang bagi anak-anak dalam keluarga tersebut, termasuk dalam menjadi benteng pengaman bagi anak dari pengaruh lingkungan yang bersifat negatif.
Kiranya, pelukan hangat dari orang tua mampu menjadi wujud kasih sayang orang tua kepada anak dan sebagai orang tua, sempatkanlah waktu walau hanya sejenak untuk bermain bersama anak sehingga anak merasa disayang dan dilindungi oleh orang tuanya.

D.    KESIMPULAN
Dari uraian mengenai hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pedofila adalah perilaku seksual yang menyimpang yang harus diwaspadai ;
2.      Seorang anak yang pernah menjadi korban pedofilia berpotensi menjadi pelaku pedofilia ketika anak tersebut dewasa ;
3.      Peranan orang tua sangat vital dalam rangka melindungi anak dari jangkauan kejahatan pedofilia ;
4.      Negara harus menjadi lokomotif di dalam perannya melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya melindungi anak-anak dari jangkauan kejahatan pedofilia.

E.     SUMBER BACAAN
1.  Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, Tahun 2000, h. 20 – 21 ;
2.  http://dbpedia.cs.ui.ac.id/page/Pedofilia, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
3.  http://id.scribd.com/doc/94107015/Definisi-Pedofilia#scribd, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
5.  http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/11/07/0065.html, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
7.  https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiri, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
8.  https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiri, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
10.  http://digilib.uin-suka.ac.id/6709/, diunduh tanggal 28 Oktober 2015 ;




[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] http://dbpedia.cs.ui.ac.id/page/Pedofilia, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;

[3] http://dbpedia.cs.ui.ac.id/page/Pedofilia, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;

[5] http://dbpedia.cs.ui.ac.id/page/Pedofilia, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
[6] http://dbpedia.cs.ui.ac.id/page/Pedofilia, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;

[10] https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiri, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
[11] https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiri, diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;

[15] Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, Tahun 2000, h. 20 – 21.
[16] http://digilib.uin-suka.ac.id/6709/, diunduh tanggal 28 Oktober 2015 ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...