HAKIM OEMAR BAKRI
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE
PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Bagi generasi yang tumbuh berkembang di tahun 1990an,
tentu sangat mengenal seniman senior IWAN FALS yang terkenal dengan karya
seninya berupa lagu-lagu yang banyak berisi sindiran dan satirisme keadaan pada
masa itu, masa dimana kebebasan berekspresi belum sebebas dan seluas sekarang.
Sekedar review ke belakang, adanya kontrol yang ketat terhadap kritik kepada
pemerintah, dalam segala bentuknya, sedikit banyak “mengekang” para seniman
maupun pekerja seni lainnya, termasuk di dalamnya adalah setiap individu
sebagai anggota masyarakat di dalam mengekspresikan dirinya maupun melakukan
kritik sosial terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang terjadi
pada masa itu.
Kehadiran Iwan Fals mungkin menjadi salah satu sosok yang
berani tampil beda., yang selalu dengan berani mengekspresikan kritik-kritik
sosial dalam lagu-lagunya. Tentunya masih banyak yang mengingat lagu BENTO,
yang jelas-jelas mengkritisi kelakuan pejabat-pejabat pemerintahan yang korup
namun salah satu lagu yang menarik adalah lagu OEMAR BAKRI, yang begitu
melegenda.
Sosok Oemar Bakri sebagai pegawai negeri sipil yang
bekerja sebagai seorang guru, mengisahkan kebersahajaan dan kesederhaan yang
dijalani oleh tokoh dalam lagu tersebut, seorang tokoh yang tidak pernah
mengeluh akan tugas-tugasnya sebagai tenaga pendidik dan juga tidak pernah
mengeluh akan gaji serta fasilitas yang didapatkannya. Mungkin soosk Oemar
Bakri menjadi sosok yang langka di era saat ini.
HAKIM OEMAR BAKRI
Mendapat predikat sebagai Wakil Tuhan, menjadikan
kedudukan seorang Hakim menjadi begitu tinggi, dalam arti selain tingkat
penghasilan dan fasilitas yang diterima (diharapkan) akan menjadi tinggi tetapi
juga tinggi dalam arti harapan masyarakat akan keadilan. Harapan yang tentunya
akan membuat para Hakim harus bekerja keras untuk mewujudkannya. Pada tataran
tertentu, Hakim juga terkadang mengeluhkan tidak seimbangnya antara
penghasilannya dengan beban kerja yang harus diselesaikannya. Bolehkan seorang
Hakim mengeluh terhadap hal demikian ? Sebagai seorang manusia, sangatlah
manusiawi apabila seseorang mengeluhkan beban pekerjaannya yang harus
dikerjaannya setiap hari, belum lagi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin
besar yang sering kali tidak sebanding dengan penghasilannya. Namun sekiranya
kita mau melakukan introspeksi diri dengan berkaca kepada lagu Oemar Bakri,
maka seharusnya dapat membuka mata batin kita bahwa masih banyak “oemar bakri-oemar
bakri” lain yang tidak mengeluhkan keadaannya, yang selalu ikhlas dalm
menjalankan tugas kedinasannya, meskipun harus bekerja tanpa penhasilan yang
cukup.
Kiranya juga perlu diperl\timbangkan bagi para pengambil
kebijakan atas kesejahteraan Hakim (termasuk di dalamnya apartur pengadilan),
bahwa bukan hanya tingkat kejeahteraan yang berkaitan dengan kebutuhan hidup
yang juga harus mencukupi tetapi seorang Hakim juga dituntut untuk selalu
menambah ilmu pengetahuannya, yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit,
baik dalam bentuk biaya pendidikan maupun biaya untuk membeli buku-buku yang
berkualitas yang dapat meningkatkan pengetahuan seorang Hakim.
Ketika seorang guru merasa gaji yang diterimanya tidak
mencukupi, yang bersangkutan bisa menutupnya dengan melakukan pekerjaan
sampingan seperti menjadi tukang ojek atau membuka kios kecil-kecilan yang
menjual sembako, namun akan lain ceritanya apabila seorang Hakim yang merasa
penghasilannya tidak cukup kemudian melakukan pekerjaan sampingan menjadi
tukang ojek atau membuka toko sembako. Jika seorang hakim “nekad” melakukannya,
bukan tidak mungkin terdapat konsekuensi akan diperiksa baik oleh Badan
Pengawasan Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial serta mendapatkan “cap”
sebagai Hakim yang tidak profesional (unprofessional conduct). Namun kiranya
lebih terhormat apabila seorang Hakim yang masih merasa kurang dalam hal
penghasilan, dalam hal Hakim tersebut masih dalam proses pendidikan untuk
meningkatkan pengetahuannya, melakukan kerja sampingan sebagai tukang ojek
ataupun membuka toko sembako, jika dibandingkan Hakim tersebut melakukan
“DAGANG PERKARA” atas suatu perkara yang diadilinya. Meski demikian, harus
ditanamkan dalam diri seorang Hakim bahwa pengabdiannya sebagai Wakil Tuhan di
dunia yang dijalankan secara ikhlas akan menjadikan suatu kebanggaan tersendiri
bagi Hakim tersebut dan juga bagi keluarganya serta harus beryakinan bahwa
pengabdiannya tentu saja akan mendapatkan ganjarannya berupa reward, yang tidak
harus berupa materi, namun juga berupa kesempatan untuk menambah ilmu dan
pengetahuannya.
Akhir kata, tentu saja bagi Mahkamah Agung juga harus
selalu memperhatikan tingkat kesejahteraan Hakim (juga pegawai pengadilan
lainnya) sebagai salah satu upaya terciptanya visi peradilan yang agung.
Wallahualam.
[1] Hakim
Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu
Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang
;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar