Senin, 29 Juni 2015

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Renungan Awal Pekan (29062015) :
Sebuh makalah singkat mengenai Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM

I.    Latar Belakang Masalah
Hiruk pikuk pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) sedang marak di Indonesia seiring denga perkembangan DEMOKRASI di Indoensia. Berbagai pihak menanggapi secara beragam terhadap pelaksanaan PILKADA ini, ada sebagian yang merasa senang dengan pelaksanaannya karena bisa menyalurkan aspirasinya secara langsung dengan memilih calon Kepala Daerah sesuai dengan keinginannya, tetapi banyak pula yang bersikap acuh tak acuh, mengingat bahwa seringkali para calon Kepala Daerah hanya ingat kepada rakyatnya ketika akan diadakan Pemilihan Kepala Daerah saja tetapi ketika sudah terpilih, mereka menjadi lupa terhadap amanat yang diembannya.
Hal tersebut yang menjadikan pemilihan Kepala Daerah, dijauhi oleh warga masyarakat, karena warga masyarakat merasa terpinggirkan setiap kali selesai diadakannya pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Padahal sejatinya dalam setiap pelaksanaan PILKADA, tentu akan terjadi perubahan dalam masyarakat. Dr.phil. Astrid S. Susanto mengatakan bahwa “Dimana-mana dirasakan bahwa Perubahan Masyarakat adalah suati kenyataan, yaitu kenyataan yang dibuktikan oleh gejala-gelaja seperti de-personalisasi, adanya frustasi dan apathy (kelumpuhan mental), pertentangan-pertentangan dan perbedaan-perbedaan pendapat mengenai norma-norma susila yang hingga kini dianggap adalah mutlak dan lain sebagainya”, hal ini membuktikan bahwa ada dinamika di dalam setiap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daeran (PILKADA), baik yang dirasakan oleh warga masyarakat maupun yang tidak dirasakan.
Oleh karena itu penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) tentunya membutuhkan pengaturan di dalam Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahadjo, SH, yang mengatakan, “Pada hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai peraturan-peraturan hukum”,  dimana peraturan perundang-undangan tersebut akan mengatur tata cara penyelengaraan maupun kewajiban dan hak dari para calon Kepala Daerah dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah.

II.    Permasalahan
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat kita ambil suatu permasalahan, yaitu Bagaimana menjadikan Pemilihan Kepala Daerah sebagai sarana pembelajaran politik bagi warga masyarakat ?

III.     Pembahasan
Pemerintah sebenarnya telah mengatur mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Satjipto Rahadjo, SH, mengatakan bahwa, “Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat, menyebabkan keterkaitannya dengan masalah-masalah sosial juga menjadi semakin intensif’,  oleh karenanya dengan diaturnya masalah-masalah di dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menyebabkan Pemerintah sebagai pelaksana dari penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah berkewajiban untuk mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara JUJUR dan BERSIH, sehingga bisa menghasilkan Kepala Daerah yang benar-benar sesuai dengan aspirasi masyaakat pemilihnya.
Kita juga hasru mengetahui esensi dari DEMOKRASI itu sendiri sebagai dasar dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah. Prof Miriam Budiardjo mengatakan bahwa, “Demokrasi dibagi dalam tiga bagian yaitu POLITIS, SOSIOLOGIS dan IDEOLOGIS.” 
Perubahan dan perkembangan masyarakat pada suatu daerah, akan mempengaruhi pula pada penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Keberadaan seorang Kepala Daerah, seharusnya mendukung pemerintahan pusat sebab pada dasarnya suatu negera akan menjadi Negara moderen apabila juga didukung oleh pemerintah moderen yang mempunyai sifat khas sebagaimana pendapat Prof. Miriam Budiardjo, “Sifat khas dari suatu pemerintahan moderen adalah pengakuan dan penerimaan atas peranannya sebagai suatu kekuatan yang aktif di dalam membentuk kondisi ekonomi, sosial dan lingkungannya”, maka seseorang yang terpilih sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah harus bersinergi perannya dengan Pemerintah Pusat, sehingga tidak terjadi pertentangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa “Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban :
a.    Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ;
b.    Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat ;
c.    Mengembangkan kehidupan demokrasi ;
d.    Mewujudkan keadilan dan pemerataan ;
e.    Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan ;
f.    Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan ;
g.    Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak ;
h.    Mengembangkan system jaminan sosial ;
i.    Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah ;
j.    Mengembangkan sumber daya produktif di daerah ;
k.    Melestarikan lingkungan hidup ;
l.    Mengelola informasi kependudukan ;
m.    Melestarikan nilai sosial budaya ;
n.    Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya ;
o.    Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ;
Prinsip-prinsip dalam Pasal 22 UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut di atas, sesuai pula dengan pendapat dari DJENAL Hoesen Koesoemahatmadja yang dikutip oleh Marmin Martin Roosdjio, SH, yang mengatakan, “Disamping pemerintah daerah yang kokoh, seyogyanya berdiri PAMONPRAJA GAYA BARU yang kuat pula dan yang telah disempurnakan dan disesuaikan dengan tuntutan jaman, antara lain dengan membuang segi feodalnya, yang mempunyai tugas utama :
1.    Mengurus ketertiban umum di daerah / memegang pimpinan kebijaksaan politik polisional di daerahnya ;
2.    Menyelenggrakan koordinasi ;
3.    Mengadakan pengawasan atas jalannya pemerintahan di daerah.
Ketika seorang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh rakyat di wilayah tersebut, maka tidak akan terlepas dari Partai Politik pendukungnya Oleh karenanya kita perlu melihat bagaimana peranan Partai Politik dalam penyelengaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA).
Pada masa Orde Baru, kita mengenal adanya Organisasi Politik yang berkuasa tunggal, yaitu GOLONGAN KARYA (GOLKAR). Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Drs.J.B.A.F. Mayor Polak, yang mengatakan, “Di Negara-Negara yang berkembang, kita melihat adanya partai-partai tunggal non komunisme yang justru menjelaskan usaha-usaha sungguh-sungguh ke arah domokratisasi,”  sehingga yang dimaksudkan adalah meskipun dikenal dengan MAYORITAS TUNGGAL, tetapi dalam tataran pelaksanaan DEMOKRASI, diadakan yang namanya PEMILIHAN UMUM (PEMILU) yang bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat di DPR Pusat, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II, meskipun dalam implementasinya, masih perlu pembahasan lebih lanjut apakah sudah benar-benar sesuai dengan nilai-nilai DEMOKRASI atau belum. Namun setidaknya langkah menuju NEGARA DEMOKRASI telah dijalankan semasa Rezim Orde Baru.
Akan tetapi pada saat itu, Kepala Daerah baik itu di tingkat Propinsi maupun Kabupaten / Kotamadya masih ditentukan dari Pemerintah Pusat. Hal tersebut bergeser setelah adanya pergerakan REFORMASI di Tahun 1998 yang menginginkan setiap Kepala Daerah beserta Wakil Kepala Daerah dipilih oleh rakyat sebagaimana rakyat memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam perkembangannya, sejak Tahun 1998 bermunculan partai-partai baru yang mengusung berbagai macam simbol. Mayor Polak mengatakan bahwa “Apabila ada multipartisme (lebih dari dua partai), maka jarang sekali salah satu diantara partai-partai itu dapat mencapai suatu mayoritas tunggal”  sehingga membuat kekecewaan masyarakat, yang kemudian dengan dibukanya “KRAN DEMOKRASI”, akhirnya bermunculan partai-partai baru. Selanjutnya bukan hanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja yang dipilih langsung, tetapi juga pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik di Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Mayop Polak juga mengatakan, “Apabila meninjau suatu sistem kepartaian, maka kita harus meninjau keseluruhannya, bukan hanya jumlah-jumlah partainya tetapi juga strukturnya, dimensi-dimensinya, organisasi-organisasinya dan lain sebagainya.”  Sehingga apabila sebuah Partai Politik ingin berperan dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dengan mengajukan calon-calonnya, maka perlu dipertimbangkan pula apakah calon tersebut benar-benar mendapat dukungan dari Partai Politik tersebut dan apabila dukungan dari Partai Politik pendukungnya kurang memenuhi dudukungannya, maka Partai Politik tersebut dapat berkoalisi dengan Partai Politik lain yang memiliki visi dan misi yang sama.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan Partai Politik ? Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa, “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”  Hal ini sesesuai dengan pendapat dari marmin Martin Roosadijo SH, yang mengatakan, “Politik adalah segala bentuk kegiatan yang terorganisir dilakukan oleh sesuatu kelompok kekuatan sosial dan bergerak dengan tujuan untuk ikut serta dan/atau mempengaruhi jalannya roda pemerintahan dalam merealisir cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.”
Salah satu kegiatan dari Partai Politik, adalah ikut serta baik secara aktif maupun pasif di dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan, “Peserta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik”,   dalam hal ini Partai Politik membuka peluang bagi warga masyarakat yang ingin berpastisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, yang tentu saja harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 58 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan, “Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat :
a.    Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ;
b.    Satia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah ;
c.    Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan atas dan/atau sederajat ;
d.    Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun ;
e.    Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter ;
f.    Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih ;
g.    Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ;
h.    Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya ;
i.    Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan ;
j.    Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/ atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan Negara ;
k.    Tidak sedang dinyatakan paailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ;
l.    Tidak pernah melakukan perbuatan tercela ;
m.    Memliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak ;
n.    Menyerakan Daftar Riwayat Hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri ;
o.    Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama dan
p.    Tidak dalam status sebagai Pejabat Kepala Daerah ;
         Dari hal-hal tersebut diatas, maka setiap warga Negara memilik hak yang sama ketika ingin berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, terutama ketika seseorang ingin mencalonkan diri sebagai Calon Kepala Daerah atau Calon Wakil Kepala Daerah. Tentu saja pencalonan tersebut harus melalui Partai Politik, sebagai sarana untuk mencalonkan seseorang sebagai Calon Kepala Daerah atau Calon Wakil Kepala Daerah.
        Sehingga dengan demikian, pembelajaran politik dari Partai Politik sudah seharusnya dilakukan sejak lama dan bukan ketika akan diadakan suatu pemilihan Kepala Daerah saja. Karena kader Partai Politik yang baik adalah kader yang selalu dibina dalam jangka waktu yang lama dan bukan kader karbitan (mendadak muncul), dan kalau Partai Politik melakukan pengkaderan dengan baik maka akan dihasilkan kader-kader yang berkualitas sehingga ketika ada penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, sebuah Partai Politik tidak lagi kebingungan mencari CALON yang akan diajukan.

IV. Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa apabila sebuah Partai Politik ingin berperan aktif dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, maka seyogyanya Partai Politik tersebut sudah melakukan pengkaderan sedari awal kader-kadernya yang akan diajukan sebagai CALON dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga tidak memunculkan kader karbitan yang mendadak muncul, namun tidak dikenal oleh warga masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Dr.phil. Astrid S. Susanto, PENGANTAR SOSIOLOGI dan PERUBAHAN SOSIAL, Penerbit BINACIPTA – Jakarat, Tahun 1977 ;
2.    Drs.J.B.A.F, PENGANTAR PENGETAHUAN HUKUM dan POLITIK, Penerbit BHARATA – Jakarta, Tahun 1967 ;
3.    Marmin Martin Roosadijo, SH, EKOLOGI PEMERINTAHAN DI INDONESIA, Penerbit ALUMNI – Bandung, Tahun 1982 ;
4.    Prof. Miriam Budiardjo, MASALAH KENEGARAAN, Penerbit PT. GRAMEDIA – Jakarta, Tahun 1975 ;
5.    Satjipto rahardjo, SH, HUKUM dan MASYARAKAT, Penerbit ANGKAS – Bandung, Tahun 1980 ;
6.    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ;
7.    Undang-Undnag Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Kamis, 25 Juni 2015

PUASA DAN DISIPLIN KERJA

Renungan Akhir Pekan (25062015) :
   PUASA DAN DISIPLIN KERJA
Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan tentunya akan memberikan sedikit perubahan pada daya tahan tubuh kita, akan tetapi meskipun kita dalam keadaan berpuasa tidaklah menjadi halangan bagi kita untuk tetap beraktivitas termasuk di dalamnya adalah kita tetap harus memiliki semangat kerja yang tinggi.
Hanya sekedar mengingatkan bahwa meskipun kita berpuasa namun disiplin kerja harus tetap tinggi karena bekerja juga merupakan ibadah bagi kita.
Selama bulan Ramadhan, tentunya jam kerja juga mengalami perubahan dan (biasanya) kegiatan persidangan juga sedikit berkurang dibandingkan hari-hari diluar bulan Ramadhan. Hal tersebut membuat terrdapat kekosongan waktu bagi aparat pengadilan, utamanya adalah bagi para Hakim. Kekosongan waktu tersebut kirnya dapat dipergunakan dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat. Bagi seorang Hakim yang ingin selalu meningkatkan kualitas diri, tentunya dapat mengisi kekosongan waktu selama bulan Ramadhan, dengan membaca kembali buku-buku Hukum ataupun mengkoreksi Berita Acara Persidangan dan menyusun Putusan. Tentunya semua yang dilakukan harus bernilai positif dan membawa manfaat bagi diri kita masing-masing.
Akhirnya, kembali kepada diri kita, apakah bisa menyesuaikan keadaan kita yang sedang berpuasa dengan semangat disiplin kerja yang harus tetap dijaga sebab, sekali lagi, puasa bukanlah alasan bagi kita untuk bermalas-malasan.

Jumat, 12 Juni 2015

PERTANYAAN MENGENAI TEORI HUKUM



PERTANYAAN MENGENAI
TEORI HUKUM

1.      Antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum terdapat kaitan walaupun lingkupnya berbeda, kupas dengan bukti konkrit !
JAWAB :
-          Filsafat Hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum atau dengan perkataan lain, Filsafat Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Bukti konkritnya adalah nilai-nilai filosofis dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. Filsafat Hukum bertujuan mencapai kebenaran hukum dan tujuan Hukum dapat disokong dengan Filsafat Hukum apabila Filsafat Hukum dapat menjadi Sumber Hukum.
-          Teori Hukum adalah ilmu yang menjelaskan Hukum sehingga Hukum dibuat menjadi jelas dan terarah sehingga membuat jelas nilai-nilai postulat-postulat Hukum dampai pada landasan filosofisnya yang tertinggi.. Bukti konkritnya yaitu mengenai kekuatan mengikat hukum dalam suatu pembuatan peraturan perundang-undangan, mengenai keadilan dalam suatu peraturan perundang-undangan. .

2.      Mengkritisi hukum nampaknya lebih disukai para ahli hukum, analisislah mengapa demikian ?
JAWAB :
Para ahli hukum lebih suka mengkritisi hukum karena hal tersebut lebih mudah dilakukan daripada mengkonstruksi hukum. Mengkritisi hanyalah sebatas membahas mengenai pelaksanaan penerapan suatu peraturan perundang-undangan di dalam masyarakat, hanya melihat pada isi luar dari penerapan UU tetapi tidak membahas mengenai nilai-nilai filosofis dari berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga para ahli hukum hanya melihat yang nampak dalam penerapan suatu peraturan perundang-undangan, tetpi tidak memahami secara mendalam berlakunya suatu peraturan perundangan.

3.      Teori Hukum merupakan meta teori dari Ilmu Hukum, berikan analisisnya !
JAWAB :
Pada hakekatnya Teori Hukum membuat nilai-nilai postulat-postulat Hukum samapi pada landasan filosofisnya yang tertinggi dan Teori Hukum tidak terlepas dari lingkungannya dan seputar masalah di zamannya, walau ada sifat-sifat universalnya, sehingga menimbulkan berbagai masalah, diantaranya yaitu apa dasar kekuatan mengikat hukum, mengapa hukum berlaku dan lain sebagainya. Dari ragam masalah tersebut timbullah berbagai macam aliran Teori Hukum. Dari aliran Teori Hukum tersebut akhirnya muncul ILMU HUKUM yang perkembangannya membutuhkan Teori Hukum, dimana teori yang lama yang kurang baik digantikan dengan teori baru yang lebih baik atau lebih sesuai.

4.      Sebagian praktisi hukum kerapkali mengabaikan Teori Hukum, kupaslah dampaknya dengan menunjuk pada kasus nyata dalam masyarakat !
JAWAB :
Hal tersebut dikarenakan ketidakpuasan atas penguasaan Ilmu Hukum termasuk Teori Hukum, yang disebabkan karena unsur-unsur :
-          Ilmu Hukum dan Teori Hukum yang diberikan sekarang ini tidak sesuai dengan kebutuhan, terutama menyangkut materi yang disajikan ;
-          Para ahli hukum tidak dapat mengikuti arus perubahan / pembangunan, sehingga ilmu hukumnya perlu diperbaharui ;
-          Kekurangmampuan ahli hukum dalam ilmu logika termasuk logika / penalaran hukum ;
-          Banyak ahli hukum yang lemah bahasa Inggris/asing dan kepustakaannya, sehingga kurang mampu dalam menanggapi masalah-masalah hukum sekarang ini ;

5.      Dalam legal research, Teori Hukum dapat diaplikasikan oleh peneliti. Buatlah uraian singkat yang menunjuk pada hal tersebut !
JAWAB :
Ilmu Hukum termasuk Teori Hukum dapat berkembang melalui kegiatan penelitian hukum yang dapat dibagi menjadi Penelitian Hukum Normatif, yaitu suatu penelitian hukum yang obyeknya berupa norma-norma hukum dan Penelitian Hukum Sosiologis, yaitu penelitian hukum yang obyeknya berupa perilaku hukum di masyarakat. Suatu Legal Research mempunyai cirri-ciri empiris, rasionil dan abstraksi yang kesemuanya haruslah teruji keabsahannya (valid and testable), sehingga tentunya dalam penelitian hukum, akan menggunakan Teori Hukum sebagai landasan berpikir untuk kemudian menemukan Teori Hukum yang baru.

6.      Bandingkan antara aliran LEGAL POSITIVISTIC dengan ALIRAN HUKUM ALAM serta faktanya dalam masyarakat !
JAWAB :
Aliran legal positivistic adalah memandang hukum dalam bentuk suatu undang-undang yang mempunyai tujuan untuk kepastian hukum, sedangkan aliran hukum alam bertujuan untuk keadilan dengan sendirinya hukum adalah keadilan itu sendiri. Dalam suatu putusan hakim yang memuat semua unsur-unsur dari pasal yang didakwakan dan sesuai ketentuan hukum formalnya menurut aliran positivistic adalah sudah cukup adil akan tetapi menurut aliran hukum alam belum tentu adil karena ada prinsip-prinsip yang harus dipenuhi adanya prinsip moralitas dan keadilan. Misalnya : seseorang buruh mengambil beras milik majikannya untuk dijual untuk keperluan berobat anaknya yang sifanya darurat dan dia dikenakan pasal pencurian dan terbukti dijatuhi pidana 7 (tujuh) bulan. Dalam pandangan legal positivistic putusan hakim tersebut cukup adil akan tetapi menurut aliran hukum alam kurang memenuhi rasa keadilan karena tidak sesuai rasa kemanusian sebab kalau tidak mengambil beras maka anaknya tidak akan tertolong jiwanya dimana rumah sakit tidak dilayani tanpa ada uang jaminan terlebih dahulu.

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA



PENANGANAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI LINGKUNGAN ANAK DAN REMAJA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH[1]


I. PENDAHULUAN  
                        Bahwa sebagaimana tercantum dalam uraian Menimbang dalam poin a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, menyatakan bahwa ”Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peranan strategis yang memiliki cirri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang”, maka peran orang tua sangat penting dalam tumbuh kembang seorang anak.
                        Seorang anak bahkan telah mempunyai hak sejak masih dalam kandungan, sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia. Namun dalam perkembangannya dalam kehidupan sosial sehari-hari, sering kali hak anak terlupakan sehingga seringkali seorang anak mencari Pelampiasan di luar lingkungan keluarganya. Pada akhirnya seorang anak ikut pula memikul beban hidup orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Drs. Mulyana W. Kusumah dalam bukunya Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis, menyatakan bahwa “Secara luas, kebutuhan-kebutuhan hidup manusia mencakup aspek-aspek eksistensi yang diperlukan untuk menjamin perkembangan dasar seseorang, yaitu makanan, pakaian, perumahan, pelayanan kesehatan dan pendidikan”.[2]
                        Dalam kegiatannya untuk membantu kebutuhan hidup keluarganya, seringkali terjadi seorang anak melakukan kenakalan-kenakalan. Dalam tahap tertentu, kenakalan-kenakalan seorang anak, apalagi yang sedang beranjak dewasa menjadi seorang remaja, dapat diterima di dalam lingkungan masyarakatnya, tetapi sering pula kenakalan remaja tersebut menjadi suatu tindak pidana.
                        Pada saat ini, pergaulan anak tidak hanya dengan orang tua dan orang-orang yang ada dalam lingkungannya, akan tetapi juga sering kali bergaul dengan orang-orang yang tidak dikenal yang justru akan membawa akibat buruk bagi anak tersebut. Seringkali anak-anak menjadi sasaran dari peredaran Narkotika dan Bahan-bahan berbahaya lainnya atau yang sering kita kenal dengan istilah NARKOBA.
                        Data dari hasil penelitian Gerakan Nasional Peduli Anti Narkoba dan Tawuran (Gependa) menyatakan, penggunaan Narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia mencapai angka 1,3 juta.[3] Sehingga oleh karenanya, perlu usaha bersama dan peran aktif seluruh anggota masyarakat untuk terutama melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan Narkotika.
                       
II. KENAKALAN ANAK DALAM KAITAN PERKARA NARKOTIKA
                        Untuk menangani permasalahan terhadap KENAKALAN ANAK DAN REMAJA, dibuatlah Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut. Untuk itu, maka perlu terlebih dahulu membahas latar belakang dari dibuatnya Undang-Undang tentang Narkotika dan Undang-Undang tentang Peradilan Anak.
Masalah peredaran dan penyalahgunaan Narkotika, sudah menjadi PENYAKIT MENULAR dalam masyarakat. Baik disadari maupun tidak, keberadaan Narkotika memang sangat dibutuhkan terutama dalam bidang medis dan kesehatan. Barbagai penemuan obat baru, tidak terlepas dari pemanfaatan Narkotika, sehingga tentunya Narkotika bukan menjadi barang yang tabu bagi kita. Untuk itu perlu dibuat Undang-Undang yang mengatur tentang Narkotika, baik itu tentang peredaran maupun pemanfaatannya.
Meski demikian, sebagaimana hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh HR. Muslim, yang mengatakan bahwa, “Setiap yang memabukan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram”,[4] tentunya Narkotika juga memiliki efek samping yang merugikan bagi manusia, sehingga tentunya menjadi HARAM untuk dikonsumsi apabila digunakan tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan NARKOTIKA ? Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan NARKOTIKA adalah “ Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”.[5]
Sebelumnya, yaitu pada Tahun 1976, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika sebagai pengganti dari Verdovende Midellen Ordonantie (Stbl. 1927 Nomor 278 jo. Nomor 536, yang dalam uraian MENIMBANG huruf a menyebutkan, “Bahwa NARKOTIKA  merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan”, dan dalam huruf b menyebutkan, “Bahwa sebaliknya, NARKOTIKA dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama”,[6] maka perlu adanya kepedulian dari warga masyarakat di dalam mengawasi peredaran dan pemanfaatan Narkotika.
Kepedulian tersebut yang menjadi perhatian dari Pemerintah, sehingga kemudian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah mengalami beberapa kali perubahan dan terakhir adalah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Akan tetapi, yang menyedihkan, dengan adanya Undang-Undang yang baru, justru pengguna illegal Narkotika justru meningkat, sebagaimana diungkapkan oleh Yayasan Kesatuan Peduli Masyarakat (KELIMA) DKI Jakarta, menyebutkan "Jumlah pengguna narkotika dan obat-obat terlarang akan semakin bertambah bila kita tidak melakukan upaya pencegahan sejak dini. Hingga 2012 ini tercatat jumlah pengguna narkotika dan obat terlarang mencapai 5 juta orang,"[7] sehingga bisa kita bayangkan bagaimana penuhnya Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia, apabila seluruh pengguna narkotika dan obat-obat terlarang dipidanakan.
Bukan rahasia umum pula apabila di dalam LAPAS, juga terjadi transaksi jual beli Narkotika, baik antar sesama Narapidana maupun juga melibatkan oknum Petugas LAPAS. Sebagaimana diungkap dalam Media Online KOMPAS.com mengutip pernyataan dari Kepala Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta yang menyatakan, “Pada 2011 lalu, pihaknya menggagalkan 95 kasus penyelundupan narkotika dari balik tahanan dan mengamankan 20 sipir yang terlibat peredaran barang haram tersebut.”[8]
Sedangkan untuk perkara Anak yang terlibat Narkotika yang disidangkan di Pengadilan Negeri Tegal, diperoleh data bahwa pada tahun 2011 terdapat 3 (tiga) orang Anak yang terlibat dalam perkara Narkotika, untuk tahun 2012 terdapat 1 (satu) orang Anak yang terlibat, sedangkan pada tahun 2013 masih nihil.[9]
Keadaan tersebut diatas, baru yang terungkap, sebagaimana keberadaan puncak gunung es yang ada di lautan, besar kemungkinan, penyalahgunaan Narkotika di Indonesia sudah sangat besar jumlahnya dan terdiri dari berbagai kalangan, termasuk juga adalah kalangan anak-anak maupun remaja.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan pula keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun hingga saat ini UU Nomor 11 Tahun 2012 belum diberlakukan dan masih dalam masa sosialisasi. Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan KENAKALAN ? Dan apa yang masuk dalam kategori ANAK ?
                        Dalam penjelasan Pasal 489 KUHP sebagaimana diutarakan oleh R. SOESILO, bahwa KENAKALAN (BALDADIGHEID) adalah “Semua perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum, ditujukan pada orang, binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan yang tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus dalam KUHP”.[10] Secara tradisonal, para ahli sosiologi di Amerika memasukkan KENAKALAN (ANAK) ke dalam Konsepsi Perilaku Menyimpang, selain perbuatan criminal, prostitusi, penggunaan dan ketergantungan obat dan lain sebagainya.[11]
                        Sedangkan yang dimaksud dengan ANAK adalah sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) Tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) dan belum pernah kawin”. [12] Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan, “Bahwa anak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut ANAK adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) Tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. [13]
                        Masalah Kenakalan Anak (Junevile Justice) ini telah mendapat perhatian tidak hanya di Indonesia, kan tetapi juga menjadi perhatian Internasional yaitu dengan keluarnya Deklarasi Hak Asasi Anak pada Konggres II PBB Tahun 1965 yang dilanjutkan dalam Konggres ke – IV PBB di Caracas, Venezuela tahun 1980 yang menghasilkan suatu Resolusi No. 4 mengenai DEVELOPMENT OF MINIMUM STANDARDS OF JUVENILE JUSTICE, yang pada pokoknya meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk penyelenggaraan PERADILAN ANAK.[14]
Sebelum menjawab mengenai penanganan anak yang melakukan tindak pidana, maka kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tindak pidana.  Belum ada kesepakatan pendapat dari para ahli hukum menganei arti dari TINDAK PIDANA. Prof.Mr. ROESLAN SALEH, menyebut dengan istilah PERBUATAN PIDANA, yaitu “Perbuatan yang bertentangan bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum”.[15]
VON FEUREBACH, yang menyatakan bahwa ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis.[16] Pendapat ini memunculkan ASAS NULLUM DELICTUM, yaitu :
1.      Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam satu aturan undang-undang ;
2.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tiak boleh digunakan analogi ;
3.      Aturan-Aturan hukum pidana tidak berlaku mundur ;[17]
DONALD BLACK menyatakan bahwa Downward Law is greater than Upward Law (Hukum yang berasal dari keinginan masyarakat akan lebih baik daripada hukum yang dibuat oleh Penguasa).[18] Hal ini membuktikan bahwa peran serta masyarakat akan membentuk CITA, RASA dan WARNA dari suatu Undang-Undang yang akan dibentuk, demikian pula dengan Pembentukan Undang-Undang Peradilan Anak. Sebelum dikeluarkannya Undnag-Undang Peradilan Anak, telah pula dikeluarkan Undang-Undang Kesejahteraan Anak (UU Nomor 4 Tahun 1979) dengan tujuan dan dasar pemikiran untuk mengutamakan kesejahteraan anak, yaitu
a.       memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile) ; ;
b.      prinsip proposionalitas.[19]
Ketika seorang anak melakukan tindak pidana, maka yang diperlukan adalah penanganan yang mengutamakan kepentingan anak tersebut. Yang terpenting adalah adalah usaha pencegahan, agar seorang anak tidak melakukan tindak pidana. Bonger, seorang ahli kriminoligi, sebagaimana dikutip oleh Drs. B. Simanjuntak, SH, mengatakan “Mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik kembali”[20].
Selanjutnya Drs. B. Simanjuntak, SH, mengatakan bahwa untuk mencegah terjadinya KENAKALAN ANAK, membagi menjadi 2 (dua) usaha, yaitu :
1.      Usaha Pemerintah, yaitu Pemerintah lebih banyak turun tangan dalam penanggulangan anak-anak nakal melalui Lembaga-Lembaga Pemerintahan seperti sekolah, mendirikan Panti Asuhan bagi anak-anak yatim piatu yang tidak mampu dan lain sebagainya ;
2.      Usaha Swasta, yaitu badan atau lembaga yang didirikan oleh swasta dan mendapat bantuan dari Pemerintah yang bergerak mengangani kenakalan anak-anak, misalnya pembentukan Karang Taruna, Badan Kontak Organisasi Wanita (BKOW) dan lain sebagainya.[21]
Akan tetapi, bagaimana bila anak-anak telah menjadi Terdakwa dalam proses persidangan ? Prof. Dr. Muladi dan Dr. Barda Nawawi mengatakan bahwa tujuan dan dasar pemikiran mengenai Peradilan Anak adalah masalah kesejahteraan atau kepentingan anak. Diperlukan pendekatan khusus dalam menangani masalah hukum dan Peradilan Anak, yaitu :
1.      Anak yang melakukan tindak pidana / kejahatan (juvenile offender) janganlah dipandang sebagai seorang penjahat (criminal) tetapi harus dipandang sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang ;
2.      Pendekatan Yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasive – edukatif yang berarti sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, yang bersifat degradasi mental dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang wajar.[22]
Terhadap putusan HAKIM yang menghukum Terdakwa Anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 1997, dapat berupa :
1.      Pidana Penjara ;
2.      Pidana Kurungan ;
3.      Pidana Denda ;
4.      Pidana Pengawasan ;
Terhadap ancaman pidana, pidana kurungan dan pidana denda sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka untuk Terdakwa anak hanya dapat diterapkan ½ (seperdua) dari ancaman pidana kepada pelaku criminal dewasa (Pasal 26 s/d 28 UU Nomor 3 Tahun 1997), sedang pengawasan dapat dijatuhkan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 30 UU Nomor 3 Tahun 1997). Terdakwa Anak juga bisa dijatuhi pidana bersyarat dengan paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 29 UU Nomor 3 Tahun 1997) ;
Terdakwa Anak yang diputus bersalah dan dijatuhi pidana, maka harus menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak yang terpisah dari orang dewasa (Pasal 60 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1997). Hal tersebut bertujuan untuk menghindari Terdakwa Anak yang dijatuhi pidana mendapat pengaruh buruk dari Narapidana dewasa, sehingga ketika selesai menjalani pidananya, Terdakwa Anak tersebut kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakatnya sebagai pribadi yang baru yang telah menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.
      Dari pemaparan tersebut di atas, tentu akan menimbulkan pertanyaan Mengapa seseorang, termasuk anak-anak dan remaja menyalahgunakan Narkotika, padahal sudah ada peraturan perundang-undangan yang melarang penyalahgunaan Narkotika ? Penyalahgunaan Narkotika sudah tentu merupakan suatu Tindak Pidana dan bila seseorang atau beberapa orang melaakukan Tindak Pidana, maka akan mendapat sanksi berupa pemidanaan.
SOEJONO D, SH, dalam bukunya NARKOTIKA dan REMAJA, menyebutkan bahwa, “Menurut Dr. Graham Blaine, orang-orang menyalahgunakan Narkotika dengan berbagai alasan, antara lain :
a.      Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan seperti perkelahian, ngebut dan lain-lain ;
b.      Sebagai tindakan untuk memprotes suatu kekuasaan/kewenangan, seperti terhadap orang tua atau terhadap guru-guru dan terhadap norma-norma yang ada ;
c.       Untuk menghilangkan kekecewaan dan melepaskan diri dari kesepian ;
d.      Karena pengobatan yang berlanjut ;
e.       Ingin mencoba-coba”[23]
Dari pendapat Soedjono D, SH tersebut, dapat diuraikan menjadi beberapa tahap sehingga seseorang menjadi PEMAKAI (Penyalahgunaan) Narkotika sebagaimana diuraikan oleh dr. DHARMAWAN dalam Seminar Sehaari Dampak Ketergantungan Obat terhadap Pelaku serta Upaya Pencegahan dan Rehabilitasinya pada bulan Agustus 1999, menyebutkan sebagai beikut :
1.      Mula-mula mereka hanya coba-coba (experimental use) dengan alasan untuk menghilangkan rasa susah, mencari rasa nyaman, enak atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu ;
2.      Kemudian, sebagian tidak meneruskan, tetapi sebagian lagi meneruskan menjadi social use, untuk mengisi kekosongan waktu senggang, konkow-konkow atau pada waktu pesta ;
3.      Sebagian  bersifat situational use, menggunakan pada saat stress, kecewa, sedih, tetapi mereka masih dapat mengendalikan pemakaian Narkotika ;
4.      Pada tahap ABUSE, merupakan tahap yang menentukan apakah ia akan menjadi pengguna tetap atau tidak, apabila menjadi pengguna tetap makan menjadi dependence use (kecanduan) ;
5.      Di tahap kecanduan, seseorang cenderung akan menambah dosis dari Narkotika yang dipakainya ;[24]
Pintu masuk penggunaan NARKOTIKA adalah dengan MEROKOK, karena apabila sudah terbiasa merokok, tidak segan-segan untuk mencoba yang lebih tinggi lagi dan bereksperimen menggunakan DAUN GANJA, kemudian meningkat ke PIL KOPLO, lantas ke SABU-SABU dan meningkat lagi ke EXTACY dan HEROIN.[25]
Setelah mengetahui berbagai penyebab seseorang melakukan penyalahgunaan Nakotika, perlu pula diketahui AKIBAT DARI NARKOTIKA yaitu :
1.      Terpapar HIV / AIDS (dari penggunaan jarum suntik secara bergantian) ;
2.      Gangguan penyakit seperti HEPATITIS / LEVER, GANGGUAN MENS PADA WANITA, PENYAKIT JANTUNG, GANGGUAN LAMBUNG dan DAYA TANGKAP OTAK MENJADI LEMAH ;[26]
Selanjutnya perlu dipikirkan pula cara pencegahan maupun penanggulangannya. Pencegahan dimaksudkan supaya tidak terjadi penyalahgunaan, sedangkan penanggulangan ditujukan untuk apabila telah terjadi penyalahgunaan Narkotika.
Dalam hal pencegahan, diperlukan keberanian masyarakat untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila mengetahui tentang Narkotika yang disalahgunakan atau dimiliki secara tidak sah (Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009), meski demikian keberadaan PELAPOR dilindungi oleh UU Nomor 35 Tahun 2009 yaitu :
a.       Pelapor perlu mendapat jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang (Pasal 57 ayat (3) UU Nomor 35 Tahun 2009) ;
b.      Saksi atau orang lain dilarang menyebut pelapor beserta identitasnya dalam sidang pengadilan (Pasal 76 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009) ;
c.       Hakim memberikan peringatan terlebih dahulu kepada saksi/atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara Tindak Pidana Narkotika, untuk tidak menyebut identitas pelapor dalam permulaan persidangan (Pasal 76 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009) ;[27]

Sebagai orang tua ataupun pendidik, apa yang harus dilakukan apabila mendapati anak atau anak didiknya menjadi pecandu atau penyalahguna narkotika. ? Yang pertama harus diketahui adalah melihat gejala-gejala apabila seseorang sudah mencoba Narkotika, yaitu sebagaimana pendapat dari SOEDJONO D, SH, mengatakan bahwa “Andaikata seorang anak lebih menyukai bergaul dengan teman yang nakal, mungkin memberi suatu tanda bahwa ia akan terjun pada pergaulan memakai Narkotika dan bilamana makin ke dalam seorang terikat pada Narkotika, maka ia tidak memperhatikan tugas-tugas utamanya, seperti tugas-tugas sekolah dan lain sebagainya,”[28] maka orang tua ataupun guru harus mulai waspada, karena bukan tidak mungkin anak atau anak didiknya sudah MENCOBA Narkotika, bahkan sudah menjadi PECANDU, karena sebagai anggota warga masyarakat, kita semua memiliki tugas dan peran serta di dalam pengawasan peredaran Narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 104 s/d Pasal 108 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam kehidupan sehari-hari, hal yang perlu dilakukan adalah dengan memanggil anak tersebut secara lemah lembut untuk kemudian menanyakannya kepada anak tersebut untuk mengetahui apa benar anak tersebut telah memakai Narkotika. Hal lain yang juga bisa dilakukan adalah dengan melakukan tes urine maupun tes darah yang tentu akan melibatkan pihak kesehatan baik dari piahk Rumah Sakit maupun Laboratorium, apabila menemukan tanda-tanda seperti yang telah disebutkan di atas.
Banyak hal yang bisa dilakukan sebagai upaya pencegahan dari penyalahgunaan Narkotika baik melalui pembinaan kesadaran mental masyarakat berupa kesadaran beragama, hidup rumah tangga yang harmonis ataupun melalui pendekatan berupa penerangan mengenai bahaya Narkotika terhadap pribadi pemakai, terhadap masa depan putra-putri kita maupun bahaya Narkotika terhadap Negara.[29]
Bagaimanapun bagusnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penyalahgunaan Narkotika, akan menjadi sia-sia apabila tidak dilakukan upaya-upaya pencegahan. Hendaknya, upaya LAW ENFORCEMENT akan menjadi jalan terakhir, sehingga tidak akan merusak mental dari seorang anak yang dipidanakan karena perkara penyalahgunaan Narkotika.
Apakah yang bisa dilakukan SEKOLAH dalam upaya PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA ? Ada beberapa peran sekolah dalam mengatasi atau mencegah penyalahgunaan NARKOTIKA, yaitu :
1.      Memperbanyak jam kegiatan EXTRA KURIKULER ;
2.      Melakukan RAZIA di dalam kelas ;
3.      Melakukan TES URINE maupun DARAH secara periodik ;
4.      Bekerjasama dengan LEMBAGA KESEHATAN setempat ;
5.      Bekerjasama dengan Lembaga Anti Narkotika (BNN, BNK atau GRANAT) ;[30]
Lalu, bagaimana dengan Undang-Undang tentang Narkotika mengatur apabila seorang anak menjadi pecandu Narkotika ? Dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur  sebagai berikut :
 “(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
                        Apabila kita mendasarkan pada ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, apakah berani orang tua melaporkan anaknya sebagai Pecandu Narkotika ? Sebab bukan tidak mungkin ANAK dan ORANG TUANYA, akan menjadi pesakitan di muka hukum. Sehingga yang diperlukan adalah perlindungan bagi pelapor maupun yang dilaporkan, sehingga akan menimbulkan kesadaran untuk melaporkan bagi setiap orang tua yang mendapati anaknya menjadi pecandu Narkotika.
Harus dipahami bahwa ANAK adalah masa depan bangsa, sehingga bila tidak kita didik dengan baik sedini mungkin, maka akan dipertanyakan masa depan bangsa ini. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa peran serta orang dua dan juga para pendidik di sekolah sangat diperlukan
Seandainya seorang anak telah menjadi PECANDU, orang tua dan pendidik bisa berperan dengan melibatkan pihak kesehatan baik itu Rumah Sakit maupun Dokter untuk melakukan REHABILITASI dan rehabilitasi tersebut harus dilakukan sedini mungkin untuk mempercepat kesembuhan si penderita.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga tidak secara tegas mengatur mengenai penanganan terhadap ANAK yang menjadi TERSANGKA maupun TERDAKWA dalam perkara Narkotika. Karena sesungguhnya yang diperlukan bagi seorang ANAK adalah pendampingan (KONSELING) dan pembimbingan dalam rangka pencegahan menjadi pecandu Narkotika. Untuk itu di masa yang akan datang diperlukan perubahan Undang-Undang tentang NARKOTIKA yang lebih mengakomodir penanganan ANAK yang menjadi PECANDU NARKOTIKA baik dalam pencegahan maupun dalam penanganan PRO JUSTITIA .
Akan menjadi hal yang sulit apabila seorang ANAK telah menjadi PECANDU dan dijadikan PESAKITAN baik sebagai Tersangka maupun Terdakwa, terlebih apabila ANAK tersebut dijatuhi PIDANA dan menjadi NARAPIDANA. Secara mental, tentu akan menjadi beban yang sangat berat bagi ANAK tersebut.
Peran serta Pemerintah juga sangat vital di dalam mengawasi peredaran Narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya, terutama yang berasal dari Luar Negeri. Banyaknya pintu masuk ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia ini juga menjadi masalah serius mengingat pengiriman Narkotika maupun obat-obat terlarang lainnya lebih banyak dilakukan melalui pintu-pintu masuk yang tidak terjaga sehingga diperlukan kewaspadaan dari seluruh aparatur Negara di dalam mengamankan masuknya Narkotika dari Negara lain.

III. Kesimpulan
                        Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapatlah kita mengambil suatu kesimpulan sebagai berikut :
1.      Seorang anak atau beberapa orang anak bisa menjadi TERDAKWA di dalam proses persidangan, apabila melakukan perbuatan yang dilarang dalam suatu peraturan perundang-undangan, terutama dalam perkara yang menyangkut Narkotika ;
2.      Dalam menangani perkara pidana dengan Terdakwa Anak, yang lebih diutamakan adalah kesejahteraan dan kepentingan anak tersebut ;
3.      Diperlukan Undang-Undang Narkotika yang lebih mengakomodir penanganan ANAK yang menjadi PECANDU NARKOTIKA baik dalam pencegahan maupun penanganan dalam proses PRO JUSTITIA ;
4.      Masyarakat dapat berperan serta dalam mencegah terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan Narkotika yang dilakukan oleh ANAK, baik melalui lembaga pemerintahan maupun lembaga swasta yang peduli dengan perkembangan ANAK ;
5.      Pemerintah harus lebih berperan aktif di dalam pengawasan peredaran Narkotika dan obat-obat terlarang lainnya ;

Daftar Istilah Narkoba Yang Wajib Diketahui Agar Orangtua Waspada ![31]

A
Abes : salah tusuk urat / bengak
Abses : benjolan karena heroin yang disuntik tidak masuk ke dalam urat
Acid : LSD, salah satu zat halusinogenika, bila dikonsumsi akan timbul halusinasi
Afo : alumunium foil
Alfo; foil; alumunium foil : tempat untuk memakai / bakar shabu
Amp/amplop : kemasan untuk membungkus ganja
Amphet : amphetamin
Analgesic : substansi untuk meredakan rasa sakit berhubungan
Antibiotik : sejenis zat antimikroba yang berasal dari pengembangbiakan mikroorganisme dan dibentuk secara semi-sintetis. Zat ini bekerja untuk mematikan atau menghambat perkembangan bakteri dan digunakan untuk mengatasi infeksi.
B
Badai : teler atau mabok
Badai; pedaw; high : tinggi
Bahlul : mabuk
Bajing : bunga ganja
Bakaydu : bakar ganja; dibakar dulu
Barcon; tester : barang contoh (gratis)
Basi-an : setengah sadar saat reaksi drug menurun
BB : barang bukti
BD : bandar narkoba
Bedak etep putih : sebutan lain putauw atau heroin
Beler : mabuk
Berhitung : urunan / patungan untuk beli ganja
Betrik : dicolong / nyolong
Bhang : ganja
Bhironk : orang Nigeria atau pesuruh
BK (Bung Karno) : pil koplo paling murah
BK : sedatin, nama obat tidur, isinya Nitrazepam 5 mgr
Black Heart : merk ectasy
Blue ice (BI) : salah satu jenis shabu yang paling bagus (no.1)
Boat : obat
Bokauw : bau
Bokul : beli barang
Bokul (bok’s) : beli
Bong : sejenis pipa yang didalamnya berisi air untuk menghisap shabu
Bopeng/bogep : minuman alkohol buatan lokal yang dikemas dalam bentuk botol pipih (botol gepeng) misalnya jenis vodka atau wiski
Boti : obat
BT : Bad trip ( halusinasi yang serem)
BT (Bad trip) : rasa kesal karena terganggu pada saat fly/mabuk
Buprenorphine : suatu pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid
Buddha stick : ganja
Buterfly : merk ectasy
C
Camp’s : campuran (tembakau) untuk ganja pada saat melinting
Cannabis : ganja, daun ganja; kependekan dari Canabis Sativa
Chasing the dragon : pencandu heroin
Chasra : ganja
Chimenk : ganja/kanabis
Cimeng : ganja
CMD : cuaca mendukung (untuk ngeganja)
Coke : kokain
CS (sobat) : istilah sesama pemakai
D
Dagga : ganja
Dinsemilla : ganja
Dum-dum titik : dumolid
E
Etep
: Putaw/heroin
F
Fly : mabuk
G
Gantung : setengah mabok
Gauw : gram
Gaw : gram
Gele : ganja
Gepang : punya putauw atau heroin
Giber : mabok atau teler
Giberway (giting berat way) : mabuk ganja
Ginting : mabok atau teler
girl : kokain
Gitber (ginting berat) : mabok berat
Glass : shabu-shabu
Gocapan : gocip; paketan 50 ribu/0.1 gram.
Gonjes : mabok atau teler
Grass : daun ganja
H
Haluasi (halusinasi) : khayalan / imajinasi yang berlebihan
Halusinogen : Obat yang dapat mengubah perasaan dan pikiran, sering kali dengan menciptakan daya pandang yang berbeda, meskipun seluruh perasaan dapat terganggu.
Harm reduction : Suatu upaya untuk mengurangi beban dan penderitaan penyalagunaan zat, seperti memberikan jarum suntik baru agar mereka bisa terhindar dari penyebaran virus yang ditularkan melalui darah.
Hashish : daun ganja (biasanya juga disebut hash)
Hawi : ganja
Hemp : ganja
Hirropon : shabu-shabu
I
I : Ekstasi
Ice Cream : shabu-shabu
inex : Ekstasi
Inex : ecstasy
Insul/spidol : alat suntik
Iv (ngive) : intravena, memasukan obat ke urat darah (vena)
J
Jackpot : tumbang/muntah
Jayus : ganja
Joints : daun ganja yang dipotong, dikeringkan, dirajang halus dan digulung menjadi rokok
Jokul : jual
Junkies : pencandu
K
Kamput : kambing putih, gambar pada label salah satu minuman beralkohol
Kancing : ekstasi
Kar : alat untuk menggerus Putaw
Kartim : kertas timah
KD (kode) : kodein
Kentang : kena tanggung/gantung /kurang mabuk
Kentang kurus : kena tanggung kurang terus
Kipe : nyuntik atau memasukan obat ketubuh
Kipean : insulin, suntikan
Kompor : untuk bakar shabu di alumunium foil
Koncian : simpanan barang
Kotak kaset/CD : digunakan sebagai alat pengerus putaw
Kurus : kurang terus
KW : kualitas
L
Lady dan krack : kokain dalam bentuk yang paling murni dan bebas basa untuk mendapatkan efek yang lebih kuat
Lates : getah tanaman candu (papaver somniferum) yang didapat dengan menyadap (menggores) buah yang mulai masak.
Lexo : lexotan (obat penenang yang isinya bromazepam 12 mgr)
LL (double L) : artan
M
Marijuana : daun ganja
Mary Jane : daun ganja
Metadon : obat narkotik yang dipakai sebagai pengganti heroin dalam pengobatan pecandunya. Dengan memakai metadon, pecandu dapat menghentikan penggunaan heroin tanpa ada efek samping yang parah.
MG : megadon
Mixing drugs : mencampur jenis drug yang berlawanan jenis untuk mendapatkan efek yang berbeda
Mupeng : muka pengen
N
Narkoba
: narkotik dan bahan berbahaya.
Ngebaks (nyimenk/ngegele) : ngebakar ganja
Ngeblenk : kelebihan takaran pemakaian putaw
Ngecak : memisahkan barang
Ngecam : nyuntik atau memasukan obat ketubuh
Ngedarag : bakar putauw diatas timah
Ngedreg : cheasing the dragon, menggunakan heroin dengan cara dibakar dan asapnya dihirup melalui hidung
Ngedrop (low bed) : gejala berakhirnya rasa nikmatnya mabuk
Ngejel : mampet /beku pada saat ngepam/mompa
Ngepam (pamping) : memompa insulin secara berkali-kali
Ngupas : memakai shabu-shabu
NP (nipam) : Nitrazepam
Nugi (numpang giting) : mabuk tanpa duit
Nutup : sekedar menghilangkan sakaw/nagih
Nyabu : memakai shabu-shabu
Nyipet : nyuntik atau memasukan obat ketubuh
O
OD : ogah ngedrop perasaan/kemauan untuk tetap mabuk.
OD (over dosis) : kelebihan takaran pemakaian putaw
On (naik) : proses pada saat fly/mabuk untuk pemakai shabu/ecstacy
P
P.T-P.T : patungan untuk membeli drug
Pahe : pembelian heroin atau putauw dalam jumlah terkecil
PA-HE : paket hemat (paket 20 ribu/10 ribu)
Pakauw : pakai putauw
Paket : pembelian heroin atau putauw dalam jumlah terkecil
Paketan (tekapan) : paket / bungkusan untuk putaw
Papir : kertas untuk melinting ganja
Papir (pap’s;paspor;tissue : kertas untuk melinting ganja
Parno : paranoid karena ngedrungs
Parno : paranoid/rasa takut berlebihan karena pemakaian shabu yang sangat banyak
Pasang badan : menahan sakaw tanpa obat / pengobatan dokter
Pasien : pembeli
Pedauw : teler atau mabok
Pete : Putaw/heroin
Per 1/per 2, ost : 1 atau 2, ost gram
Pil koplo (bo’at; boti; dados) : obat daftar ‘G’
Pil Gedek : ecstacy
Polydrug use : menambah dosis dan menggunakan jenis narkoba yang berbeda
Pot : daun ganja
PS (pasien) : pembeli narkoba
Psikedelik : berhubungan dengan/berciri halusinasi visual persepsi meningkat.
PT : putauw (heroin)
Pyur : murni
Q
Quartz : shabu-shabu
R
R (rohip) : rohypnol
Rasta : ganja
Relaps : kembali lagi ngedrugs karena `kangen`
Rivot /R /rhivotril : Klonazepam
S
Sakaw : sakit karena ketagihan atau gejala putus obat
Satrek : Kertas/LSD
Scale (Sekil) : timbangan untuk menimbang putaw, shabu, cocain (biasanya digunakan timbangan emas yang berbentuk timbangan digital)
Se’empel (seamplop) : satu amplop untuk ganja
Segaw : 1 gram
Se-lap : dua kali bolak-balik / 2 kali hisap
Selinting : 1 batang rokok atau gaja
Semata : setetes air yang sudah dicampur heroin
Semprit : dari kata syringe; sejenis alat suntik yang terdiri dari tabung dilengkapi penghisap, naf jarum dan jarum.
Sendok : tempat mencampur/melarutkan/meracik putaw dengan air yang dimasukan kedalam insulin
Sepapan (setrip) : satu baris di dalam jajaran obat
Separdu : sepaket berdua
Seperempi : ¼ gram
Sepotek : satu butir obat dibagi 2
Setangki : 1/2 gram
Set-du (seting dua) : dibagi untuk 2 orang
Setengki : ½ gram
Seting (ngeset) : proses mencampurkan heroin dengan air
Se-track : sekali hisap / sekali bakar
Shabu-shabu (ubas/basu) : metamfetamin
Snip : pakai putauw lewat hidung ( dihisap)
snow : kokain
Snuk : pusing / buntu
speedball : campuran heroin-kokain
Sperempi : 1/4 gram
Spirdu : sepaket berdua
Stag : shabu yang sedang dibakar di alumunium foil berhenti /mampet
Stock (STB/stock badai) : sisa heroin yang disimpan untuk dipakai pada saat nagih
Stone : mabuk
stokun : mabuk
Stengky : setengah gram
Sugest /sugesti : kemauan / keinginan untuk memakai narkoba
T
Tea : daun ganja
Teken : minum obat / pil / kapsul
Tokipan : minuman
Trigger : sugesti/ingin
TU : ngutang
U
Ubas : shabu
V
Val : valium (cair & tablet)
W
Wakas
: ketagihan
Wangi : menunjukkan kualitas putaw yang baik yang terasa beraroma bila di dragon/disuntikkan
Weed : daun ganja
• Stock = STB / stock badai : sisa heroin yang disimpan untuk dipakai pada saat nagih.
• Ngepam = pamping : memompa insulin secara berkali-kali.
• Ngejel : mampet / beku pada saat ngepam / mompa.
• Paketan = tekapan : paket / bungkusan untuk putaw.
Contoh :
• Paket A = Rp.100.000,-
• Paket B = Rp.50.000,-
• Paket C = Rp.20.000,-
• P.S = pasien : pembeli narkoba.
• PA-HE : paket hemat (paket 20 ribu / 10 ribu).
• Gocapan : gocip : paketan 50 ribu / 0.1 gram.
• Gaw : gram.
• Segaw : 1 gram.
• Seperempi : ¼ gram.
• Setengki : ½ gram.
• Per 1 / per 2, ost : 1 atau 2, ost gram
• Separdu : sepaket berdua.
• Semata : setetes air yang sudah dicampur heroin.
• Seting = ngeset : proses mencampurkan heroin dengan air.
• Set-du = seting dua : dibagi untuk 2 orang.
• Jokul : jual.
• Bokul = bok’s = beli.
• Barcon = tester : barang contoh (gratis).
• Abses : benjolan karena heroin yang disuntik tidak masuk ke dalam urat.
• Kentang = kena tanggung = gantung : kurang mabuk.
• Kentang kurus : kena tanggung kurang terus.
• OD : ogah ngedrop : perasaan / kemauan untuk tetap mabuk.
• Nutup : sekedar menghilangkan sakaw / nagih.
• Stone = stokun = giting = fly = beler = bahlul : mabuk.
• Badai = pedaw = high : tinggi.
• Jackpot = tumbang : muntah.
• O.D = over dosis = ngeblenk : kelebihan takaran pemakaian putaw.
• Pasang badan : menahan sakaw tanpa obat / pengobatan dokter.
JENIS SHABU-SHABU.
• Shabu-shabu = ubas = SS = basu : metamfetamin.
• Blue ice = B.I : salah satu jenis shabu yang paling bagus (No.1).
• Alfo = foil = alumunium foil : tempat untuk memakai / bakar shabu.
• Kompor : untuk bakar shabu di alumunium foil.
• Se-track : sekali hisap / sekali bakar.
• Se-lap : dua kali bolak-balik / 2 kali hisap.
• Parno = paranoid : rasa takut berlebihan karena pemakaian shabu yang sangat banyak.
• Ngedrop = low bed : gejala berakhirnya rasa nikmatnya mabuk.
• Ngedrop = low bed : gejala berakhirnya rasa nikmatnya mabuk.
• Sugest = sugesti : kemauan / keinginan untuk memakai narkoba.
• Haluasi = halusinasi : khayalan / imajinasi yang berlebihan.
• B.T = Bad trip : rasa kesal karena terganggu pada saat fly / mabuk.
• On = naik : proses pada saat fly / mabuk untuk pemakai shabu / ecstacy.
• Nugi = numpang giting : mabuk tanpa duit.
• C.S = sobat : istilah sesama pemakai.
• Stag = shabu yang sedang dibakar di alumunium foil berhenti / mampet
JENIS GANJA / KANABIS.
• Chimenk = gele = jayus = grass = rumput : ganja / kanabis.
• Ngebaks = nyimenk / ngegele : ngebakar ganja.
• C.M.D = cuaca mendukung (untuk ngeganja).
• Giberway = giting berat way = mabuk ganja.
• Papir = pap’s = paspor = tissue : kertas untuk melinting ganja.
• Bakaydu = dibakar dulu : bakar ganja.
• Berhitung = urunan / patungan untuk beli ganja.
• Se’empel = seamplop : satu amplop untuk ganja.
• Bajing = bunga ganja.
• Camp’s = campuran (tembakau) untuk ganja pada saat melinting.
JENIS PIL KOPLO / OBAT DAFTAR ‘G’.
• Pil koplo = bo’at = boti = dados = kancing : obat daftar ‘G’
• Sepapan = setrip : satu baris di dalam jajaran obat.
• Sepotek : satu butir obat dibagi 2.
NAMA-NAMA OBAT DAFTAR ‘G’.
• R = rohip : Rohypnol.
• M.G : Megadon.
• N.P = nipam : Nitrazepam.
• Lexo : Lexotan.
• Dum = dum titik : Dumolid.
• LL = double L : Artan.
• Rivot = R = rhivotril : Klonazepam.
• BK = Bung Karno : pil koplo paling murah.
• Val : Valium (cair & tablet).
• Amphet : amfetamin (cairan = disuntik).
• K.D = kode : Kodein.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR BACAAN :
1.       Drs. B. Simanjuntak, LATAR BELAKANG KENAKALAN REMAJA (ETIOLOGI JUVENILE DELINQUENCY), Penerbit ALUMNI – Bandung, Tahun 1979 ;
2.       Prof..Dr. Muladi, SH dan Dr. Barda Nawawi, SH, BUNGA RAMPAI HUKUM PIDANA, Penerbit ALUMNI – Bandung, Tahun 1992 ;
3.       Heriadi Willy, SH, BERANTAS NARKOTIKA TIDAK CUKUP HANYA BICARA (Tanya Jawab dan Opini), Penerbit KEDAULATAN RAKYAT – YOGYAKARTA, Tahun 2005 ;
4.       Drs. Mulyana W. Kusumah, HUKUM dan HAK-HAK ASASI MANUSIA (Suatu Pemahaman Kritis), Penerbit ALUMNI – Bandung, Tahun 1981 ;
5.       Prof. Mr. Roeslan Saleh, PERBUATAN PIDANA dan PERTANGGUNG JAWAB PIDANA, Penerbit AKSARA BARU – Jakarta, Tahun 1981 ;
6.       R. Soesilo, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit POLITEIA – Bogor, Tahun 1996.
7.       Data Perkara Tindak Pidana UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan Terdakwa Anak-Anak di Pengadilan Negeri Tegal ;
DAFTAR LINK INTERNET :
  1. http://statushukum.com/sejarah-hukum.html ;
  2. http://regional.kompas.com/read/2012/04/29/02131235/Pengguna.Narkoba.di.Indonesia.Capai.5.Juta Orang ;
  3. http://regional.kompas.com/read/2012/04/12/17372284/Lembaga. Pemasyarakatan.Serius.Berantas.Narkoba
  4. http://blogbebasnarkoba.wordpress.com/daftar-alamat-rehabilitasi-narkoba/
UNDANG-UNDANG :
1.      Verdovende Midellen Ordonantie (Stbl. 1927 Nomor 278 jo. Nomor 536 ;
2.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ;
3.      Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika ;
4.      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ;
5.      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika ;
6.      Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ;










[1] Hakim pada Pengadilan Negeri Tegal, Mahasiswa Magister Hukum (S2) Unissula Semarang, disampaikan pada SEMINAR NASIONAL TENTANG REKOSTRUKSI PENANGGULANGAN PEREDARAN GELAP DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, di KOTA TEGAL, tanggal 03 Juli 2013 ;
[2] Drs. Mulyatna W. Kusumah, HUKUM dan HAK-HAK ASASI MANUSIA, Suatu Pemahaman Kritis, Penerbit Alumni Bandung, Tahun 1981, hal.70 ;
[3] http://www.timlo.net/baca/53690/korban-narkoba-dikalangan-pelajar-capai-13-juta/
[4] DR. YUSUF QARDHAWI, Halal  Haram dalam Islam, Penerbit INTERMEDIA, Solo, Tahun 2000, hal. 112 ;
[5] Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang NARKOTIKA ;
[6] DR. ANDI HAMZAH, SH, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Penerbit RINEKA CIPTA, Jakarta, Tahun 1991, hal. 151 ;
[7]ttp://regional.kompas.com/read/2012/04/29/02131235/Pengguna.Narkoba.di.Indonesia.Capai.5.Juta Orang

[9] Data Perkara Tindak Pidana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan Terdakwa Anak di Pengadilan Anak ;

[10] R. SOESILO, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit POLITEIA, Bogor, Tahun 1996, Hal. 320 ;
[11] Dr. SAPARINAH SADLI, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Penerbit BULAN BINTANG, Jakarta, Tahun 1976, hal. 33.
[12] Loc.cit Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ;
[13] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ;
[14] Prof. Dr. Muladi, SH dan Dr. Barda Nawawi Arief, SH, BUNGA RAMPAI HUKUM PIDANA, Penerbit ALUMNI, Bandung, Tahun 1992, Hal.109 ;
[15] Prof.Mr. Roeslan Saleh, PERBUATAN PIDANA DAN PERTANGGUNG JAWAB PIDANA, Penerbit, Aksara Baru, Tahun 1981, hal. 13 ;
[16] Ibid, hal. 42.
[17] Ibid, hal. 42.
[18] Catatan Kuliah SEJARAH HUKUM, UNISSULA, Tahun 2013 ;
[19] Loc.cit, Prof.Dr. Muladi dan Dr. Barda Nawawi, SH, hal. 112-113 ;
[20]Drs.B.Simanjuntak, SH, LATAR BELAKANG KENAKALAN REMAJA, Penerbit ALUMNI, Bandung, Tahun 1979, hal.167 ;
[21] Ibid, Drs. B. Simanjuntak, SH, hal.169-170 ;
[22] Loc.cit, Prof.Dr. Muladi dan Dr. Barda Nawawi, SH, hal.114-115 ;
[23] Soedjojo D, SH, NARKOTIKA dan REMAJA, Penerbit ALUMNI, Bandung, Tahun 1973, hal. 119 - 120 ;
[24]Drs. Hari Sasangka, SH.MH, NARKOTIKA dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Penerbit MANDAR MAJU, bandung, Tahun 2003, hal. 7 – 8 ;
[25] Heriadi Willy, SH, BERANTAS NARKOTIKA TIDAK CUKUP HANYA BICARA (Tanya Jawab dan Opini), Penerbit KEDAULATAN RAKYAT – YOGYAKARTA, Tahun 2005, hal. 19 ;
[26] Ibid, hal. 23 ;
[27] Ibid, hal. 202 ;

[28] Loc.cit. SOEDJONO D, SH, hal. 140 ;
[29] Ibid, hal. 147 ;
[30] Loc.cit, Heriadi Willy, SH, hal. 19 ;

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...