Renungan Awal Pekan (29062015) :
Sebuh makalah singkat mengenai Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM
I. Latar Belakang Masalah
Hiruk pikuk pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) sedang marak di Indonesia seiring denga perkembangan DEMOKRASI di Indoensia. Berbagai pihak menanggapi secara beragam terhadap pelaksanaan PILKADA ini, ada sebagian yang merasa senang dengan pelaksanaannya karena bisa menyalurkan aspirasinya secara langsung dengan memilih calon Kepala Daerah sesuai dengan keinginannya, tetapi banyak pula yang bersikap acuh tak acuh, mengingat bahwa seringkali para calon Kepala Daerah hanya ingat kepada rakyatnya ketika akan diadakan Pemilihan Kepala Daerah saja tetapi ketika sudah terpilih, mereka menjadi lupa terhadap amanat yang diembannya.
Hal tersebut yang menjadikan pemilihan Kepala Daerah, dijauhi oleh warga masyarakat, karena warga masyarakat merasa terpinggirkan setiap kali selesai diadakannya pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Padahal sejatinya dalam setiap pelaksanaan PILKADA, tentu akan terjadi perubahan dalam masyarakat. Dr.phil. Astrid S. Susanto mengatakan bahwa “Dimana-mana dirasakan bahwa Perubahan Masyarakat adalah suati kenyataan, yaitu kenyataan yang dibuktikan oleh gejala-gelaja seperti de-personalisasi, adanya frustasi dan apathy (kelumpuhan mental), pertentangan-pertentangan dan perbedaan-perbedaan pendapat mengenai norma-norma susila yang hingga kini dianggap adalah mutlak dan lain sebagainya”, hal ini membuktikan bahwa ada dinamika di dalam setiap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daeran (PILKADA), baik yang dirasakan oleh warga masyarakat maupun yang tidak dirasakan.
Oleh karena itu penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) tentunya membutuhkan pengaturan di dalam Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahadjo, SH, yang mengatakan, “Pada hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai peraturan-peraturan hukum”, dimana peraturan perundang-undangan tersebut akan mengatur tata cara penyelengaraan maupun kewajiban dan hak dari para calon Kepala Daerah dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah.
II. Permasalahan
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat kita ambil suatu permasalahan, yaitu Bagaimana menjadikan Pemilihan Kepala Daerah sebagai sarana pembelajaran politik bagi warga masyarakat ?
III. Pembahasan
Pemerintah sebenarnya telah mengatur mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Satjipto Rahadjo, SH, mengatakan bahwa, “Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat, menyebabkan keterkaitannya dengan masalah-masalah sosial juga menjadi semakin intensif’, oleh karenanya dengan diaturnya masalah-masalah di dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menyebabkan Pemerintah sebagai pelaksana dari penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah berkewajiban untuk mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara JUJUR dan BERSIH, sehingga bisa menghasilkan Kepala Daerah yang benar-benar sesuai dengan aspirasi masyaakat pemilihnya.
Kita juga hasru mengetahui esensi dari DEMOKRASI itu sendiri sebagai dasar dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah. Prof Miriam Budiardjo mengatakan bahwa, “Demokrasi dibagi dalam tiga bagian yaitu POLITIS, SOSIOLOGIS dan IDEOLOGIS.”
Perubahan dan perkembangan masyarakat pada suatu daerah, akan mempengaruhi pula pada penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Keberadaan seorang Kepala Daerah, seharusnya mendukung pemerintahan pusat sebab pada dasarnya suatu negera akan menjadi Negara moderen apabila juga didukung oleh pemerintah moderen yang mempunyai sifat khas sebagaimana pendapat Prof. Miriam Budiardjo, “Sifat khas dari suatu pemerintahan moderen adalah pengakuan dan penerimaan atas peranannya sebagai suatu kekuatan yang aktif di dalam membentuk kondisi ekonomi, sosial dan lingkungannya”, maka seseorang yang terpilih sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah harus bersinergi perannya dengan Pemerintah Pusat, sehingga tidak terjadi pertentangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa “Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban :
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ;
b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat ;
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi ;
d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan ;
e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan ;
f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan ;
g. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak ;
h. Mengembangkan system jaminan sosial ;
i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah ;
j. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah ;
k. Melestarikan lingkungan hidup ;
l. Mengelola informasi kependudukan ;
m. Melestarikan nilai sosial budaya ;
n. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya ;
o. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ;
Prinsip-prinsip dalam Pasal 22 UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut di atas, sesuai pula dengan pendapat dari DJENAL Hoesen Koesoemahatmadja yang dikutip oleh Marmin Martin Roosdjio, SH, yang mengatakan, “Disamping pemerintah daerah yang kokoh, seyogyanya berdiri PAMONPRAJA GAYA BARU yang kuat pula dan yang telah disempurnakan dan disesuaikan dengan tuntutan jaman, antara lain dengan membuang segi feodalnya, yang mempunyai tugas utama :
1. Mengurus ketertiban umum di daerah / memegang pimpinan kebijaksaan politik polisional di daerahnya ;
2. Menyelenggrakan koordinasi ;
3. Mengadakan pengawasan atas jalannya pemerintahan di daerah.
Ketika seorang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh rakyat di wilayah tersebut, maka tidak akan terlepas dari Partai Politik pendukungnya Oleh karenanya kita perlu melihat bagaimana peranan Partai Politik dalam penyelengaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA).
Pada masa Orde Baru, kita mengenal adanya Organisasi Politik yang berkuasa tunggal, yaitu GOLONGAN KARYA (GOLKAR). Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Drs.J.B.A.F. Mayor Polak, yang mengatakan, “Di Negara-Negara yang berkembang, kita melihat adanya partai-partai tunggal non komunisme yang justru menjelaskan usaha-usaha sungguh-sungguh ke arah domokratisasi,” sehingga yang dimaksudkan adalah meskipun dikenal dengan MAYORITAS TUNGGAL, tetapi dalam tataran pelaksanaan DEMOKRASI, diadakan yang namanya PEMILIHAN UMUM (PEMILU) yang bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat di DPR Pusat, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II, meskipun dalam implementasinya, masih perlu pembahasan lebih lanjut apakah sudah benar-benar sesuai dengan nilai-nilai DEMOKRASI atau belum. Namun setidaknya langkah menuju NEGARA DEMOKRASI telah dijalankan semasa Rezim Orde Baru.
Akan tetapi pada saat itu, Kepala Daerah baik itu di tingkat Propinsi maupun Kabupaten / Kotamadya masih ditentukan dari Pemerintah Pusat. Hal tersebut bergeser setelah adanya pergerakan REFORMASI di Tahun 1998 yang menginginkan setiap Kepala Daerah beserta Wakil Kepala Daerah dipilih oleh rakyat sebagaimana rakyat memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam perkembangannya, sejak Tahun 1998 bermunculan partai-partai baru yang mengusung berbagai macam simbol. Mayor Polak mengatakan bahwa “Apabila ada multipartisme (lebih dari dua partai), maka jarang sekali salah satu diantara partai-partai itu dapat mencapai suatu mayoritas tunggal” sehingga membuat kekecewaan masyarakat, yang kemudian dengan dibukanya “KRAN DEMOKRASI”, akhirnya bermunculan partai-partai baru. Selanjutnya bukan hanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja yang dipilih langsung, tetapi juga pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik di Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Mayop Polak juga mengatakan, “Apabila meninjau suatu sistem kepartaian, maka kita harus meninjau keseluruhannya, bukan hanya jumlah-jumlah partainya tetapi juga strukturnya, dimensi-dimensinya, organisasi-organisasinya dan lain sebagainya.” Sehingga apabila sebuah Partai Politik ingin berperan dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dengan mengajukan calon-calonnya, maka perlu dipertimbangkan pula apakah calon tersebut benar-benar mendapat dukungan dari Partai Politik tersebut dan apabila dukungan dari Partai Politik pendukungnya kurang memenuhi dudukungannya, maka Partai Politik tersebut dapat berkoalisi dengan Partai Politik lain yang memiliki visi dan misi yang sama.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan Partai Politik ? Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa, “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Hal ini sesesuai dengan pendapat dari marmin Martin Roosadijo SH, yang mengatakan, “Politik adalah segala bentuk kegiatan yang terorganisir dilakukan oleh sesuatu kelompok kekuatan sosial dan bergerak dengan tujuan untuk ikut serta dan/atau mempengaruhi jalannya roda pemerintahan dalam merealisir cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.”
Salah satu kegiatan dari Partai Politik, adalah ikut serta baik secara aktif maupun pasif di dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan, “Peserta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik”, dalam hal ini Partai Politik membuka peluang bagi warga masyarakat yang ingin berpastisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, yang tentu saja harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 58 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan, “Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat :
a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ;
b. Satia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah ;
c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan atas dan/atau sederajat ;
d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun ;
e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter ;
f. Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih ;
g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ;
h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya ;
i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan ;
j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/ atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan Negara ;
k. Tidak sedang dinyatakan paailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ;
l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela ;
m. Memliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak ;
n. Menyerakan Daftar Riwayat Hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri ;
o. Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama dan
p. Tidak dalam status sebagai Pejabat Kepala Daerah ;
Dari hal-hal tersebut diatas, maka setiap warga Negara memilik hak yang sama ketika ingin berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, terutama ketika seseorang ingin mencalonkan diri sebagai Calon Kepala Daerah atau Calon Wakil Kepala Daerah. Tentu saja pencalonan tersebut harus melalui Partai Politik, sebagai sarana untuk mencalonkan seseorang sebagai Calon Kepala Daerah atau Calon Wakil Kepala Daerah.
Sehingga dengan demikian, pembelajaran politik dari Partai Politik sudah seharusnya dilakukan sejak lama dan bukan ketika akan diadakan suatu pemilihan Kepala Daerah saja. Karena kader Partai Politik yang baik adalah kader yang selalu dibina dalam jangka waktu yang lama dan bukan kader karbitan (mendadak muncul), dan kalau Partai Politik melakukan pengkaderan dengan baik maka akan dihasilkan kader-kader yang berkualitas sehingga ketika ada penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, sebuah Partai Politik tidak lagi kebingungan mencari CALON yang akan diajukan.
IV. Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa apabila sebuah Partai Politik ingin berperan aktif dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, maka seyogyanya Partai Politik tersebut sudah melakukan pengkaderan sedari awal kader-kadernya yang akan diajukan sebagai CALON dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga tidak memunculkan kader karbitan yang mendadak muncul, namun tidak dikenal oleh warga masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr.phil. Astrid S. Susanto, PENGANTAR SOSIOLOGI dan PERUBAHAN SOSIAL, Penerbit BINACIPTA – Jakarat, Tahun 1977 ;
2. Drs.J.B.A.F, PENGANTAR PENGETAHUAN HUKUM dan POLITIK, Penerbit BHARATA – Jakarta, Tahun 1967 ;
3. Marmin Martin Roosadijo, SH, EKOLOGI PEMERINTAHAN DI INDONESIA, Penerbit ALUMNI – Bandung, Tahun 1982 ;
4. Prof. Miriam Budiardjo, MASALAH KENEGARAAN, Penerbit PT. GRAMEDIA – Jakarta, Tahun 1975 ;
5. Satjipto rahardjo, SH, HUKUM dan MASYARAKAT, Penerbit ANGKAS – Bandung, Tahun 1980 ;
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ;
7. Undang-Undnag Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Sebuh makalah singkat mengenai Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM
I. Latar Belakang Masalah
Hiruk pikuk pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) sedang marak di Indonesia seiring denga perkembangan DEMOKRASI di Indoensia. Berbagai pihak menanggapi secara beragam terhadap pelaksanaan PILKADA ini, ada sebagian yang merasa senang dengan pelaksanaannya karena bisa menyalurkan aspirasinya secara langsung dengan memilih calon Kepala Daerah sesuai dengan keinginannya, tetapi banyak pula yang bersikap acuh tak acuh, mengingat bahwa seringkali para calon Kepala Daerah hanya ingat kepada rakyatnya ketika akan diadakan Pemilihan Kepala Daerah saja tetapi ketika sudah terpilih, mereka menjadi lupa terhadap amanat yang diembannya.
Hal tersebut yang menjadikan pemilihan Kepala Daerah, dijauhi oleh warga masyarakat, karena warga masyarakat merasa terpinggirkan setiap kali selesai diadakannya pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Padahal sejatinya dalam setiap pelaksanaan PILKADA, tentu akan terjadi perubahan dalam masyarakat. Dr.phil. Astrid S. Susanto mengatakan bahwa “Dimana-mana dirasakan bahwa Perubahan Masyarakat adalah suati kenyataan, yaitu kenyataan yang dibuktikan oleh gejala-gelaja seperti de-personalisasi, adanya frustasi dan apathy (kelumpuhan mental), pertentangan-pertentangan dan perbedaan-perbedaan pendapat mengenai norma-norma susila yang hingga kini dianggap adalah mutlak dan lain sebagainya”, hal ini membuktikan bahwa ada dinamika di dalam setiap penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daeran (PILKADA), baik yang dirasakan oleh warga masyarakat maupun yang tidak dirasakan.
Oleh karena itu penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) tentunya membutuhkan pengaturan di dalam Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Satjipto Rahadjo, SH, yang mengatakan, “Pada hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai peraturan-peraturan hukum”, dimana peraturan perundang-undangan tersebut akan mengatur tata cara penyelengaraan maupun kewajiban dan hak dari para calon Kepala Daerah dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah.
II. Permasalahan
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat kita ambil suatu permasalahan, yaitu Bagaimana menjadikan Pemilihan Kepala Daerah sebagai sarana pembelajaran politik bagi warga masyarakat ?
III. Pembahasan
Pemerintah sebenarnya telah mengatur mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Satjipto Rahadjo, SH, mengatakan bahwa, “Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat, menyebabkan keterkaitannya dengan masalah-masalah sosial juga menjadi semakin intensif’, oleh karenanya dengan diaturnya masalah-masalah di dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, menyebabkan Pemerintah sebagai pelaksana dari penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah berkewajiban untuk mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara JUJUR dan BERSIH, sehingga bisa menghasilkan Kepala Daerah yang benar-benar sesuai dengan aspirasi masyaakat pemilihnya.
Kita juga hasru mengetahui esensi dari DEMOKRASI itu sendiri sebagai dasar dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah. Prof Miriam Budiardjo mengatakan bahwa, “Demokrasi dibagi dalam tiga bagian yaitu POLITIS, SOSIOLOGIS dan IDEOLOGIS.”
Perubahan dan perkembangan masyarakat pada suatu daerah, akan mempengaruhi pula pada penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Keberadaan seorang Kepala Daerah, seharusnya mendukung pemerintahan pusat sebab pada dasarnya suatu negera akan menjadi Negara moderen apabila juga didukung oleh pemerintah moderen yang mempunyai sifat khas sebagaimana pendapat Prof. Miriam Budiardjo, “Sifat khas dari suatu pemerintahan moderen adalah pengakuan dan penerimaan atas peranannya sebagai suatu kekuatan yang aktif di dalam membentuk kondisi ekonomi, sosial dan lingkungannya”, maka seseorang yang terpilih sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah harus bersinergi perannya dengan Pemerintah Pusat, sehingga tidak terjadi pertentangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa “Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban :
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia ;
b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat ;
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi ;
d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan ;
e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan ;
f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan ;
g. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak ;
h. Mengembangkan system jaminan sosial ;
i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah ;
j. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah ;
k. Melestarikan lingkungan hidup ;
l. Mengelola informasi kependudukan ;
m. Melestarikan nilai sosial budaya ;
n. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya ;
o. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ;
Prinsip-prinsip dalam Pasal 22 UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut di atas, sesuai pula dengan pendapat dari DJENAL Hoesen Koesoemahatmadja yang dikutip oleh Marmin Martin Roosdjio, SH, yang mengatakan, “Disamping pemerintah daerah yang kokoh, seyogyanya berdiri PAMONPRAJA GAYA BARU yang kuat pula dan yang telah disempurnakan dan disesuaikan dengan tuntutan jaman, antara lain dengan membuang segi feodalnya, yang mempunyai tugas utama :
1. Mengurus ketertiban umum di daerah / memegang pimpinan kebijaksaan politik polisional di daerahnya ;
2. Menyelenggrakan koordinasi ;
3. Mengadakan pengawasan atas jalannya pemerintahan di daerah.
Ketika seorang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh rakyat di wilayah tersebut, maka tidak akan terlepas dari Partai Politik pendukungnya Oleh karenanya kita perlu melihat bagaimana peranan Partai Politik dalam penyelengaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA).
Pada masa Orde Baru, kita mengenal adanya Organisasi Politik yang berkuasa tunggal, yaitu GOLONGAN KARYA (GOLKAR). Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Drs.J.B.A.F. Mayor Polak, yang mengatakan, “Di Negara-Negara yang berkembang, kita melihat adanya partai-partai tunggal non komunisme yang justru menjelaskan usaha-usaha sungguh-sungguh ke arah domokratisasi,” sehingga yang dimaksudkan adalah meskipun dikenal dengan MAYORITAS TUNGGAL, tetapi dalam tataran pelaksanaan DEMOKRASI, diadakan yang namanya PEMILIHAN UMUM (PEMILU) yang bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat di DPR Pusat, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II, meskipun dalam implementasinya, masih perlu pembahasan lebih lanjut apakah sudah benar-benar sesuai dengan nilai-nilai DEMOKRASI atau belum. Namun setidaknya langkah menuju NEGARA DEMOKRASI telah dijalankan semasa Rezim Orde Baru.
Akan tetapi pada saat itu, Kepala Daerah baik itu di tingkat Propinsi maupun Kabupaten / Kotamadya masih ditentukan dari Pemerintah Pusat. Hal tersebut bergeser setelah adanya pergerakan REFORMASI di Tahun 1998 yang menginginkan setiap Kepala Daerah beserta Wakil Kepala Daerah dipilih oleh rakyat sebagaimana rakyat memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam perkembangannya, sejak Tahun 1998 bermunculan partai-partai baru yang mengusung berbagai macam simbol. Mayor Polak mengatakan bahwa “Apabila ada multipartisme (lebih dari dua partai), maka jarang sekali salah satu diantara partai-partai itu dapat mencapai suatu mayoritas tunggal” sehingga membuat kekecewaan masyarakat, yang kemudian dengan dibukanya “KRAN DEMOKRASI”, akhirnya bermunculan partai-partai baru. Selanjutnya bukan hanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja yang dipilih langsung, tetapi juga pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik di Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Mayop Polak juga mengatakan, “Apabila meninjau suatu sistem kepartaian, maka kita harus meninjau keseluruhannya, bukan hanya jumlah-jumlah partainya tetapi juga strukturnya, dimensi-dimensinya, organisasi-organisasinya dan lain sebagainya.” Sehingga apabila sebuah Partai Politik ingin berperan dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dengan mengajukan calon-calonnya, maka perlu dipertimbangkan pula apakah calon tersebut benar-benar mendapat dukungan dari Partai Politik tersebut dan apabila dukungan dari Partai Politik pendukungnya kurang memenuhi dudukungannya, maka Partai Politik tersebut dapat berkoalisi dengan Partai Politik lain yang memiliki visi dan misi yang sama.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan Partai Politik ? Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa, “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Hal ini sesesuai dengan pendapat dari marmin Martin Roosadijo SH, yang mengatakan, “Politik adalah segala bentuk kegiatan yang terorganisir dilakukan oleh sesuatu kelompok kekuatan sosial dan bergerak dengan tujuan untuk ikut serta dan/atau mempengaruhi jalannya roda pemerintahan dalam merealisir cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia.”
Salah satu kegiatan dari Partai Politik, adalah ikut serta baik secara aktif maupun pasif di dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan, “Peserta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik”, dalam hal ini Partai Politik membuka peluang bagi warga masyarakat yang ingin berpastisipasi secara aktif dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, yang tentu saja harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 58 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan, “Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat :
a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ;
b. Satia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah ;
c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan atas dan/atau sederajat ;
d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun ;
e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter ;
f. Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih ;
g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ;
h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya ;
i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan ;
j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/ atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan Negara ;
k. Tidak sedang dinyatakan paailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ;
l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela ;
m. Memliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak ;
n. Menyerakan Daftar Riwayat Hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri ;
o. Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama dan
p. Tidak dalam status sebagai Pejabat Kepala Daerah ;
Dari hal-hal tersebut diatas, maka setiap warga Negara memilik hak yang sama ketika ingin berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, terutama ketika seseorang ingin mencalonkan diri sebagai Calon Kepala Daerah atau Calon Wakil Kepala Daerah. Tentu saja pencalonan tersebut harus melalui Partai Politik, sebagai sarana untuk mencalonkan seseorang sebagai Calon Kepala Daerah atau Calon Wakil Kepala Daerah.
Sehingga dengan demikian, pembelajaran politik dari Partai Politik sudah seharusnya dilakukan sejak lama dan bukan ketika akan diadakan suatu pemilihan Kepala Daerah saja. Karena kader Partai Politik yang baik adalah kader yang selalu dibina dalam jangka waktu yang lama dan bukan kader karbitan (mendadak muncul), dan kalau Partai Politik melakukan pengkaderan dengan baik maka akan dihasilkan kader-kader yang berkualitas sehingga ketika ada penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, sebuah Partai Politik tidak lagi kebingungan mencari CALON yang akan diajukan.
IV. Kesimpulan
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa apabila sebuah Partai Politik ingin berperan aktif dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, maka seyogyanya Partai Politik tersebut sudah melakukan pengkaderan sedari awal kader-kadernya yang akan diajukan sebagai CALON dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga tidak memunculkan kader karbitan yang mendadak muncul, namun tidak dikenal oleh warga masyarakatnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr.phil. Astrid S. Susanto, PENGANTAR SOSIOLOGI dan PERUBAHAN SOSIAL, Penerbit BINACIPTA – Jakarat, Tahun 1977 ;
2. Drs.J.B.A.F, PENGANTAR PENGETAHUAN HUKUM dan POLITIK, Penerbit BHARATA – Jakarta, Tahun 1967 ;
3. Marmin Martin Roosadijo, SH, EKOLOGI PEMERINTAHAN DI INDONESIA, Penerbit ALUMNI – Bandung, Tahun 1982 ;
4. Prof. Miriam Budiardjo, MASALAH KENEGARAAN, Penerbit PT. GRAMEDIA – Jakarta, Tahun 1975 ;
5. Satjipto rahardjo, SH, HUKUM dan MASYARAKAT, Penerbit ANGKAS – Bandung, Tahun 1980 ;
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ;
7. Undang-Undnag Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.