PERSIDANGAN DILAKUKAN TIDAK
DI RUANG SIDANG, TINJAUAN YURIDIS ATAS PERSIDANGAN SECARA ELEKTRONIK
Oleh : H. Santhos Wachjoe Prijambodo,
S.H., M.H.
I. Pendahuluan
Selama ini masyarakat
selalu mendapat pemahaman bahwa setiap persidangan selalu dilakukan di dalam
ruang sidang yang berada di setiap Kantor Pengadilan, baik di Pengadilan
Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara maupun di Pengadilan
Militer. Hal ini memang tidak salah, mengingat Hukum Acara yang diperkenalkan
oleh Pemerintahan Kolonial Belanda berupa HIR (Het Herziene Indonesisch
Reglement / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui) yang pada saat itu berlaku
bagi mayarakat Indonesia yang berada di Pulau Jawa dan Madura maupun RBg
(Reglemen Tot Regeling van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Jawa en Madura
/ Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura), mensyaratkan bahwa
setiap persidangan harus dilakukan di dalam ruang sidang di Kantor Pengadilan,
dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.
Demikian pula ketika
bangsa kita telah mampu membuat Undang-Undang yang mengatur tentang Hukum Acara
yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kita kembali
mengadopsi apa yang sudah tercantum dalam HIR maupun Rbg, yaitu bahwa setiap
persidangan harus dilakukan di ruang sidang di kantor pengadilan.
Dengan perkembangan
tekhnologi yang sangat pesat seperti sekarang ini, yang sudah memasuki generasi
4.0, maka mau tidak mau Mahkamah Agung sebagai Stake Holder di bidang Yudikatif,
tentu saja tidak bisa berdiam diri membiarkan proses persidangan yang masih
bersifat mengedepankan unsur normatifnya saja.yang tentu saja akan semakin
tertinggal jika dibandingkan dengan proses persidangan yang dilakukan di negara
lain.
Saat
ini Mahkamah Agung berusaha untuk memudahkan para pencari keadilan, salah satu
caranya adalah bersidang secara daring (online), pertanyaannya mungkinkah itu?
Secara teori hukum, memang belum ada yang bisa menjawabnya, khusus untuk hukum
Indonesia. Secara teori, persidangan harus dilakukan di ruang sidang di gedung
Pengadilan, khusus untuk perkara Perdata, dimulai sejak dibacakannya surat
gugatan/permohonan sampai dengan dijatuhkannya putusan. Demikian
juga untuk persidangan perkara pidana, semua harus dilakukan secara normative
yaitu dilakukan di dalam ruang sidang di Kantor Pengadilan Negeri.
Hal
ini sangat menghambat para pencari keadilan, terutama bagi wilayah Kantor
Pengadilan yang terdiri dari pulau-pulau kecil di ujung negeri. Bisa kita
bayangkan halangan dan rintangan yang harus dihadapi oleh para Aparat Penegak
Hukum (APH) untuk menghadirkan Terdakwa, saksi-saksi maupun barang bukti, dalam
perkara pidana, hanya untuk membuktikan sebuah perkara pidana yang hanya
merupakan percara pencurian ataupun pencurian dalam keadaan memberatkan yang
nilai kerugiannya secara nominal sangat kecil. Sebagai gambaran, bisa kita
sampaikan sebagai berikut, di suatu Pengadilan Negeri di wilayah timur
Indonesia, terjadi pencurian buah kelapa yang nilai kerugiannya tidak lebih
dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), yang tempat kejadian
perkaranya (TKP) serta keberadaan saksi-saksinya ada di pulau-pulau yang jauh
dari Kantor Pengadilan Negeri dan disidik oleh Kantor Cabang Kejaksaan Negeri
setempat. Meskipun untuk perkara-perkara yang nilai kerugiannya tidak lebih
dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dapat diajukan sebagai
perkara Tindak Pidana Ringan (Tipiring) meski
demikiandapat dipastikan biaya yang timbul dari mulai penyidikan hingga sampai
dengan penjatuhan pemidianaan, akan lebih mahal, mengingat proses persidangan
harus dilakukan di ruang sidang di Kantor Pengadilan Negeri.
Oleh
karena itu, Mahkamah Agung harus lebih berani lagi membuat terobosan hukum,
sehingga bisa mempermudah masayarakat dalam upaya mencari keadilan. Keberanian
dari Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun
2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara
Elektronik yang merupakan lanjutan dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nommor
3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, yang
kemudian disusul dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor
129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan
Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, yang saat ini baru diberlakukan
untuk perkara perdata, harus kita apresiasi dan kita harus tetap mendukung
Mahkamah Agung untuk juga mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang
diberlakukan terhadap perkara-perkara pidana sehingga bisa disidangkan secara
daring (online).
II. Permasalahan
Dari uraian-uraian
dalam pendahuluan tersebut, kiranya terdapat beberapa permasalahan yang dapat
kita bahas lebih lanjut. Permasalahan tersebut antara lain adalah:
1. Apa
yang dimaksud dengan persidangan secara elektronik?
2. Apa
hambatan dalam persidangan secara elektronik?
3. Apa
solusi bagi lancarnya persidangan secara elektronik?
III. Pembahasan
Atas
permasalahan-permasalahan yang kita dapatkan, maka akan kita bahas dan kita
uraian secara singkat sehingga bisa memberikan pemahaman bagi kita semua
mengenai arti pentingnya persidangan yang dilakukan secara elektronik. Begitu
pula kita akan mengetahui kelebihan dan kekurangan dari diadakannya persidangan
secara elektronik.
Meski demikian,
persidangan yang dilakukan secara elektronik bukan berarti membatasi kebebasan
Hakim dalam menjatuhkan putusannya. Fenomena kebebasan Haki sebagai fitrah,
melekat pada diri seorang Hakim, merupakan jiwa dai wujud istilah kemandirian
peradilan, sehingga merefleksikan pengalaman Hakim dalam mengeksploitasi semangat
kebebasan sebagai seorang Hakim.
Oleh karena itu
kewajiban menghormati dan menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka, semakin
memiliki urgensi prinsipiil sejalan dengan perkembangan demokrasi yang
menerapkan negara dijalankan berdasarkan atas prinsip hukum dan negara berpaham
pada negara konstitusi yang mengamanatkan penghormatan tertinggi atas
pembatasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan penegakan asas kebebasan hakim
sebagai prasyarat negara berdasarkan atas hukum dan konstitusionalisme.
Berkaitan dengan
perkembangan jaman yang semakin maju dan juga perkembangan tekhnologi informasi
yang semakin pesat, maka kita harus memahami dan mengikutinya, termasuk di
dalamnya adalah dalam hal persidangan yang saat ini bisa dilakukan secara
elektronik.
1. Apa
yang dimaksud dengan persidangan secara elektronik?
Sebelum
membahas mengenai persidangan secara elketronik, maka ada baiknya apabila kita
mengetahui terlebih dahulu pengertian Informasi, Teknologi, Komunikasi, Teknologi
Informasi maupun Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Secara
singkat Informasi iti dapat dikatakan sebagai sejumlah data yang sudah diolah
atau diproses melalui prosedur pengolahan data dalam rangka menguji tingkat
kebenarannya, keterpakaiannya sesuai dengan kebutuhan. Lebih lanjut dikatakan,
sebagai perbandingan pemahaman terhadap informasi ini, berikut ada beberapa
definisi informasi, diantaranya:
a) Informasi
merupakan hasil dari pengolahan data, akan tetapi tidak semua hasil dari
pengolahan tersebutg dapat menjadi informasi;
b) Informasi
merupakan data yang telah mengalami pengolahan;
c) Informasi
memberikan makna;
d) Informasi
berguna atau bermanfaat;
e) Informasi
merupakan bahan pembuat keputusan;
Pendapat
lain mengatakan bahwa Informasi sering disamakan dengan pengertian data dan
data adalah sesuatu yang belum diolah dan belum dapat digunakan sebagai dasar
yang kuat dalam pengambilan keputusan.
Kemudian,
apa ciri dari informasi? Terdapat 2 (dua) pendapat yaitu dari Mc. Leod dan
pendapat dari Deni Darmawan. Mc. Leod mengatakan bahwa suatu informasi yang
berkualitas harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Akurat,
artinya informasi mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Pengujian terhadap hal
ini biasanya dilakukan melalui pengujian oleh dua orang atau lebih yang
berbeda-beda dan apabila hasil pengujian tersebut hasilnya sama, maka dianggap
data tersebut akurat;
2) Tepat
waktu, artinya informasi itu harus tersebut atau ada pada saat
informasi tersebut diperlukan, tidak besok atau tidak beberapa jam lagi;
3) Relevan,
artinya informasi yang diberikan harus seusia dengan yang dibutuhkan. Kalau
kebutuhan informasi ini untuk suatu organisasi maka Informasi tersebut harus
sesuai dengan kebutuhan Informasi di berbagai tingkatan dan bagian yang ada
dakam organisasi tersebut;
4) Lengkap,
artinya informasi harus diberikan secara lengkap;
Adapaun
Deni Darmawan menjelaskan ada 6 (enam) ciri dari informasi yang bisa memberikan
makna bagi pengguna, diantaranya:
1) Amount
of Information (Kualitas Informasi), dalam arti bahwa
informasi yang diolah oleh suatu prosedur pengolahan informasi mampu memenuhi
kebutuhan banyaknya informasi;
2) Quality
of Information (Kualitas Informasi), dalam arti bahwa
informasi yang diolah oleh sistem pengolahan tertentu mampu memenuhi
kebutuhankualitas informasi;
3) Recency
of Information (Informasi Aktual), dalam arti bahwa
informasi yang diolah oleh sistem pengolahan tertentu mampu memenuhi kebutuhan
informasi baru;
4) Relevance
of Information (Informasi yang relevan atau sesuai) dalam
arti bahwa informasi yang oleh sistem pengolahan tertentu mampu memenuhi
kebutuhan informasi;
5) Accuracy
of Information (Ketepatan Informasi), dalam arti bahwa
informasi yang oleh sistem pengolahan tertentu mampu memenuhi kebutuhan
informasi;
6) Authenticity
of Information (Kebenaran Informasi), dalam arti bahwa
informasi yang dikelola oleh sistem pengolahan tertentu mampu memenuhi
kebutuhan informasi yang benar.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan Teknologi? Untuk menjawabnya, maka
harus dipahami telebih dahulu, bahwa Teknologi mempunyai 4 (empat) perspektif:
1.
Perspektif Teknologi
sebagai Ide, berarti individu yang memahami Teknologi sebagai Ide, ia tidak
akan merasa bahwa dirinya “gaptek”;
2.
Perspektif Teknologi
sebagai Rancang Bangun, berarti dalam memahami bahwa dapat pula ditelaah dari
sudut pandang rancang Bangun;
3.
Perspektif Berpikir Inovatif, yaitu seseorang
yang memahami perspektif ketiga ini, diharpakan akan menjadi Teknolog yang
sejati;
4.
Perspektif Kebahasaan,
yaitu kita dapat melihat perubahan teknologi pada saat pengetahuan Teknik kita
meningkat.
Selanjutnya, yang disebut dengan Komunikasi adalah proses sistematik
bertukar informasi diantara pihak-pihak, biasanya melalui system symbol biasa.
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman mengenai pengertian
Teknologi Informasi. Akan tetapi salah satu pengertian Teknologi Informasi
adalah suatu bidang ilmu pengetahuan yang perkembangannya semakin pesat dari
tahun ke tahun.
Pendapat lain mengatakan bahwa Teknologi Informasi dapat dikatakan senagai ilmu
yang diperlukan untuk mengelola informasi agar informasi tersebut dapat dicari
dengan mudah dab akurat, sedangkan isi dari dari ilmu itu dapat berupa
teknik-teknik dan prosedur untuk menyimpan informasi secara efisien dan
efektif.
Menurut Martin, Teknologi Informasi tidak hanya terbatas pada teknologi
computer yang digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi, melainkan
mencakup juga teknologi komunikasi untuk mengirimkan informasi.
Siagian berpendapat bahwa salah satu perkembangan pesat pada era
informasi saat ini adakah telah terjadinya perkawinan antara teknologi
komunikasi dan teknologi informasi, akibatnya makin banyak saluran penyampaian
informasi dari satu pihak ke pihak lain.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat diambil suatu kesimpaulan bahwa
teknologi informasi dan teknologi komonukasi merupakan sarana penyampaian
informasi dari satu pihak ke pihak melalui berbagai cara, termasuk melalui
sarana elektronik. Sehingga dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa
persidangan yang dilakukan secara elektronik yang menggunakan teknologi
komunikasi dan juga teknologi informasi pada hakekatnya adalah upaya untuk
menyampaikan informasi persidangan secara elektronik, termasuk di dalamnya
adalah upaya persidangan yang dilakukan dengan menggunakan sarana teknologi
komunkasi dan juga teknologi informasi, yang semuanya bertujuan untuk
memangkas proses persidangan yang
bertele-tele dan memudahkan para pihak yang akan berperkara di kantor
pengadilan.
Saat
ini kita tentu sudah tidak asing dengan istilah E-Tilang atau ElectronicTilang,
yang dapat disebut dengan Tilang bagi pelanggar lalu lintas yang dilakukan
secara elektronik. Benarkah E-Tilang dilakukan persidangan secara elektronik?
Atau hanya dendanya saja yang dibayarkan secara elektronik melalui jasa
perbankan baik melalui ATM ataupun melalui Internet Banking?
Dalam
prakteknya, E-Tilang hanyalah berkaitan dengan pembayaran dendanya saja yang
dilakukan secara elektronik, sedangkan proses persidangannya sama sekali tidak
dilakukan di Kantor Pengadilan Negeri. Bahwa kenyataanya, Hakim hanya
menandatangani berkas tilang yang sudah tercantum besaran nilai dendanya tanpa
pernah dilakukan persidangan. Jadi sebenarnya sangat tidak tepat bila disebut
E-Tilang adalah proses persidangan perkara Tilang (pelanggaran lalu lintas)
dilakukan secara elektronik.
Secara
singkat dapat dijelaskan bahwa E-Tilang atau E-TLE (Electronic Traffic Law
Enforcement) adalah sistem tilang elektronik yang memanfaatkan sistem CCTV
sebagai pengawasnya alih-alih polisi yang bertugas di jalanan, apabila ada
kendaraan yang melanggar peraturan lalu lintas dan tertangkap CCTV, petugas
yang memantau di monitoring
room akan merekam dan mencatat nomor plat kendaraan dan
pemilik plat kendaraan akan diberikan surat tilang dan harus membayar denda
tersebut via bank dalam jangka waktu tujuh hari.
Dari
uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa E-Tilang bukan
berarti proses persidangan Tilang atau pelanggar lalu lintas dilakukan secara
elektronik, akan tetapi adalah proses tilang yang menggunakan fasilitas
elektronik seperti kamera pengawas (CCTV) yang ditempatkan di jalan-jalan yang
telah ditentukan. Kemudian denda tilang didasarkan pada hasil pemantauan kamera
pengawas tesebut, yang kemudian berkasnya dikirimkan ke Pengadilan Negeri untuk
mendapatkan pengesahan (tanda tangan) dari Hakim. Sehingga sampai dengan saat
ini, keberadaan Pengadilan Negeri hanyalah sebagai pihak yang memvalidasi atas
denda yang diterapkan terhadap para pelanggar lalu lintas dan bukan sebagai
pemutus perkara pelanggaran lalu lintas, sebagaimana yang terjadi sebelum diterapkannya
E-Tilang beberapa waktu yang lalu.
Kemudian,
apa yang disebut dengan persidangan yang dilakukan secara elektronik? Dalam
PERMA Nomor 1 Tahun 2019 pada pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa Persidangan
Secara Elektronik adalah serangkaian proses memeriksa dan mengadili perkara
oleh pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan
komunikasi.
Dari
uraian pasal 1 angka 7 PERMA Nomor 1 Tahun 2019 tersebut, maka secara singkat
dapat disebutkan bahwa persidangan secara elektronik adalah proses persidangan
yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Secara tegas, PERMA ini
hanya mengatur proses persidangan perkara perdata, hal ini terlihat pada
ketentuan pasal 4 yang menyebutkan Persidangan secara elektronik dalam
peraturan ini berlaku untuk proses persidangan dengan acara penyampaian gugatan
/ permohonan / keberatan / bantahan / perlawanan / intervensi beserta
perubahannya, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan pengucapan
putusan / penetapan.
Meski
demikian, terobosan ini kiranya patut kita apresiasi, mengingat kita belum
mempu membuat Hukum Acara Perdata sebagai pengganti dari HIR maupun RBg yang
merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda yang tentu saja sudah tidak
sejalan dengan nilai-nilai kemasyarakatan yang hidup dalam masyarakat Indonesia
saat ini. Peraturan Mahkamah Agung ini, meskipun bau mengatur sebatas pada
Hukum Acara Perdata, hal ini dapat dipahami bahwa Hukum Perdata merupakan hukum
yang bersifat perorangan, yaitu antara orang yang dirugikan dengan orang yang
menimbulkan kerugian. Pengaturan yang bersifat perorangan tentu saja lebih
mudah dibandingkan dengan pengaturan yang melibatkan banyak orang / publik,
sehingga dengan demikian, pembaharuan Hukum Acara Perdata dapat menjadi pionir
dari pembaharuan hukum Indonesia secarfa keseluruhan.
Berkaitan
dengan persidangan secara elektronik, perlu kiranya kita menengok sejenak pada
system hukum yang ada di negara tetangga kita di ASEAN, yaitu Singapura,
menilik negara tetangga ASEAN, Penggunaan elektronik dalam proses administrasi
pengadilan telah dilakukan oleh Singapura melalui e-Justice yang merupakan Electronic Filling System (EFS) telah
diluncurkan pada tanggal 1 Maret 2000. EFS merupakan sebuah sistem jaringan
komputer nasional yang menghubungkan kehakiman dengan firma hukum atau organisasi
pencari keadilan melalui sebuah perangkat lunak. Pelaksanaan e-Justice berfokus
pada pengajuan berbagai dokumen pengadilan yang memberikan dampak signifikan
pada proses administrasi pengadilan terutama pada surat panggilan. Kiranya dapat dipahami
bahwa meskipun kita cukup tertinggal dari sistem hukum Singapura, akan tetapi
adanya keinginan untuk dapat mengejar ketertinggalan harus kita apresiasi.
Harus
diakui bahwa dengan adanya Perma No. 3 Tahun 2018, dilanjutkan dengan Perma No.
1Tahun 2019 dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019, tentu saja akan membuat tergagap bagi para
aparat pengadilan mengingat, masih banyak aparat pengadilan yang masih gagap
tekhnologi (GAPTEK), sehingga dibutuhkan kesabaran untuk dapat memberikan
pelatihan-pelatihan teknis dengan Bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami.
Secara administratif pemberkasan, semua berkas perkara sudah
ditata dan diatur secara elektronik, dalam arti semua data dalam sebuah berkas
perkara sudah pula dimasukkan data-datanya secara elektronik, baik mengenai
penunjukan majelis hakim, penunjukan panitera pengganti, jadwal sidang,
penundaan sidang, acara persidangan, pembacaan putusan, termasuk upaya hukum
yang akan diajukan dan juga putusan dari upaya hukum yang diajukan. Terhadap
hal ini juga telah dilakukan pelatihan-pelatihan teknis supaya para aparat
pengadilan memahami dan menguasai teknologi yang digunakan. Hal ini bertujuan
tidak lain agar pelayanan terhadap masyarakat dapat dilakukan secara optimal.
"Perma
Nomor 3 Tahun 2018 merupakan reformasi di bidang hukum acara dengan
memanfaatkan teknologi informasi," tulis Kabiro Hukum dan Humas MA
Abdullah dalam keternagan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Jumat (6/4),
menurutnya juga, Perma tersebut sangat relevan dengan kondisi geografis
Indonesia sebagai sebagai negara kepulauan yang sulit dijangkau dengan waktu
yang cepat. Sehingga, Perma tersebut akan memberikan kemudahan bagi siapapun
untuk mengajukan tuntutan hak, baik gugatan maupun permohonan tanpa harus
datang langsung ke pengadilan.
Kelahiran Perma RI No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di
lingkungan pengadilan menjadi landasan hukum penyelenggaran administrasi
perkara di pengadilan secara elektronik untuk mendukung terwujudnya tertib
administrasi perkara yang profesional, transparan, akuntanbel, efektif,
efisien, dan modern, meskipun demikian, E-court juga membawa
konsekuensi tersendiri terhadap proses beracara di pengadilan karena
dalam e-court, tidak semua tahap persidangan harus dihadiri oleh
para pihak. Sementara itu, sifat dari acara pemeriksaan perkara di depan sidang
pengadilan di Indonesia berdasarkan HIR dan R.Bg dilakukan secara lisan yang
berarti dilakukan dengan kontak langsung berupa tanya jawab dengan lisan antara
majelis hakim dengan para pihak, begitu pula sewaktu mendengar keterangan
saksi-saksi.
Siapapun
paham, bahwa saat ini harus ada perubahan paradigma terhadap persidangan di
pengadilan. Di era digital saat ini apabila masih menerapkan hukum acara baik
hukum acara pidana maupun hukum acara perdata secara kaku,hanya akan membuat
hukum kita semakin tertinggal dibandingkan negara lain. Kita harus mampu membangun
sistem peradilan yang modern, singkat, berbiaya ringan, memberikan rasa
keadilan dan menjamin kepastian hukum.
Dalam
rangka mewujudkan persidangan secara elektronik, maka Mahkamah Agung telah
menadakan diskusi publik Rancangan Peraturan
Mahkamah Agung tentang Sistem Administrasi Perkara dan Persidangan Secara
Elektronik di Pengadilan pada hari Senin 17 Juni 2019 yang berlokasi di
Auditorium Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Diskusi publik ini dipimpin oleh
Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M,
dihadiri oleh Hon James L Allsop (Chief Justice Federal Court of Australia) dan
Sia Lagos (Senior Registrar Federal Court of Australia) yang memberikan
perspektif persidangan elektronik di Australia. Dalam
diskusi tersebut dibahas tentang tata cara persidangan secara elektronik baik
itu dalam proses jawab menjawab, keterangan saksi maupun keterangan ahli
Salaj satu contoh terhadap proses administrasi perkara secara
elektronik yang telah diterapkan di Australia adalah Di
Australia, konsep “BAS milik pihak berperkara” itu ternyata benar-benar
diterapkan, meskipun dalam lingkup yang terbatas, yaitu di Family Court of Australia
(FCoA), tersedia layanan gratis berupa pemberian transkrip persidangan kepada
para pihak yang berperkara dan kuasa hukumnya dan layanan ini dimungkinkan,
karena di setiap ruang sidang terpasang alat perekaman suara.
Di
dalam persidangan yang dilakukan secara elektronik, tentu saja akan menggunakan
apa yang disebut dengan Informasi Elektronik. Mengenai Informasi Elektronik. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa;
“Informasi Elektronik
adalah satu atau
sekumpulan data eletktronik, termasuk, tetapi
tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, electronic
data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic
mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode
akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Demikian pula akan kita pergunakan pula apa yang disebut dengan
Dokumen Elektronik, yang apabila kita membaca pada ketentuan Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Noor 11 Tahun 2008, menyebutkan bahwa:
“Dokumen Elektronik adalah setiap
Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer
atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.”
Dalam
praktek pelaksanaan E-Court dan E-Litigation, sebenarnya sudah diawali di
tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali, yaitu dengan dikeluarkannya Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik Sebagai
Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, yang isinya adalah
sebagai berikut:
1. Terhitung
mulai tanggal 1 Maret 2011 seluruh berkas kasasi/peninjauan kembali yang
diajukan ke Mahkamah Agung harus menyertakan dokumen elektronik (compact disc,
flash disk, e-mail, dll) sebagai berikut:
a. Dokumen
elektronik untuk permohonan kasasi/peninjauan kembali perkara perdata/perdata
khusus/ perdata agama/tata usaha negara/pajak, meliputi:
1) putusan pengadilan tingkat pertama,
dan
2) putusan pengadilan tingkat banding.
b. Dokumen
elektronik untuk permohonan kasasi/peninjauan kembali perkara pidana/ pidana
khusus/ militer, meliputi:
1) putusan pengadilan tingkat pertama;
2) putusan pengadilan tingkat banding,
dan
3) surat dakwaan jaksa.
2. Keberadaan
dokumen elektronik tersebut menjadi kelengkapan dari bundel B, sehingga apabila
dokumen elektronik tersebut tidak disertakan dalam berkas, Mahkamah Agung akan menyatakan
berkas tersebut tidak lengkap dan dikembalikan ke pengadilan pengaju;
3. Selain
itu, mengingat pentingnya naskah memori kasasi/Peninjauan Kembali dalam upaya
meningkatkan efisiensi proses pemberkasan, maka setiap Ketua Pengadilan
diharapkan bisa mendorong agar para pihak dapat menyerahkan juga softcopy
memori Kasasi/Peninjauan Kembali bersamaan dengan penyerahan berkas (hard copy)
memori Kasasi/Peninjauan Kembali;
4. Untuk
itu diperintahkan kepada seluruh Ketua Pengadilan tingkat pertama dan banding
dari empat lingkungan peradilan untuk memastikan bahwa unit kerja yang berada
di bawah kewenangan pembinaannya sebagai berikut:
a. secara
teratur menyelenggarakan pengelolaan naskah elektronik putusan pengadilannya
sebagai bagian dari pengelolaan pengarsipan;
b. memastikan
kepatuhan pengiriman dokumen elektronik pada berkas Kasasi/ Peninjauan Kembali;
c. melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi
terhadap kepatuhan dan kelancaran proses pengelolaan dan pengiriman naskah
elektronik di pengadilan.
Mahkamah Agung kemudian memperbaiki dan menyempurnakan
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2010 tersebut dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014. Dalam
SEMA lama, dokumen elektronik yang wajib disertakan hanya meliputi putusan dan
dakwaan, maka yang diatur SEMA 1 Tahun 2014, lingkupnya lebih luas.
Jenis
Perkara
|
e-Dokumen
dalam Perkara kasasi
|
e-Dokumen
dalam Perkara Peninjauan Kembali
|
Perkara Perdata/Perdata Khusus/Perdata
Agama/Tata Usaha Negara/Pajak
|
1. Relaas Pemberitahuan Putusan Banding;
2. Akta Permohonan Kasasi;
3. Tanda Terima Memori Kasasi;
4. Putusan Pengadilan Tingkat Pertama;
5. Putusan Pengadilan Tingkat Banding;
6. Memori Kasasi;
7. Kontra Memori Kasasi,
|
1. Akta Permohonan Peninjauan Kembali;
2. Putusan Pengadilan Tingkat Pertama; dan/atau
3. Putusan Pengadilan Tingkat Banding; dan/atau
4. Putusan Tingkat Kasasi;
5. Memori Peninjauan Kembali;
6. Kontra Memori Peninjauan Kembali;
7. Berita Acara Sumpah Bukti Baru (Novum).
|
Perkara Pidana/Pidana Khusus/Pidana
militer,
|
1. Relaas Pemberitahuan Putusan Banding
2. Akta Permohonan Kasasi;
3. Tanda Terima Memori Kasasi;
4. Putusan Pengadilan tingkat pertama; dan/atau
5. Putusan Pengadilan tingkat banding;
6. Surat Dakwaan Jaksa;
7. Memori Kasasi;
8. Kontra Memori Kasasi,
|
1. Akta Permohonan Peninjauan Kembali;
2. Putusan Pengadilan tingkat pertama; dan/atau
3. Putusan Pengadilan tingkat banding; dan/atau
4. Putusan tingkat kasasi;
5. Memori Peninjauan Kembali;
6. Kontra Memori Peninjauan Kembali;
7. Berita Acara Pendapat Hakim.
|
Perbaikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tersebut
bertujuan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses minutasi
berkas perkara serta menunjang pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas serta
pelayanan publik pada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, maka
dipandang perlu untuk menata pemanfaatan kemajuan teknologi dan informasi dan
menjadikannya sebagai bagian dari prosedur tetap penanganan perkara sebagai
bagian penyempurnaan terus menerus yang dilakukan oleh lembaga peradilan
Indonesia.
Beberapa kalangan sempat mempertanyakan mengapa berkas
perkara yang diajukan kasasi maupun peninjauan kembali harus disertai dengan
dokumen elektronik. Pertanyaan semacam ini sangat wajar, mengingat pada saat
dikeluarkannya SEMA Nomor 14 Tahun 2010, belum semua pengadilan, baik
pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara maupun
pengadilan militer, belum sepenuhnya mengubah paradigma pengelolaan data dengan
menggunakan data elektronik. Masih ditemui adanya pengadilan yang membuat
putusan maupun berita acara persidangan dengan menggunakan mesin ketik dan
belum menggunakan perangkat computer dan sejenisnya. Sangat terlihat adanya
gagap tekhnologi dari para aparat pengadilan ketika Mahkamah Agung MEMAKSA
berkas perkara yang diajukan kasasi maupun peninjauan kembali harus dalam
bentuk dokumen elektronik. Akan tetapi hal ini perlahan mulai dapat diperbaiki,
dengan itikad kuat dari Mahkamah Agung yang ingin menjadilan peradilan yang
modern, maka saat ini hampir tidak ada lagi Hakim yang mengetik putusan dengan
menggunakan mesin ketik atau Panitera Pengganti yang mengeti Berita Acara
Persidangan dengan menggunakan mesin ketik, semuanya sudah dilakukan dengan
komputerisasi.
Untuk menjawab kenapa Mahkamah Agung memaksa pengadilan
mengirimkan berkas yang diajukan permohonan kasasi maupun peninjauan kembali
adalah demi mempercepat proses pengetikan putusannya. Dapat dibayangkan ketika
sebuah berkas perkara tindak pidana korupsi yang putusan di tingkat pertama
maupun banding sudah terdiri dari ratusan lembar yang masih dalam bentuk hard
copy berupa ketikan dengan menggunakan mesin ketik dan harus diketik ulang
dalam proses penyusunan putusan kasasi maupun peninjauan kembali. Ketika berkas
kasasi maupun peninjauan kembali tersebut sudah dalam bentuk soft copy,
maka proses pengetikan ulang dalam proses penyusunan putusan kasasi maupun
peninjauan kembali menjadi lebih mudah, yaitu hanya dengan menggunakan proses copy
dan paste atau disalin dan ditempel. Meski demikian, proses copy
paste juga tidak terlepas dari kesalahan, apabila user atau
penggunanya tidak melakukan pengecekan lagi atas hasil ketikannya, sebab bisa
menyebabkansalah ketik yang bisa berakibat fatal.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah sudah cukup dengan
pengiriman berkas kasasi maupun peninjauan kembali dalam bentuk dokumen
elektronik, maka proses persidangan sudah bisa dikatakan telah dilakukan secara
elektronik?
Dalam pandangan secara teoritikal, persidangan secara
elektronik adalah persidangan yang menggunakan segala sarana dan prasarana elektronik
dan dilakukan tidak pada satu tempat. Maksud dari dilakukan tidak pada satu
tempat adalah dimungkinkannya persidangan dilakukan di ruang persidangan oleh
Hakim dan Panitera Pengganti, akan tetapi baik Penuntut Umum, Terdakwa,
Penasihat Hukum Terdakwa maupun saksi-saksi berada di tempat yang berbeda,
yaitu dengan cara teleconference, untuk perkara pidana dan persidangan
dilakukan dengan Majelis Hakim berada di ruang sidaing, sedangkan Penggugat
maupun Tergugat maupun para kuasanya, berada di tempat kediaman masing-masing,
demikian juga untuk saksi yang diperiksa, tetap berada di kediaman
masing-masing ataupun di tempat kediaman penggugat maupun tergugat, dalam
perkara perdata.
Pro kontra seputar ide
penggunaan metode teleconference untuk pemeriksaan saksi
persidangan dalam perkara pidana yaitu dalam kasus Cebongan bergulir di tengah
pembahasan RUU KUHAP di DPR RI. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
memandang metode teleconference diperlukan untuk melindungi
kepentingan saksi, sementara, pihak TNI berpendapat sebaliknya, karena tidak
ada aturan hukum yang mengatur tentang pemeriksaan saksi dengan metode teleconference.
Walau tidak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan tetapi di dalam prakteknya,
penggunaan teleconference pernah dilakukan. Pada 2002,
Mahkamah Agung (MA) pertama kali memberikan izin kepada mantan Presiden BJ
Habibie untuk memberikan kesaksian lewat teleconference dalam
kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tandjung,
pemeriksaan saksi melalui teleconference juga dilakukan dalam
kasus Abu Bakar Ba’asyir pada 2003, selain itu sidang pemeriksaan kasus Hak
Asasi Manusia (HAM) Timor Timur juga pernah menggunakan teleconference.
Penggunaan teleconference
tentu saja hanya merupakan sebagaian kecil dari pelaksanaan persidangan secara
elektronik yang harus dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai pemangku
kepentingan atau stake holder dari kekuasaan yudikatif di Indonesia.
Mahkamah Agung harus mampu mewujudkan peradilan Indonesia yang modern yang bisa
mendukung terlaksananya sistem peradilan pidana.
Dalam hal perkara pidana, Undang-Undang
Hukum Acara Pidana telah menetapkan 10 (sepuluh) asas yang merupakan pedoman
penyusunannya, yaitu:
1. Perlakuan
yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan
pembedaan perlakuan;
2. Penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah
tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dalam hanya dalam
hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang;
3. Setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai dengan adanya putusan
pengadailan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
4. Kepada
seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang
berdasarkan undang-undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak pada
tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau
karena kelalaiannya menyebabkan asa hukum tersebut dilanggar, dituntut,
dipidana dan/atau dikenakan hukum adminitrasi;
5. Peradilan
yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas,
jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat
peradilan;
6. Setiap
orang yang tersangkut perkara, wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum
yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas
dirinya;
7. Kepada
seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan selain
wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga
wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi minta bantuan
penasihat hukum;
8. Pengadilan
memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
9. Sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur
dalam undang-undang;
10. Pengawasan
pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua
pengadilan yang bersangkutan.
Berdasarkan kesepuluh hal tersebut di atas, maka
pelaksanaan persidangan secara elektronik juga harus mampu mengadopsi kesepuluh
nilai tersebut.
Sistem peradilan pidana dalam konteks Negara Hukum RI,
harus ditempatkan sebagai “macro -level” dalam penegakan hukum dan hukum
acara pidana sebagai “micro-level”, sistem peradilan pidana sebagai macro-level
meliputi 5 (lima) unsur yaitu:
1. Hukum
(tertulis dan tidak tertulis);
2. Kelembagaan;
3. Keuangan;
4. Budaya
/ kultur;
5. Kondisi
geografis.
Kemudian, berkaitan dengan penggunaan data elektronik
dalam persidangan, kiranya kita patut mencontoh pada praktek persidangan di
China. di China data elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi pertimbangan
bagi hakim dalam memutus suatu perkara.
Sehingga dari uraian tersebut di atas, maka saat ini
mulai terbuka era baru dunia peradilan di Indonesia, yatu dengan diterapkannya
persidangan yang dilakukan secara elektronik. Sudah tentu masih banyak
perbaikan yang harus dilakukan, sehingga makin mempermudah para pencari
keadilan dalam mengakses informasi dalam upaya mendapatkan keadilan.
2. Apa
hambatan dalam persidangan secara elektronik?
Berbicara
mengenai persidangan secara elektronik, tentu saja dibutuhkan piranti
elektronik yang mampu mendukung kinerja persidangan yang dilakukan secara
elektronik. Setelah penerapan E-Court dan E-Litigation pada awal 2020, mungkin
masih banyak hal yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan.
Digitalisasi tidak hanya dilakukan dalam hal pembayaran perkara maupun
pemanggilan akan tetapi atas permintaan para pihak diperlakukan pula dalam
tukar-menukar dokumen, jawab-menjawab, pembuktian, bahkan penyampaian putusan,
hal ini tentu mengurai rantai antrean panjang bahkan dalam hal pendaftaran
perkara masyarakat pencari keadilan, mengurangi interaksi langsung dengan
pemberi layanan dan juga meringkas birokrasi dalam mengakses pengadilan bagi
para pencari keadilan, dalam pengalaman pengguna yang penulis temui jika
pendaftaran dilakukan dengan sistem E-Court dapat kepastian
jadwal sidang, hakim yang menangani perkara dapat diketahui dengan hitungan
menit.
Sebagaimana telah kita pahami bersama, bahwa masayrakat mengetahui bahwa
proses persidangan selama ini sangat panjang dan melelahkan serta belum tentu mendapatkan
keadilan sebagaimana yang diinginkan/diharapkan. Selama puluhan tahun pembiaran
proses peradilan seakan-akan dilakukan tanpa ada upaya untuk memangkas proses
peradilan menjadi lebih cepat, sebagaimana adigium persidangan di Indonesia
yang dilakukan secara sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Sederhana berarti
proses persidangan yang tidak bertele-tele dengan penundaan persidangan tanpa
alasan yang sah menurut hukum. Cepat berarti, proses persidangan yang dimulai
dari masuknya perkara, untuk pekara pidana ataupun sejak didaftarkannya
perkara, untuk perkara perdata, hingga proses siding sampai dengan penjatuhan
putusan dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama, sudah ada patokan waktu
maksimal, sebuah perkara sudah harus sampai tahap penjatuhan putusan, kecuali
dalam hal tertentu, pemeriksaan perkara membutuhkan waktu yang lebih lama.
Biaya ringan, dalam hal ini dikhususkan untuk perkara perdata, harus sudah ada
patokan besaran biaya yang harus dibayarkan dari muali pendaftaran perkara,
pemanggilan saksi, pemeriksaan setempat atau pemeriksaan obyek perkara sampai
dengan penjatuhan putusan sudah dapat diketahui oleh para pihak yang akan
berperkara, tanpa ada lagi biaya-biaya siluman yang selama ini berlaku dan pada
akhirnya merusak system hukum di Indonesia karena hukum di Indonesia dapat
dibeli.
Berkaca pada praktek persidangan di Australia, kiranya dapat kita pahami
dari makalah dari Ombudsman sebagai berikut:
·
Pada mulanya, FCA (Federal
Court Australia) Pada tahun 2005, merumuskan e-Services strategic
plan (rencana strategis pelayanan elektronik) untuk mengembangkan
konsep e-court seperti e-filing dan e-court
room. Keseluruhan konsep tersebut akhirnya diperkenalkan untuk pertama
kalinya pada 14 Juli 2014 di Adelaide;
·
Prosesnya, pihak yang berperkara
membuat akun yang terdaftar pada sistem E-Lodgment dan
menggunakan akun tersebut untuk mengunggah dokumen-dokumen persidangan;
·
Dokumen yang telah diunggah
melalui E-lodgment akan langsung tersambung dan masuk
dalam Electronic Court File (ECF). ECF merupakan bank dokumen
resmi pengadilan yang memuat seluruh dokumen yang diajukan para pihak maupun
dokumen yang dibuat oleh pengadilan, baik hakim maupun staf;
·
Melalui ECF ini, pengadilan
bisa memeriksa berkas perkara secara elektronik, risiko hilangnya lembaran
berkas perkara dapat diminimalisir, bahkan jika hendak melakukan perubahan
dokumen tak lagi diperlukan cetak kertas ulang;
·
Disamping itu, dengan
teknologi yang tergolong advance, bahkan ketika para pihak ingin
memperoleh cap/stempel pengadilan, hanya butuh beberapa menit berkas yang sudah
distempel tersebut dikirimkan kembali kepada akun e-Lodgment para
pihak.
Meskipun
sistem peradilan kita berbeda dengan sistem peradilan yang berlaku di
Australia, namun penggunaan sistem elektronik yang digunakan di peradilan di
Australia, akan sangat bermanfaat apabila juga kita terapkan di sistem
peradilan di Indonesia.
Dan
saat ini peradilan Indonesia sedang merintis, membuka jalan bagi penggunaan
sistem elektronik dalam proses persidangan, sehingga masih sangat wajar apabila
masih banyak terdapat kekurangan dalam tahap penerapannya. Oleh sebab itu,
sedikit banyak kita perlu membedahnya apa saja kekurangan dari penerapan
persidangan secara elektronik tersebut. Beberapa kekurangan tersebut dapat kita
tinjau atau kita bahas dari beberapa aspek, yaitu:
A. Aspek
Internal:
1. Kesiapan
piranti keras (hardware) maupun piranti lunak (software):
a. Piranti
keras (hardware):
- Penyediaan
jaringan internet dengan kecepatan tinggi, yang memudahkan bekerjanya sistem
jaringan baik melalui sistem jaringan internal (LAN/Local Area Network)
maupun dengan nirkabel (WIFI);
- Selain
itu setiap Kantor Pengadilan juga sudah harus menyediakan server berkapasitas
besar yang memapu menampung arus data dalam jumlah besar, mengingat ketika
melakukan persidangan secara online maka traffic melalui internet
akan melonjak secara drastis;
- Harus
diakui bahwa sampai saat ini, pengadaan PC (Personal Computer) maupun laptop
di Kantor Pengadilan sudah cukup baik dikarenakan PC maupun laptop yang
diadakan sudah memliki spek yang tinggi sehingga dapat menunjang
tugas-tugas peradilan, hanya masih perlu penambahan jumlah yang lebh banyak
sehingga bisa mencukupi apabila diperlukan untuk persidangan secara teleconference;
- Sampai
saat ini mungkin belum terpikirkan oleh para pemangku kepentingan, bahkan di
tingkat Mahkamah Agung, bahwa perlu adanya pengadaan cadangan server
mengingat dengan penggunaan yang secara terus menerus dan dengan tingkat
penungaan data yang tinggi, maka akan sangat mungkin mengalami masalah, baik
rusak maupun overloaded maupun overheating dari server tersebut,
sehingga sudah seharusnya di setiap Kantor Pengadilan perlu adanya pengadaan server
cadangan yang meskipun memiliki kapasitas yang lebih kecil namun tentu
sangat membantu apabila terjadi hambatan pada server utama;
- Harus
diakui bahwa sampai saat ini secara nasional masih dilakukan penambahan baik
jarigannya maupun kapasitas listriknya sebagaimana dicanangkan dalam tulisan
Strategi Penyediaan Akses Listrik DI Pedesaan dan Daerah Terpencil DI Indonesia,
yang dirilis oleh IESRsehingga sangat diperlukan
pengadaan pembangkit listrik portable, misalkan mesin genset yang
memiliki daya listrik yang besar, yang bisa mengantisipasi apabila terjadi
pemadaman listrik oleh pihak PLN sebagai penyedia listrik satu-satunya di
Indonesia;
b. Piranti
lunak (software):
- Harus
diakui bahwa sampai saat ini masih banyak instansi pemerintah yang menggunakan
program komputer yang sifatnya tidak resmi (bajakan)dan kemungkinan termasuk
di dalamnya adalah instansi kantor pengadilan, hal ini tentunya sangat
memalukan disamping penggunaan program bajakan tidak jarang justru bisa merusak
hard ware yang kita gunakan
seperti PC maupun laptop,untuk itulah Mahkamah Agung harus menjadi
pelopor penggunaan program yang bukan bajakan sebagai upaya untuk menunjukkan
bahwa Mahkamah Agung ikut berperang melawan produk bajakan;
- Penggunaan
program bajakan tentu saja menbawa akibat mudahnya terserang virus pada
program-program tersebut, sehingga selain penggunaan produk bukan bajakan juga
disertai penggunaan program antivirus yang berkualitas baik;
- Setiap
software yang digunakan pasti membutuhkan pembahruan (update),
sehingga apabila software yang digunakan adalah produk bajakan, maka
ketika di update justru akan membuat software tersebut tidak
dapat digunakan;
2. Kemampuan
sumber daya manusia (SDM) dan sarana pendukung di tiap kantor pengadilan :
- Di
beberapa kantor pengadilan masih kita temui hanya memiliki 1 (satu) orang yang
memiliki keahlian di bidang Tekhnologi Informasi, tentu hal ini sangat miris
mengingat tenaga IT tersebut tidak hanya mengurusi soal teleconference
tetapi juga segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan Tekhnologi
Informasi yang ada di kantor pengadilan, sehingga perlu dipikirkan kembali
penempatan staf yang memiliki keahlian di bidang Tekhnologi Informasi sesuai
dengan kebutuhan dan tidak hanya 1 (atu) orang, disertai adanya staf yang mampu
membantu para pencari keadilan yang belum atau tidak memahami Tekhnologi
Informasi;;
- Selama
ini pelayanan di meja Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sudah menampakkan
fungsinya bagi pelayanan yang optimal baik dalam memberikan informasi
persidangan maupun pelayanan peradilan lainnya, selanjutnya petugas PTSP
hauslah orang-orang yang berkompeten dan juga ramah sehingga bisa lebih
memberikan pelayanan yang lebih optimal bagi para pencari keadilan;
- Penyediaan
baik pamflet, leaflet maupun papan-papan pengumuman yang cukup yang
mampu membantu para pencari keadilan yang akan beracara secara eletronik di
tiap kantor pengadilan;
- Penyediaan
computer (PC/Personal Computer) yang secara khusus digunakan untuk
membantu para pencari keadilan yang tidak/ belum mempunyai email yang
merupakan syarat mutlak untuk mendaftarkan perkara secara online;
3. Kemampuan
finansial dari masing-masing Kantor Pengadilan :
- Sebagaimana
kita ketahui bahwa keterbatasan finansial tidak hanya dikeluhkan oleh Kantor
Pengadilan tetapi juga oleh satuan kerja yang lainnya, khususnya dalam hal
penyediaan sarana dan prasarana Tekhnologi Informasi;
- Penggunaan
jaringan internet dengan bandwith besar tentunya juga membutuhkan biaya
yang cukup besar sehingga dalam setiap penggunaan jaringan internet tidak
dijumpai adanya gangguan (buffering) yang bisa mengganggu kelancaran
pelaksanaan tugas peradilan;
- Sampai
saat ini finansial yang ada lebih banyak digunakan sebagai belanja pegawai
(membayar gaji pegawai) sedangkan untuk pemyediaan sarana dan prasarana
pendukung tugas, terbilang masih kecil pembagiannya;
B. Aspek
Eksternal
-
Belum meratanya ketersediaan pasokan listrik
di tiap daerah, hal ini dapat dilihat dari seringnya pemadaman listrik di
seluruh wilayah Indonesia, terutama di wilayah Indonesia timur;
-
Belum meratanya ketersediaan jaringan
internet berkecepatan tinggi di seluruh wilayah Indonesia;
-
Tidak semua orang di Indonesia yang sudah
mempunyai alamat email, termasuk diantaranya adalah para Advokat;
-
Kurangnya sosialisasi pada pihak-pihak yang
akan berperkara di persidangan khususnya bagi perorangan yang pada umumnya
masih gagap tekhnologi;
C. Faktor
lainnya
Adalah
suatu kebetulan bahwa pada saat makalah ini ditulis, masyarakat Indonesia
beserta warga dunia lainnya sedang berjuang secara Bersama-sama memerangi
pandemi penyakit corona akibat virus covid-19. Akibat dari virus ini
menyebabkan berbagai wilayah di Indonesia mengalami PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar) sehingga beberapa pekerjaan harus dilakukan dari rumah atau
dilakukan secara daring atau online, termasuk diantaranya adalah
persidangan di Kantor Pengadilan.
Praktek
persidangan online dilakukan dengan cara, Majelis Hakim berada di ruang sidang
Kantor Pengadilan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kantor Kejaksaan Negeri,
Terdakwa berada di Kantor Rumah Tahanan Negara (RUTAN) sedangkan Penasihat
Hukum Terdakwa ada di Kantor Pengadilan. Selama praktek persidangan tersebut
diketemukan permasalahan sebagai berikut :
- Keterbatasan
alat audio visual untuk menyediakan sarana teleconference ;
- Penggunaan
aplikasi ZOOM sebagaimana diperintahkan oleh Mahkamah Agung namun yang
digunakan adalah yang versi gratis atau bukan berbayar, maka akan terjadi shutdown
atau pemutusan hubungan setiap 40 (empat puluh) menit sekali;
- Kemampuan
kamtor Pengadilan yang hanya bisa menyiapkan maksimal 3 (tiga) ruang sidang
untuk melakukan persidangan secara teleconference;
- Diperlukan
kabel koneksi yang panjang untuk menyambung antara ruang sidang dengan ruang
server;
- Jaringan
internetnya yang terkadang mengalami gangguan secara eksternal;
3. Apa solusi
bagi lancarnya persidangan secara elektronik?
Dari
berbagai hambatan yang ditemukan selam praktek persidangan secara online yang
dilakukan secara teleconference tersebut, tentu harus dicarikan solusi
sehingga tidak mengganggu jalannya persidangan.
A. Aspek
Internal:
1. Kesiapan
piranti keras (hardware) maupun piranti lunak (software):
a. Piranti
keras (hardware):
- Setiap
satuan kerja Kantor Pengadilan sudah harus menyiapkan jaringan internet dengan
kecepatan tinggi sehingga memudahkan bekerjanya sistem jaringan baik melalui
sistem jaringan internal (LAN/Local Area Network) maupun secara nirkabel
(WIFI);
- Penyediaan
server berkapasitas besar yang mampu menampung arus data dalam jumlah
besar;
- Penyediaan
computer (PC/Personal Computer) maupun laptop sebagai sarana
operasional;
- Penyediaan
server cadangan yang bisa digunakan apabila server utama
mengalami kerusakan;
- Penyediaan
sumber daya listrik yang baik termasuk di dalamnya adalah kesiapan adanya
sumber daya listrik cadangan;
c. Piranti
lunak (software):
- Kesiapan
program computer yang dapat mendukung sistem persidangan secara elektronik;
- Kesiapan
antispasi apabila sistem tekhnologi informasi yang kita miliki dirusak oleh
pihak lain termasuk di dalamnya adalah perusakan dengan penggunaan malware;
- Kecepatan
software dari update yang tersedia atas program yang digunakan;
4. Kemampuan
sumber daya manusia (SDM) dan sarana pendukung di tiap kantor pengadilan :
- Kesiapan
sumber daya manusia (SDM) yang terlatih yang mampu mengoperasikan sistem
elektronik secara baik dan juga yang dapat membantu para pencari keadilan yang
kurang menguasai sistem tekhnologi informasi;
- Kesiapan
dan kemampuan menjawab yang baik dan sopan dari petugas di meja Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP);
- Penyediaan
baik pamflet, leaflet maupun papan-papan pengumuman yang cukup yang
mampu membantu para pencari keadilan yang akan beracara secara eletronik di
tiap kantor pengadilan;
- Penyediaan
computer (PC/Personal Computer) yang secara khusus digunakan untuk
membantu para pencari keadilan yang tidak/ belum mempunyai email yang
merupakan syarat mutlak untuk mendaftarkan perkara secara online;
5. Kemampuan
finansial dari masing-masing Kantor Pengadilan :
- Sebagaimana
kita ketahui bahwa keterbatasan finansial tidak hanya dikeluhkan oleh Kantor
Pengadilan tetapi juga oleh satuan kerja yang lainnya, khususnya dalam hal
penyediaan sarana dan prasarana Tekhnologi Informasi;
- Penggunaan
jaringan internet dengan bandwith besar tentunya juga membutuhkan biaya
yang cukup besar sehingga dalam setiap penggunaan jaringan internet tidak
dijumpai adanya gangguan (buffering) yang bisa mengganggu kelancaran
pelaksanaan tugas peradilan;
- Sampai
saat ini finansial yang ada lebih banyak digunakan sebagai belanja pegawai
(membayar gaji pegawai) sedangkan untuk pemyediaan sarana dan prasarana
pendukung tugas, terbilang masih kecil pembagiannya;
B. Aspek
Eksternal:
Dari aspek eksternal, dapat dikatakan ada beberapa
hal yang harus mendapat perhatian serius dari Mahkamah Agung. Hal ini mengingat
bahwa faktor eksternal ini mengharuskan Mahkamah Agung bekerjasama dengan
Kementerian-Kementerian terkait, supaya dapat mengatasi hambatan-hambatan yang
disebabkan oleh aspek ekseternal ini.
Beberapa hal dari aspek eksternal ini antara lain
adalah sebagai berikut :
a)
Belum meratanya ketersediaan pasokan listrik
di tiap daerah, oleh karena itu Mahkamah Agung harus bisa menjalin hubungan
kerja yang baik dengan instansi terkait yaitu Kementerian Badan Usaha Milik
Negara, berkaitan dengan penyediaan listrik di kantor-kantor pengadilan yang
disediakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN). Dengan terjaminnya pasokan
listrik di setiap kantor pengadilan, tentu akan menjamin pelayanan publik secara
elektronik bagi para pencari keadilan;
b)
Belum meratanya
ketersediaan jaringan internet berkecapatan tinggi di seluruh Indonesia, dalam
hal ini Mahkamah Agung harus bisa melakukan kerja sama dengan Kementerian Komunikasi
dan Informasi (Kemenkominfo), demi menjamin pengadaan jaringan internet secara
merata menuju jaringan internet berkecapatan tinggi di seluruh wilayah
Indonesia. Pelayanan publik secara
elektronik akan dapat dilakukan secara optimal apabila telah tersedia jaringan
internet secara merata di seluruh wilayah Indonesia;
c)
Tidak semua orang
di Indonesia yang sudah mempunyai alamat email, termasuk diantaranya adalah
para Advokat, hal ini berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia yang masih
cukup rendah di Indonesia, terutama dalam hal pendidikan yang berkaitan dengan
internet atau pendidikan secara online / daring. Dalam hal ini kiranya ada kerja
sama antara Mahkamah Agung dengan Kementerian Pendidikan untuk bisa memberikan
pendidikan yang terbaik bagi terciptanya sumber daya manusia yang mumpuni di
bidang internet;
d)
Kurangnya
sosialisasi pada para pihak-pihak yang akan berperkara, dalam hal ini Mahkamah
Agung dapat bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk bisa
melakukan sosialisasi di desa-desa, khususnya di daerah terpencil, sehingga
bisa membuka mata masyarakat bahwa pelayanan peradilan dapat dilakukan secara
online / daring;
IV. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat kita ambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Mahkamah Agung perlu menyiapkan sarana dan prasaran
yang memadai apabila ingin mengadakan persidangan secara online / daring;
2. Mahkamah Agung juga perlu menyiapkan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang berkualitas dalam menghadapi perkembangan persidangan secara
online / daring;
3. Mahkamah Agung perlu melakukan kerja sama dengan
instansi-instansi yang memiliki kewenangan-kewenangan tertentu dengan tujuan
memperlancar persidangan yang akan dilakukan secara onile / daring;
V. PENUTUP
Demikian kiranya yang dapat kita sampaikan dalam tulisan singkat ini demi
mendukung kemajuan Mahkamah Agung di masa depan. Hal ini mengingat perkembangan
teknologi informasi yang masih cepat yang bisa membuat kita makin tertinggal
apabila tidak segera kita menyesuaikannya. Semoga tulisan ini dapat menyadarkan
kita semua bahwa kita masih harus mengejar ketertinggalan kita sema ini, semua
demi pelayanan publik yang optimal bagi para pencari keadilan.
VI. BAHAN
BACAAN
3. Ahmad
Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Penerbit Kencana Prenadamedia Group,
Jakarta, 2016;
4. Deni
Darmawan, Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Teori dan Aplikasi),
Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013;
5. Lantip
Diat Prasojo & Riyanto, Teknologi Informasi Pendidikan (Membahas materi
dasar teknologi informasi yang wajib dikuasai Pemula TI), Penerbit Gava
Media, Yogyakarta, 2011;
17. Romli
Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Penerbit Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, April 2010;
18. Heniyatun
dkk, Varia Justicia, Vol 14 No (1) 2018, diunduh pada tanggal 17 Maret 2020;