Beberapa Alasan RUU Penyitaan Aset Tidak Segera Menjadi Undang-Undang (Bagian 2)
Dengan tidak dbahasnya RUU Penyitaan Aset
(termasuk di dalamnya adalah Perampasan Aset) oleh DPR, menjadikan suatu
pertanyaan besar, apakah DPR tidak menginginkan adanya Pemerintahan yang bersih?
Pemerintahan disini termasuk juga adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai representative dari Lembaga Legislatif
dan juga Mahkamah Agung (MA) sebagai reprensentative
dari Lembaga Yudikatif di Indonesia, juga termasuk di dalamnya adalah Badan
Usaha Mulik Negara (BUMN).
Sebuah pertanyaan yang sangat wajar diajukan
oleh warga masyarakat yang menginginkan Pemerintahan yang bersih. Sehingga secara
tidak langsung, anggota DPR-RI juga tidak menginginkan isi dapurnya diobok-obok karena mereka sendiri meyakini bahwa ada
bagian dari hartanya yang didapat seacar tidak sah, sehingga apabila RUU
tersebut disahkan, maka runtuhlah kewibawaan anggota DPR, baik di tingkat pusat
maupun di daerah.
Satu hal yang ditakutkan oleh anggota DPR
adalah apabila seseorang terjerat tindak pidana terorganisir, baik tindak
pidana korupsi, tindak pidana pencucin uang, tindak pidana peredaran ilegal
narkotika, tindak pidana perdagangan manusia dan tindak pidana lainnya yang
sejenis, maka secara otomatif, Negara melalui Penyidik maupun Penuntut Umum
memiliki untuk langsung melakukan sita aset-aset yang dimilikinya. Dan apabila
terbukti di persidangan, maka aset-aset tersebut akan dirampas untuk Negara.
Status aset yang disita oleh Negara akan
ditentukan dari putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu apabila
pelaku tindak pidana terbukti melakukan tindak pidana, maka asetnya dirampas
dan diserahkan kepada Negara dan apabila tidak terbukti maka aset tersebut
dikembalikan kepada pihak darimana aset tersebut disita. Hal inilah yang paling
ditakutkan oleh anggota DPR (termasuk DPRD) karena dengan mengesahkan RUU ini
menjadi Undang-Undang, maka sama dengan membuka kotak pandora akan perilaku koruptif yang mereka lakukan, meskipun
harus diakui pula bahwa masih terdapat banyak anggota DPR yang mempunyai hati
yang jujur dan perilaku bersih jauh dari perilaku koruptif.
Saat ini, menjadi tantangan bagi anggota DPR,
apakah berani membahas dan kemudian mengesahkan RUU tersebut menjadi
Undang-Undang dengan segala konsekuensinya. Untuk menjawab hal tersebut,
diperlukan hari yang bersih dan kejujuran dari para anggota DPR untuk
menyikapinya. Semoga masih ada secercah harapan bahwa anggota DPR akan membuka
hatinya dan bersedia membahas dan mengesahkan RUU tersebut. Bahwa apabila hal
ini tidak berani dilakukan, maka semakin jelas kualitas anggota DPR, wallahua’lam.
(TAMAT).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar