qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
|
HUKUMAN
KEBIRI BAGI PELAKU PEDOFILIA, SUATU TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS
DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
HAKIM YUSTISIAL PADA MAHKAMAH AGUNG RI
|
HUKUMAN KEBIRI BAGI PELAKU PEDOFILIA, SUATU TINJAUAN
YURIDIS SOSIOLOGIS
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A.
PENDAHULUAN
Setiap
manusia pasti akan membutuhkan orang lain di dalam upaya memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hal ini menyebabkan manusia disebut sebagai MAKHLUK SOSIAL, yaitu
selalu berhubungan dengan orang lain dan tidak akan bisa hidup tanpa adanya
keberadaan orang lain. Interaksi secara sosial ini menjadikan hubungan antar
individu dalam masyarakat menjadi suatu keharusan dan keterikatan seseorang
dengan orang lain menjadikan suatu masyarakat mampu memenuhi kebutuhan setiap
individu di dalamnya.
Interaksi
sosial ini tidak hanya membawa dampak positif akan tetapi juga membawa dampak
negatif. Hal ini karena sifat ketergantungan seseorang terhadap orang lain
menjadikan orang tersebut menjadi percaya dn yakin bahwa orang lain yang ia
percaya akan selalu membantu atau menolongnya untuk memenuhi hajat hidupnya dan
seringkali orang tersebut akan lalai akan latar belakang orang yang ia percayai
tersebut.
Nilai-nilai
kepercayaan inilah yang seringkali menjadi pintu masuk bagi seseorang untuk berbuat
jahat kepada orang lain hanya untuk keuntungan sesaat saja tanpa memikirkan
timbulnya kerugian bagi orang lain, yang tidak hanya bersifat materiil yang
dapat dinilai dengan secara ekonomis namun juga kerugian immateriil.
Salah
satu tindak pidana yang sering terjadi di dalam interaksi sosial dalam
masyarakat adalah PEDOFILIA, yang saat ini sedang menjadi pembicaraan setiap
orang di setiap sudut kota. Berbagai kalangan memberikan pendapatnya mengenai
perilaku PEDOFILIA dan juga hukuman yang pantas bagi pelaku pedofilia.
B.
PERMASALAHAN
Dari
seluruh proses penegakan hukum, utamanya dalam bidang penegakan hukum pidana,
maka dapat diperoleh suatu permasalahan yaitu :
1. Apakah
penyebab terjadinya perilaku PEDOFILIA ?
2. Apakah
hukuman yang pantas bagi pelaku PEDOFILIA ?
3. Bagaimana
membangun kesadaran masyarakat akan bahaya PEDOFILIA ?
C.
PEMBAHASAN
Dari
permasalahan tersebut di atas, kiranya akan dapat dibahas secara singkat dalam
beberapa aspek, yaitu dilihat dari masalah mengenai pengertian dan penyebab
seseorang mempunyai perilaku sebagai seorang PEDOFILIA, juga mengenai
penanganan dan hukuman yang pantas bagi pelaku PEDOFILIA dan mengenai
perlindungan anak terhadap perilaku PEDOFILIA.
1.
PENGERTIAN
PEDOFILIA dan PENYEBABNYA
Secara
bahasa, kata pedofilia berasal dari bahasa Yunani:
paidophilia (παιδοφιλια)—pais (παις, "anak-anak") dan philia (φιλια,
"cinta yang bersahabat" atau "persahabatan", meskipun ini
arti harfiah telah diubah terhadap daya tarik seksual di zaman modern,
berdasarkan gelar "cinta anak" atau "kekasih anak," oleh
pedofil yang menggunakan simbol dan kode untuk mengidentifikasi preferensi
mereka.[2]
Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan
kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan
usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual
primer atau eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih
muda, walaupun pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih
muda dalam kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan
sebagai pedofilia.[3] Atau bisa disebutkan bahwa PEDOFILIA
adalah yaitu kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang
melibatkan anak di bawah umur dan orang dengan pedofilia umurnya harus di atas
16 tahun,sedangkan anak-anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih
muda (anak pre-pubertas) sehingga dikatakan pedofilia jika seseorang memiliki
kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi maupun kelainan seks
tersebut mengganggu si anak.[4]
Meski demikian tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku pedofilia adalah
anak-anak yang pernah menjadi korban pedofilia.
Secara
internasional, menyebutkan Klasifikasi Penyakit
Internasional mendefinisikan pedofilia sebagai "gangguan kepribadian
dewasa dan perilaku" di mana ada pilihan seksual untuk anak-anak pada usia
pubertas atau pada masa prapubertas awal.[5] Dalam The American Heritage Stedman's Medical
Dictionary menyatakan, "Pedofilia adalah tindakan atau fantasi pada dari
pihak orang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak atau
anak-anak."[6]
Pedofilia
adalah gangguan psikoseksual di mana orang dewasa memiliki keinginan untuk
terlibat dalam tindakan seksual dengan anak dibawah umur yang sama atau lawan
jenis. Tiga puluh persen dari anak-anak korban kejahatan pedofilia dilecehkan
oleh anggota keluarga dan 60 persen oleh orang dewasa yang mereka kenal
dan bukan anggota keluarga. Itu berarti hanya 10 persen anak-anak yang mengalami
kejahatan seksual menjadi sasaran orang asing.[7]
Seringkali
pelaku pedofilia adalah orang yang pernah menjadi korban pedofilia ketika
pelaku masih berusia anak-anak, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa
anak-anak yang sekarang menjadi korban pedofilia, di kemudian hari bisa berubah
menjadi pelaku pedofilia.
Oleh
karena itu maka dapat dikatakan bahwa perilaku pedofilia berkaitan erat dengan
mental dan pengaruh lingkungan yang menyebabkan seseorang memiliki perilaku
sebagai seorang pedofilia. Kenangan buruk di masa kanak-kanak, terutama dalam
hal yang bersifat seksualitas, akan sangat berpengaruh kepada sikap mental dan
perilaku dari pelaku seseorang di kemudian hari, yang semakin mendorong
seseorang menjadi seorang pedofilia.
Kedua orangtua yang terlibat aktif dalam masyarakat industri,
misalnya sebagai pekerja yang
seringkali meninggalkan rumah, dapat berdampak pada melalaikan kewajiban mendidik
anak, sehingga anak telantar. Ketidakmampuan
orangtua melaksanakan kewajiban terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi.
Misalnya anaknya banyak sementara penghasilan
minim, sehingga perhatian terhadap anak tidak penuh.[8] Ketiadaan orang tua sebagai panutan di dalam
kehidupan anak-anak, menjadikan anak-anak tersebut mencari pehatian di luar
rumah, yang tentu saja sangat rawan mengingat sang anak akan berhadapan dengan
berbagai macam perilaku yang mungkin saja perilaku tersebut tidak akan ditemui
di lingkungan keluarganya.
Kehidupan dan perilaku di luar
rumah yang banyak menyimpang tersebut, misalkan adalah merokok, minum minuman
keras, perilaku sex bebas termasuk di dalamnya adalah penyimpangan perilaku
seksual yaitu praktek hubungan sejenis dan perilaku pedofilia. Hal-hal tersebut
yang seringkali luput dari perhatian dan pemahaman dari orang tua, bahwa
apabila seorang anak tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari keluarganya,
akan mencoba selalu mencari perhatian di luar lingkungan keluargnya.
Khusus terhadap perilaku
pedofilia, seringkali diberitakan terjadi pada masyarakat golongan ekonomi
bawah namun tidak menutup kemungkinan terjadi pula pada masyarakat yang
perekonomiannya telah mapan, sebab fenomena perilaku pedofilia ini ditakutkan
hanyalah sebagai puncak gunung es, yang hanya kita ketahui puncaknya, namun
ternyata menyimpan begitu banyak fakta yang belum terungkap. Hal inilah yang
kiranya perlu mendapatkan perhatian, bukan hanya dari setiap keluarga namun
juga dari pemerintah sebagai stake holder dari pengambil kebijakan bagi
perlindungan anak di Indonesia.terlebih pada saat ini, perilaku seorang anak
juga dipengaruhi dari berbagai informasi dari media eletronik maupun media
online yang seringkali menyebarkan berita yang tidak mendidik bagi perkembangan
anak.
Berbagai hal tersebut, kiranya
dapat menjelaskan mengapa seseorang dapat berperilaku sebagai pedofilia, akan
tetapi pengalaman buruk merupakan faktor utama yang menjadi penyebab seseorang
berperilaku menyimpang sebagai seorang pedofilia, hal ini disebabkan timbulnya
rasa sakit hati dan dendam dalam diri seorang anak yang secara terpaksa pernah
mengalami penyimpangan seksual, sehingga muncul keinginan untuk melakukaan hal
yang sama di kemudian hari ketika anak tersebut telah dewasa. Bagi seorang anak
yang menjadi korban pedofilia, tentunya akan sangat sulit untuk melupakan
kejadian yang menimpanya dan kenangan buruk tersebut akan terus membekas
sepanjang hidupnya sehingga diperlukan peranan keluarga di dalam mencegah
terjadi praktek pedofilia. Kasih sayang dari orang tua merupakan hal yang
mutlak yang harus terpenuhi demi menjaga seorang anak sehingga terhindar
menjadi korban pedofilia.
2.
HUKUMAN
BAGI PEDOFILIA
Saat
ini pemberitaan sedang diramaikan dengan berita mengenai pelaku pedofilia yang
semakin merajalela, meskipun fenomena perilaku pedofilia di Indonesia telah ada
sejak lama. Mungkin belum lepas dari ingatan kita mengenai perilaku ROBOT GEDEK
di tahun 1990an yang begitu membuat kita terpana bahwa di Indonesia ternyata
ada perilaku pedofilia, yang juga berujung kematian bagi korban-korbannya.
Belum lagi perilaku-perilaku pedofilia lainnya yang terungkap hingga meja hijau
pengadilan, yang semakin membuat miris hati setiap orang tua, yang semakin
sadar bahwa bahaya pedofilia begitu mudah mengancam kehidupan setiap
anak-anaknya.
Apabila
hanya berdasarkan sifat amarah, tentunya setiap orang menginginkan pelaku
pedofilia dikenakan hukuman seberat-beratnya, bahkan hukuman mati, bahkan saat
ini muncul wacana untuk melakukan pengebirian terhadap pelaku pedofilia. Penerapan hukuman ini juga ditegaskan oleh
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
yang menyatakan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) menilai, hukuman berupa suntik antiandrogen adalah ganjaran
yang tepat bagi paedofil atau pelaku kekerasan seksual pada anak. Dengan
suntikan antiandrogen, mata rantai kejahatan seksual diharapkan terputus. "Harus
ada pemberatan hukum untuk memberi efek jera. Di samping hukuman penjara sampai
hukuman mati, ada hukuman sosial. Dihukum kebiri suntik antiandrogen,"
kata Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh pada Kompas.com, Sabtu (10/5/2014).[9]
Sebelum mengulas mengenai penerapan
pengebirian terhadap pelaku pedofilia, perlu kiranya kita ketahui terlebih
dahulu mengenai proses pengebirian. Kebiri (disebut juga pengebirian atau kastrasi) adalah tindakan bedah dan atau menggunakan
bahan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina dan pengebirian dapat dilakukan baik pada hewan ataupun manusia.[10]Pada
masa purba, pengebirian juga melibatkan pemotongan seluruh alat kelamin pria, baik testis sekaligus penis
namun praktik ini sangat berbahaya dan kerap mengakibatkan kematian akibat pendarahan hebat atau infeksi,
sehingga dalam beberapa kebudayaan seperti Kekaisaran Byzantium, pengebirian
disamakan dengan hukuman mati. Pengebirian ini dikenal juga sebagai pengebirian
secara fisik, namun dalam perkembangannya yang dilakukan adalah pemotongan
hanya testisnya saja mengurangi risiko kematian. Pembedahan untuk mengangkat
kedua testis atau pengebirian secara kimia secara medis mungkin dilakukan
sebagai prosedur pengobatan kanker prostat.
Pengobatan dengan mengurangi atau menghilangkan asupan hormon testosteron -baik secara kimia
ataupun bedah dilakukan untuk memperlambat perkembangan kanker. Hilangnya
testis yang berarti hilangnya pula hormon testosteron mengurangi hasrat
seksual, obsesi, dan perilaku seksual. [11]
Selain
pengebirian secara fisik, dikenal pula pengebirian secara kimiawi, yaitu secara
teknis, kebiri kimia dilakukan dengan memasukkan bahan kimia antiandrogen, baik melalui pil
atau suntikan ke tubuh seseorang untuk memperlemah hormon testosteron. Secara sederhana,
zat kimia yang dimasukkan ke dalam tubuh itu akan mengurangi bahkan
menghilangkan libido atau hasrat seksual.[12] Dan kebiri kimia sering dianggap sebagai alternatif bagi
hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati, karena pelaku kejahatan seksual
bisa dibebaskan dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan kesempatan bagi
mereka untuk melakukan kejahatan yang sama. [13]
Di
Indonesia, mengingat bahwa korban dari perilaku pedofilia adalah anak-anak,
maka kiranya perlu kita cermati mengenai hak-hak anak sebagaimana tercantum
dala pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang
menyebutkan :
(1) Anak
berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih
sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar ;
(2) Anak
berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya,
sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang
baik dan berguna ;
(3)
Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan ;
(4)
Anak berhak atas perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar.
Dari
ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
khususnya dalam ayat (4) maka telah jelas bahwa setiap anak harus mendapatkan
perlindungan selama masa tumbuh kembangnya. Hal ini terutama menjadi kewajiban
setiap orang tua untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anaknya yang dalam
penjelasan pasal 2 ayat (4) disebutkan yang
dimaksudkan dengan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup fisik dan sosial.
Sehingga dengan demikian, peranan masyarakat di sekitar lingkungan anak-anak
juga tidak bisa bersikap acuh tak acuh terhadap proses tumbuh kembang anak.
Keluarga,
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak, adalah Perlindungan
Anak adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri
atas suami istri,
atau suami istri dan
anaknya, atau ayah
dan anaknya, atau ibu
dan anaknya, atau
keluarga sedarah dalam garis
lurus ke atas
atau ke bawah
sampai dengan derajat ketiga. Sedangkan yang dimaksud dengan
perlindungan terhadap anak adalah sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Kesejahteraan Anak, yaitu segala
kegiatan untuk menjamin dan
melindungi Anak dan
hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Meski
telah ada Undang-Undang yang melindungi anak akan tetapi akan menjadi miris
apabila kita cermati Data YKAI (Yayasan Kesejahteraan
Anak Indonesia), sebanyak 2,4 juta
anak terserap sebagai pekerja di sektor formal dan informal dan jumlah tersebut
saat ini tentu lebih banyak lagi karena salah satu alasan
mereka bekerja adalah membantu perekonomian keluarga yang akibatnya, pendidikan dan masa depan anak terbengkalai. [14] oleh karena itu harus kita tegaskan lagi bahwa setiap anak wajib mendapatkan perlindungan dalam proses tumbuh kembangnya dan Negara haruslah menjadi pelopor di dalam pemberian perlindungan kepada anak, sehingga anak akan terhindar dari setiap perilaku menyimpang termasuk perilaku pedofilia sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak.
mereka bekerja adalah membantu perekonomian keluarga yang akibatnya, pendidikan dan masa depan anak terbengkalai. [14] oleh karena itu harus kita tegaskan lagi bahwa setiap anak wajib mendapatkan perlindungan dalam proses tumbuh kembangnya dan Negara haruslah menjadi pelopor di dalam pemberian perlindungan kepada anak, sehingga anak akan terhindar dari setiap perilaku menyimpang termasuk perilaku pedofilia sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak.
Bagi pelaku pedofilia, kiranya
juga harus kita pahami bahwa meskipun sebagai tersangka ataupun terdakwa, namun
apabila kita pahami landasan filosofis dari KUHAP adalah
sebagaimana yang dapat dibaca pada huruf a Konsideran, tiada lain adalah
Pancasila, terutama yang berhubungan erat dengan sila Ketuhanan dan
Kemanusiaan. Yahya Harahap menyebutkan,[15] “Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat
penegak hukum maupun Tersangka / Terdakwa adalah :
· Sama-sama manusia yang dependen kepada
Tuhan. Sama makhluk manusia yang tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua
makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan yang kelahirannya di
permukaan bumi semata-mata atas kehendak dan berkat rahmat Tuhan ;
· Oleh karena semua manusia merupakan
hasil ciptaan Tuhan dan tergantung kepada kehendak Tuhan, hal ini mengandung
makna bahwa :
Ø Tidak ada perbedaan asasi di antara
sesama manusia ;
Ø Sama-sama mempunyai tugas sebagai
manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabatnya
sebagai manusia ciptaan Tuhan ;
Ø Setiap manusia mempunyai hak kemanusiaan
yang harus dilindungi tanpa kecuali ;
Ø Fungsi dan tugas apapun yang diemban
oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan AMANAT
Tuhan Yang Maha Esa.
Dari
landasan filosofis tersebut, kiranya telah tersirat bahwa Hukum Acara Pidana
Indonesia mensyaratkan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik
terhadap pelaku tindak pidana maupun terhadap korban kejahatan. Sehingga dengan
demikian hal yang sama juga berlaku pada pemidanaan pelaku tindak pidana, yaitu
pemidanaan juga harus memperhatikan kepentingan dan perlindungan atas hak asasi
manusia bagi korban kejahatan tersebut.
Wacana
pengebirian bagi pelaku pedofilia, harus kita telaah kembali segi positif
maupun negatifnya, mengingat, khususnya bagi seorang Hakim, tidak boleh
menjatuhkan pidana hanya berdasarkan emosi sesaat saja atau berdasarkan
tuntutan masyarakat namun tuntutan tersebut hanyalah berdasarkan rasa ingin
membalas dendam atas perilaku pedofilia tersebut. Lebih lanjut, pernah
dilakukan sebuah penelitian ilmiah, namun tentunya perlu lebih ditelaah lebih
lanjut, bahwa tindak pidana pedofilia dalam hukum Islam, dari segi
unsur-unsur perbuatannya, tindak pidana ini sekilas memang masuk dalam kategori
zina, tapi bentuk tindak pidana pedofilia lebih menekankan pada korban yang
masih anak-anak, sehingga apabila melihat dari sanksi yang dijatuhkan bagi
pelaku zina, maka sanksi bagi pelaku tidak pidana pedofilia haruslah lebih
berat karena melihat pada aspek bahaya yang ditimbulkannya juga lebih besar, sedangkan
dalam hukum positif Indonesia, sanksi penjatuhan pidana bagi pelaku pedofilia
memang tidak diatur secara khusus, akan tetapi, dalam penjatuhan pidananya,
sanksi tersebut merujuk pada penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan seksual,
seperti pelecehan seksual atau pun pencabulan, yang terdapat KUHP maupun
peraturan lainnya.[16]
Oleh karenanya, sebelum wacana pengebirian ditindaklanjuti lebih lanjut,
perlu kiranya kita mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Meskipun perilaku pedofilia merupakan perilaku yang melanggar hak asasi
manusia dari korbannya akan tetapi pengebirian pada hakekatnya juga melanggar
hak asasi dari pelakunya, utamanya hak untuk mendapatkan keturunan, karena
dalam beberapa kasus, pelaku pedofilia adalah orang yang memiliki keluarga
dalam arti memilki istri dan anak. Jika kita melihat praktek kebiri secara
kimia di India, maka para aktivis hak asasi manusia
menentang praktek kebiri kimia paksa, dan menyebut itu sebagai sebuah tindakan
melawan kebebasan dan kemanusiaan.[17]
Sehingga apabila praktek pengebirian, baik secara fosok maupun kimiawi
dilakukan di Indonesia, bukan tidak mungkin akan menimbulkan pro dan kontra
khususnya di kalngan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia ;
2. Pelaku
pedofilia adalah wanita, yang juga masih mengharapkan mendapatkan keturunan ;
3. Pelaku
pedofilia adalah anak-anak, maka pengebirian terhadap pelaku pedofilia tidak
serta merta dapat dilakukan, mengingat terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum tidak dapat diterapkan pidana orang dewasa ;
Wacana penjatuhan hukuman berupa pengebirian
terhadap pelaku pedofilia harus melalui pertimbangan yang matang bahwa hukuman
tersebut tidak menghapuskan hak dari pelaku untuk mendapatkan kehidupan yang
normal. Hal ini mengingat bahwa sebenarnya perilaku pedofilia lebih pada
rusaknya kesehatan mental dari pelaku yang menganggap perilaku pedofilia dalah
perilaku yang wajar.
Pendekatan secara keagamaan dan secara
personal kiranya lebih ampuh untuk menyembuhkan penyakit moral dari pelaku
pedofilia. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan terapi-terapi secara
keagamaan dengan melakukan “cuci otak” bahwa perilaku pedofilia adalah perilaku
yang dilarang oleh agama dan perilaku pedofilia dapat disembuhkan dengan terapi
secara terus-menerus, sehingga dapat memberikan kesadaran bagi pelaku pedofilia
akan segala kesalahannya.
Ancaman hukuman sebagaimana telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebenarnya
sudah sangat berat apabila diterapkan hukuman maksimal, yaitu sebagaimana
tercantum dalam :
a) Pasal
81
(1) Setiap orang
yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76D dipidana
dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling
lama 15 (lima
belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku pula
bagi Setiap Orang
yang dengan sengaja melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk Anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.
(3) Dalam hal
tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Orang
Tua, Wali, pengasuh Anak,
pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
b) Pasal
82
(1) Setiap orang
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76E dipidana
dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling
lama 15 (lima
belas) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal
tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Orang
Tua, Wali, pengasuh Anak,
pendidik, atau tenaga kependidikan, maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak mengatur mengenai ancaman terhadap setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 76 D Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan : Setiap
Orang dilarang melakukan
Kekerasan atau ancaman Kekerasan
memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain. Sedangkan pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak mengatur mengenai ancaman terhadap setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 76 E Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyebutkan : Setiap
Orang dilarang melakukan
Kekerasan atau ancaman Kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk
Anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga
telah diatur mengenai pidana terhadap pelaku pedofilia, yang meskipun sejak
adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diperbaharui dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pasal-pasal di
dalam KUHP tidak diterapkan lagi.
Akan tetapi sebagaimana telah penulis
sebutkan di atas bahwasanya perilaku pedofilia tidak semata-mata merupakan
perilaku kriminal semata, akan tetapi juga merupakan gangguan psikologis atau
mental dari pelakunya yang masih bisa disembuhkan, maka terhadap pelaku
pedofilia dijatuhi pidana maksimal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pelaku pedofilia harus dijatuhi pidana
tambahan berupa REHABILITASI MENTAL dalam jangka waktu tertentu. Hal ini
kiranya sejalan dengan pemikiran psikolog seksual Zoya Amirin, yang menyatakan hukuman
kebiri menurutnya tidak menyelesaikan masalah. Seharusnya masalah mental pada
pelaku pedofil selain dipenjara juga ditangani dengan rehabilitasi. "Meski
dikebiri mentalnya kan masih kacau, ia tetap memiliki gangguan mental. Masalah
mental disembuhkan dengan rehabilitasi mental. Kalau dikebiri, masalah mental
disembuhkan dengan medis kan tidak tepat," tutur Zoya saat berbincang
dengan Health-Liputan6.com pada Selasa (27/10/2015).
Rehabilitasi mental memang tak menyembuhkan hasrat seksualnya namun mampu
mengontrol ketika hasrat tersebut datang.[18] Jangan sampai wacana
pengebirian terhadap pelaku tindak pidana hanya didasarkan pada alasan membalas
dendam dan karena emosi sesaat saja tanpa dipertimbangkan efek jangka panjang,
termasuk juga harus dipikirkan pula hak bagi korban pedofilia yang dapat
menjaga korban pedofilia tidak menjadi pelaku pedofilia di kemudian hari.
Dengan demikian wacana melakukan pengebirian
terhadap pelaku pedofilia hendaknya dipertimbangkan kembali dalam arti bahwa
perlu adanya suatu penelitian yang mendalam terhadap efektivitas dari tindakan
pengebirian terhadap pelaku pedofilia. Perlu dilakukan survey-survey untuk
mengetahui lebih mendalam penyebab seseorang menjadi pelaku pedofilia. Dalam
pandangan penulis, penyebab seseorang bisa menjadi pelaku pedofilia adalah
selain karena sakitnya mental dari sang pelaku tersebut akibat trauma pengalaman
buruk ketika masih kanak-kanak menjadi korban pedofilia, namun juga bisa
dikarenakan makin gencarnya informasi melalui media elektronik maupun media
sosial mengenai perilaku seksual yaang menyimpang yang terjadi di seluruh
dunia. Peranan media massa baik media elektronik maupun media online, sangat
memberi peran bagi seseorang untuk melakukan perilaku seksual menyimpang.
Dalam hal ini diperlukan ketegasan dari
pemerintah sebagai regulator dari adanya berita-berita dari media massa baik
mediaa elektronik maupun media online, untuk setidaknya mempersempit ruang
beredarnya berita-berita yang sifatnya negatif. Akan tetapi harus diakui pula
bahwa sangat sulit untuk membendung beredarnya berita, utamanya melalui media
online, penulis teringat seorang nara sumber dalam sebuah seminar tentang
informasi elektronik yang diadakan di Semarang beberapa tahun yang lalu yang
mengatakan bahwa ketika sebuah situs web akan diblokir, maka karena kecanggihan
tekhnologi informasi, maka web yang diblokir tersebut akan memecahkan diri
menjadi beberapa nama situs web baru dan ketika diblokir lagi, maka akan
memecahkan diri lagi, demikian seterusnya. Sehingga dari pihak pemerintah,
diperlukan penggunaan tekhnogi informasi yang lebih canggih lagi dalam rangka menyaring
informasi-informasi yang bersifat negatif dari media online.
3.
MEMBANGUN
KESADARAN MASYARAKAT AKAN BAHAYA PEDOFILIA
Meskipun
terlambat, namun tidak ada salahnya bagi masyarakat khususnya bagi setiap orang
tua untuk memahami perilaku pedofilia yang dapat dilakukan oleh setiap orang
dalam setiap kesempatan. Waspada orang
tua dari pedofilia tentunya
harus selalu dilakukan, karena yang kita tahu bahwa saat ini di Indonesia
sedang marak terjadi kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak. Ketika kebanyakan
orang membayangkan fisik penganiaya anak seperti monster atau berwajah bengis,
itu merupakan kesalahpahaman yang telah mengakar pada kebanyakan orang.
Penganiaya anak berasal dari semua lapisan masyarakat dan dari semua kelompok
sosial ekonomi. Mereka bisa menjadi laki-laki atau perempuan, dari kalangan,
agama, dan ras apapun.[19]
Seringkali
keberaradaan seorang anak dalam keluarga sering diabaikan, atau bahkan anak
sering menjadi obyek kekerasaan di dalam keluarga. Seorang dosen Fakulta Hukum Unversitas
Jember mengatakan bahwa fenomena kekerasan keluarga
(family violence) sering menggayuti kehidupan
anak kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras, terutama pada era industrialisasi,
akan banyak orang mengalami stres dan
depresi yang dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak.[20] Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat 2 (dua)
upaya untuk melakukan upaya perlindungan terhadap anak dari kekerasan
keluarga, adalah: [21]
1)
Harus ada perhatian penuh dari
keluarga terdekat lainnya
terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orangtuanya, dan kekuasaan orangtua atas anaknya dicabut. Pencabutan kekuasaan orangtua terhadap anaknya dapat dilakukan berdasarkan permintaan orangtua lainnya atau keluarga terdekat ;
terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orangtuanya, dan kekuasaan orangtua atas anaknya dicabut. Pencabutan kekuasaan orangtua terhadap anaknya dapat dilakukan berdasarkan permintaan orangtua lainnya atau keluarga terdekat ;
2)
Diperlukan perhatian dari lembaga
sosial guna menampung anak yang
menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial agar anak dapat keluar dari lilitan
permasalahannya. Disamping itu, perlu
ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi kesejahteraan anak terhadap nasib anak
malang yang menjadi korban kekerasan
dalam keluarga.
Kehangatan dari orang tua sangat penting
dalam proses tumbuh kembang seorang anak. Kehadiran kedua orang tua akan memberikan
rasa aman, nyaman dan tenang bagi anak-anak dalam keluarga tersebut, termasuk dalam
menjadi benteng pengaman bagi anak dari pengaruh lingkungan yang bersifat negatif.
Kiranya, pelukan hangat dari orang
tua mampu menjadi wujud kasih sayang orang tua kepada anak dan sebagai orang tua,
sempatkanlah waktu walau hanya sejenak untuk bermain bersama anak sehingga anak
merasa disayang dan dilindungi oleh orang tuanya.
D.
KESIMPULAN
Dari
uraian mengenai hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia, maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Pedofila
adalah perilaku seksual yang menyimpang yang harus diwaspadai ;
2. Seorang
anak yang pernah menjadi korban pedofilia berpotensi menjadi pelaku pedofilia ketika
anak tersebut dewasa ;
3. Peranan
orang tua sangat vital dalam rangka melindungi anak dari jangkauan kejahatan pedofilia
;
4. Negara
harus menjadi lokomotif di dalam perannya melindungi warga negaranya termasuk di
dalamnya melindungi anak-anak dari jangkauan kejahatan pedofilia.
E.
SUMBER
BACAAN
1. Yahya
Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Penyidikan dan
Penuntutan), Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, Tahun 2000, h. 20 – 21 ;
2. http://dbpedia.cs.ui.ac.id/page/Pedofilia,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
3. http://id.scribd.com/doc/94107015/Definisi-Pedofilia#scribd,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
4. http://melindahospital.com/melinda2/artikel/2965/Waspada-orangtua-dari-pedofilia-kenali-ciri-cirinya.html,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
5. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/11/07/0065.html,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
6. http://regional.kompas.com/read/2014/05/10/1918569/KPAI.Suntik.Kebiri.Hukuman.Tepat.bagi.Paedofil,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
7. https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiri,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
8. https://id.wikipedia.org/wiki/Kebiri,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
9. http://www.dw.com/id/kebiri-kimia-kemanusiaan-vs-perlindungan-korban/a-16494556,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
10. http://digilib.uin-suka.ac.id/6709/,
diunduh tanggal 28 Oktober 2015 ;
11. http://health.liputan6.com/read/2350628/bukan-kebiri-ini-cara-lain-agar-pelaku-kejahatan-seksual-jera?ref=yfp,
diunduh tanggal 28 Oktober 2015 ;
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH)
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[7]
http://melindahospital.com/melinda2/artikel/2965/Waspada-orangtua-dari-pedofilia-kenali-ciri-cirinya.html, diunduh tanggal 26 Oktober 2015
;
[9]http://regional.kompas.com/read/2014/05/10/1918569/KPAI.Suntik.Kebiri.Hukuman.Tepat.bagi.Paedofil,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
[12]
http://www.dw.com/id/kebiri-kimia-kemanusiaan-vs-perlindungan-korban/a-16494556,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
[13]
http://www.dw.com/id/kebiri-kimia-kemanusiaan-vs-perlindungan-korban/a-16494556,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
[15] Yahya Harahap, PEMBAHASAN
PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta, Penerbit
Sinar Grafika, Tahun 2000, h. 20 – 21.
[17]http://www.dw.com/id/kebiri-kimia-kemanusiaan-vs-perlindungan-korban/a-16494556,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
[18]
http://health.liputan6.com/read/2350628/bukan-kebiri-ini-cara-lain-agar-pelaku-kejahatan-seksual-jera?ref=yfp,
diunduh tanggal 28 Oktober 2015 ;
[19]
http://melindahospital.com/melinda2/artikel/2965/Waspada-orangtua-dari-pedofilia-kenali-ciri-cirinya.html,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
[20]
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/11/07/0065.html,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
[21]
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/11/07/0065.html,
diunduh tanggal 26 Oktober 2015 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar