“STUFENBAU TEORI HANS KELSEN DAN TINJAUAN TERHADAP TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANG DI INDONESIA”
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pasca reformasi 1998 dan diiringi dengan amandemen
konstitusi (UUD 1945) struktur ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami
perubahan mendasar. Pasalnya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi. MPR sebagai badan perwakilan
(legislatif) kedudukannya sejajar dengan lembaga negara (tinggi) lainnya. MPR
sejajar dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah),
Presiden dan Wakil Presiden, MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), BPK
(Badan Pemeriksa Keuangan), bahkan kedudukan MPR sejajar dengan KY (Komisi
Yudisial) sebagai Lembaga Negara.[i]
Itulah salah satu perubahan mendasar an po dari
struktur ketatanegaraan. Perubahan lainnya yang berpengaruh terhadap format
ketatanegaraan adalah tentang tata tata urutan peraturan perundang-undangan.
Dimana Ketetapan MPR tidak lagi menjadi bagian dari hierarki perundang-undangan
karena jenisnya yang bukan bersifat mengatur. Hierarki
atau tata urutan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 7 (1), yaitu:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),
Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu),
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah
(Perda).
Yang menjadi inspirasi hierarki tata urut perundang-undangan di atas
adalah seorang pemikir yang bernama Hans Kelsen. Hans Kelsen dilahirkan dari
pasangan kelas menengah Yahudi berbahasa Jerman di Prague pada tanggal 11 Oktober 1881. Saat
berusia tiga tahun, Kelsen dan keluarganya pindah ke Wina dan menyelesaikan
masa pendidikannya. Kelsen adalah seorang agnostis, namun pada tahun 1905
Kelsen pindah agama menjadi Katolik demi menghindari masalah integrasi dan
kelancaran karir akademiknya. Namun identitas Kelsen sebagai keturunan Yahudi
tetap saja mendatangkan banyak masalah dalam hidupnya. Kelsen pada awalnya
adalah pengacara publik yang berpandangan sekuler terhadap hukum sebagai
instrument mewujudkan kedamaian. Pandangan ini diinspirasikan oleh kebijakan
toleransi yang dikembangkan oleh rezim Dual Monarchy di Habsburg.[ii]
Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua
aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan
yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat
hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Friedmann mengungkapkan dasar-dasar
esensial dari
pemikiran Kelsen sebagai
berikut:[iii]
1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk
mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku,
bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma,
tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang
cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum
dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan
hukum yang nyata.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut The
Pure Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua
kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme
empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari
dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Hierarki tata urutan perundang-undangan adalah
kumpulan norma-norma. Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan
nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan,
anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang
bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan
atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk
melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu.
Apabila ditinjau dari segi etimologinya, kata
norma itu sendiri berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah atau kaedah
berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti
nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yang
berjudul Nomoi biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah The
Law.[iv] Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab, qo’idah
berarti ukuran atau nilai pengukur.
Jika pengertian norma atau kaidah sebagai
pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi:
(i) kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah,
mubah (permittere);
(ii) anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam
bahasa Arab disebut sunnah;
(iii) anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam
bahasa Arab disebut “makruh”;
(iv) perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere);
dan
(v) perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang
dalam bahasa Arab disebut “haram” atau larangan (prohibere).[v]
Berlakunya suatu norma senantiasa dapat dikembalikan kepada
berlakunya norm yang lebih tinggi, demikian selanjutnya, sehingga
akhirnya sampai pada grundnorm.[vi]
Kaidah hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan
abstrak (general and abstract norms) dan yang bersifat konkret dan
individual (concrete and individual norms). Kaidah umum selalu bersifat
abstrak karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa menunjuk atau
mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak, atau individu tertentu. Kaidah
hukum yang bersifat umum dan abstrak inilah yang biasanya menjadi materi
peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai
perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang
terkait.
Sementara itu, kaidah hukum individuil selalu bersifat konkret.
Kaidah konkret ini ditujukan kepada orang tertentu, pihak, atau subjek-subjek
hukum tertentu, atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu.
Sebagai contoh dapat dikemukakan, misalnya, (i) kaidah hukum yang
ditentukan oleh pengadilan dalam bentuk putusan (vonnis) selalu berisi
hal-hal dan subjek hukum yang bersifat individuil dan konkret, misalnya si A
dipidana 10 tahun; (ii) kaidah hukum yang ditentukan oleh pejabat pemerintahan
(bestuur), misalnya, si B diberi izin untuk mengimpor mobil bekas, atau
si X diangkat menjadi Direktur Jenderal suatu departemen; (iii) kaidah hukum
yang dilakukan oleh kepolisian, misalnya, si A ditangkap dan ditahan untuk
tujuan penyidikan; atau (iv) kaidah hukum yang ditentukan dalam perjanjian
perdata, misalnya, si X berjanji akan membayar sewa rumah yang ditempatinya
kepada pemilik rumah.
Keempat contoh di atas jelas menggambarkan sifat kaidah hukum yang
bersifat konkret dan individuil (concrete and individual norms) yang
sangat berbeda dari sifat kaidah hukum yang umum dan abstrak (general and
abstract norms).[vii]
Kelsen mengemukakan “Pure
Theory of Law” yang terjemahannya teori murni tentang hukum (yang
murni bukan hukumnya tetapi teorinya), ajarannya yaitu: dalam membuat teori
hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur lain.
Murni di sini dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh
ilmu – ilmu lain, unsur/ajaran–ajaran lain misalnya agama filsafat, sejarah,
sosiologi, antropologi, ekonomi dan sebagainya.
Untuk mendukung teori murni tentang hukumnya,
Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan kaidah hukum.
Keberadaan kaidah yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan
demikian kaidah konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah
abstrak berlaku berdasarkan kaidah dasar atau grundnorm. [viii]
Berdasarkan uraian itulah penilis tertarik untuk
mengkaji lebih dalam tentang Teori Hirarki Norma atau Tufenbautheori Hans
Kelsen dengan judul: “STUFENBAU TEORI HANS KELSEN DAN TINJAUAN TERHADAP
TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANG DI INDONESIA”
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Dari
rumusan tersebut di atas penulis menarik sekali untuk mengkaji tentang:
1. Bagaimanakah teori norma menurut Hans
Kelsen?
2. Bagaimana penggunaan Stufenbau Teori
Kelsen terhadap Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ?
C. TUJUAN DAN
MANFAAT PENULISAN
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui:
1. Untuk mengetahui Teori Norma Hukum Hans Kelsen.
2. Untuk mengetahui penggunaan Stufenbau
Theory Hans Kelsen dalam penerapannya di Indonesia.
BAB II
STUFENBAU TEORI HANS KELSEN DAN TINJAUAN TERHADAP TATA URUTAN
PERUNDANG-UNDANG DI INDONESIA
A. NORMA
1.
Pengertian Norma
Suatu pernyataan tentang realitas dikatakan benar, karena
pernyataan tersebut berhubungan dengan realitas atau karena pengalaman kita
menunjukkan kesesuaian dengan relitas tersebut. Suatu norma adalah bukan
pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah
dengan ukuran realitas. Validitas norma tidak karena keberlakuannya.
Pertanyaan mengapa sesuatu seharusnya terjadi tidak pernah dapat dijawab dengan
penekanan pada akibat bahwa sesuatu harus terjadi, tetapi hanya oleh penekanan
bahwa sesuatu seharusnya terjadi.[ix]
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh
seseorang dalam hubungannnya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahsa latin,
atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau
aturan dalam bahasa Indonesia.[x]
Suatu
norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu
pada dasarnya mengatur tatacara bertingkah laku seseorang terhadap orang
lain, atau terhadap lingkungannya. Setiap norma itu
mengandung suruhan-suruhan yang didalam bahasa asingnya disebut dengan das
Sollen (ought to be/ought to do).[xi]
Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh
lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral. adat,
agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.[xii]
2.
Norma Superior Dan Norma
Inferior
Analisis hukum, yang menyingkap karakter dinamis
dari sistem normatif dan fungsi norma dasar, juga menunjukan kekhususan lebih
lanjut dari hukum, yaitu: Hukum mengatur kriterianya sendiri sepanjang suatu
norma hukum menentukan cara norma lain dibuat, dan juga isi dari norma
tersebut. Sejak suatu norma hukum adalah valid karena dibuat dengan cara yang
ditentukan oleh norma hukum lain, maka norma terakhir merupakan alasan
validitas yang pertama.[xiii]
Hubungan antara norma yang mengatur pembuatan
norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan
sub-ordinasi dalam konteks spasial. Norma yang menentukan pembuatan norma lain
adalah superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior. Tata Hukum,
khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang
dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hirarki dari norma-norma
yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa
pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain, yang lebih
tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang paling tinggi menjadi alasan
utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.[xiv]
3.
Norma Statis Dan Dinamis
Hans Kelsen mengemukakan adanya dua system norma, yaitu system norma
statis (nomostatics) dan system norma dinamik (nomodynamics). Norma
statis adalah system yang melihat pada isi suatu norma, dimana suatu norma umum
dapat ditarik menjadi norma khusus, atau norma khusus itu dapat ditarik
dari suatu norma yang umum. Contoh dari norma statis adalah:
-
Dari suatu norma umum yang menyatakana “hendaknya
engkau menghormati orang tua “ dapat ditarik/dirinci norma khusus,
seperti kita wajib membantunya kalau orang tua itu dalam keadaan susah, kita
harus merawatnya kalau sedang sakit.
Sistem norma yang dinamik adalah suatu system norma yang melihat
pada berlakunya suatu norma dari cara pembentukannya dan penghapusannya.
Menurut hans kelsen, norma itu berjenjang jenjang dan berlapis-lapis dalam
susunan yang hierarkis, dimana norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya pada akhirnya ‘regressus’
ini berhenti pada norma yang paling tinggi yang disebut norma dasar (grundnorm)
yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau dari mana asalnya.
Norma dasar atau biasa yang disebut grundnorm, basicnorm, atau fundamentalnorm
ini merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan tidak
bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlaku secara presupposed,
yaitu lebih dahulu ditetapkan oleh masyarakat.[xv]
4.
Norma Hukum Vertikal Dan Horizontal
Dinamika norma hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dinamika
norma hukum yang vertikal dan dinamika norma hukum yang horizontal. Dinamika
norma hukum vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau
dari bawah ke atas: dalam dinamika yang vertikal ini norma hukum itu berlaku,
berdasar, dan bersumber, pada norma hukum di atasnya, norma hukum di atasnaya
berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma hukum yang atasnya lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar norma hukum di
bawahnya. Dinamika norma hukum vertikal ini dapat dilihat dalam tata susunan
norma hukum, yang ada di negara Republik Indonesia: Pancasila sebagai norma
dasar negara merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum
dalam Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945, dan seterusnya. Dalam
dinamika norma hukum horizontal, suatu norma hukum itu bergeraknya tidak ke
atas atau tidak ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika norma horizontal ini
tidak membentuk norma hukum baru akan tetapi tapi bergerak ke samping
karena adanya suatu analogi. Contoh pencurian listrik. Listrik bukanlah suatu benda, tetapi dapat
ditafsirkan secara analogi menjadi benda.[xvi]
5. Norma
Hukum Umum dan Individual
Norma hukum dari segi alamat yang dituju (addressat) dapat
dibedakan antara norma hulkum umum dan individual. Norma hukum umum adalah
suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak dan tidak tertentu. Norma
hukum umum sering dirumuskan dengan ‘Barang siapa….’, atau ‘Setiap orang….’,
ataupun ‘Setiap warga negara….’ dan sebagainya sesuai dengan addressat
yang dituju. Norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan atau
dialamatkan (addressatnya) pada seseorang, beberap orang, atau banyak
orang yang telah tertentu sehingga norma hukum yang individual ini biasanya
dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:[xvii]
- Syafei Bin Muhammad Sukri bertempat tinggal di Jl. Pajajaran Raya
No. 1 Jakarta.
- Para pengemudi bis lota jurusan Suta yang
beroperasi antara jam 07.00 sampai 08.00 pada tangggal 1 Januari 2011.
6. Norma Hukum Abstrak dan Kongkret
Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum, yang melihat pada
perbauatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak kongkret. Norma
hukum abstrak mmerumuskan suatu perbuaan secara abstrak, miusalnya
mencuri, membunuh, menebang pohon, dan sebagainya. Sedangkan norma hukum
kongkret adalah melihat perbuatan seseorang lebih nyata.[xviii]
7.
Norma Hukum Einmahlig Dan Dauerhaftig
Norma hukum einmahlig adalah norma hukum yang berlakunya
hanya satu kali dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja,
sehingga dengan adanya penetapan ini norma hukum tersebut selesai. Contohnya
adalah penetapan seseorang menjadi pegawai.
Norma hukum dauerhaftig adalah norma hukum yang berlaku
secara terus-menerus sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan
yang baru.
Dari pembatasan norma-norma tersebut yang membedakan antara norma
hukum umum-individual, norma hukum abstrak – kongkret, serta norma hukum yang
satu kali selesai, berlaku terus menerus, maka norma hukum yang termasuk dalam
suatu peraturan perundang-undangan adalah suatu norma hukum yang bersifat
umum-abstrak dan berlaku terus menerus, sedangkan norma hukum yang bersifat
individual kongkret dan sekali selesai merupakan keputusan yang bersifat
penetapan (beschikking). Di samping norma hukum yang termasuk dalam
peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling), yaitu
yang umum-abstrak dan berlaku terus menerus dan norma hukum yang bersifat
menetapkan (beschikking) yaitu yang individual-kongkret dan berlaku
sekali saja.
8.
Norma Hukum Tunggal Dan Berpasangan
Norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang berdiri
sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi isinya
hanya merupakan suatu suruhan (das Sollen) tentang bagaimana kita harus
bertindak atau bertingkah laku. Contohnya: Presiden memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.
Norma hukum berpasangan terdiri dari norma hukum
primer dan sekunder. Norma hukum primer adalah suatu norma hukum yang berisi
aturan/patokan bagaimana cara kita harus berprilaku dalam masyarakat. Norma
hukum primer ini biasa disebut das Sollen atau disebutkan dengan istilah
‘hendaknya’. Contohnya: ‘hendaknya kamu tidak mencuri’.
Norma hukum sekunder adalah norma hukum yang
berisi tata cara penanggulangannya apabila norma hukum primer tidak dipenuhi.
Norma hukum primer ini memberi pedoman bagi penegak hukum untuk bertindak
apabila norma hukum primer tidak dipenuhi. Contohnya: ‘….apabila kau membunuh
dihukum 15 tahun penjara’.
B. TINGKAT-TINGKAT DALAM TATA HUKUM
1. Konstitusi Dalam Arti Materiil Dan Formal
Struktur hierarkis tata hukum suatu negara adalah
sebagai berikut: Dipresuposisikan sebagai norma dasar, konstitusi adalah level
paling tinggi dalam hukum nasional.[xix]
Hans Kelsen mengatakan bahwa konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen
nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubahanya menurut ketentuan
khusus yang dimaksudkan agar perubahan norma ini sulit dilakukan. Konstitusi
dalam arti materiil terdiri dari aturan-aturan yang mengatur pembuatan norma
hukum umum, khususnya pembuatan undang-undang. Konstitusi formal biasanya juga
berisi norma lain, yaitu norma yang bukan merupakan bagian materi konstitusi.[xx]
Tetapi hal ini adalah untuk menjaga norma yang menentukan organ dan prosedur
legislasi bahwa suatu dokumen nyata yang khusus dirancang dan bahwa perubahan
aturan-aturannya dibuat secara khusus lebih sulit. Hal ini karena materi
konstitusi adalah dalam bentuk konstitusional yang harus dipisahkan dari hukum
biasa. Terdapat prosedur khusus untuk pembuatan, perubahan, dan pencabutan
hukum konstitusi.[xxi]
Berbeda dengan Hans Kelsen, muridnya yang berkenamaan juga yaitu Hans Nawiasky
melihat norma tertinggi dalam negara selalu mempunyai kemungkinan mengalami
perubahan, baik oleh suatu peristiwa pemberontakan, coup d’etat.[xxii]
Konstitusi dalam arti formal, khususnya ketentuan yang menentukan bahwa
perubahan konstitusi lebih sulit daripada perubahan hukum biasa, adalah mungkin
hanya jika terdapat konstitusi tertulis. Terdapat negara yang tidak memiliki
meiliki konstitusi tertulis, seperti Inggris, yang berarti tidak ada konstitusi
formal. Maka konstitusi memiliki karakter hukum kebiasaan dan tidak ada
perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa. Sedangkan konstitusi dalam arti
materiil dapat berupa konstitusi tertulis atau tidak tertulis.[xxiii]
2. Norma Umum Dibuat Berdasarkan Konstitusi:
Undang-Undang dan Kebiasaan
Norma umum yang ditetapkan dengan cara legislasi
atau kebiasaan, membentuk suatu tingkatan di bawah konstitusi dalam hirarki
hukum. Norma-norma umum ini diaplikasikan oleh organ yang kompeten, khususnya
pengadilan dan otoritas administratif. Organ pelaksana hukum harus
diinstruksikan sesuai dengan tata hukum, yang juga menentukan prosedur yang
harus diikuti organ pada saat mengaplikasikan hukum. Maka norma umum hukum
undang-undang atau kebiasaaan memiliki dua fungsi besar, yaitu:
a. Menentukan organ pelaksana hukum dan prosedur yang
harus diikuti;
b. Menentukan tindakan yudisial dan administratif
organ tersebut.
Tindakan inilah yang menciptakan norma individual,
yaitu penerapan norma hukum pada kasus nyata.
3. Hukum Konstitusi
Karena
fungsi pengadilan dalam kapasitasnya sebagai organ pelaksana hukum adalah
mengaplikasikan norma umum undang-undang atau kebiasaan terhadap kasus konkret,
maka pengadilan harus memutuskan apakah norma umum memberikan sanksi kepada
perbuatan yang diklaim oleh penuntut sebagai delik, atau diklaim oleh penggugat
sebagai delik sipil, dan apakah sanksinya?.
Pengadilan
harus mampu menjawab tidak hanya pertanyaan tentang fakta (quaestio facti)
tetapi juga pertanyaan tentang hukum (quaestio Juris), dilakukan dengan
menentukan apakah norma umum tersebut yang diaplikasikan adalah valid yang
berarti mempertanyakan apakah norma tersebut telah dibuat dengan cara yang
ditentukan oleh konstitusi. Fungsi pengadilan ini menonjol khususnya ketika
terdapat keraguan apakah perbuatan tergugat atau terdakwa merupakan suatu
delik. Pengadilan harus menentukan keberadaan suatu norma tersebut seperti
halnya menentukan eksistensi delik. Fungsi menentukan eksisitensi norma umum
yang diaplikasikan oleh pengadilan mengimplikasikan pentingnya fungsi
penafsiran norma tersebut, yaitu menentukan maknanya.
Norma
konstitusi yang mengatur pembuatan norma umum yang diaplikasikan oleh
pengadilan dan organ pelaksana hukum lain adalah bukan norma lengkap yang
independen. Norma konstitusi secara intrinsik adalah bagian dari semua aturan
hukum yang harus diaplikasikan oleh pengadilan dan organ lain. Maka hukum
konstitusi tidak dapat dikutip sebagai suatu contoh norma yang tidak memberikan
sanksi. Norma dari materi konstitusi adalah hukum hanya dalam kaitan organiknya
dengan norma yang memberikan sanksi yang dibuat berdasarkan norma konstitusi
tersebut. Dalam pandangan dinamis pembuatan norma umum ditentukan oleh norma
yang lebih tinggi, yaitu konstitusi, diproyeksikan sebagai bagian dari norma
yang lebih rendah.
4. Sumber Hukum
Pembuatan hukum dengan kebiasaan dan Undang-undang sering disebut sebagai dua
sumber hukum. Dalam konteks ini, hukum hanya dipahami sebagai norma umum,
mengabaikan norma individual yang bagaimanapun juga merupakan bagian dari hukum
seperti yang lainnya.
Sumber
hukum adalah ekspresi yang figuratif dan ambigu. Istilah tersebut tidak hanya
digunakan untuk menyebut metode pembuatan hukum, yaitu kebiasaan dan legislasi,
tetapi juga untuk mengkarakteristikan alasan validitas hukum khususunya alasan
paling akhir. Maka norma dasar menjadi dasar hukum. Namun dalam arti yang lebih
luas, setiap norma hukum adalah sumber bagi norma yang lainnya, karena
memuat prosedur pembuatan norma atau isi norma yang akan dibuat. Maka setiap
norma hukum yang lebih tinggi adalah sumber hukum bagi norma yang lebih rendah.
Jadi sumber hukum adalah hukum itu sendiri.
5. Pembuatan dan Pelaksanaan Hukum
Suatu
norma yang mengatur pembuatan norma lain adalah dilaksanakan dalam
pembuatan norma lain tersebut. Pembuatan hukum (Law Creating) adalah
selalu merupakan pelaksanaan hukum (Law applying).[xxiv]
Adalah tidak benar mengklasifikasikan tindakan hukum sebagai tindakan pembuatan
hukum dan tindakan pelaksanaan hukum. Normalnya pembuatan hukum dan pelaksanaan
hukum terjadi dalam waktu yang sama. Pembuatan norma hukum adalah suatu
pelaksanaan dari norma yang lebih tinggi, dan pelaksanaan norma hukum yang
lebih tinggi normalnya adalah pembuatan suatu norma yang lebih rendah. Legislasi
adalah proses pembuatan hukum menurut konstitusi sehingga juga merupakan
pelaksanaan hukum. Pembuatan konstitusi pertama dapat dilihat sebagai suatu
pelaksanaan norma dasar. Dengan demikian aktivitas hukum selalu melibatkan baik
pembuatan maupun pelaksanaan. Hal ini berlaku baik pada legislatif, pengadilan,
maupun organ administratif dalam suatu negara.
6.. Konflik Antar Norma
Kesesuaian atau ketidak kesesuaian antara
keputusan pengadilan dengan norma umum dan antara undang-undang dengan
konstitusi serta jaminan konstitusi yang berkekuatan hukum (res judicata).
Norma
yang lebih tinggi, undang-undang, atau norma hukum kebiasaan,
sekurang-kurangnya menetapkan pembentukan dan isi dari norma keputusan
pengadilan, yang kedudukannya lebih rendah. Norma yang lebih rendah,
bersama-sama dengan norma yang lebih tinggi, termasuk ke dalam tata hukum yang
sama hanya jika norma yang lebih rendah bersesuaian dengan norma yang lebih
tinggi. Tetapi siapa yang harus menetapkan apakah norma yang lebih rendah
sesuai dengan norma yang lebih tinggi , apakah norma khusus dari keputusan
pengadilan sesuai dengan norma umum dari hukum statusta dan hukum
kebiasaan? Jawabannya adalah adalah harus ada satu pengadilan tingkat terakhir,
yang diberi hak untuk memberikan keputusan akhir tentang perkara tersebut,
yakni suatu otorita yang keputusannya tidak dapat dibatalkan atau diubah lagi.
Dengan keputusan tertinggi ini, maka perkara menjadi res judicata (berkekuatan
hukum) dan konstitusi menghendaki undang-undang sebagai valid hanya selama
undang-undang itu belum dibatalkan oleh organ yang berkompeten atau menurut
cara yang biasa.
The
unity of the legal order can never be endangered by any contradiction between a
higher and a lower norm in the hierarchy of law.[xxv]
(Kesatuan tata hukum tidak pernah bisa terancam oleh suatu pertentangan antar
norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah di dalam hirarkhi
hukum).
C. STUFENBAU THEORY
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian
adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie).
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen,
yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau
der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:[xxvi]
1.
Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang formal (formell gesetz);
dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom
(verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari
suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah
sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada
terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[xxvii]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen
disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya
tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm,
atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak
berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta
atau revolusi.[xxviii]
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S.
Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur
tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum
Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut,
struktur tata hukum Indonesia adalah:[xxix]
1)
Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)
Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3)
Formell gesetz: Undang-Undang.
4)
Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah
hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm
pertama kali disampaikan oleh Notonagoro[xxx]. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee)
merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum
positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan
untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan,
dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.[xxxi]
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm
berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian,
Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas
konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak
kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan
yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD
1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan
menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi
negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada
konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi
pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas
konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana
validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang
merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma
mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid[xxxii]. Presuposisi inilah yang disebut dengan
istilah trancendental-logical pressuposition.
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan
hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau
tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum
yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi
tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.[xxxiii]
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal,
yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma
dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini
valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena
dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini
tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma
pembuat hukum.[xxxiv]
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara
salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi,
manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang
selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm
dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm
pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat
berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[xxxv]
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan
dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat
sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum
biasa.[xxxvi] Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa
suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta
atau revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum
selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau
revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan
digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah
tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama[xxxvii].
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan
Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang
dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang
dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya
Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau me-rupakan
bagian dari konstitusi?
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat
membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945.
Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai
fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan
bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung
atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[xxxviii]
Gambar Teori Kelsen dan Nawiasky[xxxix]
Stufentheorie
Theorie Von Stufenaufbau Der Rechtsordnung
|
|
|
|
|
|
|
|
GRUNDNORM
STAATS-FUNDAMENTANLNORM
|
|
|
|
NORM
STAATS-GRUNDGESETZ
|
|
|
|
NORM
FORMELLGESETZ
VERORDNUNG
NORM
&
AUTONOMESSATZUNG
BAB III
PENUTUP
Teori murni tentang
hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan norma hukum. Keberadaan norma
yang lebih rendah ditentukan oleh norma lebih tinggi, dengan demikian norma
konkrit berlaku berdasarkan norma abstrak, sedangkan norma abstrak berlaku
berdasarkan norma dasar atau grundnorm. [xl]
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam
hubungannnya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahsa latin, atau
kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan
dalam bahasa Indonesia.
Suatu
norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu
pada dasarnya mengatur tatacara bertingkah laku seseorang terhadap orang
lain, atau terhadap lingkungannya. Norma hukum itu dapat dibentuk secara
tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang
membentuknya, sedangkan norma moral. adat, agama, dan lainnya terjadi secara
tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam
masyarakat.[xli]
1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3.
Formell gesetz: Undang-Undang.
4.
Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah
hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Hierarki atau tata urutan perundang-undangan berdasarkan
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Nomor 10 Tahun 2004,
Pasal 7 (1), yaitu: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945), Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan
Daerah (Perda).
[i] Sri Soemantri Martosoewignjo, Lembaga Negara
dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945,
dalam Siti Sundari Rangkuti “Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan
Hukum Lingkungan, Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti, Surabaya,
Airlangga Press, 2008, hlm. 197
[ii] Agustin E. Ferraro, “Book Review-Kelsen’s
Highest Moral Ideal,” German Law Journal No. 10 (1 October 2002). Yang
dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Mochamad Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen
tentang Hukum, Mahkamah Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan, hlm. 1.
[iii] W. Friedmann, Teori & Filasafat
Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli: Legal
Theory, Penerjemah: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1993), hal. 170.
[iv] Plato, The
Laws, translated by: Trevor J. Saunders, (New York: Penguin Books, 2005). Dalam Jimly,
Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta,
Konstitusi Press. Hlm. 1
[viii] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, Opcit. Cetakan
ke empat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hlm. 58 – 71
[xix] Rommen, Heinrich A., The Natural Law: A Study in Legal And Social
History and Philosophy, Indianapolis, Liberty Fund, 1998 hal.128. dalam Jimly Asshiddiqie, Teori hans Kelsen
tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006,
Hal.111
[xx] Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang
Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, Hal.111
[xxvi] A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu
Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam
Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
[xxx] Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila
Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa
tahun).
[xxxviii] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan
Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117,
121, 128 – 129. Dalam http://www.jimly.com/makalah/.../ideologi__pancasila__dan_konstitusi.doc tanggal 10 Juni 2010, hal. 12.
[xl] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, Opcit. Cetakan
ke empat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hlm. 58 – 71
http://suhendarabas.blogspot.com/2011/05/stufenbau-teori-hans-kelsen-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar