Beberapa
Alasan RUU Penyitaan Aset Tidak Segera Menjadi Undang-Undang (Bagian 1)
Ide perampasan aset pelaku tindak pidana
terorganisir sebenarnya sudah tercetus sejak pembahasan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Penanganan Tindak Pidana Yang
Dilakukan Oleh Korporasi. Dalam pembahasan tersebut, ternyata terkuak suatu
fakta bahwa ternyata aset dari para pelaku tindak pidana yang terorganisir cukup
besar, baik secara nilai nominal maupun jumlah wujud fisiknya. Atas dasar itu
maka diperlukan adanya upaya yang lebih dikhususkan untuk mengelola aset
tersbeut, baik selama menunggu putusan pengadilan maupun setelah adanya putusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Mengingat bahwa adanya keterbatasan pemberlakuan
dari PERMA Nomor 13 tahun 2016, maka dalam pembahasan PERMA tersebut, maka pada
saat pembahasan PERMA tersebut disepakati bahwa mengenai perampasan aset akan diajukan sebagai Rancangan Undang-Undang. Diajukannya
pengaturan mengenai perampasan aset tersebut
dikarenakan banyak hal yang harus diatur
secara terperinci dan jelas, sehingga diperlukan wadah/tempat yang lebih luas, dalam hal ini adalah diatur di dalam
Undang-Undang, oleh karena itu, perihal perampasan
aset, diajukan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang yang akan dibahas oleh
Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kenapa harus dengan Undang-Undang? Hal ini
dikarenakan fungsi dari PERMA hanyalah sebagai pengisi kekosongan Hukum Acara
Pidana (Hukum Formil) yaitu hukum yang mengatur tata cara beracara di
pengadilan dan bukan sebagai pengganti maupun pengisi dari kekosongan Hukum
Materiil yang berisikan aturan-aturan yang serba terperinci berikut ancaman
hukum atas pelanggaran dari pasal-pasal yang ada di dalamnya. (BERSAMBUNG).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar