Rabu, 30 Januari 2019

Kewajiban Mundur bagi Seorang Hakim Dalam Mengadili Sebuah Perkara

Sebagai makhluk sosial, sosok Hakim tentunya juga tentunya mempunyai keluarga dan kerabat. Tidak dipungkiri pula ketika seorang Hakim naik jabatan menjadi Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi ada kelaurganya yang mengikuti jejaknya sebagai Hakim, baik itu anaknya atau saudaranya. Bisa juga terjadi ada keluarga dari Hakim tersebut yang mejadi pihak-pihak yang bersengketa di pengadilan, baik secara pidana maupun perdata. Yahya Harahap menyebut istilah ini dengan HUBUNGAN TERTENTU, yaitu Hakim Ketua ataupun Hakim Anggota TANPA KECUALI wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara apabila antara diri mereka dengan terdakwa atau salah satu terdakwa atau para pihak dalam perkara perdata dari perkara yang sedang diperiksa terdapat HUBUNGAN TERTENTU. Hal ini dalam perkara pidana diatur di dalam pasal 157 dan pasal 220 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Adapun alasan pengunduran diri :
1. Adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda, yaitu apabila Hakim mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat ketiga (kakek atau cucu) maupun hubungan suami istri sekalipun sudah bercerai dengan Hakim Ketua sidang atau dengan salah seorang Hakim Anggota. Hal ini diatur dalam pasal 157 ayat (1) KUHAP. Demikian juga apabila antara Terdakwa atau Penasihat Hukum terdapat hubungan keluarga sedarah, semenda sampai derajat ketiga maupun hubungan perkawinan sekalipun sudah cerai dengan Hakim yang memeriksa, maka Hakim tersebut wajib mengundurkan diri.
2. Hakim yang bersangkutan mempunyai kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam perkara yang sedang diperiksa. Hal ini diatur dalam pasal 220 ayat (1) KUHAP. Yang dimaksud dengan KEPENTINGAN dalam perkara ang sedang diadili, undang-undang tidak memberikan penjelasan, namun secara umum dapat dijelaskan apabila, barang bukti yang digunakan adalah milik dari Hakim tersebut, misalnya seseorang mencuri kendaraan seorang Hakim, maka Hakim yang kehilangan kendaraan tersebut wajib mengundurkan diri.
Kemudian, siapa yang berhak mengajukan pengunduran diri seorang Hakim tersebut? Di dalam praktek, sering dijumpai seorang Hakim menolak berkas perkara baru yang menjadi tugasnya untuk mengadili, sebab ketika Hakim tersebut membaca berkas perkara tersebut, Hakim itu merasa ada hubungan tertentu dalam perkara yang akan diadilinya tersebut. Atau bisa juga ketika sidang dibuka pertama kali, Terdakwa ataupun Kuasa Hukum Terdakwa mengajukan keberatan kepada Majelis Hakim yang menyidangkannya, karena ternyata Terdakwa atau Penasihat Hukum Terdakwa adalah memiliki hubungan sedarah atau semenda dengan salah seorang Hakim yang menyidangkannya.
Apabila terjadi ada Hakim yang wajib mengundurkan diri atas suatu perkara yang akan disidangkannya, maka kemudian menjadi tugas dari Ketua Pengadilan untuk membuat Penentapan Penunjukan Majelis Hakim yang baru. Hal ini dilakukan demi terciptanya proses persidangan yang FAIR. Demikian penjelasan singkat tentang kewajiban mengundurkan diri bagi seorang Hakim dalam mengadili suatu perkara. Semoga bermanfaat.

Selasa, 29 Januari 2019

Perbuatan Melawan Hukum

Apa itu perbuatan melawan hukum (PMH)? Secara umum dapat disebutkan sebagai segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang bersifat melanggar hukum yang berlaku yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lain baik bagi perorangan maupun kelompok atau korporasi. Kerugian yang diderita tidak hanya kerugian yang bersifat materiil tetapi juga bersifat immateriil. Kerugian materiil berupa kerugian yang dapat dihitung nominalnya, sedangkan kerugian immateriil berupa kerugian yang tidak bisa dihitung nominalnya, misalnya rusaknya nama baik dan lain sebagainya.
Terhadap kerugian atas PMH ini hukum perdata kita sudah mengaturnya di dalam ketentuan pasal 1365 KUH Perdata, yang menyebutkan, "Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut." Ketentuan pasal ini dipertegas lagi dengan ketentuan pasal 1366 KHU Perdata yang menyebutkan, "Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya." Lalu bagaimana jiak yang melakukan perbuatan orang lain yang masih dalam pengawasannya, misalnya anak, atau pekerjanya? Untuk menjawabnya kita harus membaca ketentuan pasal 1367 KUH Perdata, yang menyebutkan :
(1) Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang ada dalam pengawasannya";
(2) Orang tua dan wali bertanggungjawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali";
(3) Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya";
(4) Guru-guru sekolah dan kepala-kepala bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada dalam pengawasan mereka";
(5) Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir, jika orangtua-orangtua, wali-wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggungjawab."
Pasal ini secara singkat menyebutkan bahwa PMH tidak hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas perbuatannya sendiri tetapi juga atas perbuatan orang-orang atau barang-barang yang berada dalam kekuasaanya. Hal ini untuk mencegah orang untuk bertindak tidak secara hati-hati dan harus dapat memperhitungkan bahwa setiap perbuatannya dapat saja menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Selain itu juga perlu dicermati ketentuan pasal 1368 KUH Perdata, mengatur tentang tanggung jawab pemilik binatang, yang menyebutkan, "Pemilik seekor binatang atau siapa saja yang memakainya adalah selama binatang itu dipakainya, bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya."
Sedangkan pasal 1369 KUH Perdata, mengatur tentang tanggung jawab pemilik gedung, yang menyebutkan, "Pemilik sebuah gedung adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan karena ambruknya gedung itu untuk seluruhnya atau sebagian, jika hal ini terjadi karena kelalaian dalam pemeliharaannya atau karena sesuatu cacat dalam pembangunan maupun tataannya."
Dalam perkembangannya, hukum perdata berkembang sangat pesat, tentu telah banyak peraturan perundangan yang mengatur tentang hubungan perorangan yang apabila dilanggar akan menimbulkan kerugian. Akan tetapi setidaknya ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata tersebut bisa menjadi acuan awal kita untuk menjaga perilaku secara keperdataan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Demikian ulasan singkat mengenai PMH, semoga bermanfaat.

Senin, 28 Januari 2019

Ukuran Kedewasaan Seseorang Berdasarkan KUH Perdata

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah banyak membahas tentang ukuran kedewasaan seseorang. Ada undang-undang yang menentukan seseorang dianggap dewasa apabila telah berumur 18 (delapan belas) tahun, ada yang menentukan 20 (dua puluh) tahun dan masih banyak lagi ketentuan yang serupa. Hal ini tentunya akan membingungkan kita sebagai masyarakat awam. Sebagai seorang muslim, ukuran dewasa, bagi laki-laki adalah sudah mimpi basah, sedangkan bagi wanita adalah apabila sudah haid/datang bulan. Lalu bagaimana dengan Hukum Perdata kita mengatur hal tersebut?
Dalam pasal 330 KUH Perdata disebutkan,
(1) "Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin";
(2) "Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa";
(3) "Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini."
Dari uraian pasal 330 KUH Perdata tersebut, dapat kita jabarkan secara ringkas sebagai berikut :
(1) Ukuran dewasa bagi seseorang baik itu laki-laki maupun perempuan adalah sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah. Oleh karena itu apabia ada seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menikah, maka keduanya dianggap telah DEWASA. meskipun ketika mereka menikah belum berusian 21 (dua puluh satu) tahun.
(2) Apabila perkawinan antara seseorang laki-laki dan perempuan tersebut dibatalkan (bercerai) sedangkan usia mereka belum genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka terhadap laki-laki dan perempuan tersebut, tetap dianggap TELAH DEWASA.
(3) Hal ini berkaitan dengan pasal 359 KUH Perdata yang menyebutkan, "Bagi sekalian anak belum dewasa, yang tidak bernaung di bawah kekuasaan orangtua dan yang perwaliannya tidak telah diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para keluarga sedarah atau semenda. Pasal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan anak yang belum dewasa yang sudah tidak berada dalam kekuasaan orangtua, bisa karena orang tua meninggal dunia, atau anak yang terkena bencana alam sehingga terpisah dari orang tuanya.
Demikian uraian singkat dari ukuran kedewasaan berdasarkan KUH Perdata. Semoga bermanfaat.

Kamis, 24 Januari 2019

Ukuran Kecakapan Seseorang Dalam membuat Perjanjian

Di dalam hukum perdata Indonesia, telah memberikan ruang yang seluas-seluasnya bagi setiap orang untuk membuat perjanjian (dalam istilah lain disebut dengan perikatan atau pesetujuan). Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)yang menyebutkan, "Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap." Lalu pertanyaannya adalah siapakah yang dianggap tidak cakap? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus membaca kembali ketentuan pasal 1330 KUH Perdata yang menyebutkan, "Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu."
Pasal 1330 ini kemudian dipertegas lagi dalam ketentuan pasal 1331 yang menyatakan,
(1) "Karena itu orang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat, dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang."
(2) "Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tak sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang yang belum dewasa, orang-orang yang dibawah pengampuan dan perempuan-perempuan yang bersuami denga siapa mereka telah membuat suatu persetujuan."
Atas ketentuan pasal 1330 tersebut, mari kita bahas secara singkat. Dalam pasal tersebut ada 3 (tiga) kategori orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perikatan/perjanjian/persetujuan, yaitu :
1) Orang yang belum dewasa, ukuran dewasa dalam hal keperdataan adalah 18 (delapan belas) tahun tahun, sebagaimana syarat diperbolehkannya seorang laki-laki untuk menikah, sebagaimana diatur dalam pasal 29 KUH Perdata. Meski demikian, saat ini terdapat perbedaan pandangan untuk dapat menyebut seseorang dewasa sebagaimana tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Akan tetapi karena perikatan masuk dalam ranah hukum perdata maka ukuran yang digunakan untuk menilai seseorang telah dewasa adalah usia 18 (delapan belas) tahun;
2) Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, yang dimaksud adalah orang yang sudah dewasa namun tidak mampu bertindak secara dewasa baik karena perilakunya maupun kesehatannya, misalkan seorang pemabuk, penjudi, orang yang hilang ingatan atau orang yang pemboros serta masih banyak contoh lainnya. Orang-orang yang demikian dianggap tidak cakap untuk membuat perikatan;
3) Orang-orang perempuan, yang dimaksud disini adalah perempuan atau wanita yang sudah menikah, yang harus mendapat ijin dari suaminya untuk dapat bertindak dalam hukum, khususnya membuat perikatan. Hal ini tentunya mengalami perkembangan pada saat ini, yaitu banyak perempuan yang berkarir dan mempunyai pekerjaan, sehingga apabila membuat perikatan atas nama kantor atau pekerjaannya tentunya tidak membutuhkan ijin dari suaminya.
Demikian ulasan singkat mengenai seseorang yang dianggapo cakap dalam membuat perjanjian, hal ini karena berkaitan dengan salah satu syaratnya sahnya perjanjian, sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Semoga bermanfaat.

Kamis, 17 Januari 2019

Salah Kaprah Dalam Belajar Hukum

Masih banyak orang yang beranggapan bahwa untuk bisa belajar hukum, khususnya di Fakultas Hukum, harusnya orang yang pandai menghapal. Benarkah demikian? Sebelum menjawabnya, kita harus paham terlebih dahulu bahwa di dalam hukum banyak sekali teori-teori hukum baik teori klasik, teori neo klasik, teori modern dan teori post modern dan akan terus berkembang teori-teori hukum tersebut. Selain itu dalam hukum juga terdapat ribuan pasal dan ayat dari ribuan undang-undang beserta penjelasannya. Semua teori hukum yang ada memang harus dibaca namun bukan untuk DIHAPAL. Demikian juga dengan pasal-pasal maupun ayat-ayat dalam undang-undang, harus pula kita baca untuk memahami sebuah permasalahan hukum, namun sekali lagi bukan untuk DIHAPAL. Keterbatasan manusia terutama dalam hal mengingat sesuatu sudah menjadi kodrat alamiah yang harus kita terima dan kita syukuri sebab dengan keterbatasan tersebut seharusnya memacu kita untuk terus belajar, untuk terus membaca sehingga kita bisa memelihara daya ingat kita. Tentunya ada orang-orang tertentu yang memiliki daya ingat yang luar biasa, namun sangat mungkin orang dengan daya ingat yang luar biasa tersebut juga memiliki keterbatasan yang lain. Demikian juga dalam belajar hukum. Jangan takut kuliah di Fakultas Hukum sebab belajar hukum itu bukan untuk menghapal undang-undang, menghapal pasal-pasal maupun ayat-ayat dalam undang-undang ataupun menghapal teori-teori hukum. Sebab belajar hukum itu lebih menekankan kepada PEMAHAMAN atas suatu teori hukum, atas suatu ketentuan pasal maupun ayat dalam undang-undang, atas suatu perkembangan dinamika hukum. Jadi sekali lagi, sering orang salah kaprah dengan mengatakan bahwa untuk belajar hukum atau kuliah di Fakultas Hukum hanya untuk orang-orang yang mempunyai daya ingat atau hapalan yang tinggi atau kuat. Memang, untuk menjadi seorang Sarjana Hukum tetap harus dengan kuliah di Fakultas Hukum tetapi apabila hanya sekedar untuk memahami hukum dan perkembangannya, kita dapat belajar secara mandiri atau otodidak. Oleh karenanya kita harus merubah pola pikir kita atau mindset kita bahwa belajar hukum hanya untuk orang-orang tertentu saja. Asalkan mempunyai kemauan untuk terus belajar, untuk terus membaca, untuk terus meningkatkan wawasan di bidang hukum, setiap orang bisa belajar hukum dan bisa kuliah di Fakultas Hukum.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...