Rabu, 29 Mei 2013

CATATAN MASALAH HAM



BEBERAPA KASUS HAM YANG BELUM TERSENTUH HUKUM

Setelah kemerdekaan, ternyata di Indonesia masih banyak menyimpan kasus pelanggaran HAM berat, yang perlu kita telaah lebih lanjut.

Beberapa kasus pelanggaran berat HAM seperti peristiwa G30S, Tanjung Priok, Warsidi Lampung sampai Kasus Semanggi I dan II kemungkinan bakal digarap KKR. Mungkinkah menuai sukses?

Peristiwa Warsidi Lampung
Peristiwa ini terjadi di Cihedeung, Dukuh Talangsari III, Desa Rajabasa Lama Kec. Way Jepara Lampung Tengah pada 7 Februari 1989. Kasus pembantaian ini bermula ketika Danramil 41121  Way Jepara Kapten Soetiman menerima sepucuk surat dari Camat Zulkifli Maliki. Isinya;  DiDukuh Cihedeungada yang melakukan kegiatan mencurigakan dengan kedok pengajian. Laporan dari Kepala Dusun Cihideung, Sukidi, itu kemudian dijadikan oleh Soetiman untuk memanggil tokoh pengajian itu yang bernama Anwar.
Soetiman meminta agar Anwar selambat-lambatnya 1 Februari 1989 menghadap. Tapi Anwar menolak. Ia justru malah meminta agar Danramil yang datang ke tempatnya. Merasa ditolak, giliran Zulkifli sang Camat yang memanggil Anwar. Tapi juga tak diindahkan. Anwar malah memanggil Muspika agar datang ke tempatnya. Kemudian pada 5 Februari 1989, sekitar enam pemuda desa Cihideung yang sedang ronda disergap oleh tentara.
Saat itu pihak aparat berhasil menyita 61 pucuk anak panah dan ketapel kayu. Sehari setelah itu, Kasdim 0411 Lampung Tengah, Mayor E.O Sinaga, mengajak Soetiman, Zulkifli dan Letkol Hariman S. (Kakansospol) dan beberapa staf CPM ke Cihideung untuk memenuhi undangan Anwar. Ternyata, sesampainya di sana mereka malah dihujani anak panah. Soetiman tewas.
Pada hari yang sama, di tempat yang lain, sekelompok orang menyerang Pos Polisi yang menjaga hutan lindung di Gunung Balak. Dua polisi terluka. Kepala Desa Sidorejo, Santoso Arifin   dibunuh. Malam harinya sebuah oplet di jalan Sri Bawono disergap gerombolan. Sopir pellet dibunuh dan kernet dilukai. Pratu Budi Waluyo yang kebetulan berada di lokasi itu juga tewas. Maka pada 7 Februari 1989, usai sholat subuh, tiba-tiba terdengan serentetan tembakan. Lalu api menjilat-jilat ke bangsal tempat jamaah Wardisi menginap. Suara tembakan itu disambut dengan takbir,”Allahu akbar….”, berbaur dengan jerit tangis dan histeria.
Serangan fajar itu berasal dari empat peleton tentara dan 40 anggota Brimob di pimpin langsung oleh Komandan Korem 043 Garuda Hitam (saat itu) Kolonel A.M. Hendropriyono.
Setelah usai suara tembakan itu, jumlah korban versi tentara menyebutkan hanya 27 orang. ‘Berapapun yang tewas, bagi kami itu tetap tragedi kemanusiaan yang tidak bisa didiamkan,” tandas Fikri Yasin Koordinator Komite Smalam, sebuah LSM yang getol memperjuangkan nasib  korban pembantaian Lampung.
Bahkan, menurut Yasin, pihaknya mendata korban tewas mencapai 246 orang, belum termasuk yang hilang. Dari keseluruhan korban itu, 127 diantaranya perempuan.
Kini kasus ini makin kontroversi ketika kubu Hendropriyono menggagas ishlah. Sebagian korban menolak gagasan itu. Tapi sebagian lain mengikuti langkah Hendro untuk melakukan ishlah. Kabar terbaru menyebutkan para korban yang mau ishlah telah mencabut pernyataannya dengan alasan, ”Banyak komitmen Hendro yang diingkari. Makanya kami mencabut ishlah,” kata Wahid salah satu korban yang mencabut ishlah itu.
Versi lain mengatakan, peristiwa lampung sendiri meletus setelah tentara merasa gerah dengan gerakan Warsidi di pesantrennya yang berkembang pesat dan hidup secara eksklusif. Merasa wilayahnya terganggu oleh kegiatan mereka, Hendro pun berulah dan membuat keributan yang berakhir dengan pembantaian komunitas Warsidi yang ingin sekedar bisa hidup lebih islami.
G30S PKI
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi pada Jumat subuh. Saat itu terjadi penculikan disertai pembunuhan terhadap tujuh Jenderal Angkatan Darat. Drama pembantaian para Jenderal ini juga menewaskan anak Jenderal AH Nasution, Ade Irma Suryani.
Versi buku putih Pemerintah menuturkan, hanya dua hari setelah pembantaian itu, Brigjen Soeharto berhasil mengendalikan suasana. Dengan bekal Supersemar diapun memberangus PKI, yang diakini sebagai pelaku makar, sampai ke akar akarnya.
Penanganan kasus G30S, menurut Asvi Marwan Adam, jika akan diselesaikan oleh lembaga KKR bakal menuai kesulitan yang amat sangat. Tidak hanya soal banyaknya versi cerita seputar kejadian. Tapi masyarakat masih trauma dengan tragedi tahun 1965 itu.
Peristiwa G30S, banyak peneliti melihat, merupakan puncak tragedi setelah terjadi serentetan peristiwa politik yang melibatkan massa PKI dan massa non PKI. Hasil penelitian Hermawan Sulistiyo  di  Jawa   Timur    membuktikan  itu.Dalam bukunya Palu Arit di Ladang Tebu, Hermawan menulis bahwa ada serentetan peristiwa perebutan tanah yang menciptakan letupan konflik-konflik kecil di berbagai daerah di Jawa Timur. Dan peristiwa yang sering meminta korban jiwa dari pihak santri NU itu memunculkan trauma dendam berkepanjangan. Karena itu, menurut Hermawan, saat PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena dianggap menjadi otak kudeta politik tahun 1965, dan terjadi perburuan besar-besaran terhadap aktivis PKI, pembantaian yang terjadi di Jatim sungguh sangat besat, baik dalam skala jumlah maupun tingkat kesadisannya. Hardoyo, mantan Ketua Umum CGMI periode 1960-1963 pun kemudian menggugat dengan ketus. ”Makanya peristiwa pembantaian sipil pasca 1 Oktober juga harus diungkap tuntas. Ini pembantaian terbesar dengan korban 1 juta lebih rakyat yang belum tentu berdosa,” katanya tandas.
Baik Hardoyo maupun Asvi sepakat, kalaulah KKR berperan dalam menyelesaikan kasus G30S, maka peristiwa itu harus dipilah dua. Pertama penanganan kasus sebelum 1 Oktober. Kedua       penanganan setelah 1 Oktober 1965. ”Dengan begitu akan lebih adil,” tambahnya.
Meski bakal menggerus aktivis PKI, Hardoyo sendiri setuju bahwa siapapun yang terlibat dalam kasus 1 Oktober harus dihukum. ”Kita tidak peduli apakah ada oknum PKI yang terlibat, tentara
terlibat, Soeharto terlibat, itu harus diselesaikan tuntas.” Hardoyo juga menambahkan, ”Peristiwa sesudahnya juga harus diperlakukan sama. Karena korbannya lebih besar.”
Seiring dengan arus reformasi, kini banyak versi buku terbit khusus untuk membahas soal peristiwa politik yang paling menghebohkan ini. Pemerintah jelas secara resmi menerbitkan buku putih. Dalam buku itu, Brigjen Soeharto sangat tergambar sebagai pahlawan yang begitu terpuji. Kesadisan peristiwa itu detil sekali tergambar, meskipun belakangan banyak yang menggugat. Jumlah korban pasca 1 Oktober, saat tentara memburu para aktivis PKI tidak disebut sama      sekali.
Sementara sejauh mana keterlibatan Soeharto dalam peristiwa itu pun kini muncul banyak versi. Buku Pledoi-nya Latief secara jelas mengungkap bahwa Soeharto masuk dalam bagian rekayasa           G30S   itu. Begitu juga soal kekejaman Gerwani dalam penculikan para Jenderal. Pernyataan terakhir para saksi mata kepada Metro TV menyatakan bahwa tidak ada penyiksaan dalam   penculikan   itu.
Yang menarik adalah dokumen CIA yang sempat ditarik oleh pemerintah AS setelah Megawati berkuasa. Dalam dokumen itu memang secara jelas disebutkan bahwa CIA terlibat dalam pengganyangan PKI di Indonesia. Meskipun kemudian pemerintah AS membantahnya.
Dalam banyak versi buku seputar G30S, inilah pekerjaan berat bagi KKR di masa yang akan datang.
Apapun, kita patut menunggu kiprah KKR dalam soal penanganan kasus ini.
PELANGGARAN HAM POSO
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menduga pemerintah pusat turut terlibat melakukan pelanggaran HAM berat terkait konflik horizontal yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Ketua Tim Komnas HAM untuk kasus Poso, Sulawesi Tengah Prof Dr Achmad Ali mengemukakan di Makassar, Kamis, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan tim Komnas HAM di daerah bekas konflik tersebut, ditemukan adnaya pelanggaran HAM dan diiindikasikan pemerintah pusat turut terlibat melakukan pelanggaran HAM berat yang mengarah pada by omission alias pembiaran.”Kerusuhan yang terjadi di Poso telah berlangsung sejak lama, namun  hingga saat ini pemerintah pusat belum dapat menyelesaikan konflik tersebut sehingga konflik berlarut-larut. Bila hal ini dibiarkan, bisa mengarah pada terjadinya by ommision,” jelas guru besar Fakultas Hukum Unhas ini. Dia mengatakan, penyelesaian konflik di Poso tidak bisa dilakukan secara sporadis dan sesaat, tapi harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu yang melibatkan tidak hanya pemerintah daerah dan kepolisian daerah Sulawesi Tengah, tapi juga pemerintah pusat dengan penanganan yang dilakukan secara nasional. Konsep ini perlu dilakukan karena bukan hanya kerusuhannya yang harus diselesaikan, tapi juga penanganan terhadap pengungsi yang jumlahnya mencapai ribuan orang. Ali menilai, kesepakatan Malino untuk perdamaian Poso yang dilakukan tahun 2002 tidak menyelesaikan masalah, bahkan ibarat api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan dapat menyala kembali, karena kesepakatan itu tidak diaktualisasikan di lapangan. Salah satu contohnya adalah penegakan hukum yang hingga saat ini belum sepenuhnya berjalan. Sebagai bukti, belum ditangkapnya para pelaku  kerusuhan atau tindak kriminal di daerah itu, tambahnya. Konflik yang terjadi di Poso serta daerah lain, kata Ali, tidak bisa diselesaikan secara sporadis, seperti yang dilakukan selama ini.
Aparat dari pusat turun saat ada lagi kejadian, seperti pada kasus penembakan jaksa Fery Silalahi dan peledakan bom di depan pasar sentral Poso sehari sebelum lebaran tahun 2004 dan setelah itu diam lagi. Penanganannya harus dilakukan secara komprehensif dan  kontinyu, terutama penegakan hukumnya, ujar Achmad Ali. Perbedaan agama: Ia juga meminta pemerintah untuk mengungkap akar permasalahan kerusuhan di Poso, karena ia tidak yakin, jika penyebab kerusuhan itu adalah perbedaan agama. “Saya tidak yakin jika konflik di Poso karena perbedaan agama, karena mereka sudah lama hidup dengan kondisi seperti itu dan tidak
ada masalah. Saya yakin, pasti ada pihak-pihak yang sengaja membuat kerusuhan dengan menggunakan isu agama untuk tujuan tertentu. Ini yang harus diungkapkan pemerintah dan polisi,” kata Achmad Ali. Lebih jauh dia mengatakan, ada empat pelanggaran HAM yang terjadi di Poso yakni pelanggaran terhadap hak atas rasa aman, hak untuk hidup, hak atas kepemilikan dan hak untuk memperoleh keadilan. Sejak terjadinya konflik berkepanjangan di daerah itu, masyarakat  telah kehilangan rasa aman sehingga mereka harus mengungsi.  Masyarakat terpaksa kehilangan harta benda yang ditinggalkannya bahkan sejumlah masyarakat kehilangan hak untuk hidup karena menjadi korban dalam pertikaian itu. Pelanggaran HAM lainnya adalah hak untuk memperoleh keadilan. Hingga saat ini, para pelaku pembunuhan, pembakaran, pengrusakan, provokator dan yang meneror masyarakat dengan berbagai tindak  kriminal belum juga ditangkap, apalagi diproses secara hukum, bahkan mereka masih terus melakukan aksinya untuk menakut-nakuti warga. Menurut Ali, timnya hanya dapat mem-pressure pemerintah untuk meredam konflik yang tejadi di Poso dan sejumlah daerah lainnya,  misalnya bagaimana mendesak pemeritah pusat untuk menciptakan rasa aman dan menangkap para pelaku pelanggaran HAM dan provokatornya. Agar Komnas HAM lebih leluasa dan dapat membantu pemerintah dalam berbagai kerusuhan yang terjadi di negara ini, pihaknya meminta agar pemeritah memberikan kewenangan kepada Komnas HAM untuk menyelidik, menyidik dan melakukan penuntutan.
Beberapa lagi kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh hokum sama sekali adalah Tragedi Tanjung Periok, yang terjadi pada sekitar bulan September 2004.
Berikut adalah beberapa kasus hukum yang belum tersentuh sampai dengan kejadian tahun 2003  (Sumber : KontraS)
1. Pembantaian Massal 1965 ==> Tahun 1965-1970
Korban : 1.500.000 orang
Keterangan : Korban sebagian besar merupakan anggota PKI atau ormas yang dianggap berafiliasi dengan PKI
Seperti SOBSI, BTI, GERWANI, PR, LEKTRA, dll, sebagian besar dilakukan diluar proses hukum yang sah.
2. Penembakan Misterius “PETRUS”===> Tahun 1982-1985
Korban : 1.678 orang
Keterangan : Korban sebagian besar merupakan tokoh kriminal, residivis, atau mantan kriminal. Operasi militer ini
bersifat illegal dan dilakukan tanpa identitas institusi yang jelas.
3. Kasus di Tomor Timur PRa Referendum ===> Tahun 1974-1999
Korban : Ratusan ribu orang
Keterangan : Dimulai dari agresi Militer TNI (Operasi Seroja) terhadap pemerintah Fretilin yang sah di Timor Timur.
Sejak itu Tim Tim selalu menjadi daerah operasi militer rutin yang rawan terhadap kekerasan aparat RI
4. Kasus-kasus di Aceh PRa DOM ==> Tahun 1976-1989
Korban : Ribuan orang
Keterangan : Semenjak dideklarasikan GAM oleh Hasan Di Tiro, Aceh selalu dijadikan daerah operasi militer dengan
Intensitas kekerasan yang tinggi
5. Kasus-Kasus di Papua ===> 1966 – ….
Korban : Ribuan Orang
Keterangan : Operasi Militer intensif dilakukan oleh TNI untuk menghadapi OPM. Sebagian lagi berkaitan dengan
masalah penguasaan sumber daya alam antara perusahaan tambang internasional, aparat negara
berhadapan dengan penduduk lokal.
6. Kasus Dukun Santet Banyuwangi ===> Tahun 1998
Korban : Puluhan orang
Keterangan : adanya pembantaian terhadap tokoh masyarakat yang diisukan sebagai dukun santet
7. Kasus Marsinah ===> Tahun 1995
Korban : 1 Orang
Keterangan : Pelaku utamanya tidak tersentuh, sementara orang lain dijadikan kambing hitam.
Bukti keterlibatan (represi) militer dibidang perburuhan
8. Kasus Balukumba ===> Tahun 2003
Korban : 2 orang tewas dan puluhan orang ditahan dan luka-luka
Keterangan : Insiden ini terjadi karena keinginan PT. London Sumatera untuk melaksanakan perluasan area
perkebunan mereka, namun masyarakat menolak upaya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...