Bahasa Adalah Jati Diri Bangsa
Sedang ramai kiranya ketika Perdana Menteri Malaysia menyatakan keinginannya menjadikan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Kedua di ASEAN. Langsung dan tegas pernyataan tersebut ditolak oleh Menteri Pendidikan Nasional Indonesia dengan menyatakan bahwa Bahasa Indonesia lebih pantas sebagai Bahasa Kedua di ASEAN dengan alasan jumlah penutur asli (native speaker) Bahasa Indonesia yang mencapai setidaknya 200 juta orang dan itu hanya di Indonesia, belum dihitung ada beberapa negara yang juga menjadikan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Keduanya. Contohnya adalah Vietnam, juga ada Australia (khususnya di bagian utara), Belanda dan beberapa negara lain, dibandingkan Bahasa Melayu yang hanya diucapkan tidak lebih dari 30 juta orang di dunia. Sepintas pernyataan Menteri Pendidikan Nasional kita tersebut adalah benar, namun apabila kita melihat secara lebih obyektif, maka akan terasa bahwa pernyataan tersebut kurang tepat. Bisa kita perinci satu per satu yaitu :
1. Coba kita lihat nama-nama perumahan di Indonesia, khussusnya di kota besar. Hampir semuanya menggunakan nama asing (Inggris), contohnya : River Side, kenapa tidak menggunakan istilah Pinggir Sungai atau Condominium, padahal bisa menggunakan istilah Rumah Susun Mewah dan masih banyak lagi contoh serupa:
2. Ketika kita berada di pusat perbelanjaan, khususnya, lagi-lagi di kota besar, pasti kita akan banyak mendengar percakapan sesama orang Indonesia dengan bahasa asing (Inggris);
3. Saat kita masuk ke Bank, apakah ada yang menggunakan istilah Pelayanan Pelanggan untuk menggantikan istilah Costumer Service? Sangat mungkin tidak ada;
4. Lihatlah pertelevisian kita, khususnya Stasiun Televisi Swasta, selalu menggunakan istilah Prime Time, padahal bisa menggunakan istilah Waktu Yang Utama, atau istilah Breaking News yang sebenarnya bisa diganti dengan istilah Berita Terbaru dan masih banyak istilah lainnya;
5, Pernahkah kita melihat nama-nama Toko atau Rumah Makan di sekitar kita? Banyak toko yang menggunakan istilah asli, baik istilah dalam bahasa Inggris maupun Arab. Tidak ada yang salah namun akan lebih bijaksana bila kita menggunakan istilah dalam bahasa Indonesia, contohnya Toko Baju Al Barokah yang mungkin bisa diganti dengan nama Berkah atau Resturant Table Nine yang bisa diganti dengan istilah Rumah Makan Sembilan Meja, kecuali kalau toko atau rumah makan tersebut merupakan waralaba dari luar negeri, seperti Kentucky Fried Chicken;
6. Dalam percakapan sehari-haripun kita banyak menggunakan istilah asing, contohnya kata Laptop yang bisa diganti dengan istilah komputer jinjing atau Printer yang bisa diganti dengan istilah mesin cetak, Hand Phone yang bisa juga diganti dengan Telepon Genggam dan masih banyak istilah lain yang kita ucapkan;
Dari keenam hal tersebut, sebenarnya masih banyak hal lainnya lagi yang mungkin baik kita sengaja maupun tidak sengaja kita menggunakan istilah asing. Meskipun mungkin awalnya agak janggal diucapkan atau dituliskan, namun akan lebih baik kita mulai dari sekarang mengingat kita sudah berikrar bahwa kita memiliki satu bahasa yaitu Bahasa Indonesia.
Berbangga kita dengan bahasa kita yang sudah menyatukan kita dari Sabang sampai Merauke yang menjadi simbol perjuangan kemerdekaan Indonesia. Jadi, apabila kita, orang Indonesia menginginkan bahasa Indonesia menjadi Bahasa Kedua di Asean, kita harus introspeksi diri terlebih dahulu, apakah kita sebagai orang Indonesia sudah benar-benar berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tulisan.
Di tahun 2019 saat penulis menjadi salah seorang nara sumber di sebuah seminar internasional di Kuala Lumpur, Malaysia, saat jam istirahat penulis tetap menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan meskipun lawan bicara penulis dari berbagai negara di Asean. Penulis yang memaksa mereka untuk mengerti Bahasa Indonesia, meskipun saat presentasi penulis tetap menggunakan Bahasa Inggris. Dalam hal ini barangkali kita bisa belajar dari mantan Presiden Indonesia kedua yaitu Pak Harto yang tetap konsisten menggunakan Bahasa Indonesia saat menerima tamu dari luar negeri atau saat berkunjung ke luar negeri, bahkan saat menjadi pembicara di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 1984, beliau tetap menggunakan Bahasa Indonesia. Meskipun penulis yakin bahwa beliau mahir berbahasa Inggris, namun karena bangganya beliau dengan bangsa dan bahasanya, maka beliau tetap menggunakan bahasa Indonesia di forum internasional.
Semoga kita semua sadar bahwa kita mempunyai bahasa pemersatu bangsa yang membanggakan yang harus tetap kita pelihara dan kita jaga bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar