Catatan Perjalanan di Pulau Dewata
Beberapa hari terakhir, kami sempat berkunjung ke Pulau Dewata, Bali. Selain untuk sekedar HEALING juga mempelajari dan memperhatikan keunikan Bali, dilihat dari masih diberlakukannya Hukum Adat.
Hukum Adat di Bali sering disebut dengan AWIG-AWIG yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu Awig-awig berasal dari kata "wig" yang artinya rusak sedangkan "awig" artinya tidak rusak atau baik. Jadi awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik. Secara harfiah awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di masyarakat (https://perpustakaan.komnasperempuan.go.id/web/index.php?p=show_detail&id=4788).
Hukum Adat di Bali merupakan hukum yang dibuat oleh masing-masing BANJAR (Desa Pakraman / Desa Adat) yang mempunyai garis besar isi yang sama dengan berbagai kekhususan sesuai dengan keadaan masyarakat di Desa Adat tersebut. Dan semua Desa Adat di Bali mempunyai tatanan Hukum Adat yang sangat dipatuhi oleh warganya dan diterapkan tidak hanya bagi warga desa tersebut namun juga kepada setiap TAMU di Bali.
Setiap tamu di Bali diwajibkan untuk setidaknya menghormati keberadaan Hukum Adat yang hidup di lingkungan masyarakat Bali dimana tamu tersebut berkunjung. Meskipun penulis belum melakukan penelitian secara ilmiah, namun dari berbagai sumber primer, yaitu masyarakat Bali maupun pendatang yang sudah menetap lebih dari 20 (dua puluh) tahun di Bali, semua mengungkapkan bahwa Hukum Adat tetap berlaku mekipun Hukum Nasional, baik hukum pidana maupun hukum perdata tetap berlaku di seluruh wilayah Bali.
Ketaatan masyarakat Bali dalam menjalankan adat istiadatnya termasuk dalam hal penerapan Hukum Adat atut diacungi jempol, hal ini tidak terlepas dari kepercayaan bahwa merekalah para pewaris Hukum Adat dan Adat Istiadat dari para leluhurnya yang harus mereka jga dan mereka lestarikan.
Semisal ddalam hal peletakkan sesaji di setiap pojok rumah maupun di depan rumah merupakan perlambang bahwa mereka ingin tetap terhubung dengan jagad besar yaitu alam semesta dan jagad kecil yaitu diri mereka sendiri maupun tetap terhubung dengan jagad nyata, yaitu seluruh ciptaan Tuhan yang dapat dilihat dengan mata, misalkan binatang, tanaman maupun jagad halus yaitu seluruh ciptaan Tuhan yang tidak terlihat oleh mata namun dapat dirasakan oleh pancaindera yang lain, misalkan angin, hangatnya sinar matahari bahkan ciptaan Tuhan yang berisifat halus atau ghaib.
Mereka sadar bahwa keberadaan manusia tidak akan ada tanpa adanya ciptaan Tuhan yang lain sehingga mereka mempunyai tata cara tersendiri dalam berhubungan dengan alam semesta. Tata cara tersebut tetap mereka pertahankan secara turun temurun.
Kembali kepada Hukum Adat, dari beberapa sumber didapatkan sedikit informasi, khususnya mengenai pendirian bangunan, baik itu untuk tempat tinggal ataupun untuk tempat usaha. Pemerintah Daerah Bali sudah mengakomodir di dalam Perdanya yang menyatakan bahwa setiap pendirian bangunan di Bali harus mengandung unsur Bali, setidaknya ada ukiran Bali yang menjadi ciri khas bangunan di Bali. Selain itu, ketinggian bangunan tidak boleh lebih dari 15 (lima belas) meter atau kurang lebih sekitar 4 (empat) lantai (untuk hotel). Apabila melanggar, maka Pemda berhak untuk membongkarnya. Meski demikian masih ditemui ada beberapa bangunan hotel yang ketinggiannya melebihi 4 (empat) lantai, namun tetap berdiri. Penulis sendiri masih belum mendalami mengenai hal tersebut, apakah akan dibongkar atau dibiarkan tetap berdiri namun dibebani untuk membayar denda adat yang nominalnya cukup besar.
Sampai saat ini, selain Bali, daerah di Indonesia yang masih tetap menerapkan Hukum Adat adalah wilayah Sumatera Barat, dengan istilah tatanan yang dipegang erat sebagai dasar hubungan adat dan agama adalah ungkapan Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah (adat bersendi syariat dan syariat bersendi kitab Allah SWT, lihat https://www.republika.co.id/berita/no0x0830/adat-basandi-syara-syara-basandi-kitabullah). Keberadaan Hukum Adat di Sumatera Barat juga diakui dan diangkat oleh Hukum Nasional, kemudian, selain Sumatera Barat, juga ada Gorontalo yang juga dikenal dengan falsafahnya, yakni "Adat bersendikan Syara, Syara bersendikan Kitabullah". Makna yang tersirat dalam falsafah tersebut adalah adat Gorontalo berdasarkan pada syariat dan Syariat berdasarkan pada Kitabullah yang merujuk pada Al-Qur'an dan tradisi Nabi (Al-Sunnah, lihat https://gorontalo.kemenag.go.id/berita/513050/-).
Hanya saja terdapat perbedaan antara Sumatera Barat dengan Gorontalo, yaitu Sumatera Barat sudah menetapkan Hukum Adatnya dengan diangkat menjadi setingkat Peraturan Daerah sedangkan Gorontalo belum sampa di taraf tersbeut.
Setidaknya dari beberapa hari kunjungan ke Bali, banyak hal yang bisa dipelajari, sebagai catatan, bagi penulis kunjungan ini mungkin kunjungan kesepuluh atau lebih, mengingat banyaknya kegiatan penulis beberapa tahun yang lalu yang mengharuskan berkunjung ke Bali. Tetap eksisnya Hukum Adat di Bali, mungkin bisa ditiru di beberapa wilayah di Indonesia. Caranya? Mungkin, paling mudah, setiap Desa membentuk Desa Adat yang kemudian dilanjutkan dengan membuat Peraturan Desa yang bersifat mengikat dan mendukung Hukum Nasional.
Sebagai contoh di Bali, ketika seseorang melakukan tindak pidana, maka selain dijatuhi pidana secara Hukum Nasional, pelaku tersbeut juga mendapatkan sanksi adat baik sebelum disidangkan secara Hukum Nasional maupun setelah pelaku menjalani pidananya. Sanksi adat tersebut bisa berupa membayar denda adat yang besarannya telah ditetapkan atau kewajiban mengikuti kerja bakti di desa selama waktu tertentu dan berbagai bentuk denda adat lainnya.
Kembali ke desa yang membuat Peraturan Desa yang sifatnya menghukum pelaku tindak pidana atau pelanggaran sosial lainnya, setelah membuat Peraturan Desa, maka bisa diusulkan masuk ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten dimana desa tersebut berada sehingga dengan masuknya Peraturan Desa menjadi bagian dari Peraturan Daeran (Perda) maka dapat diterapkan di desa tersebut ketika terjaadi pelanggaran sehingga kemudian apabila diterapkan secara konsisten, maka bisa dijadikan Hukum Adat.
Bagaimana dengan Hukum Nasional? Hukum pidana Indonesia yang telah mengeluarkan Undang-Undang Bomor 1 Tahun 2023 tentang Hukum Pidana Indonesia yang akan berlaku sejak tahun 2025, telah mengakui dan mengangkat Hukum Adat sebagai bagian dari Hukum Nasional Indonesia. Sangat dimungkinkan pada suatu saat nanti, pemidanaan akan didasarkan pada Peraturan Desa yang sudah diangkat menjadi Hukum Adat di suatu daerah yang tetunya sudah mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat.
Setiap daerah di Indonesia tentu memiliki kekhasan masing-masing yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Perlu adanya pengakuan dari masyarakat bahwa ada perbedaan adat, budaya dan perilaku sosial dari masing-masing daerah, namun perbedaan tersebut tatap dalam satu kerangka Hukum Nasional yang mengakomodir dan mengangkat Hukum Adat yang hidup di setiap wilayah Indonesia.
Semoga apa yang penulis sampaikan ini, bisa menjadi renungan bagi kita semua. Terima kasih.