Menyambut
ulang tahun kemerdekaan RI ke 78, kiranya ada beberapa catatan singkat,
khususnya di bidang hukum yang harus menjadi perhatian kita bersama, khususnya
bagi Pemerintah sebagai pemegang amanat rakyat untuk melindungi dan mengayomi
warga negaranya. Hal ini perlu diungkapkan mengingat bahwa sedari awal bangsa
Indonesia sudah menyatakan sebagai bangsa yang berdiri berdasarkan hukum bukan
berdasarkan kekuasaan yang artinya, kekuasaan yang ada harus digunakan demi
tegaknya hukum di Indonesia.
Jargon
hukum sebagai panglima kiranya masih hanya sebatas jargon yang masih sulit
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa catatan penting yang bisa
menjadi bahan introspeksi bersama, diantaranya adalah :
1)
Hukum masih tajam ke bawah dibandingkan ke
atas, dalam arti :
a) Masih
banyak kasus hukum yang lebih tajam menghukum terhadap pelaku tindak pidana
yang secara ekonomi maupun sosial masih rendah kedudukannya sehingga tidak
mampu atau tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan pembelaan diri secara
optimal. Keberadaan penasihat hukum secara prodeo atau gratis masih belum
dioptimalkan penerapannya dikarenakan masih kurangnya sosialisasi kepada masyarakat
bahwa masyarakat dapat menggunakan penasihat hukum secara prodeo atau gratis
karena biayanya dibayarkan oleh Negara, ketika seseorang harus berhadapan dengan
hukum pidana;
b) Demikian
juga masyarakat juga belum mengetahui bahwa mereka dapat beracara secara
keperdataan secara prodeo karena saat ini pihak Mahkamah Agung melalui
peradilan tingkat pertama sudah menyediakan sarananya. Namun, sekali lagi karena
kurangnya sosialisasi kepada masyarakat, sehingga program dari Mahkamah Agung
ini juga tidak berjalan dengan baik;
c) Masih
kentalnya sistem pertemanan di bidang hukum sehingga ketika seseorang harus
berhadapan dengan hukum khususnya hukum pidana, maka orang tersebut akan
meminta bantuan teman atau saudaranya yang mempunyai kewenangan yang besar di
bidang hukum untuk melindunginya, termasuk untuk menyimpan hasil kejahatannya,
terutama dalam kasus tindak pidana korupsi;
2) Masih
maraknya tindak pidana korupsi, hal ini bisa disebabkan karena beberapa hal,
yaitu :
a) Bangsa
kita lebih suka membuat sistem baru dan mengabaikan sistem yang lama meskipun
sistem yang lama sebenarnya masih layak diterapkan atau digunakan. Seringkali kita
lupa dengan adegium “jangan salahkan sistemnya” yang berarti sebaik apapun
sistem yang kita gunakan tetapi sistem tersebut digerakkan oleh orang-orang
yang tidak memiliki kemampuan yang baik, tentu sistem tersebut akan mubazir
atau tidak ada gunanya;
b) Pemberantasan
korupsi sampai saat ini masih bersikap parsial dan sporadis yang artinya ketika
dana pembangunan sudah ditetapkan kita masih lebih sibuk mengawasi penggunaan
di tingkat kementerian atau lembaga negara dan lebih banyak melakukan operasi
tangkap tangan (OTT) dibandingkan kita mengedukasi dari awal ketika dana
pembangunan tersebut akan dibagikan ke masing-masing kementerian atau lembaga
negara mengenai bahayanya korupsi bagi pembangunan Negara. Sistem anggaran
secara E-Budgeting yang diklaim dapat mengurangi atau memberantas korupsi,
ternyata masih dapat dibelak-belokkan oleh penggunanya demi keuntungan pribadi
dan golongannya, sehingga perlu adanya telaah ulang terhadap penggunaan
E-Budgeting demi lancarnya pembangunan;
c) Laporan
Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) dan Laporan Hasil Kekayaan Apartur Sipil
Negara (LHASN) nyatanya hanya berupa catatan yang tingkat kebenaran isinya
masih dapat diragukan. Hal ini dikarenakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
harus bekerja ganda yaitu selain melakukan pemberntasan korupsi juga harus
melakukan audit atau pemeriksaan terhadap LHKPN dan LHASN yang jumlah jutaan,
jika disesuaikan dengan jumlah pejabat negara dan ASN di Indonesia. Sebaiknya KPK
membuat unit khusus untuk memeriksa LHKPN dan LHASN yang masuk sehingga bisa
didaat data yang valid dan dapat dipercaya. (BERSAMBUNG).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar