MAKALAH KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER
OLEH :
H. SANTHOS WACHJOE P
(HAKIM PADA PN TEGAL)
I. PENDAHULUAN
Satu abad sebelum Masehi Cicero
mengemukakan hubungan antara hukum dengan masyarakat melalui kalimat sederhana
“ubi societas, ibi ius”. Dimana ada masyarakat disana ada hukum. Hukum dibentuk
oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. Dengan kata lain hukum
dibentuk oleh dan diberlakukan untuk masyarakat demi ketertiban, ketentraman
dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam suatu masyarakat setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan tersendiri. Ada yang sama dan ada pula yang berbeda satu sama lain. Kedua macam kepentingan tersebut menjadi sebab lahirnya sengketa. Untuk mengatur berbagai kepentingan dalam masyarakat dan menyelesaikan sengketa secara tertib, masyarakat membentuk aturan-aturan dan diberlakukan dalam kehidupan mereka. Hukum sebagaimana dikemukakan oleh E.Y. Kanter, S.H. (Etika Profesi Hukum, 2001 :82) pada umumnya dipahami sebagai “suatu sistem norma atau kumpulan peraturan yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat, yaitu keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama dan dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi”. Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Hasil dari proses hukum tersebut kemudian menjadi masukan bagi proses hukum berikutnya, demikian seterusnya sistem hukum tersebut bergerak menjalankan fungsinya.
Dalam suatu masyarakat setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan tersendiri. Ada yang sama dan ada pula yang berbeda satu sama lain. Kedua macam kepentingan tersebut menjadi sebab lahirnya sengketa. Untuk mengatur berbagai kepentingan dalam masyarakat dan menyelesaikan sengketa secara tertib, masyarakat membentuk aturan-aturan dan diberlakukan dalam kehidupan mereka. Hukum sebagaimana dikemukakan oleh E.Y. Kanter, S.H. (Etika Profesi Hukum, 2001 :82) pada umumnya dipahami sebagai “suatu sistem norma atau kumpulan peraturan yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat, yaitu keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama dan dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi”. Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Hasil dari proses hukum tersebut kemudian menjadi masukan bagi proses hukum berikutnya, demikian seterusnya sistem hukum tersebut bergerak menjalankan fungsinya.
II. FUNGSI INTEGRATIF HUKUM
Menurut Parsons (Bambang
Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, 1994, 95)fungsi utama suatu sistem hukum
itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang
potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan
mentaati sistem hukum maka sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik,
tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis.
Agar sistem hukum dapat menjalankan fungsi integratifnya secara efektif,
menurut Parsons, terdapat 4 masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu,
yaitu :
·
Legitimasi, yang akan menjadi landasan bagi
pentaatan aturan-aturan ;
·
Interpretasi, yang akan menyangkut masalah
penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penetapan aturan tertentu ;
·
Sanksi, yang menegaskan sanksi apakah yang akan
timbul apabila ada pentaatan dan sanksi apa yang akan timbul apabila ada
pengikatan terhadap aturan, serta sekaligus menegaskan siapakah yang akan
menerapkan sanksi ;
·
Yurisdiksi, yang menetapkan garis-garis
kewenangan yang berkuasa menegakkan norma-norma hukum ;
·
Dilihat dari perspektif Parsons tampaknya
efektifitas fungsi integratif sistem hukum di Indonesia masih menghadapi
permasalahan yang serius baik ditinjau dari aspek legitimasi, interpretasi,
sanksi maupun yurisdiksi.
Dari aspek legitimasi, sampai sekarang ini lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih mengalami krisis legitimasi. Walaupun semestinya lembaga eksekutif dan legislatif yang dibentuk berdasarkan proses Pemilihan Umum yang demokratis pada tahun 2004 ini diharapkan mampu mendongkrak legitimasi kedua lembaga tersebut, namun dalam kenyataannya lembaga eksekutif dan legislatif yang dipilih secara demokratis tidak serta merta mengangkat legitimasi kedua lembaga tersebut. Rakyat masih menunggu bukti-bukti kinerja lembaga eksekutif dan legislatif dalam praktek. Tingkat legitimasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif sangat tergantung dari kemampuan kedua lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi rakyat dan menjawab secara nyata berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa kita agar segera keluar dari krisis menuju kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sedangkan lembaga yudikatif yang menempati posisi sentral dalam penegakan hukum mengalami proses penurunan kewibawaan, karena putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan dan tidak terbatas dari praktek apa yang disebut “mafia peradilan”. Selain itu lembaga yudikatif mengalami tekanan-tekanan dari kekuatan politik dan campur tangan dari kekuasaan lain. Sementara itu kemandirian lembaga peradilan sedang dalam proses pertumbuhan dengan berbagai kendalanya dibidang sumber daya manusia maupun sarana pendukungnya.
Dari aspek legitimasi, sampai sekarang ini lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih mengalami krisis legitimasi. Walaupun semestinya lembaga eksekutif dan legislatif yang dibentuk berdasarkan proses Pemilihan Umum yang demokratis pada tahun 2004 ini diharapkan mampu mendongkrak legitimasi kedua lembaga tersebut, namun dalam kenyataannya lembaga eksekutif dan legislatif yang dipilih secara demokratis tidak serta merta mengangkat legitimasi kedua lembaga tersebut. Rakyat masih menunggu bukti-bukti kinerja lembaga eksekutif dan legislatif dalam praktek. Tingkat legitimasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif sangat tergantung dari kemampuan kedua lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi rakyat dan menjawab secara nyata berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa kita agar segera keluar dari krisis menuju kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sedangkan lembaga yudikatif yang menempati posisi sentral dalam penegakan hukum mengalami proses penurunan kewibawaan, karena putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan dan tidak terbatas dari praktek apa yang disebut “mafia peradilan”. Selain itu lembaga yudikatif mengalami tekanan-tekanan dari kekuatan politik dan campur tangan dari kekuasaan lain. Sementara itu kemandirian lembaga peradilan sedang dalam proses pertumbuhan dengan berbagai kendalanya dibidang sumber daya manusia maupun sarana pendukungnya.
·
.Dari aspek interpretasi perlu dilakukan
reorientasi agar hak-hak rakyat sebagai subyek lebih dikedepankan, sehingga
rakyat benar-benar menjadi stakeholder yang berdaulat. Penghormatan terhadap
hak-hak rakyat dalam negara demokratis bukan saja dimaknai dalam proses politik
penyelenggaraan Pemilihan Umum, tetapi juga hak-hak sosial ekonomi dan
lain-lain yang dituangkan ke dalam kebijakan publik yang memihak rakyat. Dengan
demikian partisipasi rakyat dalam pelaksanaan kebijakan publik dengan memenuhi
kewajiban-kewajibannya mendapatkan motivasi, termasuk dalam penerapan berbagai
aturan hukum.
·
Dari aspek sanksi yang sangat penting untuk
dilakukan ialah kepastian lembaga yang berkompeten menerapkan sanksi, sikap
konsisten, tegas adil dan tidak pandang bulu. Selama ini sanksi berupa hukuman
lebih banyak dijatuhkan untuk pelanggaran hukum kelas teri, sedangkan mereka
yang tergolong kelas kakap seakan-akan tak tersentuh oleh sanksi karena punya
relasi, sisa-sisa pengaruh dan dana yang melimpah untuk “mengatur” kasus yang
mereka hadapi. Berbagai cara dapat mereka lakukan untuk meloloskan diri dari
jeratan hukuman, sehingga keadilan yang seharusnya berlaku buat setiap orang
tak pandang bulu berkurang maknanya. Begitu pula pemberian reward, penghargaan
seakan-akan menjadi milik orang-orang yang memiliki status tertentu, ketimbang
kepada mereka yang tak punya status tinggi, meskipun berprestasi secara nyata
untuk lingkungannya dan rakyat.
·
Dari aspek yurisdiksi sering-sering batas
kewenangan berbagai lembaga tidak terlalu jelas atau bahkan bertumpang tindih.
Keadaan ini diperparah lagi dengan berkembangnya egoisme sektoral dan lemahnya
koordinasi, sehingga tidak jarang suatu masalah mondar mandir dilontar dari
lembaga yang satu kepada yang lain, tanpa ada kepastian penyelesaiannya.
III. RELASI SISTIM HUKUM DAN SISTIM POLITIK
Penyelesaian masalah tersebut di
atas secara baik merupakan syarat penting untuk terlaksananya penegakan hukum.
Pelaksanaan Pemilihan Umum yang berjalan tertib, aman, dan damai merupakan
bagian penting bagi proses menuju demokrasi yang diharapkan memperkokoh
legitimasi politik lembaga-lembaga negara. Selanjutnya ditempatkannya
pelaksanaan hukum dan hak asasi manusia sebagai salah satu prioritas dalam
program Kabinet Indonesia Bersatu menunjukkan adanya political will dan
komitmen pemerintah untuk lebih serius melakukan perubahan kebijakan dalam
pembentukan hukum (law making policy), penegakan hukum (law enforcement policy)
dan pembangunan budaya hukum (legal cultur).
Kebijakan pembentukan hukum diarahkan untuk membentuk substansi hukum yang responsif dan mampu menjadi sarana pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan mewujudkan ketertiban, legitimasi, dan keadilan. Sedangkan dalam penegakan hukum, kepastian dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui upaya penegakan hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekuen, dan konsisten dengan menghormati prinsip equality before the law, menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law.
Dalam Kabinet Indonesia Bersatu bidang hukum dimasukkan dalam koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Hal tersebut mempunyai arti yang penting bagi masa depan penegakkan hukum. Secara analisis dapat dipahami bahwa sistem hukum dan sistem politik sangat erat kaitannya demikian pula dengan sistem keamanan terutama yang berkaitan dengan masalah legitimasi, interpretasi, sanksi, dan yurisdiksi.
Kebijakan pembentukan hukum diarahkan untuk membentuk substansi hukum yang responsif dan mampu menjadi sarana pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan mewujudkan ketertiban, legitimasi, dan keadilan. Sedangkan dalam penegakan hukum, kepastian dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui upaya penegakan hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekuen, dan konsisten dengan menghormati prinsip equality before the law, menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law.
Dalam Kabinet Indonesia Bersatu bidang hukum dimasukkan dalam koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Hal tersebut mempunyai arti yang penting bagi masa depan penegakkan hukum. Secara analisis dapat dipahami bahwa sistem hukum dan sistem politik sangat erat kaitannya demikian pula dengan sistem keamanan terutama yang berkaitan dengan masalah legitimasi, interpretasi, sanksi, dan yurisdiksi.
Relasi antara ketiga sistem
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Badan legislatif dan badan eksekutif sebagai representasi sistem politik dalam sistem ketatanegaraan kita mempunyai hubungan yang sangat erat dalam proses legislatif, penyusunan budget dan pengawasan dalam rangka menciptakan check and balance. Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.” Input primer yang dimasukkan oleh sistem politik ke dalam sistem hukum berupa Undang-undang yang merupakan diskripsi umum abstrak, akan direalisasikan secara konkrit oleh penegak hukum menjadi Law in action. “Keselarasan antara nilai yang terkandung dalam Undang-undang (Law in book) dengan law in action menjadi syarat penting untuk tegaknya keamanan dan sebaliknya. Keamanan yang stabil dan terkendali mendukung bekerjanya sistem hukum dan sistem politik. Diskripsi nilai atau cita-cita hukum yang terkandung dalam Undang-undang akan dirasakan secara nyata memberikan keadilan apabila ditegakkan. Satjipto Rahardjo (Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi) antara lain menyatakan “Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendaknya yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum itu”.
Hukum akan kehilangan maknanya apabila tidak ditegakkan. Dengan kata lain hukum tidak mampu menjalankan fungsi utamanya bila tidak ditegakkan.
Lebih lanjut Satjipto Raharjo (idem : 15) mengemukakan bahwa “apabila kita berbicara mengenai penegakkan hukum, maka pada hakekatnya kita berbicara mengenai penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak itu. Dirumuskan secara lain, maka penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.
Badan legislatif dan badan eksekutif sebagai representasi sistem politik dalam sistem ketatanegaraan kita mempunyai hubungan yang sangat erat dalam proses legislatif, penyusunan budget dan pengawasan dalam rangka menciptakan check and balance. Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.” Input primer yang dimasukkan oleh sistem politik ke dalam sistem hukum berupa Undang-undang yang merupakan diskripsi umum abstrak, akan direalisasikan secara konkrit oleh penegak hukum menjadi Law in action. “Keselarasan antara nilai yang terkandung dalam Undang-undang (Law in book) dengan law in action menjadi syarat penting untuk tegaknya keamanan dan sebaliknya. Keamanan yang stabil dan terkendali mendukung bekerjanya sistem hukum dan sistem politik. Diskripsi nilai atau cita-cita hukum yang terkandung dalam Undang-undang akan dirasakan secara nyata memberikan keadilan apabila ditegakkan. Satjipto Rahardjo (Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi) antara lain menyatakan “Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendaknya yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum itu”.
Hukum akan kehilangan maknanya apabila tidak ditegakkan. Dengan kata lain hukum tidak mampu menjalankan fungsi utamanya bila tidak ditegakkan.
Lebih lanjut Satjipto Raharjo (idem : 15) mengemukakan bahwa “apabila kita berbicara mengenai penegakkan hukum, maka pada hakekatnya kita berbicara mengenai penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak itu. Dirumuskan secara lain, maka penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.
Dalam sistem hukum kekuasaan
kehakiman (yudikatif) menempati posisi sentral dalam menegakkan hukum, dalam
merealisasikan ide-idee yang tertuang dalam Undang-undang sebagai produk dari
sistem politik. Badan yudikatif memberikan isi dan wujud konkrit kepada kaidah
hukum. Ditangan badan yudikatiflah hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran
menjadi sesuatu yang nyata, menjadi realitas kehidupan. Tugas yang diemban oleh
badan peradilan berada dalam bentangan antara kompleks nilai yang mendasari
suatu Undang-undang (aturan hukum) dan kesadaran nilai-nilai konkrit dalam
masyarakat.
Oleh karena itu kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan seperti diamanatkan pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
RI Tahun 1945 merupakan prinsip yang harus ditegakkan dalam negara Indonesia
yang berdasarkan atas hukum. Lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
diharapkan menjadi landasan yuridis yang lebih mantap untuk mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti kekuasaan kehakiman yang bebas dari
segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Pembinaan Badan-badan peradilan
umum, agama, militer, dan tata usaha negara dibawah satu atap Mahkamah Agung
antara lain dimaksudkan untuk memperkokoh kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Dalam rangka penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut, kehadiran Komisi Yudisial yang
bersifat mandiri sebagaimana diamanatkan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara
RI Tahun 1945 sangat mendesak. Kehadiran Komisi Yudisial yang diberi wewenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para
hakim akan menjadi faktor penyeimbang dan mengawal kebebasan hakim sebagai
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman.
Masalah penegakkan hukum
merupakan masalah yang tidak sederhana, bukan saja karena kompleksitas sistem
hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum
dengan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Pada kesempatan
ini akan diketengahkan beberapa isu yang cukup menonjol dalam penegakkan hukum
terutama yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur (kelembagaan) hukum,
budaya hukum.
1. Isu pokok yang berkaitan dengan substansi hukum
·
Masih terdapat aturan-aturan hukum yang sudah
tidak cocok dengan perkembangan ketatanegaraan dan kepentingan hukum masyarakat
;
·
Terdapat produk-produk hukum yang ditentang
keras oleh kelompok kepentingan yang terkait, karena dinilai tidak aspiratif ;
·
Perumusan ketentuan hukum tidak jelas, multi
tafsir ;
·
Produk hukum saling bertentangan, tumpang tindih
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum ;
·
Peraturan pelaksanaan Undang-undang tidak segera
diterbitkan atau terdapat jarak waktu yang cukup lama antara berlakunya
Undang-undang dengan penerbitan peraturan pelaksanaannya ;
·
Tetap diberlakukannya peraturan pelaksanaan
Undang-undang yang telah diubah/diganti melalui ketentuan Peraturan Peralihan
yang umumnya berbunyi sebagai berikut :“Pada saat mulai berlakunya
Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang telah ada dinyatakan tetap
berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan
dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini”.
·
Dikabulkannya permohonan pengujian Undang-undang
tanpa memperhatikan dampak yuridis yang timbul sebagai akibat dinyatakannya
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-undang tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
2. Isu pokok yang berkaitan dengan struktur (kelembagaan) hukum
·
Menurunnya kepercayaan terhadap aparat penegak
hukum ;
·
Lembaga penegak hukum sedang bergulat untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan reformasi ;
·
Independensi badan peradilan sebagai benteng
terakhir bagi pencari keadilan belum terwujud ;
·
Kewenangan diskriesoner yang dimiliki oleh
lembaga-lembaga hukum tanpa kontrol, sehingga sering disalahgunakan ;
·
Yurisdiksi lembaga-lembaga hukum tertentu
bertumpang tindih ;
·
Manajemen penanganan kasus-kasus hukum belum efektif
dan efisien serta tidak transparan dan akuntabel ;
·
Lemahnya koordinasi, karena kuatnya egoisme
sektoral ;
·
Aparat penegak hukum kurang profesional dan
rendah integritasnya dalam mengemban tugas pokok ;
·
Dana, sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan
tugas serta kesejahteraan aparat penegak hukum belum memadai.
3. Isu pokok yang berkaitan dengan budaya hukum
·
Lemahnya keteladanan dari para pemimpin dan dari
kalangan-kalangan aparat penegak hukum untuk mematuhi hukum ;
·
Tingkat kesadaran hukum masyarakat masih rendah;
- Sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum ke tengah-tengah masyarakat belum dilaksanakan secara sistematis dan integratif sebagai suatu gerakan kemasyarakatan ;
- Sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum ke tengah-tengah masyarakat belum dilaksanakan secara sistematis dan integratif sebagai suatu gerakan kemasyarakatan ;
·
Adanya sikap permisif mentolerir berbagai
pelanggaran hukum ;
·
Perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia
menjadi salah satu arus utama tuntutan masyarakat yang perlu direspon secara
serius.
IV. Kebijakan
Salah satu esensi dari negara
hukum ialah ditampilkannya peranan hukum secara mendasar sebagai titik sentral
dalam kehidupan ketatanegaraan, dan kemasyarakatan menuju kehidupan yang adil
dan sejahtera. Untuk itu komponen-komponen pokok dari sistem hukum perlu
diperkokoh sebagai pilar-pilar utama dalam penegakkan hukum. Kebijakan
menyeluruh mencakup substansi hukum yang responsif sebagai perwujudan aspirasi
rakyat untuk mengatur berbagai aspek kehidupan yang berkembang dinamis,
struktur (kelembagaan) hukum yang berwibawa dan memperoleh kepercayaan publik,
profesional, tanggap dan tangguh dalam mengemban tugasnya serta kesadaran hukum
masyarakat yang semakin tinggi menuju tumbuhnya budaya hukum, perlu dilakukan
untuk memperkokoh pihak-pihak penegakan hukum.
Dalam rangka semakin mendekatkan
nilai-nilai yang terkandung dalam hukum dengan realitas kehidupan hukum, maka
perlu dilakukan serangkaian kebijakan dengan prioritas sebagai berikut :
1. Di bidang substansi hukum
·
Mengganti peraturan hukum yang tidak sesuai
dengan perkembangan ketatanegaraan dan aspirasi rakyat ;
·
Badan pembentuk Undang-undang harus membuka diri
terhadap partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-undang dalam rangka
pembentukan hukum yang responsive ;
·
Dalam pembentukan substansi hukum agar dipenuhi
asas-asas formal maupun material ;
·
Perlu dilakukan inventarisasi Undang-undang yang
belum diikuti dengan peraturan pelaksanaan ;
·
Peraturan pelaksanaan Undang-undang dipersiapkan
dan ditetapkan segera setelah Undang-undang berlaku, agar semangat dan jiwanya
mengalir sampai kepada peraturan pelaksanaan ;
·
Peraturan pelaksanaan suatu Undang-undang yang
diberlakukan berdasarkan ketentuan peralihan Undang-undang segera diganti ;
·
Program Legislasi Nasional diprioritaskan untuk
melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, mengganti
Undang-undang yang sudah ketinggalan jaman, membentuk Undang-undang baru untuk
mendukung pembangunan ekonomi dan politik demokratis dan memerangi kejahatan
transnasional atau kejahatan luar biasa;
- Melakukan kajian yuridis terhadap dampak putusan lembaga yudikatif yang mengabulkan permohonan judicial review dan melakukan tindak lanjut untuk menyelesaikan permasalahan yuridis yang timbul;
- Melakukan kajian yuridis terhadap dampak putusan lembaga yudikatif yang mengabulkan permohonan judicial review dan melakukan tindak lanjut untuk menyelesaikan permasalahan yuridis yang timbul;
2. Di bidang Struktur (kelembagaan) hukum
·
Mengembalikan kepercayaan rakyat kepada aparat
penegak hukum, melalui peningkatan kinerja, sikap tegas, konsisten dan bebas
dari praktek KKN dalam penegakkan hukum ;
·
Melakukan revitalisasi dan reposisi kelembagaan
serta perubahan budaya kerja ;
·
Menjamin badan peradilan bebas dari pengaruh dan
campur tangan badan-badan lain dan menjamin kebebasannya untuk memeriksa dan
memutus perkara serta menata pembinaan badan peradilan di bawah satu atap
Mahkamah Agung ;
·
Melakukan pengawasan pelaksanaan kewenangan
diskresioner yang dimiliki lembaga-lembaga hukum serta menetapkan pelaporan
berkala kepada publik tentang pelaksanaan kewenangan tersebut ;
·
Mempertegas batas-batas yurisdiksi
lembaga-lembaga hukum dengan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya ;
·
Memperbaiki manajemen penanganan kasus hukum
agar transparan, akuntabel dalam rangka melaksanakan prinsip penanganan kasus
yang cepat, sederhana, akurat dan adil dengan biaya yang wajar ;
·
Memantapkan koordinasi pada tataran kebijakan
dan pada pelaksanaannya di lapangan ;
·
Meningkatkan profesionalisme dan integritas
penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan serta penegakkan disiplin dan
kode etik ;
·
Mendayagunakan lembaga penyelesaian sengketa alternatif
;
·
Menyediakan dana, sarana dan prasarana yang
lebih memadai untuk pelaksanaan tugas penegakkan hukum ;
·
Meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum.
3. Di bidang budaya hukum
·
Para pemimpin dan elit politik pada tingkat
nasional maupun lokal agar memberikan teladan dalam mematuhi hukum
- Menyempurnakan sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum kepada masyarakat baik yang berkenaan dengan metodologi, substansi dan target khalayak yang ingin dijangkau, agar lebih partisipatif dan sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan dan aspirasi masyarakat ;
- Menyempurnakan sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum kepada masyarakat baik yang berkenaan dengan metodologi, substansi dan target khalayak yang ingin dijangkau, agar lebih partisipatif dan sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan dan aspirasi masyarakat ;
·
Masyarakat agar tidak mentolerir
pelanggaran-pelanggaran hukum dan turut memberikan sanksi moral kepada para
pelakunya.
Melalui serangkaian kebijakan
tersebut di atas diharapkan penegakkan hukum akan semakin efektif dengan
demikian hukum dapat melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
·
Memberikan pedoman bagi anggota masyarakat untuk
berperilaku tertib dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
- Social control dalam arti mendidik dan mengajak warga masyarakat agar mematuhi hukum ;
- Social control dalam arti mendidik dan mengajak warga masyarakat agar mematuhi hukum ;
·
Penyelesaian sengketa melalui lembaga-lembaga
hukum ;
·
Social engineering dalam arti mengadakan
perubahan-perubahan didalam masyarakat.
Tegaknya hukum akan mendukung
terciptanya ketertiban dan keamanan dalam masyarakat dan kondisi keamanan yang
mantap mendukung upaya-upaya penegakan hukum. Realisasi nilai keadilan dan
kebenaran melalui penegakkan hukum yang lugas, tegas dan tidak pandang bulu
serta bebas dari praktek-praktek KKN akan memulihkan kepercayaan rakyat
terhadap sistem hukum. Dengan demikian seperti dikemukan oleh Bambang Sunggono,
SH, MS (opcit, 106) hukum antara lain akan dapat menjadi “sarana untuk menjamin
agar anggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhannya secara terorganisasi”
V. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK
Dari berbagai kepustakaan dapat
diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut
sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang
harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan
diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi
dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan
sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut
secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik
ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun
kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut
kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut
menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh
para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi
suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan
Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan
publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Sementara itu pakar kebijakan
publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang
dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus
dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan
yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi
warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang
merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan,
disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan
(Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan dan
peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan
kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya
diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang
pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372): bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau
tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan
tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan
kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499) bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang
mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan
lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
Meski demikian kata kebijakan
yang berasal dari policy dianggap merupakan konsep yang relatif (Michael Hill,
1993: 8): The concept of policy has a
particular status in the rational model as the relatively durable element
against which other premises and actions are supposed to be tested for
consistency.
Dengan demikian yang dimaksud
kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan
yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya
kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat
menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye
merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit,
model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan
model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model
yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis,
dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R.
Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang
menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah
sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut
Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga
tingkatan:
- Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
- Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
- Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Namun demikian berdasarkan
perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang disebut
analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan
tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89)
Analisis Kebijakan (Policy
Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan
terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika
pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian
secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan
tindakan.
Setelah memaparkan makna
kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan oleh Bill Jenkins
didalam buku The Policy Process sebagai Kebijakan publik adalah suatu keputusan
berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan
tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu.
Selanjutnya Bill Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai: (Michael
Hill, 1993: 34)
A set of
interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning
the selection of goals and the means of achieving them within a specified
situation where these decisions should, in principle, be within the power of
these actors to achieve.
Dengan demikian kebijakan publik
sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi
seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang
dikenal dengan “administrasi negara.” Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M.
Irfan Islamy “Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi
negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini
merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan
dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan
dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell dan
Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana
untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan
tujuan, nilai, dan praktik.
Terkait dengan kebijakan publik,
menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip
oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan
publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka
melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal
Abidin, alumni University of
Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23) kebijakan publik biasanya tidak bersifat
spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu
kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan
keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Dalam
Kybernology dan dalam konsep kebijakan pemerintahan kebijakan publik merupakan
suatu sistem nilai yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang
bersangkutan dapat digambarkan sebagai berikut:
Sistem
Nilai Kearifan
Selanjutnya kebijakan publik
tersebut setelah melalui analisa yang mendalam dan dirumuskan dengan tepat
menjadi suatu produk kebijakan publik. Dalam merumuskan kebijakan publik Thomas
R. Dye merumuskan model kebijakan yaitu:
- Model Kelembagaan;
- Model Elit;
- Model Kelompok;
- Model Rasional;
- Model Inkremental;
- Model Teori Permainan;
- Model Pilihan Publik;
- Model Sistem
Selain itu ada tiga model yang
diusulkan Thomas R. Dye, yaitu:
- Model Pengamatan Terpadu;
- Model Demokratis;
- Model Strategis
Di sisi lain kebijakan publik
sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi
seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang
dikenal dengan “administrasi negara.” Kebutuhan masyarakat tidak seluruhnya
dapat dipenuhi oleh individu atau kelompoknya melainkan diperlukan keterlibatan
pihak lain yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Pihak lain inilah yang
kemudian disebut dengan administrasi negara.
Proses dilakukan organisasi atau
perorangan yang bertindak dalam kedudukannya sebagai pejabat yang berkaitan
dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Administrasi negara dalam mencapai tujuan
dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan
dalam bentuk kebijakan. Kebijakan menurut Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh
Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan,
menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan
tujuan, nilai, dan praktik. Pendapat lain tentang kebijakan menurut Heinz Eulau
dan Kenneth Prewit adalah suatu keputusan yang menuntut adanya perilaku yang
konsisten dan pengulangan bagi pembuat dan pelaksana kebijakan.
Terkait dengan kebijakan publik,
menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip
oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan publik adalah segala sesuatu
yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat
sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal
Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal
Abidin,2004: 23) kebijakan publik adalah biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit,
tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik
berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus
di bawahnya.
Kebijakan publik yang dibuat
oleh pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama untuk mencapai visi
dan misi yang telah disepakati. Hal ini seperti tergambar dalam gambar berikut:
Kebijakan Publik
Dari gambar di atas dapat
simpulkan bahwa kebijakan publik sebagai manajemen pencapaian tujuan yang dapat
diukur. Namun menurut Riant Nugroho D., bukan berarti kebijakan publik mudah
dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan, karena kebijakan publik
menyangkut politik (Nugroho, 2004:52).
Kebijakan publik dalam praktik
ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi dalam tiga prinsip
yaitu: pertama, dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik
(Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut
diimplementasikan dan ketiga, bagaimana kebijakan publik tersebut
dievaluasi (Nugroho 2004,100-105)
Dalam konteks formulasi, maka
berbagai isu yang banyak beredar didalam masyarakat tidak semua dapat masuk
agenda pemerintah untuk diproses menjadi kebijakan. Isu yang masuk dalam agenda
kebijakan biasanya memiliki latar belakang yang kuat berhubungan dengan analisis
kebijakan dan terkait dengan enam pertimbangan sebagai berikut:
- Apakah Isu tersebut dianggap telah mencapai tingkat kritis sehingga tidak bisa diabaikan?.
- Apakah Isu tersebut sensitif, yang cepat menarik perhatian masyarakat?
- Apakah Isu tersebut menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat?
- Apakah Isu tersebut menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas dalam masyarakat kalau diabaikan?
- Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi?
- Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kecenderungan yang sedang berkembang dalam masyarakat?
Namun dari semua isu tersebut di
atas menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin, 2004: 56-59) tidak semua
mempunyai prioritas yang sama untuk diproses. Ini ditentukan oleh suatu proses
penyaringan melalui serangkaian kriteria. Berikut ini kriteria yang dapat
digunakan dalam menentukan salah satu di antara berbagai kebijakan:
- Efektifitas – mengukur suatu alternatif sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
- Efisien – dana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang dicapai.
- Cukup – suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.
- Adil
- Terjawab – kebijakan dibuat agar dapat memenuhi kebutuhan sesuatu golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat.
Aktivitas analisis didalam
kebijakan publik pada dasarnya terbuka terhadap peran serta disiplin ilmu lain.
Oleh karena itu didalam kebijakan publik akan terlihat suatu gambaran
bersintesanya berbagai disiplin ilmu dalam satu paket kebersamaan. Berdasarkan
pendekatan kebijakan publik, maka akan terintegrasi antara kenyataan praktis
dan pandangan teoritis secara bersama-sama. Dalam kesempatan ini Ripley
menyatakan (Randal B. Ripley, 1985: 31)
Didalam proses kebijakan telah
termasuk didalamnya berbagai aktivitas praktis dan intelektual yang berjalan
secara bersama-sama.
Pada praktik kebijakan publik
antara lain mengembangkan mekanisme jaringan aktor (actor networks). Melalui
mekanisme jaringan aktor telah tercipta jalur-jalur yang bersifat informal
(second track), yang ternyata cukup bermakna dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang sukar untuk dipecahkan. Mark Considine memberi batasan
jaringan aktor sebagai: (Mark Considine, 1994: 103)
Keterhubungan secara tidak resmi
dan semi resmi antara individu-individu dan kelompok-kelompok di dalam suatu
sistem kebijakan.
Terdapat 3 (tiga) rangkaian
kesatuan penting didalam analisis kebijakan publik yang perlu dipahami, yaitu
formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi kebijakan (policy
implementation) dan evaluasi kebijakan (policy evaluation). Didalam
kesempatan ini dibahas lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan, karena
memiliki relevansi dengan tema kajian.
V. PEMBAHASAN
A. KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan Fiskal yang sering juga disebut “politik fiscal” atau “fiscal policy”, biasa diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian melalui anggaran Negara. Nama lengkap anggaran belanja Negara kita ialah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang biasa hanya disingkat APBN.
Anggaran Pendapatan Dan Belanja (APBN)v
APBN adalah suatu daftar atau penjelasan terperinci mengenai penerimaan dan pengeluaran negara dalam jangka waktu satu tahun yang ditetapkan dengan Undang-undang, serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ø
Fungsi
APBN
1.
Fungsi alokasi berkaitan dengan penggunaan
sumber-sumber penerimaan negara untuk membiayai belanja Negara ;
2.
Fungsi distribusi Berkaitan dengan pemerataan
kesejahteraan masyarakat. Pemerataan kesejahteraan dapat terwujud jika
pemanfaatan penerimaan negara dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
;
3.
Fungsi stabilitas Berkaitan dengan pengaturan
perekonomian nasional agar tetap seimbang, yaitu permintaan agregat
(keseluruhan) sama dengan penawaran agregat. APBN bagi pemerintah sebagai
instrumen pengendali perekonomian, baik dalam kondisi perekonomian yang stabil,
depresi ataupun inflasi ;
Ø
Tujuan
penyusunan APBN
1.
Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban
pemerintah kepada DPR dan rakyat ;
2.
Meningkatkan koordinasi dalam lingkungan pemerintah ;
3.
Membantu pemeritah mencapai tujuan kebijakan fiscal ;
4.
Memungkinkan pemerintah memenuhi prioritas belanja Negara
;
5.
Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan
barang dan jasa publik ;
Ø
Proses
penyusunan APBN
1.
Pemerintah (Presiden dibantu para menteri, terutama
Menteri Keuangan) menyusun RABPN berdasarkan asumsi-asumsi, yaitu tentang :
Kondisi ekonomi makro seperti Produk Domestik Bruto (PDB) menurut harga yang berlaku ;
Kondisi ekonomi makro seperti Produk Domestik Bruto (PDB) menurut harga yang berlaku ;
2.
Pertumbuhan ekonomi ;
3.
Inflasi ;
4.
Nilai tukar rupiah ;
5.
Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan ;
6.
Harga minyak internasional ;
7.
Serta produksi minyak dalam negeri ;
Dalam menyusun RAPBN digunakan azas kemandirian, azas penghematan, azas penajaman prioritas pembangunan. RAPBN oleh pemerintah diajukan ke DPR dan dilakukan pembahasan dengan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang berkompeten sesuai bidang masing-masing. Jika telah disetujui, DPR akan mengesahkan RAPBN menjadi APBN. Hak DPR untuk menetapkan anggaran negara disebtut Hak Budget. Namun jika tidak ditemukan kesepakatan tentang RAPBN, DPR menetapkan APBN tahun lalu sebagai APBN tahun berjalan.;
Ø
STRUKTUR
APBN :
- Pendapatan Negara
Penerimaan Dalam Negeri
·
Penerimaan Pajak, meliputi :
1.
Pendapatan Pajak Dalam Negeri (PPh, PPN, PPnBM, PBB,
BPHTB, Cukai, dan pajak lain) ;
2.
Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional
- Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), meliputi :
- Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), meliputi :
1.
Penerimaan Sumber daya Alam ;
2.
Pendapatan Bagian Laba BUMN ;
3.
Pendapatan Negara Bukan Pajak lainnya ;
4.
Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) ‘
- Hibah
Adalah semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan pihak swasta
dalam negeri dan pemerintah daerah serta pihak swasta luar negeri dan
pemerintah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali dan tidak mengikat,
tidak secara terus-menerus, dan dialokasikan untuk kegiatan tertentu sesuai
Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) ;
- Belanja Negara
-
Belanja Pemerintah Pusat, meliputi :
1.
Belanja Pegawai ;
2.
Belanja Barang ‘
3.
Belanja Modal
4.
Belanja Bunga dan Pinjaman ;
5.
Subsidi (subsidi energi dan subsidi nonenergi) ;
6.
Belanja Hibah ;
7.
Belanja Bantuan Sosial ;
8.
Belanja lain-lain
-
Transfer ke Daerah, meliputi :
- Dana Perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus) ;
- Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian ;
C. Surplus/Defisit Anggaran
a.
Pembiayaan, terdiri :
-
Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi :
1.
Perbankan Dalam Negeri ;
2.
Nonperbankan Dalam Negeri ;
-
Pembiayaan Luar Negeri Netto, terdiri :
1.
Penarikan pinjaman luar negeri bruto, (pinjaman
program, Pinjaman proyek) ;
2.
Penerusan pinjaman ;
3. Pembayaran
cicilan pokok utang luar negeri
B. PAJAK
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum ;
Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
·
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah
iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak
mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan ;
·
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak
adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan
sumber utama untuk membiayai public investment ;
·
Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson
Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari
sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa
mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat ;
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat ;
C. Jenis Pajak
Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
Pajak Negara :
·
Pajak Penghasilan ;
·
Pajak Pertambahan Nilai ;
·
Pajak Penjualan Barang Mewah ;
·
Pajak Bumi dan Bangunan ;
·
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
;
·
Pajak Bea Masuk dan Cukai
Pajak Daerah ;
Pajak Daerah ;
·
Pajak Kendaraan bermotor ;
·
Pajak Radio ;
D. Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
·
Fungsi anggaran (budgetair) :
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan
melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh
dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin
seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni
penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini
dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan
yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. ;
·
Fungsi mengatur (regulerend) :
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak.
Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri
maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam
rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi
untuk produk luar negeri ;
·
Fungsi stabilitas :
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan
yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan,
Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di
masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien ;
·
Fungsi redistribusi pendapatan :
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai
semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga
dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat ;
E. Teori pemungutan
Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu :
1.
Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai
tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan
jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut
diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi deiperlukan adanya
pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada
negara. Teori ini banyajk ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan
perusahaan asuransi ;
2.
Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan
pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk
kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat
kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan.
Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan
perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan,
dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
Kasus Penerimaan Pajak di Indonesia tahun 2005
Kembali ke tahun 2005, menurut data dari website Dirjen pajak, bahwa Target Penerimaan negara Indonesia di sektor pajak tahun 2006 secara nasional sebesar Rp 362 trilyun atau mengalami peningkatan 20 persen dari 2005 lalu. Angka tersebut terdiri Rp 325 trilyun dari pajak dan Rp 37 trilyun dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas ;
Kasus Penerimaan Pajak di Indonesia tahun 2005
Kembali ke tahun 2005, menurut data dari website Dirjen pajak, bahwa Target Penerimaan negara Indonesia di sektor pajak tahun 2006 secara nasional sebesar Rp 362 trilyun atau mengalami peningkatan 20 persen dari 2005 lalu. Angka tersebut terdiri Rp 325 trilyun dari pajak dan Rp 37 trilyun dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas ;
Target penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN 2006 mencapai
Rp.402,1 triliun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari :
·
Pajak Penghasilan (PPh) Rp.198,22 triliun
• Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp.126,76 triliun ;
• Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp.126,76 triliun ;
·
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp.15,67 triliun
• Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp.5,06 triliun ;
• Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp.5,06 triliun ;
·
Penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun.
Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai Rp.36,1 triliun, bea masuk Rp.17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor Rp.398,1 miliar. Total penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir (2001-2005) sudah mencapai 1.040 triliun. Pajak A) Bedasarkan wujudnya, pajak dibedakan menjadi : 1 Pajak langsung adalah pajak yang dibebanhkan secara langsung kepada wajib pajak seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan 2 Pajak tidak langsung adalah pajak / pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yangb secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya. B) Bedasarkan jumlah yang harus dibayarkan, pajak dibedakan menjadi : 1. Pajak pendapatan adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan tahunan dan laba dari usaha seseorang, perseroian terbatas / unit lain 2. Pajak penjualan adalah pajak yang dibayarkan pada waktu terjadinya penjualan barang / jasa yang dikenakan kepada pembeli 3 Pajak badan usaha adalah pajak yang dikenakan kepada badan usaha seperti perusahaan bank dan sebagainya C) Pajak bedasarkan pungutannya dapat dibedakan menjadi: 1 Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak / pungutan yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat terhadap tanah dan bangunan kemudian didistrubusiakan kepada daerah otonom sebagai pendapatan daerah sendiri 2. Pajak perseroan adalah pungutan wajib atas laba perseroan / badan usaha lain yang modalnya / bagiannya terbagi atas saham – saham. 3 Pajak siluman adalah pungutan secara tidak resmi / pajak gelap dan merupakan sumber korupsi 4 Pajak tranist adalah pajak yang dipungut ditempat tertentu yang harus dilalui oleh pengangkutan orang / barang dari suatu tempat kertempat lain ;
Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai Rp.36,1 triliun, bea masuk Rp.17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor Rp.398,1 miliar. Total penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir (2001-2005) sudah mencapai 1.040 triliun. Pajak A) Bedasarkan wujudnya, pajak dibedakan menjadi : 1 Pajak langsung adalah pajak yang dibebanhkan secara langsung kepada wajib pajak seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan 2 Pajak tidak langsung adalah pajak / pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yangb secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya. B) Bedasarkan jumlah yang harus dibayarkan, pajak dibedakan menjadi : 1. Pajak pendapatan adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan tahunan dan laba dari usaha seseorang, perseroian terbatas / unit lain 2. Pajak penjualan adalah pajak yang dibayarkan pada waktu terjadinya penjualan barang / jasa yang dikenakan kepada pembeli 3 Pajak badan usaha adalah pajak yang dikenakan kepada badan usaha seperti perusahaan bank dan sebagainya C) Pajak bedasarkan pungutannya dapat dibedakan menjadi: 1 Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak / pungutan yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat terhadap tanah dan bangunan kemudian didistrubusiakan kepada daerah otonom sebagai pendapatan daerah sendiri 2. Pajak perseroan adalah pungutan wajib atas laba perseroan / badan usaha lain yang modalnya / bagiannya terbagi atas saham – saham. 3 Pajak siluman adalah pungutan secara tidak resmi / pajak gelap dan merupakan sumber korupsi 4 Pajak tranist adalah pajak yang dipungut ditempat tertentu yang harus dilalui oleh pengangkutan orang / barang dari suatu tempat kertempat lain ;
B. KEBIJAKAN MONETER
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain ;
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
a.
Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar ;
b.
Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive
Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar.
Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
- Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang ;
- Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang ;
- Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio ;
- Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral
adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan
memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau
perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit
untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam
uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada
perekonomian.
Dan disinilah Bank Indonesia berperan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan
C. Prinsip Syariah.
Tingkat suku bunga akan memengaruhi jumlah uang yang beredar Bila tingkat suku bunga rendah, masyarakat enggan menyimpan uangnya di bank. Oleh karena itu, jumlah uang yang beredar akan meningkat. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga tinggi, jumlah uang yang beredar menurun karena banyak orang yang menyimpan uangnya di bank. ;
D. EFEKTIFITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER
Kebijakan fiscal telah banyak kehilangan daya tariknya bagi pembuat kebijakan dan ahli Makroekonomi sebagai alat penstabil. Masalah kebijakan fiscal adalah bahwa lebih mudah untuk memotong pajak dari pada menaikkannya, dan lebih mudah untuk menaikkan pengeluaran dari pada untuk memotongnya. Dibandingkan kebijakan fiscal, kebijakan moneter beroperasi lebih tidak langsung pada perekonomian. Disaat perluasan kebijakan fiscal yang secara nyatamembeli barang atau jasa atau menempatkan pendapatan pada tangan konsumen atau perusahaan, kebijakan moneter mempengaruhi pengeluaran dengan cara mengubah suku bunga, kondisi kredit, nilai tukar, dan harga asset ;
Merujuk pada kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, telah banyak pakar ekonomi dan ekonom Indonesia lainnya yang telah melakukan studi empiris, interpretasi dan analisis mengenai efektivitas kebijakan moneter terhadap parameterparameter makroekonomi yang mempengaruhi kondisi perekonomian di Indonesia. Pada umumnya, analisis yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui suatu respon variabelvariabel makroekonomi terhadap kebijakan moneter di Indonesia dan menganalisis faktorfaktor yang dapat mempengaruhi perubahan kondisi perekonomian di Indonesia. Salah satu indikator yang juga berkaitan dengan efektivitas kebijakan moneter, yakni tingkat inflasi dan pengangguran di Indonesia ;
Melihat jauh kebelakang mengenai tindak tanduk Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter dalam mengatur kebijakan upaya stabilisasi peredaran jumlah uang di masyarakat. Secara umum, kinerja dan upaya yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia, sudah menunjukkan perannya sebagai lembaga otoritas moneter dalam menetapkan kebijakan untuk perbaikan perekonomian di Indonesia. Walaupun banyak para pakar ekonomi dan pemerhati ekonomi di Indonesia mengatakan bahwa kebijakan moneter yang telah ditetapkan kurang mampu mengendalikan laju inflasi dan tingkat pengangguran dalam jangka pendek. Akan tetapi, geliat dan upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia telah menunjukkan fungsi dan perannya sebagai lembaga otoritas moneter dalam menetapkan kebijakan moneter untuk perbaikan dan kestabilan kondisi perekonomian di Indonesia, walaupun tujuan dan sasaran yang diharapkan dapat dicapai dalam periode jangka panjang. Oleh karena itu, untuk mencapai kondisi perekonomian yang stabil di Indonesia, peran serta semua pihak yang terkait perlu digalakkan. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di Indonesia telah menjalankan fungsinya dengan menetapkan SBI sebagai instrumen kebijakan moneter, maka keberhasilan implementasi dan realisasi kebijakan yang telah ditetapkan juga bergantung pada oknum-oknum terkait dan kondisi di Indonesia sendiri. Efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap variabel-variabel makroekonomi, seperti masalah inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia perlu diperhatikan. Oleh karena itu, Bank Sentral diharapkan mampu merumuskan kebijakan yang lebih efektif dalam menstransmisikan sektor moneter ke sektor riil. Selain itu, Bank Sentral juga diharapkan tidak hanya terfokus pada pentargetan inflasi saja, namun perlu juga memperhatikan variabel makroekonomi lainnya, termasuk perubahan kondisi internal dan eksternal, sehingga diharapkan kebijakan yang diambil dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan keadaan perekonomian yang terjadi.
Di dalam menetapkan kebijakan moneter, Bank Sentral juga diharapkan dapat menerapkan kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan tenaga kerja dan tingkat usaha di Indonesia, mengingat faktor sumber daya manusia merupakan elemen penting dari suatu negara. Tingkat penganguran juga mengidentifikasi keadaan perekonomian suatu negara. Jika suatu negara menginginkan keadaan sumber daya manusianya yang makmur dan sejahtera, maka sudah sepatutnya negara tersebut juga harus memperhatikan keadaan dan kondisi sumber daya manusianya ;
VI. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Bahwa setiap pengambil kebijakan publik terutama di
bidang Moneter dan Fiskal, harus memperhatikan kesejahteraan rakyat ;
2.
Bahwa apapun bentuk pelaksaan dari kebijakan publik di
bidang Moneter dan Fiskal, haruslah berorientasi pada kebutuhan masyarakat ;
3.
Masyarakat sebagai tujuan utama dari pengambilan
keputusan di bidang Moneter dan Fiskal ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar