Selasa, 11 April 2017

HAKIM OEMAR BAKRI

HAKIM OEMAR BAKRI
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
PENDAHULUAN
Bagi generasi yang tumbuh berkembang di tahun 1990an, tentu sangat mengenal seniman senior IWAN FALS yang terkenal dengan karya seninya berupa lagu-lagu yang banyak berisi sindiran dan satirisme keadaan pada masa itu, masa dimana kebebasan berekspresi belum sebebas dan seluas sekarang. Sekedar review ke belakang, adanya kontrol yang ketat terhadap kritik kepada pemerintah, dalam segala bentuknya, sedikit banyak “mengekang” para seniman maupun pekerja seni lainnya, termasuk di dalamnya adalah setiap individu sebagai anggota masyarakat di dalam mengekspresikan dirinya maupun melakukan kritik sosial terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang terjadi pada masa itu.
Kehadiran Iwan Fals mungkin menjadi salah satu sosok yang berani tampil beda., yang selalu dengan berani mengekspresikan kritik-kritik sosial dalam lagu-lagunya. Tentunya masih banyak yang mengingat lagu BENTO, yang jelas-jelas mengkritisi kelakuan pejabat-pejabat pemerintahan yang korup namun salah satu lagu yang menarik adalah lagu OEMAR BAKRI, yang begitu melegenda.
Sosok Oemar Bakri sebagai pegawai negeri sipil yang bekerja sebagai seorang guru, mengisahkan kebersahajaan dan kesederhaan yang dijalani oleh tokoh dalam lagu tersebut, seorang tokoh yang tidak pernah mengeluh akan tugas-tugasnya sebagai tenaga pendidik dan juga tidak pernah mengeluh akan gaji serta fasilitas yang didapatkannya. Mungkin soosk Oemar Bakri menjadi sosok yang langka di era saat ini.
HAKIM OEMAR BAKRI
Mendapat predikat sebagai Wakil Tuhan, menjadikan kedudukan seorang Hakim menjadi begitu tinggi, dalam arti selain tingkat penghasilan dan fasilitas yang diterima (diharapkan) akan menjadi tinggi tetapi juga tinggi dalam arti harapan masyarakat akan keadilan. Harapan yang tentunya akan membuat para Hakim harus bekerja keras untuk mewujudkannya. Pada tataran tertentu, Hakim juga terkadang mengeluhkan tidak seimbangnya antara penghasilannya dengan beban kerja yang harus diselesaikannya. Bolehkan seorang Hakim mengeluh terhadap hal demikian ? Sebagai seorang manusia, sangatlah manusiawi apabila seseorang mengeluhkan beban pekerjaannya yang harus dikerjaannya setiap hari, belum lagi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin besar yang sering kali tidak sebanding dengan penghasilannya. Namun sekiranya kita mau melakukan introspeksi diri dengan berkaca kepada lagu Oemar Bakri, maka seharusnya dapat membuka mata batin kita bahwa masih banyak “oemar bakri-oemar bakri” lain yang tidak mengeluhkan keadaannya, yang selalu ikhlas dalm menjalankan tugas kedinasannya, meskipun harus bekerja tanpa penhasilan yang cukup.
Kiranya juga perlu diperl\timbangkan bagi para pengambil kebijakan atas kesejahteraan Hakim (termasuk di dalamnya apartur pengadilan), bahwa bukan hanya tingkat kejeahteraan yang berkaitan dengan kebutuhan hidup yang juga harus mencukupi tetapi seorang Hakim juga dituntut untuk selalu menambah ilmu pengetahuannya, yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, baik dalam bentuk biaya pendidikan maupun biaya untuk membeli buku-buku yang berkualitas yang dapat meningkatkan pengetahuan seorang Hakim.
Ketika seorang guru merasa gaji yang diterimanya tidak mencukupi, yang bersangkutan bisa menutupnya dengan melakukan pekerjaan sampingan seperti menjadi tukang ojek atau membuka kios kecil-kecilan yang menjual sembako, namun akan lain ceritanya apabila seorang Hakim yang merasa penghasilannya tidak cukup kemudian melakukan pekerjaan sampingan menjadi tukang ojek atau membuka toko sembako. Jika seorang hakim “nekad” melakukannya, bukan tidak mungkin terdapat konsekuensi akan diperiksa baik oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial serta mendapatkan “cap” sebagai Hakim yang tidak profesional (unprofessional conduct). Namun kiranya lebih terhormat apabila seorang Hakim yang masih merasa kurang dalam hal penghasilan, dalam hal Hakim tersebut masih dalam proses pendidikan untuk meningkatkan pengetahuannya, melakukan kerja sampingan sebagai tukang ojek ataupun membuka toko sembako, jika dibandingkan Hakim tersebut melakukan “DAGANG PERKARA” atas suatu perkara yang diadilinya. Meski demikian, harus ditanamkan dalam diri seorang Hakim bahwa pengabdiannya sebagai Wakil Tuhan di dunia yang dijalankan secara ikhlas akan menjadikan suatu kebanggaan tersendiri bagi Hakim tersebut dan juga bagi keluarganya serta harus beryakinan bahwa pengabdiannya tentu saja akan mendapatkan ganjarannya berupa reward, yang tidak harus berupa materi, namun juga berupa kesempatan untuk menambah ilmu dan pengetahuannya.
Akhir kata, tentu saja bagi Mahkamah Agung juga harus selalu memperhatikan tingkat kesejahteraan Hakim (juga pegawai pengadilan lainnya) sebagai salah satu upaya terciptanya visi peradilan yang agung. Wallahualam.











[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Kandidat Doktor pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...