Rabu, 02 Desember 2015

RUU CONTEMPT OF COURT (OTOKRITIK)



qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm

SELAYANG PANDANG RUU CONTEMPT OF COURT
(SUATU OTOKRITIK)

DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

HAKIM YUSTISIAL PADA MAHKAMAH AGUNG RI





SELAYANG PANDANG RUU CONTEMPT OF COURT
(SUATU OTOKRITIK)

OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.     PENDAHULUAN
Dunia peradilan saat ini sedang mengalami masa pancaroba, yaitu dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat sebagai pencari keadilan terhadap kinerja aparatur pengadilan. Tidak hanya badan peradilan umum yang menjadi sorotan, akan tetapi juga badan peradiln yang laain seperti badapan peradilan agama, badan peradilan tata usaha negara dan badan peradilan militer. Harus diakui bahwa merosostnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparatur pengadilan, juga disebabkan karena adanya oknum aparatur pengadilan yang ibarat kata, memancing di air keruh, yaitu memanfaatkan ketidaktahuan para pencari keadilan demi keuntungan pribadi maupun golongannya.
Rasa ketidakpercayaan dari masyarakat pencari keadilan tersebut, seringkali diungkapkan selama jalannya proses persidangan, baik dengan cara mengeluarkan kata-kata yang bersifat merendahkan martabat pengadilan atau bahkan sampai menggunakan kekuatan raga baik tangan maupun kaki untuk menghalangi jalannya persidangan atau tidak menutup kemungkinan merusak fasilitas yang ada di kantor pengadilan. Masayarakat masih belum paham bahwa adanya kantor pengadilan adalah demi terlayaninya kebutuhan hukum dari para pencari keadilan dan pengadaan kantor pengadilan beserta isinya baik berupa perlengkapan persidangan maupun aparaturnya disiapkan negara dengan menggunakan uang yang terkumpul dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Rusaknya fasilitas kantor pengadilan maupun terhambatnya proses persidangan atau bahkan apabila sampai terjadi perbuatan yang merendahkan martabat pengadilan yang menimbulkan korban luka maupun nyawa, tentunya sangat disayangkan karena tidak hanya merugikan masyarakat yang telah dengan rela membayar pajak yang pajaknya digunakan untuk operasional kantor pengadilan, juga merugikan para pencari keadilan itu sendiri yaitu karena tertundanya upaya mendapatkan keadilan.
Dalam hal ini, apabila terjadi suatu tindakan yang bersifat merendahkan martabat pengadilan, seyogyanya badan peradilan memiliki perangkat yang dapat melindungi dirinya ketika terjadi dan munculnya tindakan yang merendahkan martabat pengadilan. Sehingga marwah dari pengadilan tidak tercoreng dan pengadilan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada para pencari keadilan.

B.    Rancangan Undang-Undang Contempt of Court. Suatu keniscayaan yang terlupakan
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[2]
Dengan berjalannya hukum yang diaplikasikan oleh badan-badan peradilan dengan tujuan memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan, maka mau tidak mau badan peradilan haruslah terjaga harga dirinya dari tindakan-tindakan yang bersifat merendahkan harga diri badan peradilan. Tindakan yang merendahkan badan peradilan atau yang sering disebut dengan istilah Contempt of Court dapat diartikan secara definisi Terminologis adalahberasal dari kata contempt and court. contempt diartikan melanggar, menghina, memandang rendah. Court diartikan pengadilan. Dengan demikian Contempt of Court adalah upaya melaggar, menghina, memandang rendah pengadilan. Sedangkan menurut Muladi, makna court dalam contempt of court adalah court of judicature a body established by law to exercise, either generally or subject to defined lemits, the judicial power harus dibedakan dengan kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif.[3]
Penjelasan Umum butir 4 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan: “untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court”. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tersebut, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) No: M. 03-PR’08.05 Tahun 1987 Tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. Dengan terbitnya SKB ini, maka tujuan pembuat UU No. 14 Tahun 1985 itu telah dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dituangkan dalam bentuk undang-undang. SKB ini hanya mengatur Contempt of Court yang dilakukan oleh penasihat hukum saja.[4]
Meskipun contempt of court telah sejak lama diatur yaitu sejak tahun 1985 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, akan tetapi sampai saat ini Undang-Undang yang khusus yang mengatur belum juga diterbitkan oleh Pemerintah sebagai pemangku kepentingan, sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-Undang ini merupakan suatu keniscayaan yang terlupakan atau diperlukan tetapi diabaikan. Dan setelah menunggu lebih kurang selama 30 tahun, kiranya patut diapresiasi dengan munculnya draft penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court). Meskipun terlambat, namun setidaknya ada kesadaran bahwa diperlukan sebuah Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai perbuatan yang dapat merendahkan martabat pengadilan.
C.    Otokritik Atas Undang-Undang Contempt of Court
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penyelengaraan Peradilan terdiri dari 9 (sembilan) bab dan 55 (lima puluh lima) pasal yang masing-masing pasal terdiri dari beberapa ayat dan di bagian akhir terdapat pula penjelasan pasal per pasal.
Apabila kita cermati mengenai judul dari Rancangan Undang-Undang ini, akan memberikan kesan bahwa penyelengaraan peradilan adalah merupakan tindak pidana, mengingat juga disandingan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka jelas terbaca bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 adalah Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Sehingga apabila kita membaca judul dalam Rancangan Undang-Undang tentang Contempt of Court, yang terbaca adalah penyelenggaraan peradilan adalah suatu tindak pidana, padahal sejatinya Undang-Undang ini hendak mengatur mengenai perbuatan yang bersifat merendahkan penyelenggaraan persidangan, oleh karena itu kiranya perlu adanya perubahan terhadap judul terhadap Rancangan Undang-Undang ini.
Selanjutnya dalam Bab I  mengenai Ketentuan Umum, pasal 1 terdiri dari 4 (empat) poin yang menyebutkan :
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :
1.  Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
2.  Tindak Pidana Penyelengaraan Peradilan adalah setiap perbuatan bersifat intervensi, tindakan, sikap, ucapan, tingkah laku dan/atau publikasi yang bertendensi dapat menghina, merendahkan, terganggunya, dan merongrong kewibawaan, kehormatan dan martabat hakim atau badan peradilan.
3.  Tindak pidana penyelenggaraan peradilan secara langsung adalah tindak pidana yang dilakukan pada saat dan ketika proses peradilan sedang berlangsung.
4.  Perintah Pengadilan adalah setiap perintah baik yang diberikan secara lisan maupun tertulis oleh hakim atau pengadilan yang ada dalam diktum penetapan atau putusan untuk dipatuhi dan dilaksanakan.
Dalam ketentuan ini, tidak dijelaskan atau disebutkan mengenai siapa saja yang menjadi subyek dan obyek dari Undang-Undang ini, termasuk tidak disebutkannya mengenai pengertian Aparat Penegak Hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 39 yang menyebutkan Aparat penegak hukum, Advokat, petugas Rumah Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mematuhi atau menyalahgunakan putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat tahun) dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pasal 40 yang menyebutkan Aparat penegak hukum, petugas Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mematuhi atau menyalahgunakan putusan hakim, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Tidak jelasnya pengertian Aparatur Penegak Hukum tentunya akan membingungkan apabila Rancangan Undang-Undang ini disahkan menjadi Undang-Undang dan diterapkan di dalam masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundangan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Aparatur Penegak Hukum adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyarakatan dan Advokat. Khusus mengenai Advokat diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.[5]
Di dalam persidangan, yang terlibat di dalamnya tidaklah selalu sama, yaitu dalam persidangan perkara pidana tentunya berbeda dengan persidangan perkara perdata, maupun persidangan di badan peradilan agama, badan peradilan tata usaha negara maupun persidangan di badan peradilan miiter. Rancangan Undang-Undang ini tidak memberikan perincian secara jelas dan cermat pihak mana saja yang terlibat di dalam persidangan dan siapa saja yang dimaksud dengan Aparat Penegak Hukum. Hal ini harus diperbaiki mengingat tindakan yang merendahkan pengadilan tidak saja dapat ditujukan kepada Aparat Penegak Hukum yang terlibat di dalamnya, namun juga dapat ditujukan kepada orang perseorangan, yaitu terhadap saksi, terdakwa maupun pengunjung sidang, yang mungkin tidak ada hubungan sama sekali dengan perkara yang sedang disidangkan dan demi terlindunginya jalannya proses persidangan dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Kemudian, dalam ketentuan pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) yang menyebutkan :
(1)    Hakim atau pengadilan dapat melakukan tindakan demi memperlancar penyelengaraan peradilan;
(2)    Tindakan dilakukan dapat dalam bentuk putusan, penetapan atau perintah lisan.
Di dalam penjelasan pasal 10 hanya disebutkan cukup jelas, padahal apabila kita cermati, akan timbul kejanggalan, yaitu khususnya di dalam ayat (2) yaitu tindakan dilakukan dalam bentuk putusan, penetapan atau perintah lisan. Terhadap perintah lisan, dapat dipahami bahwa Hakim atau Majelis Hakim dapat memerintahkan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menjaga ketertiban dan keamanan selama persidangan, namun apa yang menjadi dasar bagi Hakim atau Majelis Hakim untuk mengeluarkan putusan atau penetapan selama persidangan.
Dalam praktek, putusan Hakim didasarkan pada surat tuntutan dari jaksa penuntut umum / jaksa penuntut militer dalam perkara pidana atau putusan Hakim didasarkan atas adanya gugatan dalam perkara perdata, baik di pengadilan negeri, pengadilan agama atau pengadilan tata usaha negara. Sedangkan penetapan Hakim didasarkan atas adanya permohonan, baik itu permohonan penyitaan, penggeledahan, penahanan ataupun lainnya dalam perkara pidana atau permohonan sita jaminan (conservatoir beslag), permohonan penggantian nama, permohonan eksekusi ataupun lainnya dalam perkara perdata, termasuk permohonan dalam lingkup peradilan agama maupun peradilan tata usaha negara.
Jadi apabila terjadi tindakan yang merendahkan pengadilan (contempt of court), kiranya Hakim atau Majelis Hakim hanya dapat memberikan perintah lisan untuk dilakukan tindakan sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (1) yang menyebutkan : Untuk menjaga kelancaran ketertiban dan keamanan penyelenggaraan peradilan hakim dapat memerintahkan;
a.    Agar seseorang atau sekelompok orang dikeluarkan dari ruangan persidangan atau dari halaman pengadilan;
b.    Larangan memasuki tempat penyelenggaraan peradilan dalam radius tertentu.
Pasal 10 ayat (2) juga kiranya bertentangan dengan ketentuan pasal 11 ayat (2) yang menyebutkan Perintah hakim tersebut dapat dilakukan secara lisan atau dalam bentuk penetapan. Dalam pasal 10 ayat (2) dimungkinkan perintah dalam bentuk putusan, penetapan atau perintah lisan, namun dalam ketentuan pasal 11 ayat (2) hanya dalam bentuk lisan dan penetapan. Terdapat ketidaksingkronan di dalam penyusunan ketentuan yang memberi hak kepada Hakim dalam menjaga kelancaran persidangan.
Agak membingungkan apabila Hakim memberikan perintah demi menjaga kelancaran persidangan dalam bentuk putusan atau penetapan, hal ini karena harus ditentukan siapa yang menjadi eksekutor atau pelaksana dari putusan atau penetapan Hakim tersebut. Tidak menjamin seseorang yang mendapatkan putusan atau penetapan dari Hakim agar menjaga lancarnya persidangan akan melaksanakan secara sukarela, sehingga kiranya perlu adanya upaya pemaksa bagi terlaksananya putusan atau penetapan tersebut.
Hal lainnya adalah dalam pasal 11 ayat (5) menyebutkan Ketentuan lebih lanjut mengenai kelancaran, ketertiban dan keamanan penyelenggaraan peradilan diatur dengan atau berdasarkan peraturan mahkamah Agung, sampai saat ini belum pernah ada PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) yang khusus mengatur mengenai hal tersebut.
Pasal 13 bila kita cermati juga akan menimbulkan hal yang membingungkan. Pasal 13 tersebut menyebutkan :
(1)    Hakim atau pengadilan dapat mengeluarkan perintah kepada petugas Kepolisian Republik Indonesia atau polisi pengamanan peradilan mengamankan penyelenggaraan peradilan.
(2)    Untuk mengamankan di dalam persidangan, perintah sebagaimana disebut dalam ayat (1) dapat dilakukan secara lisan dan untuk pengamanan di luar persidangan dapat dilakukan dengan penetapan.
Menjadi pertanyaan besar, apakah bisa Hakim atau Majelis Hakim memberikan perintah kepada Petugas Kepolisian ? Dalam praktek, setidaknya 2 (dua) atau 3 (tiga) hari sebelum persidangan, Hakim atau Majelis Hakim memerintahkan kepada Panitera / Sekretaris Pengadilan untuk membuatkan surat permohonan bantuan pengamanan persidangan kepada pihak Kepolisian, sebab tidak terdapat hirarki secara langsung dari Hakim atau Majelis Hakim untuk dapat memerintahkan petugas Kepolisian, terkecuali ketika sidang berlangsung terdapat hal-hal yang dapat menggangu persidangan, Hakim atau Majelis Hakim dapat memerintahkan secara lisan kepada petugas Kepolisian yang sedang bertugas menjaga persidangan.
Kemudian, dalam Bagian Kedua yang mengatur mengenai Polisi Pengaman Peradilan, diatur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 16. Hal ini menjadi menarik, mengingat ketentuan pasal 14 menyebutkan :
(1)    Untuk mengamankan penyelenggaraan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, selain aparat kepolisian dibentuk satuan tugas Pengamanan Peradilan.
(2)    Polisi Pengamanan Peradilan dan satuan tugas Pengadilan bertugas untuk mengamankan penyelenggaraan peradilan, baik di dalam maupun di luar persidangan.
(3)    Satuan tugas Pengadilan membantu Polisi Pengaman Pengadilan di areal pengadilan
Penjelasan pasal 14 juga menyebutkan cukup jelas tanpa bisa menjelaskan arti dari ketentuan pasal 14 ini. Dalam pasal 14 ini disebutkan adanya badan baru di lingkungan peradilan yaitu Satuan Tugas Pengamanan Peradilan dan Polisi Pengamanan Pengadilan. Dengan demikian apakah kedua hal ini berberda dengan Satuan Pengamanan (Satpam) yang selama ini bertugas menjaga kantor pengadilan dan menjaga tertibnya jalannya persidangan ? Apa yang menjadi dasar pembentukan kedua badan baru tersebut, siapa yang dapat menjadi anggota Satuan Tugas Pengamanan Peradilan dan Polisi Pengamanan Pengadilan dan bagaimana sistem pembayaran gaji atau upah terhadap mereka ? Hal ini tidak dijelaskan secara terperinci dalam Rancangan Undang-Undang ini. Apabila sistem penggajiannya mengacu pada anggaran dalam DIPA, tentunya akan sangat memberatkan mengingat anggaran dalam DIPA sudah diatur sedemikian rupa untuk mencukupi segala kebutuhan badan peradilan selama 1 tahun anggaran.
Pasal 15 menyebutkan mengenai definisi Polisi Pengamanan Peradilan dan wewenang Petugas Pengaman Peradilan, yaitu :
(1)    Polisi Pengamanan Peradilan merupakan pengaman penyelengaraan peradilan.
(2)    Petugas Pengaman Peradilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk :
a.  Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana terhadap penyelengaraan peradilan.
b.  Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana terhadap penyelengaraaan peradilan.
c.   Memeriksa tanda pengenal seseorang dalam rangka mengamankan penyelengaraan peradilan;
d.  Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana terhadap penyelengaraan peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.  Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana terhadap penyelengaraan peradilan.
f.    Menangkap dan menahan dengan koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan mengindahkan ketentuan dalam Undang-Undang ini;
g.  Membuat dan menandatangani berita acara;
h.  Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan;
(3)    Polisi pengaman peradilan sebagaimana dimaksud ayat (2) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(4)    Dalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai kelengkapan berkas perkara, Petugas Pengaman Peradilan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk disidangkan dalam persidangan praperadilan.
Yang perlu dicermati dari pasal 15 ini adalah pasal ini hanya menyebutkan arti dari Polisi Pengamanan Peradilan tanpa menyebutkan tugas dan wewenangnya, kemudian dalam ayat (3) diesbutkan bahwa Petugas Pengaman Peradilan memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Perlu dipertanyakan apakah Petugas Pengaman Peradilan adalah juga bertugas sebagai penyidik, sebab berdasarkan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : Penyidik, adalah :
a.      pejabat polisi Negara Republik Indonesia ;
b.      pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Mengenai Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu yang mempunyai wewenang khusus sebagai penyidik adalah pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.[6] Dari hal tersebut, harus ditentukan terlebih dahulu mengenai status Petugas Pengaman Peradilan, apakah juga merupakan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam rangka membantu petugas Kepolisian dan diatur dasar hukumnya mengenai pengaturan Petugas Pengaman Peradilan sebagai PPNS.
Kemudian, pasal 20 yang mengatur mengenai seseorang yang menjadi korban perbuatan yang merendahkan martabat pengadilan, yang menyebutkan :
(1)    Setiap orang yang merusak gedung, ruang sidang pengadilan, atau alat-alat perlengkapan sidang pengadilan yang mengakibatkan hakim tidak  dapat menyelenggarakan sidang pengadilan, dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun ;
(2)    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat sidang pengadilan sedang berlangsung yang menyebabkan sidang pengadilan tidak dapat dilanjutkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (seppuluh) tahun ;
(3)    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya mengalami luka-luka dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun ;
(4)    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya aparat penegak hukum yang sedang menjalankan tugasnya atau saksi saat memebrikan kesaksiannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal ini kiranya hanya ditujukan kepada Aparat Penegak Hukum yang sedang menjalani proses persidangan dan tidak mengatur mengani korban yang merupakan pengunjung sidang, saksi ataupun terdakwa di persidangan, sebab tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang yang tidak terkait dengan perkara yang disidangkan akan menjadi korban.
Hal krusial lainnya adalah ketentuan pasal 51 yang mengatur mengenai penahanan, yang menyebutkan :


(1)    Setiap orang yang tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan penyelengaraan peradilan dapat dilakukan penahanan ;
(2)    Perintah penahanan yang diberikan oleh pengadilan berlaku paling lama 30 (tiga puluh) hari ;
(3)    Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari dan kemudian dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari ;
Berkaitan dengan penahanan, tentunya tidak akan terlepas dari ketentuan pasal-pasal tentang penahanan dalam KUHAP, yaitu pasal 21 sampai dengan pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Perlu diperhatikan bahwa pasal 21 ayat (4) KUHAP yang mengatur mengenai tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan. Selain itu, selama ini penahanan hanya dikenal dalam peradilan umum dan peradilan militer, dengan pengecualian Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang dapat melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidana yang diatur dalam Qanun (Peraturan Daerah) yang diancam dengan pidana cambuk. Sehingga apabila terjadi perbuatan yang bersifat merendahkan martabat pengadilan yang terjadi di ranah peradilan agama dan peradilan tata usaha negara, perlu dipertanyakan bentuk penahanannya dan tempat penahanan pelaku.perlu ditegaskan apakah Hakim Pengadilan Agama atau Pengadilan Tata Usaha Negara langsung dapat melakukan penahanan atau melimpahkan kepada Pengadilan Negeri, mengingat persidangan atas perkara contempt of court dilakukan di Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam pasal 5 Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Peenyelenggaraan Peradilan, yang menyebutkan : (1) Pengadilan Negeri berwenang mengadili semua tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan untuk semua lingkungan peradilan di daerah hukumnya dan (2) Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, ditempat ditemukan, hanya berwenang mengadili apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
Apabila kita membaca ketentuan pasal 51 ayat (3) tentu akan membat kita bertanya siapa yang menandatangani penetapan penahanannya, karena sebagai Ketua Pengadilan Negeri hanya dapat memperpanjang penahanan suatu perkara yang sudah masuk di pengadilan hanya sebanyak 1 (satu) kali untuk paling lama 60 (enam puluh) hari, sebagaimana daitur dalam pasal 26 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP yang menyebutkan : (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkuta untuk paling lama 60 (enam puluh) hari dan (4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, Terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Dari ketentuan dalam KUHAP tersebut, maka dapat terlihat jelas bahwa ketentuan pasal 51 khususnya ayat (3) menyimpangi ketentuan dalam KUHAP yang merupakan pedoman dalam melakukan penahanan.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah, Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court) tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai upaya hukum atas putusan Hakim mengingat upaya hukum merupakan hak dari terpidana. Tiadanya hak dari terpidana untuk melakukan upaya hukum tentunya akan membuat terjadinya pelanggaran atas hak asasi terpidana.
Terakhir, dalam Bab IX mengenai Ketentuan Penutup, yaitu di dalam pasal 54 menyebutkan Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan hukum acara dan tata tertib persidangan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung . Penjelasan pasal 54 ini tidak tercantum di dalam kolom Penjelasan pasal demi pasal dari Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan. Tentu menjadi hal yang aneh ketika ada pasal dalam suatu undang-undang namun tidak disertai penjelasan sama sekali dan kiranya bunyi pasal 54 tersebut bertentangan dengan kaidah umum tata hukum di Indonesia, yaitu atas suatu Undang-Undang maka peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Mahkamah Agung, karena Peraturan Mahkamah Agung hanya mengatur mengenai sikap dari Mahkamah Agung terhadap suatu permasalahan yang terjadi di dalam proses persidangan yang berhubungan dengan pihak di luar lingkungan peradilan dan bukan untuk menjabarkan suatu Undang-Undang.
Dengan demikian, masih banyak kekurangan di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan yang memerlukan penyempurnaan sehingga tidak menjadikan Undang-Undang ini sebagai Undang-Undang yang lumpuh yang tidak dapat dilaksanakan ketika sudah diundangkan.

D.    KESIMPULAN
Dari uraian mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pembentukan Undang-Undang yang mengatur tentang Contempt of Court sudah merupakan suatu keharusan yang mendesak untuk segera dibentuk ;
2.      Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan merupakan embrio dari dibentuknya Undang-Undangyang mengatur mengenai Contempt of Court ;
3.      Perlunya penyempurnaan dari Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan sehingga tidak menjadikan Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang yang lumpuh yang tidak bisa digunakan ketika sudah diundangkan ;

E.     SUMBER BACAAN
1.  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ;
2.  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ;
3.  Undang-Undang Nomor 8Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ;




[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[5] Baca ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan (1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...