qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
|
SELAYANG PANDANG RUU CONTEMPT OF COURT
(SUATU OTOKRITIK)
DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
HAKIM YUSTISIAL PADA MAHKAMAH AGUNG RI
|
SELAYANG PANDANG RUU
CONTEMPT OF COURT
(SUATU OTOKRITIK)
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A.
PENDAHULUAN
Dunia
peradilan saat ini sedang mengalami masa pancaroba, yaitu dengan menurunnya
tingkat kepercayaan masyarakat sebagai pencari keadilan terhadap kinerja
aparatur pengadilan. Tidak hanya badan peradilan umum yang menjadi sorotan,
akan tetapi juga badan peradiln yang laain seperti badapan peradilan agama,
badan peradilan tata usaha negara dan badan peradilan militer. Harus diakui
bahwa merosostnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparatur
pengadilan, juga disebabkan karena adanya oknum aparatur pengadilan yang ibarat
kata, memancing di air keruh, yaitu memanfaatkan ketidaktahuan para pencari
keadilan demi keuntungan pribadi maupun golongannya.
Rasa
ketidakpercayaan dari masyarakat pencari keadilan tersebut, seringkali
diungkapkan selama jalannya proses persidangan, baik dengan cara mengeluarkan
kata-kata yang bersifat merendahkan martabat pengadilan atau bahkan sampai
menggunakan kekuatan raga baik tangan maupun kaki untuk menghalangi jalannya
persidangan atau tidak menutup kemungkinan merusak fasilitas yang ada di kantor
pengadilan. Masayarakat masih belum paham bahwa adanya kantor pengadilan adalah
demi terlayaninya kebutuhan hukum dari para pencari keadilan dan pengadaan
kantor pengadilan beserta isinya baik berupa perlengkapan persidangan maupun
aparaturnya disiapkan negara dengan menggunakan uang yang terkumpul dari pajak
yang dibayarkan oleh masyarakat. Rusaknya fasilitas kantor pengadilan maupun
terhambatnya proses persidangan atau bahkan apabila sampai terjadi perbuatan
yang merendahkan martabat pengadilan yang menimbulkan korban luka maupun nyawa,
tentunya sangat disayangkan karena tidak hanya merugikan masyarakat yang telah
dengan rela membayar pajak yang pajaknya digunakan untuk operasional kantor
pengadilan, juga merugikan para pencari keadilan itu sendiri yaitu karena
tertundanya upaya mendapatkan keadilan.
Dalam
hal ini, apabila terjadi suatu tindakan yang bersifat merendahkan martabat
pengadilan, seyogyanya badan peradilan memiliki perangkat yang dapat melindungi
dirinya ketika terjadi dan munculnya tindakan yang merendahkan martabat
pengadilan. Sehingga marwah dari pengadilan tidak tercoreng dan pengadilan
dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada para pencari keadilan.
B.
Rancangan
Undang-Undang Contempt of Court. Suatu keniscayaan yang terlupakan
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting
dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan
menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila
masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu
sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik,
hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum
administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum
adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari
hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula
berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[2]
Dengan berjalannya hukum yang diaplikasikan
oleh badan-badan peradilan dengan tujuan memberikan keadilan bagi masyarakat
pencari keadilan, maka mau tidak mau badan peradilan haruslah terjaga harga
dirinya dari tindakan-tindakan yang bersifat merendahkan harga diri badan
peradilan. Tindakan yang merendahkan badan peradilan atau yang sering disebut
dengan istilah Contempt of Court dapat diartikan secara
definisi Terminologis adalahberasal dari
kata contempt and court. contempt
diartikan melanggar, menghina, memandang rendah. Court diartikan pengadilan.
Dengan demikian Contempt of Court adalah upaya melaggar, menghina, memandang
rendah pengadilan. Sedangkan menurut Muladi, makna court dalam contempt of
court adalah court of judicature a body established by law to exercise, either
generally or subject to defined lemits, the judicial power harus dibedakan
dengan kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif.[3]
Penjelasan Umum butir 4 Undang-undang No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan: “untuk dapat lebih menjamin
terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu
undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap
dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan
kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court”. Berdasarkan
UU No. 14 Tahun 1985 tersebut, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama
(SKB) No: M. 03-PR’08.05 Tahun 1987 Tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan,
dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. Dengan terbitnya SKB ini, maka tujuan
pembuat UU No. 14 Tahun 1985 itu telah dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan
yang diharapkan, yaitu dituangkan dalam bentuk undang-undang. SKB ini
hanya mengatur Contempt of Court yang dilakukan oleh penasihat hukum saja.[4]
Meskipun contempt of court
telah sejak lama diatur yaitu sejak tahun 1985 dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, akan tetapi sampai
saat ini Undang-Undang yang khusus yang mengatur belum juga diterbitkan oleh
Pemerintah sebagai pemangku kepentingan, sehingga dapat dikatakan bahwa
Undang-Undang ini merupakan suatu keniscayaan yang terlupakan atau diperlukan
tetapi diabaikan. Dan setelah menunggu lebih kurang selama 30 tahun, kiranya
patut diapresiasi dengan munculnya draft penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak
Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court). Meskipun terlambat, namun
setidaknya ada kesadaran bahwa diperlukan sebuah Undang-Undang yang khusus
mengatur mengenai perbuatan yang dapat merendahkan martabat pengadilan.
C.
Otokritik
Atas Undang-Undang Contempt of Court
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana
Penyelengaraan Peradilan terdiri dari 9 (sembilan) bab dan 55 (lima puluh lima)
pasal yang masing-masing pasal terdiri dari beberapa ayat dan di bagian akhir
terdapat pula penjelasan pasal per pasal.
Apabila kita cermati mengenai judul dari
Rancangan Undang-Undang ini, akan memberikan kesan bahwa penyelengaraan
peradilan adalah merupakan tindak pidana, mengingat juga disandingan dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, maka jelas terbaca bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 adalah Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang. Sehingga apabila kita membaca judul dalam
Rancangan Undang-Undang tentang Contempt of Court, yang terbaca adalah
penyelenggaraan peradilan adalah suatu tindak pidana, padahal sejatinya
Undang-Undang ini hendak mengatur mengenai perbuatan yang bersifat merendahkan
penyelenggaraan persidangan, oleh karena itu kiranya perlu adanya perubahan
terhadap judul terhadap Rancangan Undang-Undang ini.
Selanjutnya dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum, pasal 1 terdiri dari
4 (empat) poin yang menyebutkan :
Pasal
1
Yang dimaksud dalam
Undang-undang ini dengan :
1. Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan
Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
2. Tindak Pidana Penyelengaraan Peradilan
adalah setiap perbuatan bersifat intervensi, tindakan, sikap, ucapan, tingkah
laku dan/atau publikasi yang bertendensi dapat menghina, merendahkan,
terganggunya, dan merongrong kewibawaan, kehormatan dan martabat hakim atau
badan peradilan.
3. Tindak pidana penyelenggaraan peradilan
secara langsung adalah tindak pidana yang dilakukan pada saat dan ketika proses
peradilan sedang berlangsung.
4. Perintah Pengadilan adalah setiap
perintah baik yang diberikan secara lisan maupun tertulis oleh hakim atau
pengadilan yang ada dalam diktum penetapan atau putusan untuk dipatuhi dan
dilaksanakan.
Dalam ketentuan ini, tidak
dijelaskan atau disebutkan mengenai siapa saja yang menjadi subyek dan obyek
dari Undang-Undang ini, termasuk tidak disebutkannya mengenai pengertian Aparat
Penegak Hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 39 yang menyebutkan Aparat penegak hukum, Advokat, petugas Rumah
Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mematuhi atau menyalahgunakan
putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat tahun)
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pasal 40 yang menyebutkan Aparat penegak hukum, petugas Rumah
Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mematuhi atau menyalahgunakan putusan
hakim, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun.
Tidak jelasnya pengertian
Aparatur Penegak Hukum tentunya akan membingungkan apabila Rancangan
Undang-Undang ini disahkan menjadi Undang-Undang dan diterapkan di dalam
masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundangan disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Aparatur Penegak Hukum adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Pemasyarakatan dan Advokat. Khusus mengenai Advokat diatur dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.[5]
Di dalam persidangan, yang terlibat di
dalamnya tidaklah selalu sama, yaitu dalam persidangan perkara pidana tentunya
berbeda dengan persidangan perkara perdata, maupun persidangan di badan
peradilan agama, badan peradilan tata usaha negara maupun persidangan di badan
peradilan miiter. Rancangan Undang-Undang ini tidak memberikan perincian secara
jelas dan cermat pihak mana saja yang terlibat di dalam persidangan dan siapa
saja yang dimaksud dengan Aparat Penegak Hukum. Hal ini harus diperbaiki mengingat
tindakan yang merendahkan pengadilan tidak saja dapat ditujukan kepada Aparat
Penegak Hukum yang terlibat di dalamnya, namun juga dapat ditujukan kepada
orang perseorangan, yaitu terhadap saksi, terdakwa maupun pengunjung sidang,
yang mungkin tidak ada hubungan sama sekali dengan perkara yang sedang
disidangkan dan demi terlindunginya jalannya proses persidangan dan pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya.
Kemudian, dalam ketentuan pasal 10 ayat (1)
dan ayat (2) yang menyebutkan :
(1) Hakim atau pengadilan dapat melakukan
tindakan demi memperlancar penyelengaraan peradilan;
(2) Tindakan dilakukan dapat dalam bentuk
putusan, penetapan atau perintah lisan.
Di dalam penjelasan pasal 10
hanya disebutkan cukup jelas, padahal apabila kita cermati, akan timbul
kejanggalan, yaitu khususnya di dalam ayat (2) yaitu tindakan dilakukan dalam
bentuk putusan, penetapan atau perintah lisan. Terhadap perintah lisan, dapat
dipahami bahwa Hakim atau Majelis Hakim dapat memerintahkan kepada seseorang
atau sekelompok orang untuk menjaga ketertiban dan keamanan selama persidangan,
namun apa yang menjadi dasar bagi Hakim atau Majelis Hakim untuk mengeluarkan
putusan atau penetapan selama persidangan.
Dalam praktek, putusan Hakim
didasarkan pada surat tuntutan dari jaksa penuntut umum / jaksa penuntut
militer dalam perkara pidana atau putusan Hakim didasarkan atas adanya gugatan
dalam perkara perdata, baik di pengadilan negeri, pengadilan agama atau
pengadilan tata usaha negara. Sedangkan penetapan Hakim didasarkan atas adanya
permohonan, baik itu permohonan penyitaan, penggeledahan, penahanan ataupun
lainnya dalam perkara pidana atau permohonan sita jaminan (conservatoir
beslag), permohonan penggantian nama, permohonan eksekusi ataupun lainnya dalam
perkara perdata, termasuk permohonan dalam lingkup peradilan agama maupun
peradilan tata usaha negara.
Jadi apabila terjadi
tindakan yang merendahkan pengadilan (contempt of court), kiranya Hakim atau
Majelis Hakim hanya dapat memberikan perintah lisan untuk dilakukan tindakan
sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (1) yang menyebutkan : Untuk menjaga kelancaran ketertiban dan
keamanan penyelenggaraan peradilan hakim dapat memerintahkan;
a. Agar seseorang atau sekelompok orang
dikeluarkan dari ruangan persidangan atau dari halaman pengadilan;
b. Larangan memasuki tempat penyelenggaraan
peradilan dalam radius tertentu.
Pasal 10 ayat (2) juga
kiranya bertentangan dengan ketentuan pasal 11 ayat (2) yang menyebutkan Perintah hakim tersebut dapat dilakukan
secara lisan atau dalam bentuk penetapan. Dalam pasal 10 ayat (2)
dimungkinkan perintah dalam bentuk putusan, penetapan atau perintah lisan,
namun dalam ketentuan pasal 11 ayat (2) hanya dalam bentuk lisan dan penetapan.
Terdapat ketidaksingkronan di dalam penyusunan ketentuan yang memberi hak
kepada Hakim dalam menjaga kelancaran persidangan.
Agak membingungkan apabila
Hakim memberikan perintah demi menjaga kelancaran persidangan dalam bentuk
putusan atau penetapan, hal ini karena harus ditentukan siapa yang menjadi
eksekutor atau pelaksana dari putusan atau penetapan Hakim tersebut. Tidak
menjamin seseorang yang mendapatkan putusan atau penetapan dari Hakim agar
menjaga lancarnya persidangan akan melaksanakan secara sukarela, sehingga
kiranya perlu adanya upaya pemaksa bagi terlaksananya putusan atau penetapan
tersebut.
Hal lainnya adalah dalam
pasal 11 ayat (5) menyebutkan Ketentuan
lebih lanjut mengenai kelancaran, ketertiban dan keamanan penyelenggaraan
peradilan diatur dengan atau berdasarkan peraturan mahkamah Agung, sampai
saat ini belum pernah ada PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) yang khusus mengatur
mengenai hal tersebut.
Pasal 13 bila kita cermati juga akan
menimbulkan hal yang membingungkan. Pasal 13 tersebut menyebutkan :
(1) Hakim atau pengadilan dapat mengeluarkan
perintah kepada petugas Kepolisian Republik Indonesia atau polisi pengamanan
peradilan mengamankan penyelenggaraan peradilan.
(2) Untuk mengamankan di dalam persidangan,
perintah sebagaimana disebut dalam ayat (1) dapat dilakukan secara lisan dan
untuk pengamanan di luar persidangan dapat dilakukan dengan penetapan.
Menjadi pertanyaan besar, apakah bisa Hakim
atau Majelis Hakim memberikan perintah kepada Petugas Kepolisian ? Dalam
praktek, setidaknya 2 (dua) atau 3 (tiga) hari sebelum persidangan, Hakim atau
Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera / Sekretaris Pengadilan untuk
membuatkan surat permohonan bantuan pengamanan persidangan kepada pihak
Kepolisian, sebab tidak terdapat hirarki secara langsung dari Hakim atau
Majelis Hakim untuk dapat memerintahkan petugas Kepolisian, terkecuali ketika
sidang berlangsung terdapat hal-hal yang dapat menggangu persidangan, Hakim
atau Majelis Hakim dapat memerintahkan secara lisan kepada petugas Kepolisian
yang sedang bertugas menjaga persidangan.
Kemudian, dalam Bagian Kedua yang mengatur
mengenai Polisi Pengaman Peradilan, diatur dalam pasal 14 sampai dengan pasal
16. Hal ini menjadi menarik, mengingat ketentuan pasal 14 menyebutkan :
(1) Untuk mengamankan penyelenggaraan
peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, selain aparat kepolisian
dibentuk satuan tugas Pengamanan Peradilan.
(2) Polisi Pengamanan Peradilan dan satuan
tugas Pengadilan bertugas untuk mengamankan penyelenggaraan peradilan, baik di
dalam maupun di luar persidangan.
(3) Satuan tugas Pengadilan membantu Polisi
Pengaman Pengadilan di areal pengadilan
Penjelasan
pasal 14 juga menyebutkan cukup jelas tanpa bisa menjelaskan arti dari
ketentuan pasal 14 ini. Dalam pasal 14 ini disebutkan adanya badan baru di
lingkungan peradilan yaitu Satuan Tugas Pengamanan Peradilan dan Polisi
Pengamanan Pengadilan. Dengan demikian apakah kedua hal ini berberda dengan
Satuan Pengamanan (Satpam) yang selama ini bertugas menjaga kantor pengadilan
dan menjaga tertibnya jalannya persidangan ? Apa yang menjadi dasar pembentukan
kedua badan baru tersebut, siapa yang dapat menjadi anggota Satuan Tugas
Pengamanan Peradilan dan Polisi Pengamanan Pengadilan dan bagaimana sistem
pembayaran gaji atau upah terhadap mereka ? Hal ini tidak dijelaskan secara
terperinci dalam Rancangan Undang-Undang ini. Apabila sistem penggajiannya
mengacu pada anggaran dalam DIPA, tentunya akan sangat memberatkan mengingat
anggaran dalam DIPA sudah diatur sedemikian rupa untuk mencukupi segala
kebutuhan badan peradilan selama 1 tahun anggaran.
Pasal
15 menyebutkan mengenai definisi Polisi Pengamanan Peradilan dan wewenang
Petugas Pengaman Peradilan, yaitu :
(1) Polisi Pengamanan Peradilan merupakan
pengaman penyelengaraan peradilan.
(2) Petugas Pengaman Peradilan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk :
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana terhadap penyelengaraan
peradilan.
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang
yang diduga melakukan tindak pidana terhadap penyelengaraaan peradilan.
c. Memeriksa tanda pengenal seseorang dalam
rangka mengamankan penyelengaraan peradilan;
d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan
barang bukti tindak pidana terhadap penyelengaraan peradilan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Meminta keterangan dan barang bukti dari
orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana terhadap penyelengaraan
peradilan.
f. Menangkap dan menahan dengan koordinasi
dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan mengindahkan ketentuan dalam
Undang-Undang ini;
g. Membuat dan menandatangani berita acara;
h. Menghentikan penyidikan apabila tidak
terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana terhadap penyelenggaraan
peradilan;
(3) Polisi pengaman peradilan sebagaimana
dimaksud ayat (2) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
(4) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat
mengenai kelengkapan berkas perkara, Petugas Pengaman Peradilan dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk disidangkan dalam
persidangan praperadilan.
Yang
perlu dicermati dari pasal 15 ini adalah pasal ini hanya menyebutkan arti dari
Polisi Pengamanan Peradilan tanpa menyebutkan tugas dan wewenangnya, kemudian
dalam ayat (3) diesbutkan bahwa Petugas Pengaman Peradilan memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum
sesuai dengan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Perlu dipertanyakan
apakah Petugas Pengaman Peradilan adalah juga bertugas sebagai penyidik, sebab
berdasarkan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : Penyidik, adalah :
a.
pejabat
polisi Negara Republik Indonesia ;
b.
pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
Mengenai Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang
mempunyai wewenang khusus sebagai penyidik adalah pejabat bea dan cukai,
pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan yang melakukan tugas penyidikan sesuai
dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing.[6] Dari
hal tersebut, harus ditentukan terlebih dahulu mengenai status Petugas Pengaman
Peradilan, apakah juga merupakan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang
mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam rangka
membantu petugas Kepolisian dan diatur dasar hukumnya mengenai pengaturan
Petugas Pengaman Peradilan sebagai PPNS.
Kemudian, pasal 20 yang mengatur mengenai seseorang yang
menjadi korban perbuatan yang merendahkan martabat pengadilan, yang menyebutkan
:
(1) Setiap orang yang merusak gedung, ruang
sidang pengadilan, atau alat-alat perlengkapan sidang pengadilan yang
mengakibatkan hakim tidak dapat
menyelenggarakan sidang pengadilan, dipidana dengan pidana dengan pidana
penjara paling lama 9 (sembilan) tahun ;
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan pada saat sidang pengadilan sedang berlangsung yang
menyebabkan sidang pengadilan tidak dapat dilanjutkan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (seppuluh) tahun ;
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengakibatkan aparat penegak hukum yang sedang menjalankan
tugasnya mengalami luka-luka dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun ;
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengakibatkan matinya aparat penegak hukum yang sedang
menjalankan tugasnya atau saksi saat memebrikan kesaksiannya, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun.
Pasal ini kiranya hanya ditujukan kepada Aparat
Penegak Hukum yang sedang menjalani proses persidangan dan tidak mengatur
mengani korban yang merupakan pengunjung sidang, saksi ataupun terdakwa di
persidangan, sebab tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang yang tidak
terkait dengan perkara yang disidangkan akan menjadi korban.
Hal krusial lainnya adalah ketentuan pasal 51
yang mengatur mengenai penahanan, yang menyebutkan :
(1)
Setiap orang yang tidak mematuhi perintah pengadilan
yang dikeluarkan untuk kepentingan penyelengaraan peradilan dapat dilakukan
penahanan ;
(2)
Perintah penahanan yang diberikan oleh
pengadilan berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari ;
(3)
Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat
(1) dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari dan kemudian
dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari ;
Berkaitan dengan penahanan,
tentunya tidak akan terlepas dari ketentuan pasal-pasal tentang penahanan dalam
KUHAP, yaitu pasal 21 sampai dengan pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP. Perlu diperhatikan bahwa pasal 21 ayat (4) KUHAP yang mengatur
mengenai tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan. Selain itu, selama ini
penahanan hanya dikenal dalam peradilan umum dan peradilan militer, dengan
pengecualian Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang dapat
melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidana yang diatur dalam Qanun
(Peraturan Daerah) yang diancam dengan pidana cambuk. Sehingga apabila terjadi
perbuatan yang bersifat merendahkan martabat pengadilan yang terjadi di ranah
peradilan agama dan peradilan tata usaha negara, perlu dipertanyakan bentuk
penahanannya dan tempat penahanan pelaku.perlu ditegaskan apakah Hakim
Pengadilan Agama atau Pengadilan Tata Usaha Negara langsung dapat melakukan
penahanan atau melimpahkan kepada Pengadilan Negeri, mengingat persidangan atas
perkara contempt of court dilakukan di Pengadilan Negeri sebagaimana diatur
dalam pasal 5 Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Peenyelenggaraan
Peradilan, yang menyebutkan : (1) Pengadilan Negeri berwenang mengadili semua
tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan untuk semua lingkungan
peradilan di daerah hukumnya dan (2) Pengadilan Negeri yang di dalam daerah
hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditempat ditemukan,
hanya berwenang mengadili apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang
dipanggil lebih dekat pada pengadilan itu daripada tempat kedudukan pengadilan
negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
Apabila kita membaca
ketentuan pasal 51 ayat (3) tentu akan membat kita bertanya siapa yang
menandatangani penetapan penahanannya, karena sebagai Ketua Pengadilan Negeri
hanya dapat memperpanjang penahanan suatu perkara yang sudah masuk di
pengadilan hanya sebanyak 1 (satu) kali untuk paling lama 60 (enam puluh) hari,
sebagaimana daitur dalam pasal 26 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP yang menyebutkan
: (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut
pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkuta untuk
paling lama 60 (enam puluh) hari dan (4)
Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus,
Terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Dari ketentuan
dalam KUHAP tersebut, maka dapat terlihat jelas bahwa ketentuan pasal 51
khususnya ayat (3) menyimpangi ketentuan dalam KUHAP yang merupakan pedoman
dalam melakukan penahanan.
Hal lain yang perlu mendapat
perhatian adalah, Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan
Peradilan (Contempt of Court) tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai
upaya hukum atas putusan Hakim mengingat upaya hukum merupakan hak dari
terpidana. Tiadanya hak dari terpidana untuk melakukan upaya hukum tentunya
akan membuat terjadinya pelanggaran atas hak asasi terpidana.
Terakhir, dalam Bab IX
mengenai Ketentuan Penutup, yaitu di dalam pasal 54 menyebutkan Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan
hukum acara dan tata tertib persidangan diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung . Penjelasan pasal 54 ini tidak tercantum di dalam
kolom Penjelasan pasal demi pasal dari Rancangan Undang-Undang tentang Tindak
Pidana Penyelenggaraan Peradilan. Tentu menjadi hal yang aneh ketika ada pasal
dalam suatu undang-undang namun tidak disertai penjelasan sama sekali dan
kiranya bunyi pasal 54 tersebut bertentangan dengan kaidah umum tata hukum di
Indonesia, yaitu atas suatu Undang-Undang maka peraturan pelaksanaannya adalah
Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Mahkamah Agung, karena Peraturan Mahkamah
Agung hanya mengatur mengenai sikap dari Mahkamah Agung terhadap suatu
permasalahan yang terjadi di dalam proses persidangan yang berhubungan dengan
pihak di luar lingkungan peradilan dan bukan untuk menjabarkan suatu
Undang-Undang.
Dengan demikian, masih
banyak kekurangan di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana
Penyelenggaraan Peradilan yang memerlukan penyempurnaan sehingga tidak
menjadikan Undang-Undang ini sebagai Undang-Undang yang lumpuh yang tidak dapat
dilaksanakan ketika sudah diundangkan.
D.
KESIMPULAN
Dari
uraian mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan
Peradilan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pembentukan
Undang-Undang yang mengatur tentang Contempt of Court sudah merupakan suatu
keharusan yang mendesak untuk segera dibentuk ;
2. Penyusunan
Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan
merupakan embrio dari dibentuknya Undang-Undangyang mengatur mengenai Contempt
of Court ;
3. Perlunya
penyempurnaan dari Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana
Penyelenggaraan Peradilan sehingga tidak menjadikan Rancangan Undang-Undang
tersebut menjadi Undang-Undang yang lumpuh yang tidak bisa digunakan ketika sudah
diundangkan ;
E.
SUMBER
BACAAN
1. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ;
2. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ;
3. Undang-Undang
Nomor 8Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU) ;
5. http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/contempt-of-court.html,
diunduh tanggal 02122015 ;
6. http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/contempt-of-court.html,
diunduh tanggal 02122015 ;
7. http://tugasdanwewenangaparatpenegakhukum.blogspot.co.id/,
diunduh tanggal 02122015 ;
8. http://tugasdanwewenangaparatpenegakhukum.blogspot.co.id/,
diunduh tanggal 02122015 ;
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH)
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[3] http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/contempt-of-court.html,
diunduh tanggal 02122015 ;
[4] http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/contempt-of-court.html,
diunduh tanggal 02122015 ;
[5] Baca ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat yang menyebutkan (1) Advokat berstatus
sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan ;
[6] http://tugasdanwewenangaparatpenegakhukum.blogspot.co.id/,
diunduh tanggal 02122015 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar