Kamis, 17 Desember 2015

PENGAMPUNAN HAKIM


PENGAMPUNAN HAKIM, SEBUAH TEROBOSAN MENGURANGI CALON PENGHUNI HOTEL PRODEO
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]

A, Pendahuluan
Harus diakui bahwa perkembangan tekhnologi informasi (Information Technology/IT) sangat mempengaruhi meningkatnya jumlah dan kualitas kejahatan yang ada di Indonesia. Dahulu seseorang yang akan melakukan tindak pidana, hanya mengandalkan pada alat-alat yang bersifat konvensional, seperti sebilah pisau, sepotong kayu dan sebagainya, akan tetapi saat ini, pelaku tindak pidana sudah semakin mahir dan pintar ketika merencanakan dan melakukan tindak pidana.
Pelaku tindak pidana ketika merencanakan suatu kejahatan seringkali menggunakan kecanggihan tekhnologi informasi untuk mendapatkan data-data yang diperlukan. Data-data tersebut  bukan hanya mengenai data calon korbannya akan tetapi juga informasi menganai cara-cara terbaru di dalam melakukan suatu tindak pidana.
Sebagaimana adigium dalam dunia hitam kejahatan, bahwa suatu kejahatan dapat terjadi bukan hanya karena adanya niat dari pelaku tindak pidana akan tetapi juga karena adanya kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana. Kesempatan dalam hal ini tidak hanya mencakup kesempatan pelaku untuk melakukan tindak pidana akan tetapi juga mencakup kesempatan pelaku untuk mengumpulkan informasi yang diperlukannya, baik informasi mengenai calon korban tetapi juga informasi mengenai cara-cara terbaru melakukan kejahatan yang saat ini sangat mudah didapatkan dari saluran online yang mudah diakses oleh setiap orang.
Berdasarkan data-data dari saluran online tersebut, maka pelaku kejahatan bisa mendapatkan tekhnik-tekhnik terbaru di dalam melakukan tindak pidananya yang semakin lama semakin sulit di dalam pembuktiannya ketika pelaku tertangkap dan dilakukan proses penindakan secara hukum. Hal ini jugaa semakin diperparah dengan peraturan hukum tertulis yang ada di Indonesia yang masih merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda, yang tentunya ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah sangat tertinggal dibandingkan dengan perkembangan tindak pidana yang semakin maju dan berkembang, baik dari jenis, jumlah maupun kualitasnya.
Terhadap hal tersebut di atas untuk mengatasinya tentu membutuhkan proses penegakan hukum yang menyeluruh yang dimulai dari adanya penelitian atas suatu laporan tindak pidana, yang dilanjutkan dengan penyidikan suatu tindak pidana, proses penuntutan, proses persidangan, putusan pengadilan dan proses eksekusi atas putusan pengadilan. Ketika suatu tindak pidana terbukti di persidangan maka konsekuensinya adalah pelaku tindak pidana akan mendapat hukuman berupa pemidanaan, yang tentu saja akan meningkatkan jumlah penghuni “hotel prodeo” atau Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).
B. Permasalahan
Bahwa dari uraian sebagaimana tersebut diatas maka kiranya timbul suatu permaslahan, yaitu “Mungkinkah metode Pengampunan Hakim menjadi salah satu cara untuk mengurangi jumlah calon penghuni hotel prodeo ?” ;
C. Pembahasan
Terhadap upaya penegakan hukum, .Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM  seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum  dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Khususnya mengenai penegakan hukum di pengadilan, maka berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut hanya menyebutkan “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang”. Oleh karena itu diperlukan kecermatan dari Hakim yang menyidangkannya, sehingga di dalam persidangan akan didapatkan fakta hukum yang sebenarnya terjadi untuk membuktikan bersalah tidaknya seseorang yang telah diduga telah melakukan tindak pidana.
Harus dipahami bahwa Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[3]
Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Amandemen keempat dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”[4], maka sudah pada tempatnya apabila Negara memperlakukan setiap warga negaranya secara sejajar di muka hukum. Sehingga tdak menimbulkan perilaku yang membeda-bedakan berdasarkan alasan apapun di dalam upaya penegakan hukum.
            Sampai saat ini masih sering terjadi, pelaksanaan penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut tidak hanya karena perilaku para aparat penegak hukum tetapi juga karena ketidaktahuan masyarakat akan peraturan yang dilanggarnya. Penegakkan hukum di Indonesia masih sangat tidak adil, karena masih melihat latar belakang dan kedudukan seseorang. Hukum hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuasaan, sedangkan bagi yang tidak memiliki kekuasaan, mereka tetaplah tertindas.[5]
Ketika seseorang harus berhadapan dengan hukum baik sebagai tersangka / terdakwa maupun sebagai saksi korban, maka tentu akan berhadapan dengan kesulitan di dalam prosedur-prosedur dalam proses penegakan hukum. Terlebih pada saat ini masih cukup banyak anggota masyarakat yang belum melek hukum dan merasa segan untuk bersentuhan dengan hukum mengingat begitu rumit dan berbelitnya proses penegakan hukum, belum lagi masih terdapat aparat-aparat penegak hukum yang masih suka “bermain mata” demi keuntungan pribadi.
Seseorang yang harus berhadapan dengan hukum tentu ingin mendapatkan keadilan, terutama bagi orang menjadi korban dari suatu tindak pidana. Meskipun harus dipahami bahwa masih terdapat multitafsir terhadap arti dari keadilan, yang tidak sama antara pemahaman seseorang dengan orang lain.
C1. Arti Keadilan
Terdapat banyak penafsiran terhadap arti KEADILAN, yang masing-masing memandang keadilan dari sudut pandangnya masing-masing dan memilki karakteristik masing-masing.
Pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno yang mengatakan pendapatnya tentang pengertian keadilan adalah keadaan antarmanusia yang diperlakukan dengan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Pengertian keadilan menurut Notonegoro yang berpendapat bahwa keadilan adalah suatu keadaan dikatakan adil jika sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengertian keadilan menurut Thomas Hubbes yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah sesuatu perbuatan dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Pengertian keadilan menurut Plato yang menyatakan bahwa pengertian keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa dimana keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khususnya memikirkan hal itu. Pengertian keadilan menurut W.J.S Poerwadarminto yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah tidak berat sebelah, sepatutnya tidak sewenang-wenang. Pengertian keadilan menurut definisi Imam Al-Khasim adalah mengambil hak dari orang yang wajib memberikannya dan memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya.[6]
Pendapat lainnya mengatakan, Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil." Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.[7]
Sedangkan Aristoteles mengatakan, bahwa ada 5 jenis perbuatan yang tergolong dengan adil. Lima jenis keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles ini adalah sebagai berikut :[8]
  • Keadilan Komutatif, yaitu Keadilan komutatif ini adalah suatu perlakuan kepada seseorang dengan tanpa melihat jasa-jasa yang telah diberikan.
  • Keadilan Distributif, yaitu Keadilan distributif adalah suatu perlakuan terhadap seseorang yang sesuai dengan jasa-jasa yang telah diberikan.
  • Keadilan Kodrat Alam, yaitu Keadilan kodrat alam ialah memberi sesuatu sesuai dengan apa yang diberikan oleh orang lain kepada kita sendiri.
  • Keadilan Konvensional, yaitu Keadilan konvensional adalah suatu kondisi dimana jika seorang warga negara telah menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
  • Keadilan Perbaikan, yaitu Keadilan perbaikan adalah jika seseorang telah berusaha memulihkan nama baik seseorang yang telah tercemar.
Dalam Keadilan Pancasila, maka akan terdapat konsekwensi nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama meliputi :[9]
1.  Keadilan distributif : Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlukan tidak sama ( just ice is done when equelz are treated equally ). Keadilan distributive sendiri yaitu suatu hubungan keadilan antara Negara terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban ;
2.  Keadilan Legal ( Keadilan Bertaat ) : Yaitu suatu hubungan keadilan antara warga Negara terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara. Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan subtansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling cocok baginya ( the man behind the gun ). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan untuk yang lainnya disebut keadilan legal ;
3.  Keadilan Komulatif : Yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan yang lainnya secara timbal balik. Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan ases pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrem menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurakn pertalian dalam masyarakat.
Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan Negara yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antara Negara sesama bangsa didunia dan prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antar bangsa didunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).[10]
Dari berbagai pengertian mengenai KEADILAN, maka kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keadilan tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga keadilan yang ada pada suatu daerah dan pada suatu waktu tertentu akan berbeda dengan keadilan pada masyarakat yang lain dan pada waktu yang berbeda. Meski g laidemikian, semua pendapat tersebut mempunyai satu tujuan yaitu setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan setiap orang harus menghormati hak dari orang lain.
Sekalipun seseorang yang dijadikan tersangka maupun terdakwa, tetap memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi, sebab tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya dilakukan dengan kesengajaan akan tetapi ada tindak pidana yang dilakukan dikarenakan oleh kealpaan atau ketidaksengajaan oleh pelakunya.
Selama proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan menjalankan eksekusi atas putusan Hakim, seseorang yang menjadi pelaku tindak pidana tetap untuk mendapatkan hak-haknya.
C.1.1. Tahap Penyelidikan dan Penyidikan
Dalam tahap penyelidikan, Penyelidik atas perintah Penyidik berwenang melakukan penangkapan (pasal 16 ayat (1) KUHAP) kemudian, untuk kepentingan penyidikan, Pemyidik dan Penyidik Pembantu berwenang melakukan penangkapan (pasal 16 ayat (2) KUHAP) dan perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 17 KUHAP). Atas penangkapan seorang pelaku tindak pidana, terdapat hak dari orang yang ditangkap yaitu petugas yang melakukan penangkapan baik itu Penyelidik maupun Penyidik harus memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada orang yang ditangkap (tersangka) surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan serta tempat ia diperiksa (pasal 18 ayat (1) KUHAP) dan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah dilakukan penangkapan (pasal 18 ayat (3) KUHAP).
Selain penangkapan, penyidik mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dan tehadap yang bersangkutan telah dilakukan penangkapan (pasal 20 ayat (1) KUHAP). Terhadap penahanan ini, terdapat hak dari orang yang ditahan, yaitu harus ada surat perintah penahanan / penahanan lanjutan yang tembusannya diberikan kepada keluarga tersangka (pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP).  Di tingkat penyidikan, penyidik mempunyai kewenangan untuk mengalihkan jenis penahanan dan surat perintah pengalihan penahanan, tembusannya diberikan kepada tersangka atau keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan (pasal 23 KUHAP) dan penyerahan tembusan surat perintah pengalihan penahanan kepada tersangka atau keluarganya merupakan hak dari tersangka.
Hal lain mengenai hak tersangka dalam proses peyidikan adalah tersangka berhak untuk segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum (pasal 50 ayat (1) KUHAP). Kemudian, tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (pasal 51 ayat (1) KUHAP), dan tersangka dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan, tersangka berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (pasal 52 KUHAP).
Hal-hal lain sebagai hak dari tersangka dalam tingkat penyidikan adalah, hak untuk mendapatkan juru bahasa (pasal 53 ayat (1) KUHAP), hak untuk mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum baik yang dipilih sendiri maupun yang ditunjuk serta berhak untuk dikunjungi oleh penasihat hukumnya (pasal 54, pasal 55, pasal 56 dan pasal 57 KUHAP), tersangka juga memiliki hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya (pasal 58 KUHAP). Tersangka juga berhak untuk diberitahukan mengenai penahanannya kepada keluarganya (pasal 59 KUHAP) dan tersangka berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum (pasal 60 KUHAP), tersangka juga mempunyai hak untuk menghubungi baik secara langsung maupun melalui penasihat hukumnya, sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka (pasal 61 KUHAP), tersangka juga berhak melakukan aktivitas surat menyurat (pasal 62 KUHAP), tersangka juga berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan (pasal 63 KUHAP), tersangka juga memilki hak untuk mengajukan saksi yang menguntungkan bagi dirinya (pasal 65 KUHAP dan tersangka berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (pasal 68 KUHAP).
Terhadap tersangka juga berlaku ketentuan mengenai bantuan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 69 sampai dengan pasal 74 KUHAP.
C.1.2. Tahap Penuntutan
Pada tahap penuntutan, Jaksa Penuntut Umum memilki kewenangan untuk melakukan penahanan lanjutan dari proses penyidikan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (2) KUHAP dan sebagaimana dalam proses penyidikan, maka dalam hal penahanan oleh Penuntut Umum terdapat hak dari terdakwa yang harus dipenuhi yaitu tembusan surat perintah penahanan harus diserahkan kepada terdakwa atau keluarganya (pasal 21 ayat (3) KUHAP). Selain itu terdakwa juga mempunyai hak untuk mendapatkan tembusan surat perintah pengalihan penahanan (pasal 23 ayat (2) KUHAP), tersangka juga memilki hak untuk berkasnya segera dimajukan ke pengadilan (pasal 50 ayat (2) KUHAP), terdakwa memilki hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya (pasal 51 ayat (2) KUHAP). Terdakwa juga memilki hak sebagaimana diatur di dalam pasal 54 sampai dengan pasal 65 KUHAP dan Terdakwa juga mempunyai hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 69 sampai dengan pasal 74 KUHAP.
C.1.3. Tahap Persidangan
Pada tahap persidangan, Terdakwa juga memilki hak sebagaimana diatur dalam proses penyelidikan / penyidikan maupun dalam proses penuntutan. Selain itu Terdakwa juga mempunyai hak untuk mengajukan gugatan pra peradilan terhadap hal sebagaimana yang diatur dalam pasal 77 KUHAP yang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, obyek pra peradilan diperluas dengan memasukkan penetapan tersangka sebagai salah satu obyek pra peradilan. Ketentuan-ketentuan sebagaimana yang berlaku di dalam tahap penyelidikan / penyidikan maupun penuntutan juga berlaku dalam proses persidangan.
Setelah menjalani proses persidanan, Terdakwa memilki hak untuk mengajukan upaya hukum atas putusan Hakim, baik atas putusan Hakim tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi, sehingga ketentuan di dalam pasal 233 sampai dengan 269 KUHAP diterapkan yang juga merupakan hak dari Terdakwa.
C2. Pengampunan Hakim
Ketika persidangan, Terdakwa juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan pembelaan setelah adanya Surat Tuntutan dari Penuntut Umum dan pada umumnya Terdakwa mengakui perbuatannya dan memohon keringanan hukuman atas tindak pidana yang dilakukannya, meskipun dalam beberapa kasus, Terdakwa tetap menyangkal perbuatannya dan menolak untuk dihukum atau minta dibebaskan. Dalam hal ini, diperlukan kejelian Hakim yang menyidangkannya apakah yang disampaikan oleh Terdakwa tersebut benar-benar telah sesuai dengan fakta di persidangan atau tidak.
Apabila kita menilik kepada Hukum Islam, ada 2 tujuan dijatuhkannya hukuman atas suatu kesalahan, yaitu :[11]
1. Pencegahan
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Atau agar ia tidak terus menerus melakukan jarimah tersebut.Disamping mencegah pelaku , pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain.
2. Pendidikan dan Perbaikan
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman ini adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya.
Dari kedua tujuan pemberian hukuman tersebut, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu :[12]
1.  Hukuman harus ada dasarnya dari syara’ (Asas Legalitas) :
Hukum dianggap punya dasar (Syari’iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara seperti Algur’an, As-Sunah, Ijma, atau undang-undang yang diterapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’jir (Hukuman yang bersifat pendidikan) ;
2.  Hukuman harus Bersifat Pribadi (Asas Personalitas) :
Dalam hal ini berarti hukuman harus bersifat perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini merupakan salah satu dasar prinsip yang ditegakkan oleh syariat islam dan ini telah dibicarakan berkaitan  dengan masalah pertanggungjawaban.
3.  Hukuman harus Berlaku Umum (Asas Aquality Before The Law) :
Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, apapun pangkat dan jabatannya  dan kedudukanya. Didalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam hukuman Had dan qishash, karena kesuanya merupakan merupakan hukuman yang telah ditetukan oleh syara. Setiap orang yang melakukan jarimah Hudud seperti Zina, pencurian dan sebagainya, akan dihukum sesuai dengan hukuman yang sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Untuk hukuman ta’jir untuk kadar persamaan hukuman tentu tidak dipersamakan keran hakim memiliki kewenangan luas untuk memilih hukuman yang tepat yang sifatnya mendidik.
Kiranya apa yang tercantum dalam syarat-syarat penghukuman di daam Hukum Islam juga berlaku di dalam Hukum Nasional yang berlaku saat ini, tentunya dalam sudut pandang yang berbeda, terutama mengenai Asas Legalitas, yaitu Hukum Islam bersumber pada ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an dan Al Hadist sedangkan Hukum Nasional bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan mengenai syarat bahwa hukuman bersifat personal maupun persamaan kedudukan di muka hukum, keduanya merupakan hal yang berlaku sama baik di dalam Hukum Islam maupun Hukum Nasional.
Pada saat ini sedang digodok pembaharuan Hukum Nasional terutama di bidang Hukum Pidana. Pembaharuan ini sebenarnya sudah berlangsung sejak akhir tahun 1970an, akan tetapi proses tersebut tidak pernah terselesaikan mengingat berbagai hambatan dan juga masih terdapat penambahan-penambahan materi di dalam Rancangan Undang-Undang. Akan tetapi setidaknya terdapat keinginan yang kuat untuk memiliki Hukum Nasional yang mandiri yang bukan merupakan duplikasi dari hukum asing. Hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan dunia hukum pidana secara global, terutama setelah dilakukannya beberapa kali Kongres PBB tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, wacana mengenai hukum pidana mengalami perombakan yang signifikan. Salah satu perkembangnnya adalah orientasi pemidanaan yang lebih “memanusiakan” pelaku tindak pidana (offenders) dalam bentuk pembinaan (treatment). Berdasarkan perkembangan ini, maka pada saat usaha pembaharuan hukum pidana (materiel) digalakkan, Indonesia memperbaharui sistem pemidanannya yang kaku dan imperatif tersebut menjadi sistem pemidanaan yang mengedepankan aspek kemanusiaan dengan mengambil ide-ide individualisasi pidana.[13]
Selain mengenai pengaturan jenis-jenis tindak pidana yang dapat dipidana, di dalam pembaharuan hukum pidana nasional juga terdapat sebuah pembaharuan yaitu dicantumkannya mengenai PENGAMPUNAN OLEH HAKIM
 (rechtelijk pardon). Pedoman pengampunan hakim merupakan implementasi dari ide individualisasi pidana.Pedoman pengampunan hakim disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) sebagai berikut :[14]
(2)  Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Dengan dasar ini maka hakim masa mendatang diperbolehkan memaafkan orang yang nyata-nyata melakukan tindak pidana dengan alasan keadaan pribadi si pembuat dan pertimbangan kemanusiaan. Aturan pengampunan hakim tersebut tidak ada dalam KUHP.
Perihal pengampunan hakim ini, sejatinya terdapat juga di dalam Hukum Islam, dimana dalam perkara pembunuhan, meskipun Hakim telah  menjatuhkan putusan berupa qisas, akan tetapi hukuman tersebut boleh digugurkan dengan sebab-sebab berikut :[15]
a.  Kematian Pembunuh ;
b.  Pengampunan ;
c.   Pendamaian ;
d.  Pewarisan Tuntutan Qisas (irth al-dam) ;
Sedangkan khusus mengenai pengampunan, di dalam Hukum Islam dikenai syarat-syarat sebagai berikut :[16]
(a)    adamya maaf dari keluarga korban dan orang yang memberi maaf itu adalah orang  yang baligh  dan waras akal fikirannya.  Ertinya jika dia  masih kanan-kanak maka tidak boleh diterima kemaafannya.  Begitu juga jika dia seorang  yang gila tidak boleh diterima kemaafannya ;
(b)    Orang yang memaafkan itu memberikannya dengan  kerelaannya sendiri  dan bukan kerana dipaksa, sama ada paksaan itu dibuat dengan cara  mengugut, memukul atau merampas  hartanya dan sebagainya, asalkan orang yang dipaksa itu tidak dapat melawannya ;
(c)    Kemaafan itu diberi oleh orang yang mempunyai hak, ertinya jika ianya diberi  oleh orang yang tidak berhak memaafkan  maka tidak ada apa-apa  kesan dari pengampunannya kerana  memberi kemaafan ertinya  menggugurkan haknya dan tidak ada  siapa yang boleh menggugurkan haknya melainkan orang yang  mempunyai hak.  Orang yang berhak dalam kes kecederaan anggota tubuh badan ialah orang yang dicederakan tubuh badannya.  Tetapi orang yang berhak memaafkan dalam kes pembunuhan tidak disepakati oleh ulamak (yang akan dibincang kemudian) ;
(d)    Pengampunan itu diberi oleh semua wali ad-dam.  Oleh itu jika hanya sebahagian wali sahaja yang memaafkan penjenayah maka hukuman qisasi tidak boleh  digugurkan daripadanya menurut pendapat Imam Malik.  Akan tetapi mengikut pendapat majoriti ulamak pengampunan oleh salah seorang wali al-dam  boleh menggugurkan qisas berdasarkan kepada riwayat yang mengatakan  bahawa seorang pembunuh telah dibawa ke hadapan Sayyidina Umar.  Kemudian  anak-anak mangsa bunuh datang, sebahagiannya  mengampunkan penjenayah tersebut.  Lalu Umar bertanya pendapat Ibn Mas’ud, beliau menjawab, “pembunuh itu terlepas daripada hukuman bunuh”.
Mengenai tujuan dari Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2005 dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut :[17]
Tujuannya adalah untuk menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia ; Untuk menyesuaikan dengan politik hukum dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia. Landasan dari Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2005 yaitu Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.  RUU KUHP tahun 2005   terdiri dari 2 ( dua) Buku, yaitu Buku I ada 6 Bab terdiri dari 211 Pasal, dan Buku II. Ada 35 Bab  Terdiri dari 741 Pasal. Lembaga Permaafan di RUU KUHP tahun 2005 telah dirumuskan  di dalam beberapa bab dan beberapa pasal diantaranya  yaitu :
A.  Bab. I. Ruang lingkup berlakunya ketentuan Peraturan Perundang-undangan Pidana ;
Bagian kesatu menurut Waktu : Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4).   Pasal 1 ayat (3) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.  (4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/ atau prinsip-prinsip hukum umum, yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
B.  Bab. III Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan, bagian kesatu Pemidanaan paragraf 1 Tujuan Pemidaan Pasal 54 ayat (1) dan (2) , dan Pasal 55. ayat (1( huruf (j) dan (k), dan ayat (2) ;
1.    Pasal  54. (1)  Pemidanaan bertujuan : a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum  demi pengayoman masyarakat b. memasyarakatkan terpidana dengan  mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna ; (c).menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Ayat (2). Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan manusia.
2.    Pasal  55 ayat (1) huruf (j). ( k)  yaitu masalah Pedoman Pemidanaan; Dalam Pemidanaan wajib dipertimbangkan : (j). Pemaafan dari korban dan atau keluarganya.    (k). Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
C. Bab. III  Bagian Kedua Pidana Paragraf I Jenis Pidana. Pasal 67 ayat (1). Huruf (d) dan (e) ;
Pasal 67 (1). Pidana tambahan terdiri atas ; (d). Pembayaran ganti kerugian. (e). Pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup.
D. Bab. III  Bagian Kedua Paragraf 2 Pidana Penjara, Pasal 71.
Pasal 71 menyebutkan : Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 56 pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut : (d).   terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban ;
E.  Bab. III Paragraf 12 Pidana Tambahan  Pasal 99 ayat (1) dan (2),
Pasal 99 Ayat (2). jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti pidana denda ;
F.  Bab. III Paragraf 12 Pidana Tambahan  Pasal 100 ayat (1), (2),(3) dan (4).
Pasal 100 ayat (1) ; Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup :
Ayat (2).  Pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat (3);
Ayat (3).    Kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat dan / kewajiban menurut hukum yang hidup itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana ;
Ayat (4). Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.
G. Bab. III  Bagian keempat Pasal 116 ayat (2) huruf (b) dan (c) ;
Pasal  116 angka (2) Pidana tambahan terdiri atas : (b). Pembayaran ganti kerugian. (c). Pemenuhan kewajiban adat
H. Bab. III Bagian kelima, Faktor-faktor yang memperingan dan memperberat Pidana, Pasal 132 huruf (e) dan (h) ;
Pasal 132 Faktor-faktor yang memperingan pidana meliputi : (e). Pembertian ganti kerugian yang layak atau perbaikan keruksakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan. (i). Faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
I.    Bab. IV. Gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana Pasl 145 huruf (d). Kewenangan penuntutan gugur, jika : penyelesaian diluar proses.
Berkenaan dengan pengampunan hakim, di Belanda ada apa yang dinamakan “rechterlijk pardon” (pengampunan hakim sejak 1 Mei 1983). Dengan adanya “rechterlijk pardon” bertalian dengan kesulitan keuangan dari si terdakwa, maka tidak dibutuhkan grasi lagi.[18] Adaptasi mengenai pengampunan hakim tersebut (rechterlijk pardon) inilah yang dicoba dilakukan dan diterapkan di dalam pembaharuan hukum pidana nasional, apalagi bangsa Indonesia telah dikenal sebagai bangsa yang mudah memberi maaf terhadap seseorang yang melakukan kesalahan, tentunya dalam batas-batas kejahatan tertentu dan dalam agama apapun selalu dijunjung tinggi nilai-nilai untuk selalu memberi maaf kepada orang yang melakukan kesalahan.
Pemberian pengampunan dari hakim juga tentunya harus diberikan batasan-batasannya sehingga terdapat suatu kriteria bahwa terhadap suatu tindak pidana dapat diberikan pengampunan oleh hakim. Hal ini penting mengingat pada saat ini terdapat hal yang mendesak di dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia yaitu kelebihan penghuni dari tiap Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) di Indonesia, yang membuat sistem pembinaan di dalamnya menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan adanya sistem pemberian pengampunan dari hakim terhadap Terdakwa dalam tindak pidana tertentu akan membawa efek mengurangi “calon” penghuni LAPAS, sehingga pihak LAPAS dapat memberikan pelayanan secara optimal.
Dalam pandangan penulis, syarat-syarat yang dapat diberikan terhadap tindak pidana yang bisa mendapatkan pengampunan dari hakim terhadap pelakunya antara lain :
1.    Tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang tidak mengakibatkan korban jiwa maupun materi dalam jumlah yang besar maupun yang dilakukan dengan pemberatan ;
2.    Tindak pidana pencurian dalam keluarga, yang juga tidak dilakukan dengan pemberatan ;
3.    Tindak pidana yang jumlah kerugiannya tidak melebihi dari Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) ;
4.    Terhadap terdakwa tindak pidana narkotika yang terbukti sebagai pecandu dan baru pertama kali tertangkap dan disidangkan, cukup dibebani untuk menjalani rehabilitasi atas biaya negara ;
5.    Terdakwa bersedia memberikan ganti rugi berupa restitusi maupun rehabilitasi terhadap korban ;
Apabila kita melihat Pasal 9a KUHP Belanda, menyebutkan :“The Judge may determine in the judgement that no punishment or Measures shall be imposed, where he deems this advisable, by reason of the lack of gravity of the offense, the character of the offender, or the circumstances attendant kupon the Commission of the offense or thereafter”
Pasal 9a ini merupakan ketentuan bagi hakim untuk tidak memidana suatu perbuatan atau yang lebih dikenal dengan istilah permaafan/ pengampunan oleh hakim(rechterlijikpardon). Jadi sekalipun pelaku telah memenuhi unsur kesalahan sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan tindak pidana tapi hakim dapat memberikan permaafan pada pelaku. Dalam memberikan permaafan, hakim mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :[19]
       i.       ringannya tindak pidana yang dilakukan ;
      ii.       karakter pribadi si pembuat ;
    iii.       keadaan-keadaan pada waktu atau setelah delik dilakukan ;
Ketentuan pasal 9 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda tersebut kiranya dapat digunakan sebagai perbandingan di dalam menerapkan sistem pengampunan oleh hakim sehingga diharapkan dengan diterapkan pengampunan oleh hakim terhadap perkara-perkara tertentu, dapat mengurangi calon penghuni hotel prodeo (LAPAS), sehingga tujuan dari pemidanaan di era modern ini, yaitu sebagai pembelajaran terhadap pelaku tindak pidana dan pencegahan dilakukannya tindak pidana oleh orang lain dapat tercapai.
Yang menjadi permasalahan adalah sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengampunan hakim. Baik KUHP maupun KUHAP tidak memberi ruang sedikitpun untuk memperluas kewenangan hakim untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku tindak pidana. Khusus bagi para hakim, setidaknya Mahkamah Agung memberi sedikit ruang, baik melalui Surat Edaran Mahkamah Agung maupun Peraturan Mahkamah Agung yang dapat menjadi payung hukum bagi hakim yang akan memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana, hal ini perlu dilakukan mengingat dengan hakim memberikan pengampunan kepada pelaku tindak pidana, maka pelaku tindak pidana atau terdakwa di persidangan tidak perlu menjalani pemindaan di Lembaga Pemasayarakatan (LAPAS) atau yang dikenal juga sebagai Hotel Prodeo, sehingga secara otomatis akan mengurangi pula jumlah calon penghuni Hotel Prodeo tersebut.
Meski demikian, dalam pelaksanaannya mengenai pemberian pengampuan oleh hakim, diperlukan kesamaan pendapat, baik dari pihak Kepolisian selaku penyelidik dan/atau penyidik, pihak Kejaksanaan selaku penuntut umum dan juga eksekutor dari putusan hakim, dari pihak Mahkamah Agung yang melakukan pembinaan terhadap hakim-hakim di Indonesia serta dari pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) selaku pembina dari Lembaga Pemasyarakatan serta juga dari unsur Advokat yang mempunyai hak untuk mendampingi pelaku tindak pidana selama menjalani proses penegakan hukum. Tanpa adanya kesepamahaman diantara para penegak hukum, sulit kiranya untuk memberlakukan sistem pemberian pengampunan terhadap pelaku tindak pidana, sehingga tujuan akhir yaitu mengurangi jumlah calon penghuni Lembaga Pemasayarakatan (LAPAS) tidak akan tercapai.

D. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat kita mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.     Tidak semua tindak pidana harus dijatuhi pidana ;
2.     Perlu ditentukan tindak pidana yang bisa mendapatkan pengampunan hakim terhadap pelakunya ;
3.     Adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum diberikannya pengaampunan oleh hakim ;
4.     Perlu adanya kesamaan pendapat dari seluruh Aparat Penegak Hukum, termasuk di dalamnya adalah dari unsur Advokat ;
E. DAFTAR BACAAN
1.    Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang ; .
4.    https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diunduh tanggal 29 September 2015 ;
10. http://www.geocities.ws/kmbedu/gugurqisas.html, diunduh tanggal 08 Oktober 2015 ;
11. http://www.pa-kuningan.go.id/artikel/baca/151, diunduh tanggal  08 Oktober 2015 ;




[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang ;
[2] Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang, h. 148.
[3]  http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[4] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat ;
[5]http://1ia17meiliawati.blogspot.com/2012/04/kasus-penegakan-hukum-di-indonesia.html

[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diunduh tanggal 29 September 2015 ;

[15] http://www.geocities.ws/kmbedu/gugurqisas.html, diunduh tanggal 08 Oktober 2015 ;

[16] http://www.geocities.ws/kmbedu/gugurqisas.html, diunduh tanggal 08 Oktober 2015 ;


[17] http://www.pa-kuningan.go.id/artikel/baca/151, diunduh tanggal  08 Oktober 2015 ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...