UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2007
TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga
kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik
bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang;
b.
bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
memiliki keragaman potensi Sumber Daya Alam yang tinggi, dan sangat penting
bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan
bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan
global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata
nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3), dan
ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan Persetujuan
Bersama:
DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.
Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara
Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
3.
Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil
atau sama dengan 2.000 km² (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan
Ekosistemnya.
4.
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah
sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa
lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun,
mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut,
mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait
dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam,
permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan
dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
5.
Ekosistem adalah kesatuan komunitas
tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya
dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
6.
Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di
dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam,
seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus.
7.
Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan
dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai,
perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan
dangkal, rawa payau, dan laguna.
8.
Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan
kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan
keberadaannya.
9.
Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian dari
Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan.
10. Kawasan
Strategis Nasional Tertentu adalah Kawasan yang terkait dengan kedaulatan
negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang
pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.
11. Zona
adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku
kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya.
12. Zonasi
adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan
batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta
proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem
pesisir.
13. Rencana
Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasan
perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang
luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau
rencana tingkat nasional.
14. Rencana
Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap
satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada
Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh
dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
15. Rencana
Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur,
dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan keputusan di antara
berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber
daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan.
16. Rencana
Aksi adalah tindak lanjut rencana pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau
beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai
kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan perencanaan.
17. Rencana
Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan
pengelolaan di dalam Rencana Zonasi yang dapat disusun oleh Pemerintah Daerah
dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang dapat diterapkan
serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah
surat izin yang dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
18. Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas
bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan
perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai
dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu.
19. Konservasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian,
dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
20. Kawasan
Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan
pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
21. Sempadan
Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk
dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat.
22. Rehabilitasi
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses pemulihan dan perbaikan
kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari
kondisi semula.
23. Reklamasi
adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat
sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
24. Daya
Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kemampuan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup
lain.
25. Mitigasi
Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau
fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau
nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
26. Bencana
Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Orang yang
menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan
korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
27. Dampak
Besar adalah terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang
luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
28. Pencemaran
Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan Orang sehingga
kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
29. Akreditasi
adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi
standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program-program
pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat secara sukarela.
30. Pemangku
Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan
modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan
Masyarakat Pesisir.
31. Pemberdayaan
Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan atau bantuan kepada
Masyarakat Pesisir agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam
memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.
32. Masyarakat
adalah masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang
bermukim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
33. Masyarakat
Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di
wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya
hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan
hukum.
34. Masyarakat
Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari
berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum
tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil tertentu.
35. Masyarakat
tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak
tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya
yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan
kaidah hukum laut internasional.
36. Kearifan
Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat.
37. Gugatan
Perwakilan adalah gugatan yang berupa hak kelompok kecil Masyarakat untuk
bertindak mewakili Masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya mengajukan
tuntutan berdasarkan kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti
kerugian.
38. Orang
adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum.
39. Dewan
Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
40. Pemerintah
Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
41. Pemerintah
Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
42. Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
43. Mitra
Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di bidang pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia,
lembaga, pendidikan, penyuluhan, pendampingan, pelatihan, penelitian terapan,
dan pengembangan rekomendasi kebijakan.
44. Menteri
adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan.
Pasal 2
Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah
administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur
dari garis pantai.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
berasaskan:
a.
keberlanjutan;
b.
konsistensi;
c.
keterpaduan;
d.
kepastian hukum;
e.
kemitraan;
f.
pemerataan;
g.
peran serta masyarakat;
h.
keterbukaan;
i.
desentralisasi;
j.
akuntabilitas; dan
k.
keadilan.
Pasal 4
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilaksanakan dengan tujuan:
a.
melindungi, mengonservasi, merehabilitasi,
memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta
sistem ekologisnya secara berkelanjutan;
b.
menciptakan keharmonisan dan sinergi antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil;
c.
memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga
pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan
keberkelanjutan; dan
d.
meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya
Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.
BAB III
PROSES PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Pasal 5
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi
kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap
interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal 6
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan
kegiatan:
a.
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b.
antar-Pemerintah Daerah;
c.
antarsektor;
d.
antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat;
e.
antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan
f.
antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip
manajemen.
BAB IV
PERENCANAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 7
(1)
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri atas:
a.
Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP-3-K;
b.
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang selanjutnya disebut RZWP-3-K;
c.
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan
d.
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAPWP-3-K.
(2)
Norma, standar, dan pedoman penyusunan
perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diatur dengan
Peraturan Menteri.
(3)
Pemerintah Daerah wajib menyusun semua rencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(4)
Pemerintah Daerah menyusun rencana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan melibatkan masyarakat berdasarkan
norma, standar, dan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyusun
Rencana Zonasi rinci di setiap Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
tertentu dalam wilayahnya.
Bagian Kedua
Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 8
(1)
RSWP-3-K merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari rencana pembangunan jangka panjang setiap Pemerintah Daerah.
(2)
RSWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mempertimbangkan kepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(3)
Jangka waktu RSWP-3-K Pemerintah Daerah selama
20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun sekali.
Bagian Ketiga
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 9
(1)
RZWP-3-K merupakan arahan pemanfaatan sumber
daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi dan/atau
pemerintah kabupaten/kota.
(2)
RZWP-3-K diserasikan, diselaraskan, dan
diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah provinsi atau
pemerintah kabupaten/kota.
(3)
Perencanaan RZWP-3-K dilakukan dengan
mempertimbangkan:
a.
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan
daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi
ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan
dan keamanan;
b.
keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber
daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan
c.
kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses
Masyarakat dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.
(4)
Jangka waktu berlakunya RZWP-3-K selama 20 (dua
puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
(5)
RZWP-3-K ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Paragraf 1
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi
Pasal 10
RZWP-3-K Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
terdiri atas:
a.
pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan
Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut;
b.
keterkaitan antara Ekosistem darat dan Ekosistem
laut dalam suatu Bioekoregion;
c.
penetapan pemanfaatan ruang laut; dan
d.
penetapan prioritas Kawasan laut untuk tujuan
konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri strategis,
serta pertahanan dan keamanan.
Paragraf 2
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten/Kota
Pasal 11
(1)
RZWP-3-K Kabupaten/Kota berisi arahan tentang:
a.
alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan
Umum, rencana Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
dan rencana alur;
b.
keterkaitan antarekosistem Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dalam suatu Bioekoregion.
(2)
Penyusunan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diwajibkan mengikuti dan memadukan rencana Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dengan memperhatikan Kawasan, Zona, dan/atau Alur Laut yang telah
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Bagian Keempat
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 12
(1)
RPWP-3-K berisi:
a.
kebijakan tentang pengaturan serta prosedur
administrasi penggunaan sumber daya yang diizinkan dan yang dilarang;
b.
skala prioritas pemanfaatan sumber daya sesuai
dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c.
jaminan terakomodasikannya
pertimbangan-pertimbangan hasil konsultasi publik dalam penetapan tujuan
pengelolaan Kawasan serta revisi terhadap penetapan tujuan dan perizinan;
d.
mekanisme pelaporan yang teratur dan sistematis
untuk menjamin tersedianya data dan informasi yang akurat dan dapat diakses;
serta
e.
ketersediaan sumber daya manusia yang terlatih
untuk mengimplementasikan kebijakan dan prosedurnya.
(2)
RPWP-3-K berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
ditinjau kembali sekurang-kurangnya 1 (satu) kali.
Bagian Kelima
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 13
(1)
RAPWP-3-K dilakukan dengan mengarahkan Rencana
Pengelolaan dan Rencana Zonasi sebagai upaya mewujudkan rencana strategis.
(2)
RAPWP-3-K berlaku 1 (satu) sampai dengan 3
(tiga) tahun.
Bagian Keenam
Mekanisme Penyusunan Rencana
Pasal 14
(1)
Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K,
dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah serta dunia usaha.
(2)
Mekanisme penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K,
RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
dilakukan dengan melibatkan Masyarakat.
(3)
Pemerintah Daerah berkewajiban menyebarluaskan
konsep RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K untuk mendapatkan masukan,
tanggapan, dan saran perbaikan.
(4)
Bupati/walikota menyampaikan dokumen final
perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kabupaten/kota
kepada gubernur dan Menteri untuk diketahui.
(5)
Gubernur menyampaikan dokumen final perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil provinsi kepada Menteri dan
bupati/walikota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(6)
Gubernur atau Menteri memberikan tanggapan
dan/atau saran terhadap usulan dokumen final perencanaan pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja.
(7)
Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, maka dokumen final perencanaan
pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara
definitif.
Bagian Ketujuh
Data dan Informasi
Pasal 15
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengelola
data dan informasi mengenai Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(2)
Pemutakhiran data dan informasi dilakukan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah secara periodik dan didokumentasikan serta
dipublikasikan secara resmi, sebagai dokumen publik, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3)
Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dimanfaatkan oleh setiap Orang dan/atau pemangku kepentingan
utama dengan tetap memperhatikan kepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(4)
Setiap Orang yang memanfaatkan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan
data dan informasi kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kerja sejak dimulainya pemanfaatan.
(5)
Perubahan data dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan seizin Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
(6)
Pedoman pengelolaan data dan informasi tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diatur dalam Peraturan
Menteri.
BAB V
PEMANFAATAN
Bagian Kesatu
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
Pasal 16
(1)
Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam
bentuk HP-3.
(2)
HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar
laut.
Pasal 17
(1)
HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.
(2)
Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas
damai bagi kapal asing.
Pasal 18
HP-3 dapat diberikan kepada:
a.
Orang perseorangan warga negara Indonesia;
b.
Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia; atau
c.
Masyarakat Adat.
Pasal 19
(1)
HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun.
(2)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang tahap kesatu paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(3)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diperpanjang lagi untuk tahap kedua sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 20
(1)
HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan
jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.
(2)
HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3.
(3)
HP-3 berakhir karena:
a.
jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang
lagi;
b.
ditelantarkan; atau
c.
dicabut untuk kepentingan umum.
(4)
Tata cara pemberian, pendaftaran, dan pencabutan
HP-3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
(1)
Pemberian HP-3 wajib memenuhi persyaratan
teknis, administratif, dan operasional.
(2)
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a.
kesesuaian dengan rencana Zona dan/atau rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b.
hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran
dan volume pemanfaatannya; serta
c.
pertimbangan hasil pengujian dari berbagai
alternatif usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
(3)
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a.
penyediaan dokumen administratif;
b.
penyusunan rencana dan pelaksanaan pemanfaatan
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan daya dukung ekosistem;
c.
pembuatan sistem pengawasan dan pelaporan
hasilnya kepada pemberi HP-3; serta
d.
dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis
pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah.
(4)
Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk:
a.
memberdayakan Masyarakat sekitar lokasi
kegiatan;
b.
mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak
Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal;
c.
memperhatikan hak Masyarakat untuk mendapatkan
akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta
d.
melakukan rehabilitasi sumber daya yang
mengalami kerusakan di lokasi HP-3.
(5)
Penolakan atas permohonan HP-3 wajib disertai
dengan salah satu alasan di bawah ini:
a.
terdapat ancaman yang serius terhadap
kelestarian Wilayah Pesisir;
b.
tidak didukung bukti ilmiah; atau
c.
kerusakan yang diperkirakan terjadi tidak dapat
dipulihkan.
(6)
Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui pengumuman secara terbuka.
Pasal 22
HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka
perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
Bagian Kedua
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya
Pasal 23
(1)
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara
menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya.
(2)
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut:
a.
konservasi;
b.
pendidikan dan pelatihan;
c.
penelitian dan pengembangan;
d.
budidaya laut;
e.
pariwisata;
f.
usaha perikanan dan kelautan dan industri
perikanan secara lestari;
g.
pertanian organik; dan/atau
h.
peternakan.
(3)
Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan
pelatihan, serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan
perairan di sekitarnya wajib:
a.
memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
b.
memperhatikan kemampuan sistem tata air
setempat; serta
c.
menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
(4)
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan memenuhi persyaratan pada
ayat (3) wajib mempunyai HP-3 yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(5)
Untuk pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan
di sekitarnya yang telah digunakan untuk kepentingan kehidupan Masyarakat,
Pemerintah atau Pemerintah Daerah menerbitkan HP-3 setelah melakukan musyawarah
dengan Masyarakat yang bersangkutan.
(6)
Bupati/walikota memfasilitasi mekanisme
musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7)
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di
sekitarnya oleh Orang asing harus mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 24
Pulau Kecil, gosong, atol, dan gugusan karang yang
ditetapkan sebagai titik pangkal pengukuran perairan Indonesia ditetapkan oleh
Menteri sebagai kawasan yang dilindungi.
Pasal 25
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya
untuk tujuan observasi, penelitian, dan kompilasi data untuk pengembangan ilmu
pengetahuan wajib melibatkan lembaga dan/atau instansi terkait dan/atau pakar
setempat.
Pasal 26
Pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan Pulau-Pulau
Kecil dan perairan di sekitarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24,
dan Pasal 25 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 27
(1)
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil terluar dilakukan
oleh Pemerintah bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dalam upaya menjaga
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)
Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil terluar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Konservasi
Pasal 28
(1)
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
diselenggarakan untuk:
a.
menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil;
b.
melindungi alur migrasi ikan dan biota laut
lain;
c.
melindungi habitat biota laut; dan
d.
melindungi situs budaya tradisional.
(2)
Untuk kepentingan konservasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sebagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat
ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi.
(3)
Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan Ekosistem diselenggarakan
untuk melindungi:
a.
sumber daya ikan;
b.
tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota
laut lain;
c.
wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti
sasi, mane'e, panglima laot, awig-awig, dan/atau istilah lain adat tertentu;
dan
d.
ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan
terhadap perubahan.
(4)
Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(5)
Pengelolaan Kawasan Konservasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
berdasarkan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6)
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri menetapkan:
a.
kategori Kawasan Konservasi;
b.
Kawasan Konservasi nasional;
c.
pola dan tata cara pengelolaan Kawasan Konservasi;
dan
d.
hal lain yang dianggap penting dalam pencapaian
tujuan tersebut.
(7)
Pengusulan Kawasan Konservasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat,
dan/atau oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah berdasarkan ciri khas Kawasan yang
ditunjang dengan data dan informasi ilmiah.
Pasal 29
Kawasan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(2) dibagi atas tiga Zona, yaitu:
a.
Zona inti;
b.
Zona pemanfaatan terbatas; dan
c.
Zona lain sesuai dengan peruntukan Kawasan.
Pasal 30
Perubahan status Zona inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 untuk kegiatan eksploitasi yang dapat menimbulkan dampak besar dilakukan
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Pasal 31
(1)
Pemerintah Daerah menetapkan batas Sempadan
Pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik,
hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain.
(2)
Penetapan batas Sempadan Pantai mengikuti
ketentuan:
a.
perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami;
b.
perlindungan pantai dari erosi atau abrasi;
c.
perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari
badai, banjir, dan bencana alam lainnya;
d.
perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti
lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan
delta;
e.
pengaturan akses publik; serta
f.
pengaturan untuk saluran air dan limbah.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai batas sempadan
pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Rehabilitasi
Pasal 32
(1)
Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil wajib dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan Ekosistem dan/atau
keanekaragaman hayati setempat.
(2)
Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara:
a.
pengayaan sumber daya hayati;
b.
perbaikan habitat;
c.
perlindungan spesies biota laut agar tumbuh dan
berkembang secara alami; dan
d.
ramah lingkungan.
Pasal 33
(1)
Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dan/atau setiap Orang yang
secara langsung atau tidak langsung memperoleh manfaat dari Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Rehabilitasi
diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kelima
Reklamasi
Pasal 34
(1)
Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan
sosial ekonomi.
(2)
Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan:
a.
keberlanjutan kehidupan dan penghidupan
Masyarakat;
b.
keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta
c.
persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan
penimbunan material.
(3)
Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.
Bagian Keenam
Larangan
Pasal 35
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:
a.
menambang terumbu karang yang menimbulkan
kerusakan Ekosistem terumbu karang;
b.
mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;
c.
menggunakan bahan peledak, bahan beracun,
dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;
d.
menggunakan peralatan, cara, dan metode lain
yang merusak Ekosistem terumbu karang;
e.
menggunakan cara dan metode yang merusak
Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil;
f.
melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan
atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g.
menebang mangrove di kawasan konservasi untuk
kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain;
h.
menggunakan cara dan metode yang merusak padang
lamun;
i.
melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila
secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan
lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat
sekitarnya;
j.
melakukan penambangan minyak dan gas pada
wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya
menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau
merugikan Masyarakat sekitarnya;
k.
melakukan penambangan mineral pada wilayah yang
apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya
menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau
merugikan Masyarakat sekitarnya; serta
l.
melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan
kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.
BAB VI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36
(1)
Untuk menjamin terselenggaranya Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara terpadu dan berkelanjutan,
dilakukan pengawasan dan/atau pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di
bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, oleh pejabat tertentu
yang berwewenang di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sesuai dengan sifat pekerjaaannya dan diberikan wewenang kepolisian khusus.
(2)
Pengawasan dan/atau pengendalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang menangani bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai
dengan sifat pekerjaan yang dimilikinya.
(3)
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang:
a.
mengadakan patroli/perondaan di Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil atau wilayah hukumnya; serta
b.
menerima laporan yang menyangkut perusakan Ekosistem
Pesisir, Kawasan Konservasi, Kawasan Pemanfaatan Umum, dan Kawasan Strategis
Nasional Tertentu.
(4)
Wewenang Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dengan Peraturan Menteri.
(5)
Dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
pemantauan, pengamatan lapangan, dan/atau evaluasi terhadap perencanaan dan
pelaksanaannya.
(6)
Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan
dan pengendalian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 37
Pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan secara terkoordinasi oleh
instansi terkait sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 38
Pengawasan oleh Masyarakat dilakukan melalui penyampaian
laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap
perencanaan dan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Ketiga
Pengendalian
Paragraf 1
Program Akreditasi
Pasal 40
(1)
Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39, Pemerintah wajib menyelenggarakan akreditasi terhadap
program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(2)
Dalam hal penyelenggaraan akreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dapat melimpahkan wewenang penyelenggaraan
akreditasi kepada Pemerintah Daerah.
(3)
Standar dan Pedoman Akreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a.
relevansi isu prioritas;
b.
proses konsultasi publik;
c.
dampak positif terhadap pelestarian lingkungan;
d.
dampak terhadap peningkatan kesejahteraan
Masyarakat;
e.
kemampuan implementasi yang memadai; dan
f.
dukungan kebijakan dan program Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
(4)
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan
insentif kepada pengelola Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang telah mendapat akreditasi berupa:
a.
bantuan program sesuai dengan kemampuan
Pemerintah yang dapat diarahkan untuk mengoptimalkan program akreditasi;
dan/atau
b.
bantuan teknis.
(5)
Gubernur berwenang menyusun dan/atau mengajukan
usulan akreditasi program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang menjadi kewenangannya kepada Pemerintah sesuai dengan standar dan pedoman
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6)
Bupati/walikota berwenang menyusun dan/atau
mengajukan usulan akreditasi program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang menjadi kewenangannya kepada gubernur dan/atau Pemerintah
sesuai dengan standar dan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(7)
Organisasi Masyarakat dan/atau kelompok
Masyarakat dapat menyusun dan/atau mengajukan usulan akreditasi program
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kepada Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sesuai dengan standar dan pedoman sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai program
akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Mitra Bahari
Pasal 41
(1)
Dalam upaya peningkatan kapasitas pemangku
kepentingan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibentuk Mitra
Bahari sebagai forum kerja sama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, tokoh Masyarakat,
dan/atau dunia usaha.
(2)
Mitra Bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difasilitasi oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau dunia usaha.
(3)
Kegiatan Mitra Bahari difokuskan pada:
a.
pendampingan dan/atau penyuluhan;
b.
pendidikan dan pelatihan;
c.
penelitian terapan; serta
d.
rekomendasi kebijakan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Mitra
Bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 42
(1)
Untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan implementasi
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah melakukan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan
sumber daya manusia di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
secara berkelanjutan.
(2)
Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau
menyelenggarakan penelitian dan pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan
dalam pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar lebih efektif,
efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi dan ramah lingkungan, serta menghargai
kearifan tradisi atau budaya lokal.
Pasal 43
Penelitian dan pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dapat dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian dan
pengembangan swasta, dan/atau perseorangan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 44
Hasil penelitian bersifat terbuka untuk semua pihak, kecuali
hasil penelitian tertentu yang oleh Pemerintah dinyatakan tidak untuk
dipublikasikan.
Pasal 45
(1)
Setiap orang asing yang melakukan penelitian di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib terlebih dahulu memperoleh izin
dari Pemerintah.
(2)
Penelitian yang dilakukan oleh orang asing
dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mengikutsertakan peneliti Indonesia.
(3)
Setiap orang asing yang melakukan penelitian di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil harus menyerahkan hasil penelitiannya
kepada Pemerintah.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penelitian
dan pengembangan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 diatur dengan Peraturan
Presiden.
BAB VIII
PENDIDIKAN, PELATIHAN, DAN PENYULUHAN
Pasal 47
Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk meningkatkan
pengembangan sumber daya manusia di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 48
Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat bekerja sama
dengan berbagai pihak, baik di tingkat nasional, maupun di tingkat
internasional.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 48 diatur dengan Peraturan
Presiden.
BAB IX
KEWENANGAN
Pasal 50
(1)
Menteri berwenang memberikan HP-3 di wilayah
Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
(2)
Gubernur berwenang memberikan HP-3 di wilayah
Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai
ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir
lintas kabupaten/kota.
(3)
Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di
wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Pasal 51
(1)
Menteri berwenang menetapkan:
a.
HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
b.
Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang
menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan, dan
c.
Perubahan status Zona inti pada Kawasan
Konservasi Perairan nasional.
(2)
Penetapan HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilakukan setelah memperhatikan pertimbangan DPR.
(3)
Tata cara penetapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 52
(1)
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2)
Untuk meningkatkan efektivitas Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah dapat melakukan pendampingan
terhadap Pemerintah Daerah dalam merumuskan dan melaksanakan Rencana Aksi Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(3)
Dalam upaya mendorong percepatan pelaksanaan
otonomi daerah di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pemerintah dapat
membentuk unit pelaksana teknis pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 53
(1)
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu di bawah koordinasi
Menteri.
(2)
Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
penilaian setiap usulan rencana kegiatan
tiap-tiap sektor sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil terpadu;
b.
perencanaan sektor, daerah, dan dunia usaha yang
bersifat lintas provinsi dan kawasan tertentu;
c.
program akreditasi nasional;
d.
rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan
kewenangan tiap-tiap instansi Pemerintah; serta
e.
penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang bersifat lintas provinsi dan Kawasan
tertentu yang bertujuan strategis.
(3)
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 54
(1)
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil pada tingkat provinsi dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasikan
oleh dinas yang membidangi Kelautan dan Perikanan.
(2)
Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
penilaian setiap usulan rencana kegiatan
tiap-tiap dinas otonom atau badan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu Provinsi;
b.
perencanaan tiap-tiap instansi daerah,
antarkabupaten/kota, dan dunia usaha;
c.
program akreditasi skala provinsi;
d.
rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan
kewenangan instansi vertikal di daerah, dinas otonom, atau badan daerah;
e.
penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di provinsi.
(3)
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur oleh gubernur.
Pasal 55
(1)
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil pada tingkat kabupaten/kota dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasi
oleh dinas yang membidangi kelautan dan perikanan.
(2)
Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
penilaian setiap usulan rencana kegiatan
tiap-tiap pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
b.
perencanaan antarinstansi, dunia usaha, dan
masyarakat;
c.
program akreditasi skala kabupaten/kota;
d.
rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan
kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan daerah; serta
e.
penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala kabupaten/kota.
(3)
Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur oleh bupati/walikota.
BAB X
MITIGASI BENCANA
Pasal 56
Dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan jenis, tingkat, dan
wilayahnya.
Pasal 57
Mitigasi bencana Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilakukan dengan melibatkan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau Masyarakat.
Pasal 58
Penyelenggaraan mitigasi bencana Wilayah Pesisir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 dilaksanakan dengan memperhatikan aspek:
a.
sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat;
b.
kelestarian lingkungan hidup;
c.
kemanfaatan dan efektivitas; serta
d.
lingkup luas wilayah.
Pasal 59
(1)
Setiap Orang yang berada di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil wajib melaksanakan mitigasi bencana terhadap kegiatan yang
berpotensi mengakibatkan kerusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(2)
Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui kegiatan struktur/fisik dan/atau nonstruktur/nonfisik.
(3)
Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditentukan oleh instansi yang berwenang.
(4)
Ketentuan mengenai mitigasi bencana dan
kerusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XI
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 60
(1)
Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
a.
memperoleh akses terhadap perairan yang telah
ditetapkan HP-3;
b.
memperoleh kompensasi karena hilangnya akses
terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi lapangan kerja
untuk memenuhi kebutuhan akibat pemberian HP-3 sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
c.
melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
d.
memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
e.
memperoleh informasi berkenaan dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f.
mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak
yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan
pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g.
menyatakan keberatan terhadap rencana
pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
h.
melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran
dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan
kehidupannya;
i.
mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap
berbagai masalah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
serta
j.
memperoleh ganti kerugian.
(2)
Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:
a.
memberikan informasi berkenaan dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b.
menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c.
menyampaikan laporan terjadinya bahaya,
pencemaran, dan/atau perusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil;
d.
memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e.
melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.
Pasal 61
(1)
Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi
hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara
turun-temurun.
(2)
Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat
Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan
acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
berkelanjutan.
Pasal 62
(1)
Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(2)
Ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
BAB XII
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pasal 63
(1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
memberdayakan Masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya.
(2)
Pemerintah wajib mendorong kegiatan usaha
Masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang berdaya guna dan berhasil guna.
(3)
Dalam upaya pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan
tanggung jawab dalam:
a.
pengambilan keputusan;
b.
pelaksanaan pengelolaan;
c.
kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan
Pemerintah/Pemerintah Daerah;
d.
pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di
bidang lingkungan hidup;
e.
pengembangan dan penerapan upaya preventif dan
proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung dan daya tampung Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil;
f.
pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang
ramah lingkungan;
g.
penyediaan dan penyebarluasan informasi
lingkungan; serta
h.
pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa
di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(4)
Ketentuan mengenai pedoman Pemberdayaan
Masyarakat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 64
(1)
Penyelesaian sengketa dalam Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar
pengadilan.
(2)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 65
(1)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dilakukan para pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu guna mencegah terjadinya atau
terulangnya dampak besar sebagai akibat tidak dilaksanakannya Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(3)
Dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang
memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang tidak memiliki kewenangan
mengambil keputusan untuk membantu penyelesaian sengketa.
(4)
Hasil kesepakatan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan harus dinyatakan secara tertulis dan bersifat mengikat para pihak.
Pasal 66
(1)
Setiap Orang dan/atau penanggung jawab kegiatan
yang melawan hukum dan mengakibatkan kerusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini wajib membayar ganti kerugian
kepada negara dan/atau melakukan tindakan tertentu berdasarkan putusan
pengadilan.
(2)
Tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa kewajiban untuk melakukan rehabilitasi dan/atau pemulihan kondisi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(3)
Pelaku perusakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib membayar biaya rehabilitasi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
kepada negara.
(4)
Selain pembebanan untuk melakukan tindakan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hakim dapat menetapkan sita
jaminan dan jumlah uang paksa (dwangsom) atas setiap hari keterlambatan
pembayaran.
Pasal 67
(1)
Setiap Orang dan/atau penanggung jawab kegiatan
yang mengelola Wilayah Pesisir Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bertanggung jawab
secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
dengan kewajiban mengganti kerugian sebagai akibat tindakannya.
(2)
Pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat
dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disebabkan oleh
salah satu alasan berikut:
a.
bencana alam;
b.
peperangan;
c.
keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia
(force majeure); atau
d.
tindakan pihak ketiga.
(3)
Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan
kesengajaan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, pihak
ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian.
BAB XIV
GUGATAN PERWAKILAN
Pasal 68
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke
pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
(1)
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, organisasi kemasyarakatan
berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan.
(2)
Organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan berikut:
a.
merupakan organisasi resmi di wilayah tersebut
atau organisasi nasional;
b.
berbentuk badan hukum;
c.
memiliki anggaran dasar yang dengan tegas
menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian
lingkungan; dan
d.
telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
(3)
Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya
tuntutan ganti kerugian kecuali penggantian biaya atau pengeluaran yang
nyata-nyata dibayarkan.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 70
(1)
Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2)
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyidik pegawai negeri sipil.
(3)
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berwenang:
a.
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang
tentang adanya tindak pidana bidang kelautan dan perikanan di Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil;
b.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
atau keterangan tentang adanya tindak pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
d.
melakukan pemeriksaan prasarana Wilayah Pesisir
dan menghentikan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
e.
menyegel dan/atau menyita alat-alat kegiatan
yang digunakan untuk melakukan tindak pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagai alat bukti;
f.
mendatangkan Orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tindak pidana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil;
g.
membuat dan menandatangani berita acara
pemeriksaan;
h.
melakukan penghentian penyidikan; dan
i.
mengadakan tindakan lain menurut hukum.
(4)
Penyidik pejabat pegawai negeri sipil
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(5)
Penyidik pejabat pegawai negeri sipil
menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
BAB XVI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 71
(1)
Pelanggaran terhadap persyaratan sebagaimana
tercantum di dalam HP-3 dikenakan sanksi administratif.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) berupa peringatan, pembekuan sementara, denda administratif,
dan/atau pencabutan HP-3.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai denda
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 72
(1)
Dalam hal program Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil tidak dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan,
Pemerintah dapat menghentikan dan/atau menarik kembali insentif yang telah
diberikan kepada Pemerintah Daerah, pengusaha, dan Masyarakat yang telah
memperoleh Akreditasi.
(2)
Pemerintah Daerah, pengusaha, dan Masyarakat
wajib memperbaiki ketidaksesuaian antara program pengelolaan dan dokumen
perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Dalam hal Pemerintah Daerah, pengusaha, dan
Masyarakat tidak melakukan perbaikan terhadap ketidaksesuaian pada ayat (2),
Pemerintah dapat melakukan tindakan:
a.
pembekuan sementara bantuan melalui Akreditasi;
dan/atau
b.
pencabutan tetap Akreditasi program.
BAB XVII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 73
(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja:
a.
melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil
terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan
beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu
karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d;
b.
menggunakan cara dan metode yang merusak
Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove
untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g;
c.
menggunakan cara dan metode yang merusak padang
lamun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf h;
d.
melakukan penambangan pasir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf i.
e.
melakukan penambangan minyak dan gas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf j.
f.
melakukan penambangan mineral sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf k.
g.
melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan
kerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf l.
h.
tidak melaksanakan mitigasi bencana di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diakibatkan oleh alam dan/atau Orang
sehingga mengakibatkan timbulnya bencana atau dengan sengaja melakukan kegiatan
yang dapat mengakibatkan terjadinya kerentanan bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (1).
(2)
Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) karena kelalaian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 74
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang
yang karena kelalaiannya:
a.
tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); dan/atau
b.
tidak melaksanakan kewajiban reklamasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2).
Pasal 75
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang
yang karena kelalaiannya:
a.
melakukan kegiatan usaha di Wilayah Pesisir
tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau
b.
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 76
Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
serta lembaga/instansi yang telah ditunjuk untuk melaksanakannya masih tetap
berlaku dan menjalankan kewenangannya sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
Pasal 77
Setiap instansi yang terkait dengan Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjalankan tugas pokok dan fungsi serta
kewenangannya secara terpadu sesuai dengan Undang-Undang ini.
Pasal 78
Semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ada, sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 79
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah
ditetapkan paling lambat:
a.
Peraturan Pemerintah yang diamanatkan
Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 12 (dua belas) bulan terhitung
sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
b.
Peraturan Presiden yang diamanatkan
Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak
Undang-Undang ini diberlakukan.
c.
Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-Undang
ini diselesaikan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini
diberlakukan.
Pasal 80
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 17 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 17 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 84
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2007
TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
I.
UMUM
1.
Dasar Pemikiran Dalam satu dekade ini terdapat
kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan mengalami
kerusakan akibat aktivitas Orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat
bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang
bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak
kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan
perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi
pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan
kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan,
terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak
masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil seperti sasi, mane'e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu
belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah.
Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor
penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk
dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya non-hayati disubstitusi
dengan sumber daya lain.
Oleh sebab itu, keunikan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya
akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola
secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian
wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk
mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi
insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut disusun dalam lingkup
perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan
memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725). Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan pada norma hukum yang belum
diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih
spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan
memberikan peran kepada Pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku
kepentingan baik kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan
internasional melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu. Sesuai dengan hakikat
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang
jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya
pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum itu dilandasi
oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Tujuan penyusunan Undang-Undang ini adalah:
a.
menyiapkan peraturan setingkat undang-undang
mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang
menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan
konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan
pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait;
b.
membangun sinergi dan saling memperkuat
antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang
harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik
kewenangan antar kegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta
c.
memberikan kepastian dan perlindungan hukum
serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat
pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.
3.
Ruang Lingkup Undang-Undang ini diberlakukan di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara
pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi
kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Lingkup
pengaturan Undang-Undang ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian yaitu
perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian, dengan uraian
sebagai berikut:
a.
Perencanaan - Perencanaan dilakukan melalui
pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu
(Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang
disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling
penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan
berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan, antara
ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen.
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat
mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta memperhatikan karakteristik dan
keunikan wilayah tersebut.
Perencanaan terpadu itu merupakan
suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi
secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut
disertai dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin
timbul dan mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana
strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana
aksi.
b.
Pengelolaan - Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan kebijakan pengaturan sebagai berikut:
Pemanfaatan dan pengusahaan
perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan melalui pemberian izin
pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan
diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan
masing-masing instansi terkait.
1
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3)
diberikan di Kawasan perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum
kecuali yang telah diatur secara tersendiri.
2
Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan,
pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat,
kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.
3
Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dalam
satu gugus pulau atau kluster dengan memperhatikan keterkaitan ekologi,
keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion
dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.
Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi
dan populasi penduduknya padat. Namun, sebagian besar penduduknya relatif
miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang menjadi sumber penghidupannya. Apabila diabaikan, hal
itu akan berimplikasi meningkatnya kerusakan Ekosistem pesisir dan pulau-pulau
kecil. Selain itu, masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan pembangunan
ekonomi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sering kali memarginalkan
penduduk setempat. Oleh sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan
masyarakat.
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan agar
dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat.
Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat
menyeimbangkan tingkat pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan
datang melalui pengembangan Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai.
c.
Pengawasan dan Pengendalian Pengawasan dan
pengendalian dilakukan untuk:
1
mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana
strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan
tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir;
2
mendorong agar pemanfaatan sumber daya di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah
pesisirnya;
3
memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik
berupa sanksi administrasi seperti pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi
perdata seperti pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa
penahanan ataupun kurungan.
4
Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini merupakan landasan penyesuaian dengan
ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang lain.
Undang-Undang ini mempunyai
hubungan saling melengkapi dengan undang-undang lain seperti:
a.
undang-undang yang mengatur perikanan;
b.
undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah;
c.
undang-undang yang mengatur kehutanan;
d.
undang-undang yang mengatur pertambangan umum,
minyak, dan gas bumi;
e.
undang-undang yang mengatur penataan ruang;
f.
undang-undang yang mengatur pengelolaan
lingkungan hidup;
g.
undang-undang yang mengatur pelayaran;
h.
undang-undang yang mengatur konservasi sumber
daya alam dan ekosistem;
i.
undang-undang yang mengatur peraturan dasar
pokok agraria;
j.
undang-undang yang mengatur perairan;
k.
undang-undang yang mengatur kepariwisataan;
l.
undang-undang yang mengatur perindustrian dan
perdagangan;
m.
undang-undang yang mengatur sumber daya air;
n.
undang-undang yang mengatur sistem perencanaan
pembangunan nasional; dan
o.
undang-undang yang mengatur arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa.
Undang-Undang ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai landasan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang dilaksanakan oleh berbagai sektor terkait. Dengan demikian, dapat
dihindarkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan.
II.
PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi
Wilayah Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di
daratan dan ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau
Kecil dan perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai
potensi cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber daya, lingkungan, dan
masyarakat.
Dalam implementasinya, ke arah laut ditetapkan sejauh 12
(dua belas) mil diukur dari garis pantai sebagaimana telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas
kecamatan untuk kewenangan provinsi.
Kewenangan kabupaten/kota ke arah laut ditetapkan sejauh
sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan
ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan.
Pasal 3
Huruf a
Asas keberlanjutan diterapkan
agar:
1.
pemanfaatan sumber daya tidak melebihi kemampuan
regenerasi sumber daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber daya
non-hayati pesisir;
2.
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir saat ini tidak
boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang
atas sumber daya pesisir; dan
3.
pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya
harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang
memadai.
Huruf b
Asas konsistensi merupakan
konsistensi dari berbagai instansi dan lapisan pemerintahan, dari proses
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan untuk melaksanakan
program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah
diakreditasi.
Huruf c
Asas keterpaduan dikembangkan
dengan:
1.
mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan
berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara
pemerintah dan pemerintah daerah;dan
2.
mengintegrasikan ekosistem darat dengan
ekosistem laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk membantu proses pengambilan putusan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Huruf d
Asas kepastian hukum diperlukan
untuk menjamin kepastian hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil secara jelas dan dapat dimengerti dan ditaati oleh semua
pemangku kepentingan; serta keputusan yang dibuat berdasarkan mekanisme atau
cara yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Huruf e
Asas kemitraan merupakan
kesepakatan kerja sama antarpihak yang berkepentingan berkaitan dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Huruf f
Asas pemerataan ditujukan pada
manfaat ekonomi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dinikmati
oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Huruf g
Asas peran serta masyarakat
dimaksudkan:
1.
agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
mempunyai peran dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan
pengendalian;
2.
memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui
kebijaksanaan pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan
sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil;
3.
menjamin adanya representasi suara masyarakat
dalam keputusan tersebut;
4.
memanfaatkan sumber daya tersebut secara adil.
Huruf h
Asas keterbukaan dimaksudkan
adanya keterbukaan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, dari tahap perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, sampai
tahap pengawasan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara.
Huruf i
Asas desentralisasi merupakan
penyerahan wewenang pemerintahan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di bidang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Huruf j
Asas akuntabilitas dimaksudkan
bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Huruf k
Asas keadilan merupakan asas yang
berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak
sewenang-wenang dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Dua faktor yang mempengaruhi keberlanjutan sumber daya di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ialah:
a.
interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya
dan jasa-jasa lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti
pembangunan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perikanan destruktif,
reklamasi pantai, pemanfaatan mangrove dan pariwisata bahari;dan
b.
proses-proses alamiah seperti abrasi, sedimentasi,
ombak, gelombang laut, arus, angin, salinitas, pasang surut, gempa tektonik,
dan tsunami.
Pasal 6
Integrasi antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip
manajemen merupakan pengelolaan terpadu yang didasarkan pada input data dan
informasi ilmiah yang valid untuk memberikan berbagai alternatif dan
rekomendasi bagi pengambil putusan dengan mempertimbangkan kondisi dan
karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya, kelembagaan, dan biogeofisik
lingkungan setempat.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelibatan masyarakat berdasarkan
norma, standar, dan pedoman dilakukan melalui konsultansi publik dan/atau
musyawarah adat, baik formal maupun nonformal.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
RSWP-3-K Provinsi dan
Kabupaten/Kota disusun berdasarkan isu Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil yang aktual, seperti halnya degradasi sumber daya, masyarakat
tertinggal, konflik pemanfaatan dan kewenangan, bencana alam di Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, dan jaminan kepastian hukum guna mencapai tujuan yang
ditetapkan.
Ayat (2)
Kepentingan pusat dan daerah
merupakan keterpaduan dalam bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil seperti pertahanan negara, wilayah perbatasan negara, kawasan konservasi,
alur pelayaran internasional, Kawasan migrasi ikan dan kawasan perjanjian
internasional di bidang kelautan dan perikanan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
RSWP-3-K Provinsi dan
Kabupaten/Kota merupakan bagian dari Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota
sesuai dengan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Jangka waktu berlakunya RSWP-3-K
Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan jangka waktu Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yaitu 20 (dua
puluh) tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (3), dan Pasal 26 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ayat (5)
RSWP-3-K Provinsi ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Provinsi sejalan dengan Pasal 23 ayat (3), dan RSWP-3-K
Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sejalan dengan
Pasal 26 ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Pasal 10
RZWP-3-K Provinsi mencakup wilayah perencanaan daratan dari
kecamatan pesisir sampai wilayah perairan paling jauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan
dalam satu hamparan ruang yang saling terkait antara ekosistem daratan dan
perairan lautnya. Skala peta Rencana Zonasi disesuaikan dengan tingkat
ketelitian peta rencana tata ruang wilayah provinsi, sesuai dengan Pasal 14
ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Huruf a
Kawasan pemanfaatan umum yang
setara dengan kawasan budidaya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, merupakan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi,
sosial budaya, seperti kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri
maritim, pariwisata, pemukiman, dan pertambangan.
Kawasan Konservasi dengan fungsi
utama melindungi kelestarian sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
setara dengan kawasan lindung dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
Alur laut merupakan perairan yang
dimanfaatkan, antara lain, untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan
migrasi biota laut.
Kawasan Strategis Nasional
Tertentu memperhatikan kriteria; batas-batas maritim kedaulatan negara; kawasan
yang secara geopolitik, pertahanan dan keamanan negara; situs warisan dunia;
pulau-pulau kecil terluar yang menjadi titik pangkal dan/atau habitat biota
endemik dan langka.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pemanfaatan ruang laut antara lain
untuk kegiatan pelabuhan, penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, industri, dan
permukiman.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
RZWP-3-K kabupaten/kota mencakup
wilayah perencanaan daratan dari kecamatan pesisir sampai 1/3 (sepertiga)
wilayah perairan kewenangan provinsi. Pemerincian perencanaan pada tiap-tiap
zona, dan tingkat ketelitian skala peta perencanaan disesuaikan dengan rencana
tata ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (5),
ayat (6), dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Penggunaan sumber daya yang
diizinkan merupakan penggunaan sumber daya yang tidak merusak ekosistem Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.
Penggunaan sumber daya yang
dilarang adalah penggunaan sumber daya yang berpotensi merusak Ekosistem
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Huruf b
Karakteristik Wilayah Pesisir
merupakan daerah yang memiliki produktivitas hayati dan intensitas pembangunan
yang tinggi serta memiliki perubahan sifat ekologi yang dinamis.
Pulau-Pulau Kecil merupakan
pengertian yang terintegrasi satu dengan yang lainnya, baik secara fisik,
ekologis, sosial, budaya, maupun ekonomi dengan karakteristik sebagai berikut:
a.
terpisah dari pulau besar;
b.
sangat rentan terhadap perubahan yang disebabkan
alam dan/atau disebabkan manusia;
c.
memiliki keterbatasan daya dukung pulau;
d.
apabila berpenghuni, penduduknya mempunyai
kondisi sosial dan budaya yang khas;
e.
ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan
ekonomi luar pulau, baik pulau induk maupun kontinen.
Huruf c
Hasil-hasil konsultasi publik
sesuai dengan kesepakatan yang transparan, demokratis, dan tercatat dalam
dokumen konsultasi publik.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Masukan, tanggapan, saran, dan
perbaikan dari berbagai pemangku kepentingan utama, instansi Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya disampaikan
secara efektif melalui jalur komunikasi yang tersedia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Pemerintah provinsi wajib
melakukan perbaikan serta memublikasikan dokumen final perencanaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan masukan, tanggapan, dan saran
perbaikan yang diterima dari pihak penanggap.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Dalam hal dokumen final
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak mendapat
tanggapan dan/atau saran sampai batas waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang
ini maka dokumen tersebut dianggap final.
Pasal 15
Ayat (1)
Data dan informasi yang dimaksud
bersifat akurat, dapat dipertanggungjawabkan, terkini, dan sesuai kebutuhan
mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ayat (2)
Publikasi resmi dimaksud antara
lain melalui berita negara pada tingkat nasional, berita daerah pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Jaminan utang merupakan utang yang
dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat berupa utang yang telah ada
atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat
permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan
perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang
piutang yang bersangkutan.
Hak tanggungan yang melekat pada
HP-3 merupakan hak jaminan yang dibebankan pada HP-3, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan HP-3, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan pada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Hak tanggungan dapat diberikan
untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau satu utang atau
lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud ditelantarkan
merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemegang HP-3 dengan tidak berbuat
sesuatu terhadap perairan pesisir selama tiga tahun berturut-turut.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (4)
Pendaftaran HP-3 merupakan
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus,
berkesinambungan, dan teratur yang meliputi pengukuran, pengolahan, pembukuan, dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan
daftar mengenai bidang-bidang perairan, termasuk pemberian sertifikat HP-3.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Suaka perikanan merupakan kawasan perairan tertentu baik air
payau maupun air laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat
berlindung atau berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi
sebagai daerah perlindungan.
Alur pelayaran merupakan bagian dari perairan baik alami
maupun buatan yang dari segi kedalaman, lebar, dan hambatan pelayaran lainnya
dianggap aman untuk dilayari.
Kawasan pelabuhan meliputi daerah lingkungan kerja dan
daerah lingkungan kepentingan pelabuhan.
Pantai umum merupakan bagian dari kawasan pemanfaatan umum
yang telah dipergunakan masyarakat antara lain untuk kepentingan kegiatan
sosial, budaya, rekreasi pariwisata, olah raga, dan ekonomi.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Kawasan yang dilindungi merupakan kawasan yang harus tetap
dipertahankan keberadaannya dari kerusakan lingkungan, baik yang diakibatkan
oleh tindakan manusia maupun yang diakibatkan oleh alam untuk menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Menjaga kelestarian ekosistem
pesisir meliputi upaya untuk melindungi gumuk pasir, estuari, lagoon, teluk,
delta, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Situs budaya tradisional antara
lain: tempat tenggelamnya kapal yang mempunyai nilai arkeologi-historis khusus,
situs sejarah kemaritiman, dan tempat ritual keagamaan atau adat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Ekosistem pesisir yang unik
misalnya gumuk pasir di pantai selatan Jogyakarta, lagoon Segara Anakan,
ekosistem pesisir kepulauan Derawan sebagai habitat peneluran penyu laut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 29
Huruf a
Zona inti merupakan bagian dari
Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dilindungi,
yang ditujukan untuk perlindungan habitat dan populasi Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta pemanfaatannya hanya terbatas untuk penelitian.
Huruf b
Zona pemanfaatan terbatas
merupakan bagian dari zona konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
pemanfaatannya hanya boleh dilakukan untuk budidaya pesisir, ekowisata, dan
perikanan tradisional.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 30
Lihat Penjelasan Pasal 50 ayat (1).
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Pengayaan sumber daya hayati
dilakukan terhadap jenis-jenis ikan yang telah mengalami penurunan populasi.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Reklamasi di wilayah pesisir hanya
boleh dilakukan apabila manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar
daripada biaya sosial dan biaya ekonominya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Pemanfaatan secara langsung merupakan kegiatan perseorangan
atau badan hukum dalam memanfaatkan sebagian dari wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil untuk kegiatan pokoknya.
Pemanfaatan secara tidak langsung merupakan kegiatan
perseorangan atau badan hukum dalam memanfaatkan sebagian dari wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil untuk menunjang kegiatan pokoknya.
Huruf a
Yang dimaksud dengan penambangan
terumbu karang adalah pengambilan terumbu karang dengan sengaja untuk digunakan
sebagai bahan bangunan, ornamen aquarium, kerajinan tangan, industri dan
kepentingan lainnya sehingga tutupan karang hidupnya kurang dari 50% (lima
puluh persen) pada kawasan yang diambil.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Penebangan mangrove pada kawasan
yang telah dialokasikan dalam perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil untuk budidaya perikanan diperbolehkan sepanjang memenuhi
kaidah-kaidah konservasi.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat 1
Pengawasan dengan wewenang
kepolisian khusus adalah pengawas yang melakukan kegiatan patroli dan tugas
polisional lainnya, di luar tugas penyidikan.
Pengawas merupakan pegawai negeri
sipil di instansi yang membidangi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Pengawas atau penyidik pegawai
negeri sipil (PPNS) tertentu melakukan patroli secara aktif, tetapi tetap
menampung laporan dari masyarakat tentang pelanggaran dan kegiatan perusakan
pesisir dan pulau-pulau kecil melalui sistem pengawasan berbasis masyarakat.
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Kegiatan pengawasan dan
pengendalian dilakukan untuk:
a.
mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan dari
rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta bagaimana
implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir;
b.
mendorong agar pemanfaatan sumber daya di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah
pesisirnya; serta
c.
menegakkan hukum yang dilaksanakan dengan
memberikan sanksi terhadap pelanggar yang berupa sanksi administrasi, sanksi
perdata, dan/atau sanksi pidana.
Ayat 6
Masyarakat mempunyai peran penting
dalam pengawasan dan pengendalian Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil melalui:
a.
perencanaan pengelolaan dengan berdasarkan adat
budaya dan praktik-praktik yang lazim atau yang telah ada di dalam masyarakat,
b.
pelaksanaan pengelolaan dengan memunculkan
kreativitas dan kemandirian dalam hal jumlah dan variasi pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi di
tempat-tempat yang sebelumnya belum dapat dimanfaatkan, sehingga wilayah
kegiatan pengawasan dan pengendalian dapat diperluas.
c.
penyelesaian konflik mengenai aturan-aturan baru
yang sengaja dibuat oleh masyarakat karena kebutuhan sendiri ataupun
aturan-aturan yang difasilitasi oleh pemerintah.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Insentif yang dapat diberikan berupa:
a.
bantuan program meliputi:
1.
program yang disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan;
2.
pengakuan formal dalam bentuk persetujuan atau
sertifikasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah atas program yang
diajukan oleh pengelola Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil; serta
3.
konsistensi Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah dalam pelaksanaan program.
b.
bantuan teknis meliputi dukungan sumber daya
manusia baik kualitas maupun kuantitas, dukungan peralatan, peningkatan
pengetahuan, komunikasi, serta sosialisasi kepada masyarakat.
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Penetapan Kawasan Strategis
Nasional Tertentu (KSNT), dengan mekanisme sebagai berikut:
a.
Menteri mengajukan permohonan pertimbangan ke
Dewan Perwakilan Rakyat,
b.
Dewan Perwakilan Rakyat bersama Menteri
mengadakan Rapat Kerja untuk melakukan pembahasan permohonan pertimbangan,
huruf a tersebut di atas,
c.
Menteri membentuk Tim Penelitian terpadu yang
bersifat independen yang terdiri dari unsur Pemerintah, Perguruan Tinggi,
otoritas ilmiah (scientific authority), pihak lain yang dianggap terkait,
d.
Hasil penelitian terpadu disampaikan ke Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dijadikan dasar dalam memberikan pertimbangan kepada
Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Huruf a
Kawasan strategis nasional
tertentu antara lain untuk kepentingan geopolitik, pertahanan dan keamanan,
Kawasan rawan bencana besar, perubahan status Zona Inti pada Kawasan Konservasi
laut nasional, Pulau-Pulau Kecil terluar, dan Kawasan habitat biota endemik.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan HP-3 oleh Menteri di
Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), izin pemanfaatan pulau-pulau kecil
yang menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan, perubahan status Zona inti
pada kawasan konservasi perairan Nasional ditempuh dengan mekanisme:
a.
Menteri mengajukan permohonan pertimbangan ke
Dewan Perwakilan Rakyat,
b.
Dewan Perwakilan Rakyat meminta Menteri untuk
dilakukan penelitian terpadu oleh Tim Independen,
c.
Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin
objektivitas dan kualitas hasil penelitian diselenggarakan oleh lembaga
pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific
authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait,
d.
Hasil penelitian terpadu disampaikan ke Dewan
Perwakilan Rakyat, untuk dijadikan dasar dalam memberikan pertimbangan kepada
Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Mitigasi dilakukan untuk
mengurangi risiko bencana bagi Masyarakat yang berada di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil rawan bencana. Kegiatan mitigasi dilakukan melalui kegiatan
struktur/fisik dan/atau nonstruktur/nonfisik.
Ayat (2)
Kegiatan struktur/fisik meliputi
pembangunan sistem peringatan dini, pembangunan sarana prasarana, dan/atau
pengelolaan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana. Kegiatan non
struktur/nonfisik meliputi penyusunan peraturan perundang-undangan, penyusunan
peta rawan bencana, penyusunan peta risiko bencana, penyusunan analisis
mengenai dampak lingkungan (AMDAL), penyusunan tata ruang, penyusunan zonasi,
pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Penyelesaian sengketa diatur sebagai berikut:
1.
Setiap sengketa yang berkaitan dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diupayakan untuk diselesaikan
di luar pengadilan.
2.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan
para pihak dengan cara konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, arbitrase atau melalui adat istiadat/kebiasaan/kearifan lokal.
3.
Penyelesaian sengketa Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh
putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti kerugian, atau tindakan
tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan
tertentu antara lain:
1.
memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah
sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
2.
memulihkan fungsi lingkungan wilayah pesisir;
3.
menghilangkan atau memusnahkan penyebab
timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir.
Yang dimaksud dengan biaya atau
pengeluaran nyata adalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah
dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, misalnya biaya bahan, tenaga dan alat-alat untuk
tindakan sementara guna mencegah dampak negatif yang lebih besar.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) melakukan penyidikan pelanggaran ketentuan di bidang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ayat (3)
1.
Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
2.
Penyidik memiliki kewenangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini antara lain melakukan pemeriksaan atas kebenaran
laporan dan keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, meminta keterangan dan atau bahan bukti
dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4739
Tidak ada komentar:
Posting Komentar