Teori Trias PolItica dari Montesque menjadi dasar dari kemandirian kekuasaan kehakiman yang masih dianut sistem hukum di Indonesia, meskipun dalam praktek sehari-hari masih ditemui adanya saling mempengaruhi diantara kekuasan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Akan tetapi setidaknya kekuasaan kehakiman (Yudikatif) harus mampu mandiri tanpa harus ada ketergantungan secara mutlak kepada kekuasaan Eksekutif maupun Legislatif, khususnya yang berkaitan dengan upaya penegakan hukum. Adanya intervensi dari Eksekutif maupun Legislatif kepada Yudikatif bisa diartikan bahwa terdapat kepentingan dari dua kekuasaan tersebut dan adanya kesalahpahaman atau ketidakmengertian atu juga terdapat kebodohan pendapat yang menyatakan bahwa kekuasaan Eksekutif maupun Legislatif dapat ikut campur mengatur kekuasaan kehakiman (Yudikatif). Selama ini, harus dimaklumi bahwa Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi masih harus berbenah diri dengan memikirkan bagaimana caranya sehingga dirinya bisa mandiri, yang salah satunya dapat dilakukan dengan mandirinya pengelolaan keuangan, yang sampai saat ini masih "setengah hati" dilepas oleh Eksekutif maupun Yudikatif. Merupakan tantangan bagi Mahkamah Agung untuk dapat merealisasikannya di masa mendatang.SEMOGA
Jumat, 21 April 2017
Kamis, 20 April 2017
MENGADILI
MENGADILI
Sebersit kata yang selalu tercantum di dalam setiap putusan Hakim, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Kata yang singkat namun mengandung konsekwensi yang besar, terutama terhadap nasib seseorang yang mencari keadilan. Seuah kata terakhir yang berisikan amar putusan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraiakan sebelumnya.
Bila kita membaca kembali ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP, akan jelas terbaca apa yang harus tercantum di dalam sebuah putusan (khususnya perkara pidana) yang pada intinya akan tercantum di dalam pertimbangan-pertimbangan yang dibuat oleh Hakim / Majelis Hakim.
Tentunya sebuah putusan ada karena ada Surat Dakwaan dari Penuntut Umum yang berisi Dakwaan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang / beberapa orang Terdakwa. Pertimbangan dalam sebuah putusan akan didasarkan kepada proses pembuktian yang dilakukan selama persidangan dengan mengahdirkan saksi-saksi maupun alat bukti, termasuk di dalamnya adalah saksi yang meringankan dan alat bukti yang dapat meringankan sifat dari tindak pidana yang dilakukan olehTerdakwa, yang kemudian dari fakta hukum yang diperoleh selama proses pembuktian disandingkan dengan ketentuan pasal perundang-undangan yang dilanggar oleh Terdakwa atau fakta hukum dalam sidang perkara perdata yang akan disandingkan dengan ketentuan perundang-undangan yang sesuai dengan perkara tersebut.
Sebelum sampai pada kata MENGADILI, dalam perkara pidana, tentunya akan juga dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan dari tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
Di dalam kata MENGADILI berarti Hakim / Majelis Hakim telah mempunyai keyakinan akan terbukti atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa atau benar tidaknya suatu gugatan perkara perdata dan merupakan tempat di mana HATI NURANI seorang Hakim berperan. Kejujuran dan keikhlasan di dalam setiap persidangan tentunya akan membuat HATI NURANI mampu membisikan kebenaran yang sejati, tanpa adanya suatu pamrih apapun. Hal ini sangat penting mengingat bahwa HAKIM adalah benteng terakhir dari keadilan.
Sebersit kata yang selalu tercantum di dalam setiap putusan Hakim, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Kata yang singkat namun mengandung konsekwensi yang besar, terutama terhadap nasib seseorang yang mencari keadilan. Seuah kata terakhir yang berisikan amar putusan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraiakan sebelumnya.
Bila kita membaca kembali ketentuan pasal 197 ayat (1) KUHAP, akan jelas terbaca apa yang harus tercantum di dalam sebuah putusan (khususnya perkara pidana) yang pada intinya akan tercantum di dalam pertimbangan-pertimbangan yang dibuat oleh Hakim / Majelis Hakim.
Tentunya sebuah putusan ada karena ada Surat Dakwaan dari Penuntut Umum yang berisi Dakwaan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang / beberapa orang Terdakwa. Pertimbangan dalam sebuah putusan akan didasarkan kepada proses pembuktian yang dilakukan selama persidangan dengan mengahdirkan saksi-saksi maupun alat bukti, termasuk di dalamnya adalah saksi yang meringankan dan alat bukti yang dapat meringankan sifat dari tindak pidana yang dilakukan olehTerdakwa, yang kemudian dari fakta hukum yang diperoleh selama proses pembuktian disandingkan dengan ketentuan pasal perundang-undangan yang dilanggar oleh Terdakwa atau fakta hukum dalam sidang perkara perdata yang akan disandingkan dengan ketentuan perundang-undangan yang sesuai dengan perkara tersebut.
Sebelum sampai pada kata MENGADILI, dalam perkara pidana, tentunya akan juga dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan dari tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
Di dalam kata MENGADILI berarti Hakim / Majelis Hakim telah mempunyai keyakinan akan terbukti atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa atau benar tidaknya suatu gugatan perkara perdata dan merupakan tempat di mana HATI NURANI seorang Hakim berperan. Kejujuran dan keikhlasan di dalam setiap persidangan tentunya akan membuat HATI NURANI mampu membisikan kebenaran yang sejati, tanpa adanya suatu pamrih apapun. Hal ini sangat penting mengingat bahwa HAKIM adalah benteng terakhir dari keadilan.
Selasa, 11 April 2017
HAKIM OEMAR BAKRI
HAKIM OEMAR BAKRI
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE
PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Bagi generasi yang tumbuh berkembang di tahun 1990an,
tentu sangat mengenal seniman senior IWAN FALS yang terkenal dengan karya
seninya berupa lagu-lagu yang banyak berisi sindiran dan satirisme keadaan pada
masa itu, masa dimana kebebasan berekspresi belum sebebas dan seluas sekarang.
Sekedar review ke belakang, adanya kontrol yang ketat terhadap kritik kepada
pemerintah, dalam segala bentuknya, sedikit banyak “mengekang” para seniman
maupun pekerja seni lainnya, termasuk di dalamnya adalah setiap individu
sebagai anggota masyarakat di dalam mengekspresikan dirinya maupun melakukan
kritik sosial terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang terjadi
pada masa itu.
Kehadiran Iwan Fals mungkin menjadi salah satu sosok yang
berani tampil beda., yang selalu dengan berani mengekspresikan kritik-kritik
sosial dalam lagu-lagunya. Tentunya masih banyak yang mengingat lagu BENTO,
yang jelas-jelas mengkritisi kelakuan pejabat-pejabat pemerintahan yang korup
namun salah satu lagu yang menarik adalah lagu OEMAR BAKRI, yang begitu
melegenda.
Sosok Oemar Bakri sebagai pegawai negeri sipil yang
bekerja sebagai seorang guru, mengisahkan kebersahajaan dan kesederhaan yang
dijalani oleh tokoh dalam lagu tersebut, seorang tokoh yang tidak pernah
mengeluh akan tugas-tugasnya sebagai tenaga pendidik dan juga tidak pernah
mengeluh akan gaji serta fasilitas yang didapatkannya. Mungkin soosk Oemar
Bakri menjadi sosok yang langka di era saat ini.
HAKIM OEMAR BAKRI
Mendapat predikat sebagai Wakil Tuhan, menjadikan
kedudukan seorang Hakim menjadi begitu tinggi, dalam arti selain tingkat
penghasilan dan fasilitas yang diterima (diharapkan) akan menjadi tinggi tetapi
juga tinggi dalam arti harapan masyarakat akan keadilan. Harapan yang tentunya
akan membuat para Hakim harus bekerja keras untuk mewujudkannya. Pada tataran
tertentu, Hakim juga terkadang mengeluhkan tidak seimbangnya antara
penghasilannya dengan beban kerja yang harus diselesaikannya. Bolehkan seorang
Hakim mengeluh terhadap hal demikian ? Sebagai seorang manusia, sangatlah
manusiawi apabila seseorang mengeluhkan beban pekerjaannya yang harus
dikerjaannya setiap hari, belum lagi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin
besar yang sering kali tidak sebanding dengan penghasilannya. Namun sekiranya
kita mau melakukan introspeksi diri dengan berkaca kepada lagu Oemar Bakri,
maka seharusnya dapat membuka mata batin kita bahwa masih banyak “oemar bakri-oemar
bakri” lain yang tidak mengeluhkan keadaannya, yang selalu ikhlas dalm
menjalankan tugas kedinasannya, meskipun harus bekerja tanpa penhasilan yang
cukup.
Kiranya juga perlu diperl\timbangkan bagi para pengambil
kebijakan atas kesejahteraan Hakim (termasuk di dalamnya apartur pengadilan),
bahwa bukan hanya tingkat kejeahteraan yang berkaitan dengan kebutuhan hidup
yang juga harus mencukupi tetapi seorang Hakim juga dituntut untuk selalu
menambah ilmu pengetahuannya, yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit,
baik dalam bentuk biaya pendidikan maupun biaya untuk membeli buku-buku yang
berkualitas yang dapat meningkatkan pengetahuan seorang Hakim.
Ketika seorang guru merasa gaji yang diterimanya tidak
mencukupi, yang bersangkutan bisa menutupnya dengan melakukan pekerjaan
sampingan seperti menjadi tukang ojek atau membuka kios kecil-kecilan yang
menjual sembako, namun akan lain ceritanya apabila seorang Hakim yang merasa
penghasilannya tidak cukup kemudian melakukan pekerjaan sampingan menjadi
tukang ojek atau membuka toko sembako. Jika seorang hakim “nekad” melakukannya,
bukan tidak mungkin terdapat konsekuensi akan diperiksa baik oleh Badan
Pengawasan Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial serta mendapatkan “cap”
sebagai Hakim yang tidak profesional (unprofessional conduct). Namun kiranya
lebih terhormat apabila seorang Hakim yang masih merasa kurang dalam hal
penghasilan, dalam hal Hakim tersebut masih dalam proses pendidikan untuk
meningkatkan pengetahuannya, melakukan kerja sampingan sebagai tukang ojek
ataupun membuka toko sembako, jika dibandingkan Hakim tersebut melakukan
“DAGANG PERKARA” atas suatu perkara yang diadilinya. Meski demikian, harus
ditanamkan dalam diri seorang Hakim bahwa pengabdiannya sebagai Wakil Tuhan di
dunia yang dijalankan secara ikhlas akan menjadikan suatu kebanggaan tersendiri
bagi Hakim tersebut dan juga bagi keluarganya serta harus beryakinan bahwa
pengabdiannya tentu saja akan mendapatkan ganjarannya berupa reward, yang tidak
harus berupa materi, namun juga berupa kesempatan untuk menambah ilmu dan
pengetahuannya.
Akhir kata, tentu saja bagi Mahkamah Agung juga harus
selalu memperhatikan tingkat kesejahteraan Hakim (juga pegawai pengadilan
lainnya) sebagai salah satu upaya terciptanya visi peradilan yang agung.
Wallahualam.
[1] Hakim
Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu
Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang
;
Rabu, 05 April 2017
Catatan ultah Mahkamah Agung ke - 70
PERADILAN YANG AGUNG
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE
PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Dalam peringatan hari jadi Mahkamah Agung ke – 70, Yang
Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agung kembali mengingatkan akan visi dari Mahkamah
Agung yaitu menjadikan Peradilan Indonesia sebagai peradilan yang agung. Suatu
visi yang melihat jauh ke masa depan dimana bangsa Indonesia sangat membutuhkan
suatu badan peradilan yang mampu mengayomi dan memberi rasa keadilan sesuai
dengan perkembangan peradaban dan kehidupan masyarakat.
Peradilan yang agung membutuhkan suatu konsekuensi bahwa
aparat yang berada di setiap badan peradilan di Indonesia yang bernaung di
bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia harus bekerja keras menegakkan hukum
dan keadilan sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sebagaimana
tujuan dari adanya hukum. Harus diakui bahwa menegakkan hukum dan menegakkan
keadilan adalah bagaikan dua sisi mata uang yang sering tidak bisa seiring dan
sejalan, yaitu ketika lebih memilih menegakkan hukum maka ada rasa keadilan yang
tercederai, demikian pula sebaliknya, ketika lebih mengedepankan keadilan, maka
ada norma hukum yang dikorbankan. Akan tetapi dari keduanya, yang utama adalah
adanya manfaat dari hukum itu sendiri, yaitu adanya hukum akan memberi
kemanfaatan bagi masyarakat sehingga timbul rasa membutuhkan hukum dalam
masyarakat.
Di sisi lain, visi peradilan yang agung tidak hanya
berbentuk bangunan kantor pengadilan yang megah di setiap kota, sebab bangunan
yang megah tersebut tidak secara otomatis memberi jaminan bahwa pelayanan yang
diberikan juga sebanding dengan megahnya bangunan kantor tersebut. Meski
demikian, jika kita melihat di daerah-daerah, utamanya di daerah yang jauh dari
pusat kekuasaan, masih banyak gedung kantor pengadilan yang masih kurang layak
untuk disebut sebagai kantor pengadilan dan masih banyak gedung kantor
pengadilan yang memiliki bentuk yang berlainan, sehingga mengesankan tidak
adanya keseragaman. Ketika masyarakat melihat dari sisi fisik gedung kantor
pengadilan yang tidak sama antara kota yang satu dengan kota yang lain, maka
akan timbul pemikiran bahwa pelayanan yang diberikanpun pasti tidak sama,
apalagi ketika masyarakat akan menuntut keadilan, hal tersebut semakin membuat
masyarakat meragukan keadilan yang akan diberikan oleh aparat penegak hukum di
kantor pengadilan.
Selain itu, dengan kemajuan tekhnologi informasi, harus
dapat menjadi pendukung terciptanya peradilan yang agung dengan cara memberikan
informasi-informasi terbaru (update) perihal segala sesuatu yang berkaitan
dengan kegiatan di kantor pengadilan, baik itu informasi persidangan, informasi
tata cara beracara di pengadilan, informasi putusan-putusan, meskipun dalam UU
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dalam Pasal 17
mengatur mengenai informasi yang dikecualikan bagi publik, namun setidaknya
tersedianya informasi yang aktual dari kantor pengadilan, akan memberikan akses
kepada masyarakat yang membutuhkannya.
Jaman semakin berubah, tidak bisa lagi kita sebagai
aparat pengadilan berkilah bahwa suatu informasi adalah dirahasiakan bagi
publik kecuali sebagaimana telah diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008,
bahkan apabila ada anggota masyarakat yang tidak mengerti mengenai teknologi
informasi sehingga tidak bisa membuka informasi dari pengadilan secara online,
dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada ketua pengadilan setempat
mengenai informasi yang diinginkannya. Keterbukaan informasi akan semakin
mendorong tercapainya visi peradilan yang agung di Indonesia.
Dari sisi yang lain, peradilan yang agung juga menuntut
para aparatur pengadilan bertindak sebagai pelayan masyarakat yang membutuhkan
keadilan dengan disiplin kerja dan disiplin waktu. Mengingat beban kerja
persidangan, utamanya yang banyak terjadi di kota-kota besar, membuat aparatur
pengadilan sering melupakan penyelesaian penanganan berkas perkara (minutasi)
atau sering terjadi terlambatnya pemberitahuan putusan kepada pihak-pihak yang
bersengketa di pengadilan. Hal-hal demikian tentunya membuat masyarakat
bersikap skeptis terhadap aparatur pengadilan, apalagi apabila dalam penanganan
perkara muncul adanya biaya-biaya siluman dengan berbagai macam dalih dan
alasan. Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agungpun sudah mewanti-wanti bahkan
mengancam perilaku demikian dengan tidak akan memberi ampun terhadap siapapun
aparatur pengadilan yang bertindak demikian dan ancaman tersebut ada 2 (dua)
macam yaitu ancaman administratif berupa pemecatan tidak dengan hormat dan
ancaman pemidanaan. Sebuah peringatan yang tidak bisa dianggap remeh bagi
seluruh aparatur pengadilan, namun dengan satu tujuan yaitu terciptanya
peradilan Indonesia yang agung. Walahualam.
[1] Hakim
Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu
Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang
;
Selasa, 04 April 2017
Pidana Mati pada perkara TIPIKOR
Dapatkah pidana mati diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi ? Hal ini yang banyak dipertanyakan oleh masyarakat bahwa karena tindak pidana korupsi sudah sangat menjamur dan mengganggu perekonomian negara sekaligus mengganggu pembangunan. Apabila kita membaca kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka kita harus membaca ketentuan pasal 2 yang menyebutkan :
(1) Setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ;
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Penjelasan dari ketentuan pasal 2 ayat (2) menyebutkan "Yang dimaksud dengan KEADAAN TERTENTU dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pda waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Dalam praktek, ketentuan pasal 2 ayat (2) ini belum pernah diterapkan, walaupun pada kenyataannya pada saat ini, negara dalam keadaan membangun dan membutuhkan kekuatan keuangan yang besar sehingga kiranya sudah patut apabila terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat diterapkan ketentuan pasal 2 ayat (2) sebagai pemberian efek jera dan juga untuk mencegah orang lain melakukan tindak pidana korupsi.
Senin, 03 April 2017
MENJADI TENTARA ASING
Perihal seorang WNI yang dengan sengaja menjadi tentara untuk negara lain lain telah diatur dalam Pasal 123 KUHP yang menyebutkan, "Warga negara Indonesia yang dengan sukarela masuk tentara asing, sedang diketahuinya, bahwa negara itu berperang dengan Indonesia atau dengan penghargaan negara itu tak lama lagi akan berperang dengan Indonesia, dalam hal terakhir, jika perang itu pecah dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun."
Penjelasan singkat pasal ini :
1) Masuknya WNI tersebut secara sukarela, kalau dilakukan secara dipaksa, maka tidak dapat dihukum ;
2) WNI yang masuk menjadi tentara asing tidak diancam hukuman, hanya apabila masuknya itu dengan pengetahuan bahwa negara asing itu berperang atau akan berperang dengan Indonesia, maka ia dapat dihukum menurut pasal ini ;
3) WNI yang pada waktu damai sudah terlanjur masuk tentara negara asing, sedang baru kemudian negara ini menjadi berperang dengan Indonesia, tidak diancam hukuman, meskipun ia tetap menjadi tentara asing ;
4) WNI yang hanya bekerja sebagai pegawai negeri sipil saja tidak dapat dihukum dengan pasal ini.
Penjelasan singkat pasal ini :
1) Masuknya WNI tersebut secara sukarela, kalau dilakukan secara dipaksa, maka tidak dapat dihukum ;
2) WNI yang masuk menjadi tentara asing tidak diancam hukuman, hanya apabila masuknya itu dengan pengetahuan bahwa negara asing itu berperang atau akan berperang dengan Indonesia, maka ia dapat dihukum menurut pasal ini ;
3) WNI yang pada waktu damai sudah terlanjur masuk tentara negara asing, sedang baru kemudian negara ini menjadi berperang dengan Indonesia, tidak diancam hukuman, meskipun ia tetap menjadi tentara asing ;
4) WNI yang hanya bekerja sebagai pegawai negeri sipil saja tidak dapat dihukum dengan pasal ini.
Langganan:
Postingan (Atom)
DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN
Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...
-
SOAL DAN JAWABAN MATA KULIAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH [1] 1. Jelaskan Sejarah Perkem...
-
PERTANYAAN MENGENAI TEORI HUKUM 1. Antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum terdapat kaitan walaupun lingkupnya berbeda, kupa...
-
Renungan Awal Pekan (07042015) MAKALAH HUKUM “FILOSOFI SISTEM HUKUM DI INDONESIA” OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH BAB I PENDAHU...