Rabu, 11 November 2015

MONEY LAUNDERING


TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)
(Catatan Singkat tentang UU No. 8 Tahun 2010)
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH.[1]

A.  Pendahuluan
Perkembangan dinamika kehidupan masyarakat menuntut pula perkembangan Hukum yang dinamis, baik itu dari segi system Hukum, aparat Hukum nya maupun peraturan perundang-undangannya. Hukum yang dinamis akan mampu “mengobati” apabila terjadi pergesekan-pergesekan diantara warga masyarakat. Semakin dinamis Hukum yang ada dalam masyarakat, maka Hukum akan semakin dipercaya sebagai “obat” untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam hidup bermasyarakat.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia, sempat mengalami “DEGRADASI” yang sangat tajam. Banyaknya persoalan hukum yang mencuat di tengah-tengah masyarakat, belum dapat diimbangi dengan peningkatan kinerja dari aparat penegak hukum, bahkan tidak jarang pula terdapat “OKNUM” Penegak Hukum, yang sejatinya hanya segelintir orang, yang turut pula melakiukan perbuatan-perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah hukum di Indonesia.
Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM  seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum  dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Bahwa selama ini masyarakat hanya melihat Hukum hanya dari peraturan-peraturan yang tertulis saja, semisal Undang-Undang dan sejenisnya, akan tetapi masyarakat sering lupa bahwa tatanan kehidupan manusia diatur dan dibatasi oleh norma-norma, yaitu norma sosial, norma Hukum, norma kesusialaan, norma agama, sehingga Hukum  hanyalah menjadi salah satu bagian dari norma-norma tersebut.
Pemahaman masyarakat yang hanya memahami norma hukum, tidak sepenuhnya dapat disalahkan, mengingat selama ini sistem pendidikan di Indonesia, hanya menekankan pada keberadaan hukum yang tertulis saja yang tidak boleh dilanggar, sedangkan sesungguhnya masih terlalu banyak norma kehidupan dalam masyarakat yang apabila dilanggar dapat menjadikan ketidakharmonisan di dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “NORMA” ?
Norma, sebagaimana ARIEF SIDARTA[3], menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma mempunyai sifat umum, jika  apa yang dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.[4]
Secara sepintas, dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan dapat mengetahui bahwa dirinya memiliki persamaan-persamaan dengan orang lain tetapi disisi lain juga memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh bagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh kaarena merupakan pegangaan baginya.[5]
Hukum senantiasa harus dikaitkan dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja. Bidang pengetahuan hukum pada umumnya memusatkan perhatian pada atura-aturan yang dianggap oleh Pemerintah dan masyarakat sebagai aturan-aturan yang sah berlaku dan oleh sebab itu harus ditaati, dan pengetahuan sosiologi sebagai keseluruhan yang memusatkan perhatian pada tindakan-tindakan yang dalam kenyataan diwujudkan oleh anggota dalam hubungan mereka satu sama lain, maka untuk pengembangan hukum dan pengetahuan hukum dalam kehidupan masyarakat agar tidak terpisah satu sama lain harus memperhatikan hukum dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat.[6]
Dari rangkaian Norma-norma yang hidup dalam masyarakat tersebut, akan menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak bagi warga masyarakat yang bukan tidak mungkin akan menimbulkan pertentangan-pertentangan bagi tiap-tiap warga masyarakat yang apabila tidak bisa menimbulkan bentrokan yang bisa mengakibatkan kerugian bagi warga masyarakat itu sendiri. Sehingga dengan demikian, menjadi tugas dari HUKUM untuk menyelesaikan konflik dan memberikan keadilan bagi warga masyarakat.
B.  Tindak Pidana Pencucian Uang
            Sebagai Negara yang berdaulat, Indonesia tentunya memiliki pemerintahan yang berdaulat pula, yang mempunyai kekuasaan dan kewajiban untuk mengatur peri kehidupan warga negaranya. Kedaulatan pemerintahan diperlukan sebagai dasar bagi terlaksananya jalannya pemerintahan baik itu di bidang ekonomi, hukum, politik, soial, budaya dan berbagai segi kehidupan lainnya.
            Dengan berjalannya tata pemerintahan yang baik, maka secara otomatis akan berjalan pula tata perekonomian dari suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara yang masuk ke dalam kategori negara berkembang, tentu saja sangat membutuhkan dasar-dasar perekonomian yang kuat, oleh karenanya jalannya perekonomian tidak terlepas dari kuatnya penegakan hukum dari negara, sebagai penyokong berjalannya roda perekonomian masyarakat.
            Dengan kuatnya penegakan hukum, maka dunia usaha juga akan mengapresiasi dalam bentuk masuknya modal segar ke dalam perekonomian negara. Meski demikian, harus diakui bahwa masih banyak masalah hukum, utamanya di bidang perekonomian, atau setidaknya yang dapat mengganggu perekonomian di Indonesia yang masih belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, atau masi perlu pembenahan dari hukum di bidang yang mengatur perekonomian negara.
            Salah satu diantaranya adalah mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang (disingkat TPPU) yang di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Meskipun merupakan tindak pidana yang sifatnya masih baru di Indonesia, akan tetapi sadar maupun tidak sadar, tindak pidana ini semakin lama semakin merajalela dan menggurita di dalam kehidupan sosial masyarakat, sehingga oleh karenanya para Aparat Penegak Hukum perlu lebih memahami keberadaan tentang tindak pidana ini.
            Dalam pemaparan ini, hanya akan dikemukakan beberapa hal saja yang mendasar dari Tindak Pidana Pencucian Uang, yang banyak menjadi pokok bahasan dari par ahli hukum.
C.  Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai tindak pidana pencucian uang ini, perlu kiranya kita mengetahui sejarah asal usul dari tindak pidana ini dan kenapa tindak pidana ini diberi nama dengan tindak pidana pencucian uang.
Dalam sejarah, diketahui salah satunya adalah bahwa beberapa dekade lampau (utamanya) di Amerika Serikat, tingkat kejahatan merajalela bahkan bisa dikatakan bahwa Aparat Penegak Hukumpun menjadi (salah satu) pemeran di dalamnya. Kota-kota di seantero Amerika dikuasi oleh mafia-mafia yang terdiri dari banyak klan maupun bentuknya, namun keseluruhannya memiliki satu tujuan yaitu menguasai perekonomian dengan cara tidak halal, salah satu yang terkenal adalah Al Capone.
Kejahatan tersebut mencapai puncaknya pada sekitar tahun 1920an, ketika pecah perang mafia antar geng yang mengakibatkan kerugian yang demikian besar, disamping tindak kejahatan yang makin menggurita, praktek suap terjadi di seantaero Amerika, perdagangan Narkotika, pelacuran dan masih banyak lagi macamnya, yang seluruhnya sangat merugikan perekonomian Amerika. Para pelaku tindak kejahatan inipun akhirnya mampu mengumpulkan dolar demi dolar yang semakin menumpuk, yang kemudian menyebabkan mereka menjadi kebingungan untuk menyimpan harta kekayaannya tersebut.
Ketika uang tersebut akan disimpan di Bank, akan menimbulkan permasalahan perpajakan, karena pemilik uang harus menjelaskan asal usul dari uang tersebut, apabila disimpan di rumah, tentu akan membahayakan bagi pemilik uang tersebut. Dari hal tersebut, akhirnya timbul suatu pemikiran, bahwa akan lebih aman apabila uang tersebut digunakan sebagai investasi suatu kegiatan perekonomian, oleh karenanya kemudian para pemilik uang tersebut, yang nota bene adalah para pelaku kejahatan, kemudian memilih investasi dengan memberi ratusan mesin cuci baju dan membuka usaha laundry (Laundrymart) di beberapa kota di Amerika. Mererka beranggapan bahwa langkah yang mereka tempuh tersebut benar-benar telah “mengamankan” harta mereka dan mereka juga mendapatkan keuntungan.
Akan tetapi pada kenyataannya, Para Aparat Penegak Hukum (yang bersih tentunya) dapat mengetahui prkatek kotor dari pelaku kejahatan tersebut, sehingga dengan keterbatasan peraturan perundangan yang ada pada saat itu, mereka mampu membongkar praktek CUCI UANG yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tersebut, akan tetapi pada saat itu pelaku (Al Capone) hanya dijerat dengan Undang-Undang Perpajakan yaitu penggelapan pajak.
D.  Arti Tindak Pidana Pencucian Uang
Secara singkat, pencucian uang dapat diartikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. [7]
E.  Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia
Masih banyak anggota masyarakat, termasuk di antaranya adalah Para Aparat Penegak Hukum yang belum memahami apa yang dimaksud dengan PENCUCIAN UANG. Suatu pengertian baru di bidang hukum akan tetapi sudah lama menjadi praktek kotor dari para pelaku kejahatan, terutama di luar Indonesia.
            Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.  Dari ketentuan ini tentu akan membuat bingung bagi yang membacanya, sehingga perlu kiranya kita membaca secara keseluruhan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang merupakan perubahan dari Undang-Undnag Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang.
            Sebelum membahas mengenai tindak pidananya, maka perlu dicermati pula ketentuan Pasal 2 yang menyebutkan sebagai berikut :
(1)     Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana :
a.       Korupsi ;
b.      Penyuapan ;
c.       Narkotika ;
d.      Psikotropika ;
e.       Penyelundupan tenaga kerja ;
f.       Penyelundupan imigran ;
g.      Di bidang perbankan ;
h.      Di bidang pasar modal ;
i.        Di bidang perasuransian ;
j.        Kepabeanan ;
k.      Cukai ;
l.        Perdagangan orang ;
m.    Perdagangan senjata gelap ;
n.      Terorisme ;
o.      Penculikan ;
p.      Pencurian ;
q.      Penggelapan ;
r.        Penipuan ;
s.       Pemalsuan uang ;
t.        Perjudian ;
u.      Prostitusi ;
v.      Di bidang perpajakan ;
w.    Di bidang kehutanan ;
x.      Di bidang lingkungan hidup ;
y.      Di bidang kelautan dan perikanan, atau ;
z.       Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat tahun atau lebih ;
yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia ;
(2)     Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n ;
Dari ketentuan Pasal 2 tersebut, di dalam penjelasannya ada beberapa hal yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut, yaitu,
1.    Yang dimaksud dengan PENYUAPAN adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Tindak Pidana Suap ;
Sampai dengan saat ini belum ada Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai tindak pidana suap, yang ada adalah tindak pidana suap dipersamakan dengan gratifikasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;
2.    Yang dimaksud dengan penyelundupan tenaga kerja adalah penyelundupan tenaga kerja adalah penyelundupan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai penempatan dan perlindungan tenaga Indonesia di luar negeri.
Untuk ketenagakerjaan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, akan tetapi di dalam Undang-Undang tersebut sama sekali tidak ditemukan adanya pengertian dan penjelasan dari kata penyelundupan tenaga kerja dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU juga tidak meberi penjelasan seacara lengkap dari pengertian kata penyelundupan tenaga kerja ;
3.    Yang dimaksud dengan penyelundupan migran adalah penyelundupan migran sebagiamana dimaksud dalam Undang-Undang mengeni Kemigrasian ;
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011, tidak dikenal istilah penyelundupan migran, tetapi menggunakan istilah Penyelundupan Manusia, yaitu perbuatan yang bertujuan mencari keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk diri  sendiri  atau untuk orang  lain  yang  membawa  seseorang  atau kelompok  orang, baik secara terorganisasi  maupun tidak terorganisasi, atau memerintahkan orang  lain untuk  membawa  seseorang  atau  kelompok orang, baik secara terorganisasi maupun tidak terorganisasi, yang  tidak memiliki  hak  secara  sah  untuk  memasuki Wilayah Indonesia  atau  keluar Wilayah Indonesia dan/atau  masuk  wilayah  negara  lain  yang  orang tersebut tidak memiliki hak untuk memasuki wilayah tersebut secara sah, baik dengan  menggunakan dokumen sah  maupun dokumen palsu,  atau tanpa menggunakan  Dokumen  Perjalanan, baik melalui pemeriksaan imigrasi maupun tidak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomo 6 Tahun 2011 ;
4.    Yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ;
Di dalam KUHP, mengenai perdagangan orang sebagaimana diatur dalam Pasal 324 sampai dengan Pasal 327 tetapi masih menggunakan istilah perbudakan, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan di dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan, Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi” ;
5.    Yang dimaksud dengan perdagangan senjata gelap adalah perdagangan senjata gelap sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang mengubah Prdonantietijdelijke Bizondere Strafbepalingen (Staatsblad 1948 : 17) dan Undang-Undnag Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Ijin Senjata Api ;
Dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 mengenai perdagangan senjata gelap diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) yang hingga saat ini belum ada penggantinya terhadap Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 ;
6.    Yang dimaksud dengan penculikan dalah penculikan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ;
Dalam KUHP diatur di dalam Pasal 328 KUHP  yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Penculikan sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 ;
7.    Yang dimaksud dengan prostitusi adalah prostitusi sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ;
Di dalam KUHP, prostitusi diatur sebagaimana tercantum dalam Pasal 296 sampai dengan Pasal 298 dengan kualifikasi adalah Tindak Pidana Pelacuran, sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak disebutkan secara khusus mengenai prostitusi hanya mengatur mengenai ancaman pidana terhadap orang yang melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang menyebabkan korban menjadi tereksploitasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 2 sampai dengan Pasal 7 ;
8.    Sedangkan mengenai tindak pidana lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 seperti tindak pidana yang berkaitan dengan perbankan, pasar modal, kepabeanan, cukai, terorisme, pemalsuan uang, perpajakanm kehutanan, lingkungan hidup, kelautan dan perikanan serta tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, tidak diberikan penjelasan sama sekali di dalam Penjelasan Pasal demi Pasal dalam Undang-Undang ini.
F.   Subyek atau Pelaku Tindak Pidana
            Dalam  Undang-Undnag Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, disebutka ada 2 (dua) pelaku atau subyek tindak pidana pencucian uang, yaitu Orang dan Korporasi. Dalam hal pelaku tindak pidana pencucian uang adalah ORANG, telah diatur di dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, sedangkan mengenai pelaku adalah KORPORASI, selain yang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, kekhususannya diatur di dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 10.
            Namun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 ini, secara tersirat,  dikenal adanya istilah PELAKU AKTIF dan PELAKU PASIF, meskipun tidak dijelaskan atau tercantum di dalam ketentuan Undang-Undang ini. Terhadap kedua istilah pelaku tersebut, dapat kiranya dijelaskan secara singkat sebagaimana urain tersebut di bawah ini.
            Pelaku Aktif adalah orang atau korporasi yang bertindak secara aktif melakukan perbuatan atau tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana dalam Undang-Undang ini, misalkan mentransfer, menempatkan dan lain sebagainya harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2, sedangkan Pelaku Pasif adalah orang atau korporasi yang menerima atau menguasai penempatan harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2. Mengenai ketentuan pidana dari Undang-Undang ini akan dibahas dalam uraian selanjutnya.
            Dari uraian tersebut di atas, dalam bahasa awam, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang ini bagaikan menebar pukat harimau di lautan, apapun yang ada di lautan akan terangkat ke permukaan, sehingga seakan-akan tidak memberikan keadilan bagi masyarakat yang sama sekali tidak tahu menahu mengenai keberadaan suatu harta kekayaan (misalkan uang) dalam jumlah yang sangat besar yang secara tiba-tiba masuk / ditransferkan ke dalam rekeningnya, terlebih sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di pedesaan yang masih belum paham benar mengenai praktek perbankan.
            Sehingga apabila terdapat kejadian tersebut, perlu kiranya bagi para pemilik rekening bank untuk secepatnya melakukan konfirmasi kepada bank yang bersangkutan untuk meminta kejelasan terhadap adanya transfer masuk ataupun (mungkin) transfer keluar dalam jumlah yang besar, sekaligus untuk menjelaskan apabila memang pemilik rekening tersebut tidak pernah berhubungan ataupun kenal dengan orang atau korporasi yang melakukan illegal transfer tersebut.
G. Modus Pencucian Uang
Pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) tahap kegiatan yang meliputi : [8]
·           Penempatan (Placement), adalah upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system), atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan ;
·           Transfer (Layering), adalah upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa keuangan yang lain. Sebagai contoh adalah dengan melakukan beberapa kali transaksi atau transfer dana ;
·           Penggunaan harta kekayaan (Integration), adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Sebagai contoh adalah dengan pembelian aset dan membuka/melakukan kegiatan usaha ;
H.  Aturan Pidana :
            Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah mengatur mengani ketentuan pidana bagi orang ataupun korposai yang melanggarnya, yaitu diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 10. Di dalam praktek, para Aparat Penegak Hukum lebih sering menerapkan ketentuan Pasal 3 sampai dengan 5 ketika menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana pencucian uang.
            Secara singkat akan diuraikan satu persatu ketentuan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, mengenai orang yang melakukan tindak pidana pencucian uang, sedangkan terhadap korporasi diatur di dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 10.
            Dalam Pasal 3 menyebutkan, Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diketahuinya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat(1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pada penjelasan Pasal 3 ini, hanya disebutkan CUKUP JELAS, meskipun sebenarnya ada hal yang belum jelas dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
            Pasal 4 menyebutkan, Setiap orang yang menyebunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidanan karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) . Dalam penjelasan Pasal 4 inipun ditulis CUKUP JELAS, tidak dijelaskan sama sekali mengenai pengertian tentang MENYEMBUNYIKAN atau MENYAMARKAN, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 tersebut.
            Dalam Pasal 5 menyebutkan, (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,  atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam penjelasan Pasal 5 ini hanya menjelaskan mengenai pengertian dari kata patut diduganya yang dairtikan sebagai suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.
I.     PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
Di dalam Tindak Pidana Pencucian Uang, melibatkan instansi baru yang bernama PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) . Lembaga ini merupakan lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan pencegahan dan pemberantasaan pencucian uang sekaligus membangun rezim anti pencucian uang dan kontra pendanaan terorisme di Indonesia. [9] Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
PPATK ini yang memiliki peranan yang vital di dalam membantu penyelidikan, penyidikan , penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana pencucian uang, yaitu dengan memeriksa apa yang disebut dengan TRANSAKSI MENCURIGAKAN, yaitu :
a.       Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa keuangan ;
b.      Transaksi Keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan pihak pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini ;
c.       Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Laporan dari PPATK inilah yang seharusnya menjadi bukti awal dari adanya TPPU dan tanpa adanya laporan dari PPATK, tentunya Aparat Penegak Hukum akan kesulitan membuktikan adanya TPPU.
J.    Dualisme TPPU sebagai Tindak Pidana yang berdiri sendiri atau Tindak Pidana Turunan
Sampai dengan saat ini, masih terjadi dualisme pandangan dari para ahli hukum terhadap keberadaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yaitu apakah TPPU merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri atau tindak pidana yang merupkan turunan (ikutan) dari tindak pidana lainnya yang merupakan tindak pidana pokok.
Apabila kita membaca ketentuan Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Penceegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka dapat disimpulkan bahwa apa yang tercantum dalam Pasal 2 tersebut merupakan tindak pidana pokok dari TPPU karena Harta Kekayaan yang menjadi obyek TTPU adalah berasal dari tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 2 tersebut, akan tetapi apabila kta membaca pada ketentuan Pasal 69 meyebutkan bahwa Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Ketentuan Pasal 69 inipun di dalam Penjelasannya hanya menyebutkan CUKUP JELAS, sehingga tentunya agak membingungkan bagi kita sebagai Aparat Penegak Hukum di dalam bersikap atas 2 (dua) pasal tersebut.
Akan tetapi apabila kita melihat kepada alasan logis dari adanya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, tentunya kita akan mengatakan bahwa TPPU ada karena adanya tindak pidana asal sebagaimana ketentuan Pasal 2, karena dalam ketentuan pidana dalam Pasal 3 samapai dengan 10, khususnya dalam Pasal 3 sampai dengan 5, kesemuanya pada intinya menyebutkan adanya Harta Kekayaan yang diduga didapat dari tindak pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 2. Atas dasar itulah sudah seharusnya apabila di dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan persidangan terhadap TPPU ini harus pula dibuktikan terlebih dahulu adanya tindak pidana asalnya (pokoknya), terutama apabila subyek hukumyang melakukan TPPU ini berbeda dari subyek hukum yang melakukan tindak pidana asal, meski demikian, sekalipun subyek hukumnya antara pelaku TPPU dan tindak pidana asal adalah sama, tentunya harus dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya untuk membuktikan DUGAAN asal usul Harta Kekayaan yang digunakan dalam TPPU.
Dengan telah jelasnya asal usul Harta Kekayaan yang digunakan dalam TPPU, tentunya akan lebih mudah membuktikan TPPU di persidangan, karena seluruh data mengenai asal usul Harta Kekayaan tersebut telah terbukti kebenarannya, meskipun harus diakui bahwa pembuktian Harta Kekayaan tersebut tentunya menyita lebih banyak waktu dan perhatian selama proses pembuktiannya.
K. PENUTUP
Sebagai suatu hal yang baru, TPPU tentunya lebih membutuhkan kecermatan dan ketelitian di dalam setiap proses pemeriksaannya. Hal ini bukan hanya mengenai subyek dan obyek dari TPPU itu sendiri, akan tetapi di dalam pembuktiaannya juga melibatkan adanya DOKUMEN ELEKTRONIK berupa rekam jejak transaksi keuangan, baik melalui jasa perbankan maupun jasa keuangan non bank.
            Meskipun data yang digunakan sebagai alat bukti di persidangan lebih banyak didapatkan dari Laporan PPATK, namun perlu adanya kecermatan dari Hakim yang mengadilinya karena Hakim harus yakin bahwa dokumen elektronik yang dijadikan alat bukti adalah dokumen yang otentik dan bukan dokumen yang dibuat berdasarkan rekayasa. Dengan penilaian secara teliti dan cermat tentunya Hakim yang mengadili akan dapat mempertimbangkan apakah benar telah terjadi TPPU.
L.  DAFTAR PUSTAKA
A.    DAFTAR BACAAN
1.    Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang ;
2.    ARIEF SIDARTA, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung ;
3.    Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2003, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu ;
4.    Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta ;
LINK INTERNET :


[1] Wakil Ketua pada Pengadilan Negeri Kutacane, Aceh.
[2] Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang, h. 148.
[3] ARIEF SIDARTA, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[4] Ibid, hal 19-20.
[5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, h. 9.
[6]Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2003, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu h. 2.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...